Selasa, 03 Januari 2017

1 Januari 1925, Hari Lahirnya Jong Islamieten Bond (JIB), Organisasi Pemuda Islam Pertama

Mayoritas umat Islam, terutama generasi mudanya, belum tahu kalau tanggal 1 Januari adalah hari lahir dari Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi pemuda Islam pertama tingkat nasional. Tepatnya lahir pada 1 Januari 1925. Dalam buku Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito yang ditulis oleh S.U. Bajasut dan Lukman Hakim dibahas dengan menarik tentang lahirnya JIB.

Kelahiran JIB dilatarbelakangi dari aktivis Jong Java (organisasi kepemudaan lintas agama) dari Islam seperti Kasman Singodimejo, Gus Muso (Ki Musa Al-Machfoed) dan Suhodo yang berkeyakinan ada kerenggangan pada oganisasi pemuda pelajar. Hal ini dikarenakan aktivis organisasi pemuda yang semuanya pelajar MULO dan AMS yang beragama Islam tidak memperoleh pelajaran agama Islam. Mereka juga tidak punya banyak waktu untuk belajar di madrasah atau sekolah agama. Di MULO dan AMS kebanyakan guru mereka yang orang Belanda justru acap kali melontarkan kata-kata sinis terhadap umat dan ajaran Islam.

Ketiga aktivis Jong Java tersebut berkeyakinan kerenggangan diantar organisasi pemuda pelajar dapat diperbaiki melalui ajaran Islam. Mengapa Islam? Karena Islam adalah agama yang dianut oleh rakyat di seluruh Nusantara.

Ketua Hoofd-Bestuur Jong Java Raden Syamsuridjal, sependapat dengan pandangan Kasman dkk. Maka pada Kongres ke-7 Jong Java, 27-31 Desember 1924, Syamsuridjal mengusulkan kepada Kongres supaya Islam dijadikan pelajaran wajib dalam Jong Java. Ada 2 pertimbangan, yakni Pertama, sebagai calon pemimpin masyarakat, para anggota Jong Java hendaklah memahami masyarakat yang akan mereka pimpin dengan mengenal sikap, kecenderungan, dan keyakinan masyarakat itu, serta dengan bergaul dengan mereka. Sikap ini hanya dapat dikembangkan apabila mereka lebih pula mengenal agama yang dianut oleh sebagian masyarakat itu, yaitu Islam.

Syamsuridjal juga berpendapat bahwa usul itu wajar saja dan dapat dipertanggungjawabkan karena pendeta-pendeta Katolik dan Protestan telah juga mengadakan kursus pelajaran agama mereka untuk anggota-anggota peminat dari Jong Java.

Usul yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan itu ternyata mendapat tantangan besar dari peserta Kongres ke-7 Jong Java. Dalam dua kali voting, pendapat yang pro dan kontra sama kuat. Untuk itu keputusan akhir diserahkan sepenuhnya kepada Ketua Hoofd-Bestuur.

Sebagai pengusul agar Islam dijadikan pelajaran wajib dalam Jong Java, Syamsuridjal merasa tidak etis jika dia memenangkan usulnya sendiri. Oleh karena itu, Syamsuridjal menyatakan usulnya tidak diterima oleh Kongres. Bersamaan dengan itu, Syamsuridjal meletakkan jabatan sebagai Ketua Hoofd-Bestuur Jong Java.

Kecewa karena usul pengajaran agama Islam tidak diterima, menjelang tengah malam para aktivis Islam Jong Java saat berpapasan dengan H. Agus Salim mencurahkan isi hatinya. H. Agus Salim menentramkan hatinya mereka, kemudian muncul gagasan untuk mendirikan organisasi sebagai wadah kegiatan pemuda Islam. Maka lahirlah organisasi pemuda Islam pertama yang bernama Jong Islamieten Bond (disingkat JIB).

Mohamad Roem menyebut penolakan Kongres Jong Java terhadap usul Syamsuridjal sebagai blessing in disguise, karena apabila usul itu diterima, kemungkinan organisasi pemuda pelajar Islam tidak akan pernah muncul.

Bersamaan dengan lahirnya JIB juga beredar brosur atau sirkuler yang memuat rumusan: “Tak seorang pun yang akan mungkin bekerja dengan sepenuh hati untuk meningkatkan taraf rakyat bila ia tidak mempunyua respek, apalagi simpat kepada agama rakyat ini ... agama yang merupakan faktor paling penting dalam semangat serta sifat bangsa kita.”
Brosur juga berisi: “Banyak pandangan palsu dan salah tentang Islam ... dari sekolah, buku teks, dan buku-buku perpustakaan serta dari kawan pelindung dan penasihat yang “bermurah hati”, dengan akibat bahwa kedudukan Islam yang semula tinggi di daerah ini digerogoti.”

Akhirnya tanggal 1 Januari 1925 JIB lahir dengan merumuskan tujuannya sebagai berikut:
1.     1. Meningkatkan perkembangan jasmaniah dan rohaniah para anggota dengan cara pendidikan dan aktivitas diri sendiri.
2.      2. Menanam dan menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa persaudaraan di antara golongan-golongan intelektual yang terdiri dari berbagai suku bangsa.
3.      3. Menumbuhkan dan meningkatkan pendekatan antara golongan intelektual dan rakyat.
4.      4. Mempelajari Islam.
5.      5. Menumbuhkan dan mengembangkan simpati terhadap Islam dan penganutnya disamping toleransi positif terhadap pihak-pihak yang berkeyakinan lain.
6
JIB juga mendirikan organisasi kepanduan dengan nama Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Perkataan Nationaal Indonesische (kebangsaan Indonesia) ini merupakan pertama kali digunakan suatu organisasi secara resmi di Indonesia.

Jasa lain JIB untuk perkembangan kaum intelektual muda Muslim ialah diterbitkannya majalah yang diedarkan ke kalangan luar JIB. Majalah yang terbit sejak maret 1925 itu diberi nama An-Noer (Het-Licht) dengan moto:
Mereka ingin memadamkan cahaya agama Allah dengan mulut (ucapan) mereka, tapi Allah tidak mengizinkan kemauan mereka, melainkan lebih mencemerlangkan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (QS. At-Taubah ayat 32).

Walaupun JIB hanya berkiprah 17 tahun, tapi telah berhasil melahirkan para pemimpin bangsa yang punya peran penting lahirnya NKRI, seperti M. Natsir, Mohamad Roem, Prawoto M, dll.

Semoga kisah lahirnya JIB ini dapat mencerahkan organisasi pemuda Islam saat ini, terutama BKPRMI. Periode kepengurusan berikutnya diharapkan BKPRMI di tingkat propinsi (DPW), Kabupaten/Kota (DPD), hingga Kecamatan (DPK) dipegang oleh pemuda usia dibawah 30 tahun. Hal ini juga sesuai dengan UU Ormas tahun 2014 yang menyebutkan tentang syarat kepengurusan organisasi kepemudaan maksimal berusia 30 tahun.

Selain itu publikasi baik berupa buletin, website maupun sosial media juga berperan aktif dalam pengembangan intelektualitas generasi muda. Laa izzatta illa bil Islam, tiada kemuliaan tanpa Islam ..


*) lereng Tenggara Gunung Merapi, 3 Januari 2016 pukul 09.29 WIB untuk website http://jogjakemasjid.com/bkprmi-114/jib-jong-islamieten-bond-organisasi-pemuda-islam-pertama.html DPW BKPRMI DIY

Rabu, 09 November 2016

BUDAYA MERAPI DAN RESTORASI

Tanggal 4 - 7 November 2016 saya memperoleh undangan konferensi tahunan Beijing Forum di ibukota Tiongkok, Beijing. Beijing Forum merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Peking University (universitas terbaik di Tiongkok), untuk memfasilitasi forum akademik internasional yang bertujuan untuk mendorong perkembangan sosial dan harmoni antar peradaban serta meningkatkan kesejahteraan ummat manusia.

Di dalam Beijing Forum tahun ini ada forum yang bernama SCCS (Student Conference on Conservation Science) dan mengusung tema “Developing Sustainable and Practicable Approaches to Conservation for the 21st Century.” Forum ini diharapkan dapat berbagi informasi dan ilmu pengetahuan dalam pengelolaan kawasan konservasi untuk kelangsungan hidup manusia.

Kebetulan abstrak tentang budaya masyarakat merapi yang mendorong restorasi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dapat diseminarkan dalam Beijing Forum ini. Apalagi saat ini sudah memasuki tahun ke-6 setelah erupsi Merapi tahun 2010 yang membawa dampak kerusakan kawasan TNGM.
Opini SKH Kedaulatan Rakyat, tanggal 3 November 2016

Erupsi dan Restorasi Merapi
Erupsi tahun 2010 (Oktober – Nopember) melanda sebagian besar kawasan TNGM. Kerugian yang diakibatkan bencana alam erupsi Gunung Merapi sangat besar. Erupsi Gunung Merapi secara periodik membawa konsekuensi perubahan ekosistem secara dinamis. Perubahan ekosistem ini mencakup komponen abiotik, biotik dan sosial budaya.
Perubahan ekosistem yang disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya vegetasi perlu direstorasi dengan melakukan penanaman jenis-jenis vegetasi asli yang pernah ada dalam ekosistem tersebut. Sebenarnya secara alami, ekosistem yang terganggu akan dapat memulihkan dirinya sendiri melalui proses suksesi alam, namun mengingat kerusakan ekosistem hutan di TNGM akibat erupsi maka proses suksesinya akan memerlukan waktu yang sangat lama.
Sementara itu, pemulihan ekosistem perlu segera dilakukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi hutan yang hilang seperti fungsi habitat satwa, fungsi lindung hidrologi dan fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Untuk itu diperlukan campur tangan manusia dalam rangka membantu mempercepat proses recovery (pemulihan) ekosistem yang terdegradasi.
Salah satu cara yang efektif program restorasi TNGM adalah dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat untuk terlibat aktif. Diyakini bahwa kegiatan-kegiatan skala kecil berbasis budaya lokal yang dilakukan oleh masyarakat dapat memberikan dampat positif yang lebih dahsyat dibandingkan mega proyek berteknologi tinggi yang mengandung resiko ekonomi-sosial-politik dan lingkungan yang tidak kecil.
Kearifan adalah seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat yang terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis (Habibudin, 2006). Nilai kearifan dan budaya yang dipegang erat masyarakat Merapi sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa dari Kraton Mataram dan Yogyakarta.
Masyarakat masih memegang kepercayaan bahwa antara Gunung Merapi, Kraton dan Pantai Selatan saling terhubung erat satu sama lain. Mereka meyakini gunung, sungai, dan pohon bukanlah ‘benda mati’ sehingga manusia wajib menjaga kelestariannya, sejalan dengan prinsip “Hamemayu Hayuning Bawono, Ambrasta dur Hangkara dalam pelestarian alam yang diaplikasikan dalam beberapa tradisi budaya. Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Wujud nyata kearifan lokal masyarakat sekitar kawasan TNGM yang terkenal adalah upacara Labuhan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat di dusun Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan Sleman (Merapi lereng Selatan) serta Kecamatan Selo, Boyolali (Merapi lereng Utara) adalah praktik penjagaan kelestarian alam melalui upacara adat. Kedua kawasan tersebut relatif terjaga kelestariannya.
Bahkan masyarakat ikut terlibat aktif dalam kegiatan restorasi yang dilakukan oleh TNGM. Selain itu, mayoritas desa sekitar TNGM juga memiliki budaya ‘merti desa atau merti bumi’, yakni ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME atas nikmat rezeki berupa alam Merapi yang memberikan kehidupan. Merti bumi di Desa Tunggularum, Kecamatan Turi, Sleman contohnya, saat merti bumi juga dilakukan kegiatan penanaman.
Demikian pula dengan di Deles, Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten juga ada kegiatan budaya ‘wayang kulit’ yang dilaksanakan di dalam hutan ‘Saluman’ saat malam hari. Paginya dilakukan penanaman di daerah ‘gundul’ akibat terdampak erupsi. Dengan falsafah Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara berarti sistem pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal juga berorientasi pada nilai ekonomi, namun tanpa mengabaikan nilai ekologinya yang sangat besar artinya bagi nilai konservasi dan pelestarian.

Dengan falsafah tersebut masyarakat Merapi memandang bahwa lingkungan alam sekitar sebagai bagian integral dari kebudayaan, mereka mempunyai kepercayaan penuh bahwa lingkungan alam sekitar adalah penyedia sumber penghidupan bagi mereka, oleh karena itu harus dijaga, dimanfaatkan dan dikelola secara arif. Falsafah masyarakat Merapi ini sangat mendukung program restorasi atau pemulihan ekosistem di kawasan TNGM dan sekitarnya.

@Tangerang, 1 November 2016 pukul 20.30 WIB

Selasa, 08 November 2016

FIGHT CLIMATE CHANGE

Climate change issues has undergone a transformation of global issues into the national strategic issues, and move on to the issue of the regional level. All areas are already feeling the impact of climate change, the rise in temperature and drought. If this condition is not overcomed along with the concept of sustainable development in Indonesia can be certained to fail.

Failed because sustainability indicators not achieved, such as the increasing number, frequency and widespread disaster in Indonesia (Sudibyakto, 2014). To reduce the impact of climate change, the Directorate General of Climate Change Control, Ministry of Forestry of Indonesia together the Association of Experts on Climate Change and Forestry (APIK) Indonesia seeks to synergize the role of academics, environmental practitioners, and local governments in a real work plan.

APIK-Indonesia is a forum set up in 2014 to establish communication and synergy between academics, researchers and practitioners climate change and the environment in Indonesia. The role of APIK Indonesia is thinker and actor that can synergize with all stakeholders in boosting the mitigation efforts, as well as information liaison to the research results and the availability of expertise associated with climate change and forest management (Masripatin, 2014).

At the local level such as Java which has problems of population explosion and the decrease in support of the environment, being very vulnerable to the impacts of climate change. This realization led to the mitigation of climate change is an important thing to be mainstreamed in the development plan (Karuniasa, 2014). The number of environmental issues that affect their social, economic and ecological provide opportunities for APIK to do more to create a breakthrough in contributing to the solution options.

Role of Community Forests

Population density and dynamics of economic growth has eroded the natural resources on the island of Java up to the current conditions, led to the development of the threat to life and sustainable development. One effective way to maintain the carrying capacity of the natural environment in the midst of the insistence of population and climate change is to take benefit of the large number of population to do something to repair and improve environmental quality.

It is believed that small-scale activities carried out by a large number of community can give positive impact more powerful than high-tech big projects which bring the risk of economic-social-political and  environments. Community-based activities can also have bring a direct impact on improving welfare.

Delay Cutting

Very interesting when NGOs Arupa did in study of climate change on society Terong village, Dlingo subdistrict, Bantul regency, Yogyakarta Province that they have the culture to harvest and sell trees were not yet ready to harvest, because it demands urgent needs. The impact of "Tebang Butuh' (Cutting/Harvesting Needed) these are the decline in value of the timber, the threat of forest conservation, and climate change in the long term.

Therefore, the village formed a cooperative 'Tunda Tebang' (Delay Cutting) to address these problems (Arupa, 2014). The name of cooperative is KTT Jasema. Members can borrow with a maximum loan of IDR 5 million. Uniquely, members can ensure a tree as collateral for loans. Trees that can be used as collateral is a tree with a circumference of 60 cm and some types of trees found at the rules of KTT Jasema (Arupa, 2014).

Expected climate change mitigation community - based models of micro-finance or cooperative institutions  'Delay Cutting' can be widespread, so it can play an active role in reducing the impact of climate change

*) Arif Sulfiantono (secretary of APIK-Indonesia chapter Yogyakarta Province)
@Peking University, November 8, 2016, 22.00 pm

Sabtu, 15 Oktober 2016

URGENSI SYURO

Aktivis dakwah pasti akrab dengan istilah syuro, rapat, briefing, meeting, dll. Syuro yang sering kita sebut dengan “musyawarah” berasal dari kata sya-wa-ra dengan makna dasar “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Secara lebih mudah, arti dari syuro adalah: memilih mana baik seperti madu, dan meninggalkan yang jelek.
Syuro adalah proses yang dilakukan oleh sekumpulan individu dalam suatu kelompok/organisasi untuk menelaah kemashlahatan dan kemudharatan dari suatu hal, yang nantinya hasil mufakat tersebut  akan dijadikan sikap kolektif kelompok/organisasi.

Syuro berkaitan erat dengan organisasi.  Untuk bisa menjalankan visi  dan misi, para aktivisnya haruslah bergerak bersama. Menyatukan tekad, merumuskan tujuan dan menyusun langkah-langkah  yang akan diambil.
Hadirnya personil syuro menjadi sangat penting dalam pengambilan keputusan bahkan keberlangsungan organisasi. Bagi organisasi dakwah, syuro adalah suatu alat untuk membentuk ta’liful qulub (ikatan hati) para pengurus/aktivisnya.

Sayangnya fenomena sekarang banyak aktivis enggan untuk hadir dalam syuro. Berbagai macam alasan dihadirkan, seperti “ada rapat RT”, “hujan”, “ngantar anak ke toko”, “keluar kota”, bahkan sampai alasan yang paling menyebalkan: “lupa” atau “ketiduran”. Pernah ada murid ngaji yang mengemukakan dua alasan terakhir tersebut akhirnya dikenai sanksi iqab/hukuman, terutama istighfar sebanyak-banyaknya.

Tentu suatu saat ada halangan tidak hadir syuro, tapi lebih bagus jika alasannya diterima secara syar’i. Lebih elegan lagi jika tidak hadirnya syuro diimbangi dengan komitmen untuk menggantinya dengan yang sama ukurannya atau bahkan lebih baik, seperti:
“Saya akan bantu pendanaan kegiatan ini’
“Undangan atau publikasi wilayan kecamatan Kraton biar saya saja yang menyampaikannya.”
“Beri saya 5 proposal untuk saya carikan sponsor kegiatan”

Terus terang saya rindu dengan suasana keberlangsungan organiasi dakwah zaman dulu, seperti tahun-tahun awal FSRMY. Tiap biro ada syuro rutin per pekan. Biro PPRM di masjid Al Huda Harnas, Biro Inkov di masjid Baiturahman, biro Dakwah di masjid Jogokaryan. Tiap 2 pekan sekali syuro sambil kajian FSRMY. Bahkan jika ada kegiatan akbar seperti Ramadhan Malioboro hampir tiap hari syuro. Semua dilakukan dengan kesadaran dan penuh semangat.

kenapa syuro sambil makan lebih menarik??


Sekarang jarang saya temukan di organisasi dakwah. Malah saya temukan 2 bulan lalu saat rapat koordinasi kegiatan Merapi Birdwatching Competition 2016 bersama teman-teman  Paguyuban Pengamat Burung Jogjakarta (PPBJ). Hampir tiap malam koordinasi di taman kuliner condong catur. Semua semangat untuk hadir, bahkan ada yang rumahnya Brosot, Kulon Progo juga hadir.

Ya, menghadiri syuro adalah salah satu bentuk komitmen dan konsistensi dari para kader dakwah untuk keberlangsungan.

Media sosial memang sarana bagus untuk syuro, tapi kekuatannya dan semangat dakwahnya beda jauh dengan bertemu dan bersyuro langsung. Usul kegiatan dakwah di media sosial sangat mudah, tapi menjalaninya melalui syuro dan aksi riilnya membutuhkan komitmen kuat. Mungkin bisa salah satu menjadi ukuran keimanan.


Jika ada meme di medsos yang berbunyi, “jangan bicara Islam tinggi-tinggi, kalau subuhmu belum di masjid”; maka saya akan buat meme, “Jangan bicara Islam tinggi-tinggi, kalau jarang hadir syuro.”

Jumat, 16 September 2016

KOPI DAN KONSERVASI

Tanggal 1 – 10 September 2016 kemarin di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat, badan internasional konservasi alam (International Union for the Conservation of Nature/IUCN) menyelenggarakan kongres konservasi dunia (World Conservation Congress/WCC). Kegiatan 4 tahunan sekali yang dimulai sejak tahun 1948 ini bertujuan untuk menyusun inisiatif-inisiatif konservasi dan pembangunan berkelanjutan di masa mendatang.

WCC tahun ini mengusung tema ‘Planet at a crossroad’. Tema tersebut merefleksikan perdebatan tentang pembangunan berkelanjutan di tengah pesatnya pertumbuhan penduduk global. Kongres ini diharapkan dapat meningkatkan kerjasama pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam untuk kebaikan manusia, serta menjamin keberlangsungan pembangunan sosial dan ekonomi.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 16 September 2016

Disaat kongres IUCN itulah, penggemar kopi dan pemerhati konservasi membentuk grup Whatsapp guna berbagi informasi dan jalin kerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa meninggalkan nilai konservasi. Ada beberapa cerita menarik dari anggota grup tentang peran kopi yang menunjang konservasi.
Selama ini perkebunan kopi identik dengan “suka cahaya sinar matahari” (kebun kopi monokultur atau sun coffee), yakni pembangunan kebun kopi dengan membuka hutan alam (kawasan konservasi dan hutan lindung). Hasil yang diperoleh adalah serangan hama dan penyakit meningkat, yang semuanya berakibat terhadap turunnya nilai jual kopi.

Sedikit diketahui bahwa tanaman kopi aslinya tumbuh di bawah tajuk pohon dalam hutan tropis, tidak di kawasan terbuka bergelimang cahaya matahari. Petani kopi skala kecil sebenarnya telah mengambil manfaat dari sistem kebun kopi bernaungan jenis-jenis pohon (shaded grown coffee).

Tanaman kopi ini mempunyai banyak keunggulan, seperti sedikit perawatan, tutupan tajuk kebun mirip hutan yang meningkatkan keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa liar; berperan sebagai tempat pengungsian satwa liar yang hidup di hutan alam, sepert satwa mamalia dan  burung, melindungi keberadaan jenis musang untuk penyebar biji kopi dan menghasilkan jenis kopi spesial yang  termahal harganya di dunia; tanaman kopi dapat berdampingan dengan pohon yang bermanfaat ekonomi, sehingga meningkatkan keragaman sumber pendapatan bagi petani.

Kopi Sulingan Menoreh
Belajar dari konsep shaded grown coffee diatas dan bird-friendly coffee dari Amerika Selatan, Imam Taufiqurrahman (Direktur Yasan Kutilang yang bergerak pada konservasi burung) mendirikan Kopi Sulingan, produk kopi robusta ramah lingkungan yang berasal dari Desa Jatimulyo Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo. Biji kopi diperoleh dari tanaman kopi yang tumbuh liar di bawah teduhan hutan perkebunan rakyat (shaded grown).
Melalui sistem tersebut masyarakat dapat memperoleh keuntungan dari biji kopi tanpa harus merusak habitat burung di hutan. Di sisi lain, diharapkan timbul kesadaran masyarakat untuk melindungi burung yang menjadi branding produk kopi di kawasan ini.Desa Jatimulyo merupakan daerah yang kaya akan keanekaragaman burung.
Terdapat sekitar 80 jenis burung di kawasan ini, beberapa diantaranya merupakan jenis yang cukup sulit ditemukan di daerah lain, seperti Sikatan Cacing (Cyornis banyumas) dan Serak Bukit (Pholidus badius). Keberadaan burung-burung ini dilindungi oleh Peraturan Desa (Perdes) yang melarang kegiatan perburuan di seluruh kawasan.
Ide tentang Kopi Sulingan sendiri muncul ketika dalam sebuah forum yang dihadiri oleh Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ) serta Kepala Desa Jatimulyo beberapa tahun yang lalu, berfokus pada tentang tingginya potensi desa tersebut. Dari diskusi tersebut, tercetuslah ide untuk memberdayakan potensi tanaman kopi yang kurang termanfaatkan. Kata “sulingan” sendiri berasal dari nama lokal burung Sikatan Cacing, sejenis burung pemakan serangga yang cantik dan bersuara merdu.
Kopi Merapi
Selain dikenal dengan gunung berapi paling aktif, Merapi ternyata juga mempunyai kopi yang khas rasanya. Di Turgo, Kecamatan Pakem, Sleman, yang berketinggian 900 m dpl menghasilkan produk kopi robusta dan arabika. Bapak Musimin warga Turgo dibantu oleh Sulistyono (konservasionis) memproduksi kopi Turgo yang berasal dari lahan pekarangan warga.
Bapak Musimin dan Sulistyono membentuk kelompok tani hutan yang bergerak membina warga Turgo dalam memelihara tanaman kopi hingga proses panen. Pemeliharaan kopi tetap dibiarkan di bawah naungan pohon di lahan pekarangan warga. Produksi kopi juga dilakukan bersamaan dengan usaha konservasi tanaman asli Merapi, seperti Anggrek jenis ‘Vanda tricolor’ yang menjadi tanaman khas Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Secara kuantitas memang tidak banyak yang dihasilkan, tapi mempunyai rasa khas. Sangat sering dukuh Turgo ini dikunjungi mahasiswa, peneliti dari dalam dan luar negeri untuk belajar konservasi Merapi pada masyarakat Turgo.
Kopdar grup whatsapp Kopi & Konservasi

Selain Turgo, juga ada kopi Deles, Kecamatan Kemalang, Klaten. Kopi Deles (robusta dan arabika) yang berada di ketinggian 1200 m dpl oleh Bapak Sukiman (aktivis radio komunitas Lintas Merapi) diberi merek Kopi Petruk. Kopi ini juga berasal dari tanaman warga sisi Tenggara Merapi di lahan pekarangannya. 
Warga Deles dan sekitarnya juga turut akif melestarikan satwa liar burung dan mamalia jenis Monyer ekor panjang (Maccaca fascicularis). Pemburu yang ditangkap warga akan dijatuhi hukuman sosial, seperti makan ulat bulu yang ada di lahan/kebun warga. Keterlibatan petani kopi dalam konservasi sudah sesuai dengan hasil kongres IUCN tahun 2016, yakni mencapai tata kelola lingkungan yang lebih baik, dengan melibatkan semua komponen masyarakat untuk berbagi secara adil tanggung jawab dan  manfaat dari konservasi lingkungan

Rabu, 07 September 2016

PARA SHOHIBUL QURBAN

Pagi hari setelah Subuh, seorang teman cerita kalau tahun 2016 ini pesantrennya baru dapat 5 sapi untuk Idul Qurban. Sepertiganya tahun lalu, 2015. Padahal daerah binaan dakwahnya semakin meluas, Idul Qurban tinggal 4 hari lagi. Dalam perjalanan menuju kantor di lereng Merapi saya teringat kisah tentang Shohibul Qurban dari teman Ustadz.

Dia pernah mengunjungi sebuah dusun di daerah Dieng, Jawa Tengah. Mayoritas warga dusun adalah petani sayur. Yang luar biasa adalah peran serta warga dusun tersebut menjadi Shohibul Qurban. Ada sekitar 90% warga menjadi Shohibul Qurban, padahal tingkat ekonominya kelas menengah ke bawah.

Qurban untuk Merapi di Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu tahun 2015

Bahkan yang kelas menengah mempunyai cara jitu untuk tetap menjadi Shohibul Qurban. Yakni dengan menabung melalui hewan qurban. Caranya tahun ini membeli 2 anak kambing, kemudian tahun berikutnya 1 ekor untuk Idul Qurban, 1 ekor dijual untuk dibelikan 2 anak kambing. Ini berlangsung terus menerus.

Tak heran dusun tersebut tanahnya menjadi subur, hasil panen sayur melimpah. Betapa Allah memenuhi janjinya.

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi …” (QS Al-A’raaf: 96).

Seyogianya seseorang yang mempunyai penghasilan karena bekerja (maisyah) menjadi shohibul qurban. Jika suami-istri dua-duanya bekerja jatah qurbannya menjadi dua. Sedekah qurban adalah bentuk perwujudan dari keimanan kita yang hanya semata-mata untuk-Nya, bukan menuhankan harta.

“dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 20)

Perlu diingat ibadah, sedekah dlsb adalah untuk kita sendiri, bukan untuk Allah. Hakikatnya Allah tidak membutuhkan ibadah atau sedekah manusia. Ibadah itu diperintahkan sebagai kewajiban adalah dalam rangka untuk kemaslahatan manusia itu sendiri secara keseluruhan meliputi kehidupan dunia dan akhirat.

Ibadah manusia tidak sedikit pun akan menambah keagungan Allah. Demikian pula sebaliknya, pembangkangan manusia juga tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan Allah Ta’ala. Allahu’alam.

Kamis, 11 Agustus 2016

KONSERVASI UNTUK MASYARAKAT

Semakin maraknya pembangunan infrastruktur seiring dengan pesatnya pembangunan dan pemekaran wilayah menjadi ancaman utama penurunan integritas nilai-nilai konservasi di Indonesia. Dampaknya adalah pada terfragmentasinya habitat alami dari tumbuhan dan satwa liar; peningkatan eksploitasi sumber daya alam melalui aktivitas pertambangan dan penebangan hutan; serta penurunan kualitas habitat alami akibat introduksi tanaman maupun satwa invasif; serta dampak dari pembuangan aktivitas pertambangan di sekitar kawasan.
Pelaksanaan kegiatan konservasi dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, haruslah menjadi komitmen  dan tanggung jawab seluruh masyarakat secara luas. Kebijakan nasional maupun internasional tidak akan berarti tanpa dukungan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, tema Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) tahun 2016 ini adalah ‘Konservasi untuk Masyarakat’. Peringatan HKAN berlangsung pada 10 Agustus 2016 yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan dipusatkan di Taman Nasional Bali Barat, Bali.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 10 Agustus 2016 halaman 12
HKAN ditetapkan oleh Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 Agustus 2009 melalui Keppres No. 22 tahun 2009. HKAN tahun ini bertempat di TN Bali Barat, karena keberhasilan masyarakat sekitar kawasan konservasi dalam menangkarkan satwa dilindungi yang menjadi ikon Bali, yakni Jalak Bali (Leucopsar rothchildi).
Menurut Dr. Tachrir Fathoni (Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK), KLHK akan memberikan burung Jalak Bali ke masyarakat untuk ditangkarkan, sebagai bentuk apresiasi masyarakat yang peduli dengan konservasi. Langkah ini diambil untuk mengajak masyarakat melakukan konservasi terhadap satwa liar dilindungi sekaligus membuka peluang sumber pendapatan lainnya.
Saat ini hanya ada 64 ekor jalak Bali di habitat aslinya di TN Bali Barat. Namun demikian sudah ada 3700 ekor hasil penangkaran yang sukses dilakukan oleh masyarakat (Ditjen KSDAE KLHK, 2016).
Keberhasilan masyarakat penyangga kawasan konservasi TN Bali Barat dalam menangkarkan Jalak Bali menambah daftar keberhasilan masyarakat dalam mengelola kawasan lindung. Warga Dayak Wehea di Kalimantan Timur berhasil mengelola kawasan hutan adat seluas 38.000 hektar. Kawasan lindung Wehea yang terletak di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur ini masih terjaga keasliannya ditengah kepungan perkebunan sawit, HPH dan pertambangan.
"Kelompok Pelindung Hutan" yang dibentuk oleh warga Dayak Wehea bertugas mengamankan kawasan hutan dari berbagai kerusakan baik dari akfitas illegal logging maupun bencana kebakaran hutan dan lahan. Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelestarian itu ternyata mendapat sorotan internasional, terbukti merebut juara III (tiga) dalam penghargaan "Schooner Prize Award 2008" di Vancouver, Kanada.
Bahkan Kepala Adat Dayak Wehea ‘Bapak Ledjie’ diajak oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk berbicara tentang keberhasilan mengelola kawasan lindung pada konvensi Perubahan Iklim Dunia di Paris, Perancis, pada Desember tahun 2015. Kawasan konservasi di Indonesia (Taman Nasional, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) sendiri sejak lama telah bekerjasama dengan masyarakat sekitar kawasan dalam menjaga kawasan konservasi.
Kelompok Masyarakat Mitra Polhut (MMP), Masyarakat Peduli Api (MPA) maupun Kelompok Tani, Kelompok Pemanfaatan Air, Kelompok Sadar Wisata Alam merupakan contoh dari sinergitas Pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kawasan konservasi. Contoh lain adalah peran aktif masyarakat Desa Girikerto, Turi, Sleman dalam melestarikan burung sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Dipelopori oleh pemudanya, warga Desa Girikerto sejak tahun 2013 aktif melepasliarkan burung endemik Merapi seperti Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus), Bentet kelabu (Lanius schach), dan Kacamata (Zosterops palpebrosus). Tujuan melepasliarkan kembali ke alam adalah untuk memberi contoh model menjaga ekosistem alam di Merapi.
Bagi anggapan warga Girikerto, burung-burung liar adalah teman dalam berinteraksi dengan hutan Merapi seperti saat mencari rumput, selain sebagai penanda atau peringatan menjelang erupsi Merapi. Kearifan lokal ini berkembang dan dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat.
Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi,kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan, sesuai tema HKAN 2016, Konservasi untuk Masyarakat.

@Patangpuluhan, 8 Agustus 2016 pukul 20.30 WIB