Sabtu, 30 April 2016

MENGGAGAS MAJELIS ASH-SHUFFAH

Beberapa tahun ke belakang ini aktivitas kegiatan pemuda-remaja masjid relatif menurun. Masjid-masjid walaupun jumlahnya bertambah tapi sepi dari kegiatan pemuda-remaja, terutama kegiatan keilmuan. Di Jogja sendiri, organisasi kemasjidan seperti FSRMY, BKPRMI, Pemuda Muhammadiyah, dll kegiatannya sudah tidak meriah lagi. Apalagi jika dibandingkan akhir tahun 70an sangat jauh. Menurut cerita Ust. HM Jazir Asp saat acara Nasional BKPRMI di Jakarta, kontingen DIY mengirimkan utusan sebanyak 2 gerbong kereta api.

Tahun 2002 – 2004 saat menjadi pengurus FSRMY sebagai Koordinator Bidang Pembinaan dan Pengembangan Remaja Masjid (PPRM), bersama teman-teman Saya merintis Kelompok Studi Remaja Masjid (KSRM). Ide  pendirian KSRM berasal dari booming buku dan video dari Harun Yahya. Prestasi terbesar KSRM adalah menyelenggarakan Seminar Ilmiah di Hotel Inna Garuda dalam event Ramadhan di Malioboro tahun 2002. Kegiatan KSRM seperti diskusi ilmiah tiap 2 – 4 pekan sekali akhirnya hilang setelah pengurusnya sibuk di FSRMY Trainer maupun studinya.

Kegiatan KSRM yang berbasis masjid mengingatkan akan perkembangan tradisi keilmuan muslim yang mencapai puncaknya pada Dinasti Abbasiyah sampai Turki Usmani ternyata diawali dari Masjid. Al-Suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Rasulullah Saw di Madinah. Shuffah adalah ‘emperan’ masjid Nabawi. Mahasiswanya disebut Ashab al-Shuffah, atau Ahl al-Shuffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Rasulullah Saw.


Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Produk Ilmuwan Muslim Ash-Shuffah diantaranya adalah Sahabat Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghiffari; Salman al-Farisi, dan Abdullah Ibnu Mas’ud.

Bahkan Rasulullah Saw menunjuk Ubaidah bin Shamit menjadi guru di madrasah Al-Shuffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu.

Dalam riwayat menurut Wadiyah Ibn Atha: “di Madinah terdapat 3 orang guru yang mengajar anak-anak, Khalifah Umar ra memberikan nafkah kepada tiap-tiap mereka 15 dinar setiap bulan (cat.: saat ini 1 dinar= ± Rp 2 juta).” Dana diambil dari baitul Mal/kas negara. Demikianlah bukti perhatian para Sahabat terhadap ilmu pengetahuan. (Nadaa, 2005)

Tradisi intelektual Ash-Shuffah berlanjut hingga masa Dinasti Umayyah, dengan tetap berpusat di Masjid. Pada masa ini semakin banyak intelektual muslim muncul, seperti pakar bidang Hadist ‘Hasan al Basri, pakar Kedokteran al-Harits ibn Kaladah’, pakar Kimia, Optik, Astrologi, ‘Khalid’ (putra khalifah Umayyah kedua).

Pada masa Dinasti Abbasiyah tradisi keilmuan Muslim semakin meningkat dan berkembang. Berawal dari masjid dan halaqah-halaqah berkembang menjadi Pusat2 Studi Dar al-Kutub/ Darul Ilmi; dan Pusat Terjemahan Baytul al-Hikmah. Aktifitas yang dilakukan keilmuan yang dilaksanakan adalah 1) Mengkaji Islam dan menterjemah karya-karya asing (catatan: gaji penerjemah sekitar Rp 3.750.000/bulan dan emas seberat buku); 2) Mentransformasi konsep asing ke dalam Islam; dan 3) Mengembangkan Sains Islam.

Ilmuwan muslim terkenal dari Dinasti Abbasiyah adalah pakar matematika dan astronomi Al-Khawarizmi/Algorizm; pakar falsafah, fisika dan optik Al-Kindi; pakar filsafat dan Kedokteran Ibnu Rush, Ibnu Sina, Pakar bedah dan kedokteran Ibnu Zuhr; dll.

Abad ke-18 dalam sejarah Islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi umat Islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban Islam secara universal. Seperti yang diungkapkan oleh Lothrop Stoddard, bahwa menjelang abad ke-18, ummat Islam telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering-kerontang berupa ritual tanpa jiwa dan takhayul yang merendahkan martabat umatnya. Ia, menyatakan seandainya Muhammad Saw bisa kembali hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya: sebagai kaum murtad dan, musyrik. (CA. Qadir, 1989)  Peryataan Stoddard ini menggambarkan begitu dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan Islam yang kemudian menjadikan umat Islam sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa-bangsa Barat.

Menurut cendekiawan muslim Aljazair ‘Malik bin Nabi’, problem setiap bangsa sesungguhnya adalah problem peradabannya. Tidak mungkin suatu bangsa bisa memahami atau memecahkan kesulitan-kesulitannya sepanjang ia tidak naik bersama pemikirannya ke peristiwa-peristiwa yang manusiawi dan tidak memahami secara mendalam faktor-faktor yang membangun atau meruntuhkan peradabannya. Menurut cendekiawan muslim Indonesia ‘Hamid Fahmy Zarkasyi’,  masalah peradaban atau civilization ummat Islam hanya dapat diselesaikan jika ummat Islam kembali pada worlview Islam dan tradisi keilmuan.

Belajar dari Majelis Ash-Shuffah perlu untuk menghidupkan kembali tradisi keilmuan di masjid-masjid dengan diskusi-diskusi ilmiah yang mencerdaskan. Bukankah kata ‘ilm’ dalam Al-Qur’an disebut 750 kali (17%) setelah kata ‘Allah’ (2800 kali, 62%)??

Ahh .. tiba-tiba merindu hadirnya Majelis Ash-Shuffah di serambi-serambi masjid ..


#Patangpuluhan, 30 April 2016, pukul 22.13.

Minggu, 24 April 2016

Tradisi Keilmuan

Pada tahun 2006 Saya pernah menulis untuk sebuah website remaja masjid kota Yogyakarta. Tema tulisan tersebut tentang keprihatinan generasi muda Islam terutama aktivis masjid pada salah satu tradisi keilmuan, yakni membaca atau menulis. Tidak berapa lama website tersebut akhirnya hilang karena tidak ada pengurusnya yang ‘ngopeni’ website dengan artikel-artikel yang menarik dan mencerdaskan.



Ternyata kejadian tersebut berulang kembali. Pada tahun 2014 saya diminta membuat tulisan lagi untuk sebuah website PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Muslim di Beijing, Tiongkok. Tidak sampai satu tahun website tersebut vakum. Kalah dengan jejaring sosial media yang semakin marak.
Saya jadi teringat pada tulisan lama penyair Nasional, Taufik Ismail. Beliau pernah menulis di koran, kalau budaya membaca pelajar Indonesia sangat lemah. Untuk pelajar SMP-SMU di negara kita, ternyata sangat jarang yang menyisihkan waktu untuk membaca buku non pelajaran (selain komik) pada tiap bulannya. Tetangga kita Malaysia, pelajar SMP-SMU mampu membaca sekitar 5 buku non pelajaran tiap bulannya. Negara maju, seperti Jepang, Amerika, Canada, Eropa mampu membaca 10-15 buku. Apalagi sekarang sudah tertandingi sosial media menjadikan buku semakin tersisih. Tradisi keilmuan semakin memudar.
Saat ini pemuda lebih suka membaca bacaan-bacaan sampah di sosial media, daripada buku-buku pemikiran tokoh-tokoh Islam kita, seperti dari zaman Islam klasik. Akibatnya mereka sangat mudah digiring opininya maupun dicuci otaknya oleh media massa sekuler atau liberal.
Harusnya kita mulai dari awal lagi belajar Islam. Kita perdalam aqidah, kita amati, pelajari asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat AL-Qur’an), asbabul wurud (sebab-sebab turunnya hadis), tafsir, sejarah, tokoh dan karya-karyanya (seperti muqaddimah-nya ibnu Khaldun, Tahafut Falasafiyah-nya Al-Ghazali dan balasannya ibnu Rusyd, Tahafut Tahafut). Sudah kita ketahui bersama kalau ayat Al-Qur’an yang turun pertama kali adalah tentang membaca. Sudahkah kita pelajari dengan seksama makna dan kandungannya??

Tidak ada alasan bagi orang yang mendalami ilmu seperti eksakta untuk mengkesampingkan ilmu Islam ini. Karena belajar Islam adalah fardhu ’ain. Cendekiawan muslim seperti Malik bin Nabi dari Aljazair adalah salah satu contoh ahli eksak di bidang Elektro dan ahli pemikiran Islam. Buya HAMKA, sastrawan yang mengeluarkan tafsir Al-Azhar.
Pada tahun 90an Stephen R Covey, dalam bukunya, “The 7 Habits of Highly Effective People, mengatakan: ”Orang yang tidak pernah membaca tidak lebih baik daripada orang yang tidak dapat membaca.”Anthony Robbins, pakar psycho-cybernetics (otak bawah sadar) dalam bukunya Unlimited Power; mengatakan bahwa buku adalah sumber informasi dan barang dagangan raja-raja (yang menguasai dunia) zaman sekarang.

Berkaitan dengan menulis, Al-Qur’an dalam surat AL-Baqarah ayat 282 mengharuskan kita untuk menulis. Napoleon Bonaparte (Jendral Perancis) mengatakan, ”Tulisan lebih saya takuti daripada senapan.”
Para founding fathers bangsa ini juga seorang penulis handal. Seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, HOS Cokroaminoto, dlsb berjuang untuk kemerdekaan melalui tulisan-tulisan yang menggugah. Yang menarik adalah beberapa tulisan Muhammad Natsir dalam menandingi tulisannya Soekarno yang terpengaruh oleh pemikiran sekuler dari Mustapha Kemal Attaturk. Perdebatan yang mencerahkan dari Politikus, sangat jauh dibandingkan dengan zaman sekarang.

“Agama adalah penerang hati, sedangkan ilmu pengetahuan peradaban adalah penerang akal,” begitu kata seorang Ulama.

Ahh .. tiba-tiba merindu munculnya Muhammad Natsir, Buya Hamka muda dari Masjid, Mushola, Surau ..

Patangpuluhan, 19 April 2016, pukul 20.30 saat kejar tayang bahan ikut kuliah Islamic Studies 'Intellectual Youth Summit 2016

Kamis, 07 Januari 2016

Kampung Terpencil Merapi: Dusun Girpasang


“Monggo Pinarak Mas.” Silakan masuk-bertamu Mas, begitu kata seorang Ibu paruh baya di depan rumahnya, saat kami memasuki sebuah Dukuh atau Kampung terpencil di lereng Gunung Merapi. Sungguh keramahan yang mulai jarang ditemui di zaman sekarang.

Jalan menuju kampung eksotis yang seperti jalan 'kuil shaolin'

Apalagi saat kami menemui warga sedang ‘sambatan’ atau gotong royong memindah sebuah rumah ‘gebyok’, atau rumah khas Jawa yang tiang dan dindingnya berbahan baku kayu. Begitu kami menjumpai mereka sedang istirahat, langsung kami ‘disuguhi’ atau diberi segelas teh hangat dan makanan tradisional jajan pasar. Suatu keramahan dan kebaikan yang tidak mungkin kami tolak.

keramahan & kebaikan dari warga Girpasang, tiap tamu diajak masuk ke rumahnya dan dijamu

Ditemani Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, kami Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) mengunjungi kampung terisolir yang berada di pojok Tenggara Merapi, berbatasan dengan Kabupaten Boyolali. Kampung tersebut bernama Gir Pasang.

Cikal Bakal Gir Pasang
Gir Pasang berasal dari nama Gligir Pasang. Ada beberapa versi asal-usul namanya. Pertama, Gligir yang berarti pinggiran atau pinggir jurang; dan Pasang yang berarti sepasang. Jadi Gir Pasang adalah kampung yang terletak ditengah-tengah sepasang jurang. Memang diantara kampung yang berketinggian 1.185 m dpl ini terdapat jurang yang sangat dalam, berkedalaman 150 meter..

Kedua, menurut sesepuh/tetua dukuh Gir Pasang, Patmo (66 tahun), “Gligir Pasang ini ibarat seperti wujud buah belimbing. Dari rangkaian kerucut-kerucut, yang mana di kanan kirinya tebal, lalu tengahnya tipis.”

Ketiga, menurut Subur (50 tahun), ketua Pokdarwis dan Dukuh III Desa Tegalmulyo, Gir Pasang berasal dari kata Gligir yang berarti pinggir, dan Pasang yang berarti pohon Pasang. “Dulu di pinggir atau sekitar kampung ini banyak pohon Pasang,” ujar Pak Subur.

kondisi rumah warga Girpasang dengan solarcell

Di Merapi terutama kawasan TNGM, pohon Pasang (Quercus sundaica) termasuk jenis asli Merapi. Jenis ini sudah beradaptasi dan tahan terhadap erupsi. 6 bulan setelah erupsi tahun 2010, batang utama pohon Pasang yang roboh dikira mati, ternyata mulai muncul tunas-tunas baru. Di blok hutan gunung Ijo kawasan TNGM, samping dukuh Gir Pasang, pohon Pasang bersama jenis Dadap ri (Erythrina lithosperma) menjadi habitat raptor jenis Elang dan primata Lutung Jawa (Trachypithecus auratus).

Untuk cikal bakal Gir Pasang, Patmo menceritakan, dirinya adalah keturunan keempat dari Ki Trunosono yang dahulu tinggal di lembah Kapuan dekat Gua Jepang, Sapuangin Merapi. Kemudian, Ki Trunosono yang bergelar Kyai Pacul Kuoso dari Panembahan Paku Buwono VI yang memilik 9 anak laki-laki itu mendapat titah untuk menempati dukuh terpencil ‘Gir Pasang’ ini.

"Jumlah anak Ki Trunosono ada 9 dengan sebutan pandawa Sembilan; salah satunya, Ki Truno Pawiro, yang merupakan kakek saya, anak ketiga dari Ki Trunosono. Patmo melanjutkan ceritanya, “Selain Ki Truno Pawiro, Gir Pasang dihuni dua anak lainnya, Truno Rejo dan Rajiyo; sedangkan keenam putra Ki Trunosono yang lain pindah ke desa lain.

Jadi dusun ini berawal dari tiga KK atau pekarangan dan semuanya masih satu trah," sambungnya. Lebih lanjut Patmo mengisahkan, setelah Ki Trunosono meninggal, "tongkat kepemimpinan" Gir Pasang diwariskan kepada kakeknya, Truno Prawiro, dilanjutkan ke ayahnya yang bernama Ki Pawiro Tani, baru kemudian ke dirinya.

silaturrahmi dengan Ketua RT Girpasang, Bapak Yosorejo yang ramah

Sekarang Dukuh Gir Pasang didiami 12 KK (35 jiwa) yang menempati 7 rumah (masih sama dengan awal-mulanya). Semua rumah khas Jawa, menggunakan tiang kayu dan berdinding kayu atau anyaman bambu. Listrik dari PLN belum ada, sehingga tiap rumah menggunakan solar cell pemberian Pemda Klaten.

Keindahan Alam
Keindahan alam berupa panorama bukit, lembah dan jurang lereng Merapi dapat dinikmati sejak berjalan dari lokasi parkir kendaraan. Lokasi Gir Pasang memang terisolir, kendaraan harus diparkir atau dititipkan pada kampung sebelah, kampung Ringin. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki meniti tangga yang berkelok dan naik turun selama sekitar 30 menit sampai 1 jam.

kebun samping rumah warga Girpasang yang dimanfaatkan tiap hari


Menurut cerita Subur, tangga tersebut mulai dibangun pada tahun 2006, setelah akses jalan terkena longsor akibat gempa Jogja tahun 2006. Awalnya hanya jalan setapak sempit selebar setengah meter, kemudian dilebarkan menjadi 1,5 meter dan dibuat tangga. Jalur sepanjang sekitar 1 kilometer ini memang tidak semuanya dibangun tangga, ada yang masih berupa jalan tanah.


Jalan berkelok yang asri dan menyehatkan

Jalur bertangga dan berkelok ini sangat indah dilihat dari atas. Jadi ingat pada jalur tangga berkelok menuju kuil di Tiongkok, kuil Shaolin di Gunung Songshan, Propinsi Henan. Burung-burung Merapi tak henti-hentinya berkicau, jika beruntung juga dapat menemui burung Elang yang terbang soaring sekitar pukul 08.00 sampai 13.00 saat langit cerah. Udara segar khas pegunungan menambah semangat menikmati perjalanan.

Kearifan Lokal
Selain keindahan alam dan keunikan lokasi yang terisolir, potensi lain yang masih terjaga di Gir Pasang adalah kearifan lokal warganya. Keramahan, kebaikan hati dan semangat gotong-royong masih kental mewarnai kampung tertinggi di Klaten ini.

Keunikan lain adalah di kampung ini tidak ditemui makanan instan seperti mie instand maupun snack atau makanan ringan. Sejak dini anak-anak dilatih tidak makan makanan berbungkus plastik. Warga akan khawatir anak-anaknya mempunyai kebiasaan makan makanan instan akan menyusahkan mereka, karena jauh dari warung dan perbelanjaan.

ruang publik kampung Girpasang yang asri dan teduh

Untuk menuju lokasi kampung surga Gir Pasang dapat dicapai melalui Obyek Wisata Deles Indah, dari Yogyakarta paling mudah melalui Pabrik Gula Gondang, Klaten. Dari Deles Indah cukup melalui jalan yang sudah di-cor ke arah Timur, atau Desa Tegalmulyo. Jika belum tahu, dapat menuju Basecamp Sapuangin Merapi, dukuh Pajegan, Tegalmulyo untuk minta dipandu menuju Gir Pasang.
Dari basecamp Sapuangin kemudian menuju dukuh Ringin sekitar 500 meter untuk parkir kendaraan. Kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki meniti tangga berkelok dan naik turun sejauh 1 kilometer sambil menikmati panorama dan kesegaran udara pegunungan. Saat pagi atau sore hari dapat menjumpai etos kerja warga yakni yang membawa rumput seberat 25-40 Kg di atas kepala menyusuri anak tangga.

Mencari rumput merupakan kegiatan harian warga, dari usia muda sampai tua usia 70-an tahun. Saya menjadi teringat sebuah teori dari Charles Darwin, ‘The Survival of The Fittest’, hanya mereka yang mampu beradaptasi yang dapat hidup. Warga Gir Pasang dapat bertahan hidup turun-temurun mempertahankan kearifan lokalnya dari godaan zaman. Wallaahu’alam.


Rubrik PARIWISATA koran Kedaulatan Rakyat, tanggal 26 Desember 2015

Kamis, 19 November 2015

Mengelola Kawasan Khas Merapi



5 tahun yang lalu (26 Oktober – 6 Nopember 2010) erupsi Merapi berlangsung, membawa korban jiwa, harta benda dan ekosistem yang tidak sedikit. Luncuran awan panas (pyroclastic flow) telah merusak dan memusnahkan sebagian hutan di kawasan (Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Sebagai salah satu gunung berapi yang aktif, kawasan TNGM merupakan daerah rawan bencana.

Demikian pula dengan ekosistem Merapi mempunyai ciri khas, seperti perilaku letusannya, tipikal kerusakan yang ditimbulkan, serta proses ’biological recovery’-nya. Sebenarnya tanpa restorasi, Gunung Merapi biasanya akan recovery (pulih) sendiri. Evaluasi selama 5 tahun pengelolaan paska erupsi, pengelolaan Merapi masih terjebak pada tindakan pilihan antara restorasi dan rehabilitasi, tanpa mempertimbangkan karakteristik, elemen, struktur, dan fungsi Merapi (Danarto, 2014)

 
Opini Koran 'Kedaulatan Rakyat' tanggal 2 November 2015

Untuk kasus Merapi juga dapat dilakukan re-vegetasi, yakni penanaman pohon sebagai upaya percepatan penutupan lahan untuk perbaikan fungsi bio-fisio-ekologis. Strategi vegetasi ini dikembangkan berbasis permasalahan faktual di lapangan. Tujuan utama re-vegetasi adalah untuk konservasi dan daerah tangkapan air. 

Merapi juga memiliki status tapak yang tergolong sangat khas. Untuk itu perlu stratifikasi tapak yang jelas, seperti sebelah kanan dan kiri sejajar dengan aliran lahar/lava; dan pada bagian lain sejajar kontur (Danarto, 2014). Demikian pula dengan setiap spesies mempunyai kemampuan berbeda, karena individu setiap spesies selalu bersifat unik. 

Contoh nyata adalah pada kawasan terdampak erupsi tingkat berat seperti Desa Glagaharjo, Sleman, ternyata tumbuhan yang paling cepat pulih (recovery) adalah pisang. 4 hari setelah terdampak awan panas, muncul tunas baru dari tumbuhan pisang (Danarto, 2014).  Padahal tumbuhan lain tinggal batang utamanya saja, bahkan ada yang mati. 

Jenis lainnya adalah rumput kalanjana dan bambu apus. Kurang dari satu tahun sebagian besar kawasan lereng Selatan sudah rimbun dengan jenis Akasia dekuren/Sogo (Acacia decurens). Kawasan ini sebelumnya terdampak parah, tidak tersisa satu jenis pepohonan. Fenomena Akasia dekuren menimbulkan kajian ilmiah yang menarik di kalangan ilmuwan dan konservasionis, karena jenis ini bukan termasuk tumbuhan asli dari Gunung Merapi.
 
Dalam segi Ilmu Budaya, orang Jawa yang tinggal di lereng Gunung Merapi agaknya tidak bisa mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka dengan bahasa teknis yang lugas seperti istilah fertilitas tanah kaitannya dengan abu vulkanik letusan Gunung Merapi (Purwadi, 2014). Akan tetapi secara masuk akal mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan fertilitas itu, yang disediakan dari mitos dan ritual adat.

Kearifan lokal masyarakat Merapi dipengaruhi oleh nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang. Pewarisan nilai seni budaya tersebut berlangsung secara turun temurun (Purwadi, 2014). Masyarakat Merapi juga termasuk masyarakat tangguh. Paska erupsi, pemukiman cepat tumbuh kembali, masyarakat kembali antusias membangun dan mengembangkan desa. 

Pengetahuan masyarakat pada mitigasi bencana alam semakin meningkat. Beberapa desa sudah terbentuk Sekolah Siaga Bencana (SSB). Pelajar tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) hingga SMA dilatih mitigasi bencana. Bahkan sekolah di luar Merapi juga menyempatkan untuk belajar SSB. Akhirnya wisata yang berkembang juga wisata berbasis mitigasi bencana alam. 

Wisata alam yang terkenal adalah Touring Jalur Lava Merapi menggunakan Jeep. Menyusul kemudian wisata pendakian. Alhasil Balai TNGM juga meningkatkan kemampuan dalam bidang SAR (Search And Rescue) bagi petugasnya dan masyarakat. Untuk bidang SAR sudah terbentuk 2 kelompok SAR yang sudah dapat diandalkan dan menjadi mitra penting TNGM, yakni SAR Barameru dari Desa Lencoh, Selo, Boyolali; dan SAR 12 dari Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten.

Erupsi Merapi tahun 2010 membawa pelajaran yang sangat berharga. Ekosistem Merapi ternyata jauh lebih indah dan kompleks. Jika Balai TNGM selaku pengelola kawasan TNGM mampu menghilangkan hambatan dan menyediakan lingkungan yang sesuai, potensi untuk berkembang menjadi luar biasa. Wallahu’alam.

TNGM Menuju TN Berbasis Mitigasi Bencana Alam



Saat ini tepat 5 tahun erupsi besar Gunung Merapi (26 Oktober – 6 Nopember 2010) yang membawa korban jiwa, harta benda dan ekosistem yang tidak sedikit. Luncuran awan panas (pyroclastic flow) telah merusak dan memusnahkan sebagian hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Bahkan erupsi tersebut oleh Presiden SBY ditetapkan sebagai Bencana Nasional.
 
Sebagai salah satu gunung berapi yang aktif, kawasan Gunung Merapi merupakan daerah rawan bencana. Bencana alam erupsi Merapi tahun 2010 menjadikan pelajaran berharga bagi pengelolaan Taman Nasional (TN)  yang berbasis pada mitigasi bencana alam (pengurangan resiko bencana alam). Pengelolaan TN berbasis pada mitigasi bencana adalah model pengelolaan yang disesuaikan dengan kerawanan (hazard), kerentanan (vulnerability), dan komponen yang beresiko (elemen at risk) terhadap kepunahan.

Spesies (makhluk hidup) yang paling rentan terhadap kepunahan meliputi organisme besar; makanan; spesies populasi ukuran kecil; spesies yang telah berevolusi dalam isolasi; spesies dengan penyebaran miskin; migrasi spesies; dan spesies bersarang dalam koloni. Beberapa faktor yang mendorong meningkatnya kepunahan adalah kerusakan habitat; spesies asing/pendatang (invasive alien species); eksploitasi berlebihan dan perburuan; fragmentasi habitat; dan bencana alam.


Opini TribunJogja tanggal 30 Oktober 2015


Faktor penyebab kepunahan keanekaragaman hayati sendiri berkaitan erat dengan teori biogeografi pulau. Teori ini menjelaskan bahwa luas area pulau akan menentukan jumlah spesies yang menghuninya. Saat luas habitat alam suatu pulau berkurang akibat bencana, maka pulau tersebut hanya mampu mendukung spesies sebanyak yang hidup pada pulau yang lebih kecil ukurannya (Supriatna, 2008).

Teori biogeografi pulau dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena kepunahan spesies yang terdapat di kawasan konservasi, seperti TN. Kawasan TN dianggap sebagai suatu pulau yang dikelilingi oleh habitat yang rusak. Ketika pulau itu rusak akibat tingginya tekanan dari sekelilingnya, maka spesies yang hidup di pulau tersebut akan musnah.

Pemodelan yang dilakukan Mac Arthur dan Wilson (1967) menyebutkan bahwa apabila 50% dari luasan kawasan rusak, maka 10% spesies yang ada didalamnya punah (Primack, 1993). Hasil Rapid Damage Assessment dengan citra satelit yang dilakukan oleh Balai TNGM menunjukkan 5.263,06 Ha atau 82,10% total kawasan rusak.

Alhasil selama 5 tahun pengelolaan TNGM lebih memfokuskan pada kegiatan restorasi ekosistem (pemulihan ekosistem). Selain itu juga kegiatan monitoring kembali potensi tumbuhan dan satwa liar; serta sumber/mata air. Kegiatan restorasi juga meliputi kegiatan penanaman dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNGM. 

Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya dilaksanakan internal Balai TNGM, tetapi juga kerjasama dengan stake holder seperti Fakultas Kehutanan UGM, BPPTKG, SAR, JICA, LSM Kanopi, Kutilang, media massa, dan lain sebagainya. Bahkan satu tahun ini Balai TNGM juga melakukan kegiatan mitigasi bencana seperti kecelakaan pendakian dan pengendalian kebakaran hutan.

Operasi khusus SAR (Search And Rescue) pendaki Ery Yunanto pada bulan Mei 2015 dan kebakaran di wilayah Magelang selama musim kemarau ini menjadikan pelajaran berharga bagi Balai TNGM. Paska kejadian tersebut Balai TNGM melakukan peningkatan kemampuan SAR petugas TNGM terutama yang berada di Resort bersama masyarakat. 

Balai TNGM tidak dapat bekerja tanpa dukungan dan peran serta masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat sekitar TNGM dilibatkan dalam pengelolaan. Untuk bidang SAR sudah terbentuk 2 kelompok SAR yang sudah dapat diandalkan, yakni SAR Barameru dari Desa Lencoh, Selo, Boyolali; dan SAR 12 dari Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten.

Demikian pula dengan bidang pemberdayaan masyarakat, sudah terbentuk kelompok tani hutan di hampir semua desa sekitar kawasan TNGM. Kelompok tani ini selalu dilibatkan dalam kegiatan restorasi kawasan akibat erupsi, serta kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat. 

Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan mengelola kawasan rawan bencana Balai TNGM sudah menyusun visi untuk rencana strategis tahun 2015 – 2019, yakni: Menjadi Taman Nasional Yang Mantap Dalam Mengelola Ekosistem Volkano Yang Dinamis Berbasis Partisipasi Para Pihak.” Semoga pembelajaran selama 5 tahun dapat memudahkan dalam mencapai visi tersebut. Allahu'alam.