Rabu, 26 April 2017

MENGGAGAS SEKOLAH GUNUNG: Berbasis Konservasi Menopang Mitigasi

Tidak bisa dipungkiri, kita hidup di negara yang tidak lepas dari bencana alam. Kenyataan ini harus kita terima, ketahui dan waspadai dampaknya, terutama potensi korban jiwa. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2017 telah terjadi bencana alam sejumlah 884 kejadian di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bencana alam yang terjadi dalam rentang 3 bulan sudah membawa korban meninggal dunia sebanyak 120 orang dan mengakibatkan 961.440 orang menderita dan mengungsi (data BNPB sampai Maret 2017).

Fakta ini menandakan masyarakat masih minim pengetahuannya dalam mitigasi bencana alam, akibatnya masih ada korban jiwa dan kerugian lainnya. Mitigasi bencana adalah rangkaian upaya mengurangi risiko bencana, yakni melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Belajar dari peristiwa erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang membawa korban jiwa sebanyak 347 jiwa; desa-desa berada pada Area Terdampak Langsung (ATL) erupsi atau pada Kawasan Rawan Bencana (KRB) III berbenah diri.

Mereka sadar bahwa upaya mitigasi bencana jauh lebih baik dibanding tindakan penanggulangan. Pasalnya tindakan penanggulangan seringkali tidak dilaksanakan atau memperhatikan terhadap bencana yang mengakibatkan kepunahan spesies tumbuhan atau satwa liar. Padahal kepunahan satu spesies dapat menyebabkan terganggunya suatu ekosistem. Bahkan akhir-akhir ini bencana yang terjadi merupakan ulah manusia seperti terjadinya perubahan iklim yang berawal dari deforestasi.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 April 2017

Gagasan Desa Balerante, Desa Mitigasi dan Konservasi
Desa Balerante yang berada di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten merupakan salah satu desa yang berada pada ATL dan KRB III. Kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang berada di wilayah administrasi Desa Balerante terkena dampak parah tersapu  awan panas erupsi 2010. Meskipun semua rumah hancur tersapu awan panas, warga Balerante masih bersyukur karena peristiwa tersebut membawa korban jiwa 1 orang, padahal jarak dari Puncak Merapi sekitar 4 Km.

Hal ini tidak lepas dari peran tokoh masyarakat yang sigap turut membantu kelancaran proses evakuasi dengan menyediakan sarana transportasi secara swadaya. Selain itu Pemdes Balerante juga sudah mempunyai Sistem Informasi Desa (SID) yang sangat membantu dalam mitigasi bencana. Dalam SID tidak hanya berisi data monografi desa, tapi juga jumlah sarana transportasi tiap rumah yang dapat digunakan untuk evakuasi.

Data dan informasi dalam SID ini tidak hanya membantu desa dalam memetakan situasi dan pengambilan keputusan pada kondisi normal, tapi juga saat kondisi darurat. Meskipun rumah dan harta benda hilang akibat erupsi, namun hal itu tidak mematahkan semangat warga Balerante untuk bangkit menata hidup kembali. Bermodalkan kekuatan sendiri dan gotong royong, serta ditambah dengan dukungan berbagai pihak, kehidupan social ekonomi warga Balerante mulai tertata kembali.

Semangat serta proses untuk bangkit kembali ini yang menjadikan BNPB menggagas Desa Balerante sebagai Sekolah Gunung, yakni lokasi untuk belajar pengelolaan mitigasi bencana alam. Bahkan atas inisiatif Pemdes Balerante pada tanggal 14 April 2017 mengumpulkan stake holder seperti BPBD, TNGM, LSM, pegiat wisata alam, dan lain-lain untuk menggagas Balerante sebagai Sekolah Gunung yang berbasis mitigasi dan konservasi.

Tujuan gagasan ini adalah untuk mengubah pola pikir pariwisata destruktif menjadi pariwisata hijau, setelah meningkatnya kunjungan wisata di Desa Balerante (Puguh, 2017). Selain itu juga bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam di Balerante secara berkelanjutan. Tentu gagasan ini dilandaskan pada Perpres Nomor 70 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan TNGM.

Kawasan TNGM di Desa Balerante sendiri sebagian besar adalah zona rehabilitasi yang sudah ditanami dengan jenis tumbuhan asli Merapi, dan telah membentuk ekosistem hutan. Area ini diharapkan dapat menjadi benteng atau tembok hijau penahan luncuran awan panas dan sistem peringatan dini alami. Selain itu zona rehabilitasi juga dapat menjadi lokasi penelitian dan pembelajaran tentang suksesi maupun konservasi alam.

Gagasan Sekolah Gunung merupakan salah satu upaya menjadikan kawasan rawan bencana menjadi pusat pembelajaran konservasi yang menopang mitigasi bencana. Apalagi BNPB mencanangkan Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional (HKBN) pada 26 April 2017, yang bertujuan untuk membudayakan latihan secara terpadu, terencana dan berkesinambungan guna meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menuju Indonesia Tangguh Bencana. Allaahu ‘alam.

Patangpuluhan, 24 April 2017 pukul 06.00 WIB

Rabu, 12 April 2017

RIMBAWAN DAN KEARIFAN LOKAL

Melalui Resolusi 67/200 tahun 2012, PBB menatapkan tanggal 21 Maret sebagai International Day of Forest atau Hari Hutan Internasional (HHI). Jauh sebelumnya, Indonesia sudah memiliki hari hutan, yakni Hari Bhakti Rimbawan. Hari hutan Indonesia bertepatan dengan lahirnya Departemen Kehutanan pada tanggal 16 Maret 1983.

Pada tahun 2017 ini Kementerian LHK akan merayakan Hari Bhakti Rimbawan ke-34. Tema yang diangkat adalah “Dengan Semangat Kerja Nyata, Rimbawan Indonesia Bertekad Menjaga Kelestarian Hutan untuk Meningkatkan Pembangunan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan.” Tantangan yang paling nyata rimbawan adalah bagaimana peran dan fungsi kehutanan dapat dioptimalkan kembali. Apalagi Presiden RI sekarang –Ir. JokoWidodo- adalah salah satu rimbawan, lulusan Fakultas Kehutanan UGM.

artikel di OPINI koran Kedaulatan Rakyat tanggal 21 Maret 2017


Kebijakan Nasional 2015 – 2019 seperti rehabilitasi lahan kritis 5,5 juta hektar, pemulihan 15 DAS prioritas dan 15 Danau prioritas, peningkatan populasi tumbuhan dan satwa dilindungi, pengelolaan kawasan konservasi, perhutanan sosial, pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan ciri rekognisi dan sinsitifitas kita untuk senantiasa menjaga fungsi lahan seperti fungsi regulasi sistem penopang kehidupan, fungsi carrier dan produksi serta fungsi informasi agar tetap stabil memenuhi bagi kepentingan manusia (Nurbaya, 2017). Secara nyata, kebijakan dan langkah dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan itu untuk kesiagaan energi, air, pangan dan kesejahteraan masyarakat yang kita percaya bahwa di dalamnya ada peran hutan dan ekosistemnya yang sangat penting.

Salah satu program Nawa Cita Presiden Jokowi adalah membangun Indonesia dari pinggiran. Oleh Kementerian LHK program ini dijabarkan dalam kegiatan mengelola area seluas 12,7 juta hektar bersama masyarakat dalam bentuk hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. Bahkan dalam pengelolaan kawasan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margawasatwa, Hutan Lindung) sudah semakin melibatkan masyarakat setempat.

Pelibatan masyarakat ini didasarkan pada bukti bahwa masyarakat sejatinya lebih mampu dalam menjaga kelestarian hutan. Apalagi masyarakat yang masih memegang kearifan lokal setempat. Di beberapa daerah di Jawa yang kawasan hutannya masih terjaga, masyarakat setempat mempunyai kearifan lokal yang mendukung pelestarian alam.

Masyarakat setempat memiliki pedoman ngengehi anak putu ben komanan’ (Prasetyo, 2012). Maksud dari ungkapan ini adalah ketika memanfaatkan kekayaan alam mereka selalu teringat bahwa isi dan kekayaan alam lingkungannya tersebut tidak hanya untuk generasi mereka saja, tetapi juga untuk generasi anak-cucu mereka.

Mereka memegang teguh prinsip:“Manungsa, alam paringane Gusti. Mila manungsa kedah menfaataken kanthi dipunjagi ingkang sae. Awit kabetahanipun tiyang gesang: toya, siti lan sanesipun,  kawula menawi mboten dipunmekaraken mangkenipun badhe mboten cekap.” Maksudnya, bahwa manusia dan alam adalah ciptaan Tuhan, sehingga manusia harus memanfaatkandanmenjaganyadenganbaik.Kekayaanalamyang dimanfaatkan dan dijaga dengan baik tentu akan dapat mencukupi kebutuhan manusia sampai generasi yang akan datang.

Tetapi apabila tidak dimanfaatkan dengan baik pasti akan merugikan manusia sendiri. Pemanfaatan sumber daya alam dengan berlandaskan kearifan lokal yang sarat dengan pesan-pesan moral ini secara tidak langsung  menjadi mekanisme kultural untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya alam hutan agar tidak berlebihan sehingga bisa merusak keseimbangan ekosistem hutan.

Tradisi tersebut dapat dilihat di Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Desa yang terletak di kawasan karst Pegunungan Menoreh ini masih kental dalam memegang kearifan lokal dalam melestarikan kawasan hutan. Masyarakat masih teguh memegang tanahnya agar tidak dibeli orang luar.

Alhasil masyarakat Jatimulyo dapat menikmati air bersih yang mengalir dari 6 tuk (sumber air) dan kebutuhan hidupnya dari hasil pengelolaan hutan secara lestari. Inilah wujud nyata masyarakat dalam menjaga unsur utama sumber daya alam, yakni toya lan siti atau air dan tanah. Peran Rimbawan sekarang adalah menggali kearifan lokal masyarakat ini untuk diterapkan dalam pengelolaan hutan secara lestari. Selamat Hari Bhakti Rimbawan dan Hari Hutan Internasional!

Patangpuluhan, 17 Maret 2017

Senin, 06 Februari 2017

Desa Wisata Jatimulyo: Jelajah Air Terjun Pegunungan

Rasanya seperti di dalam surga begitu turun ke dalam ‘kedung’ atau kolam yang airnya berasal dari air terjun alami yang muncul dari celah bebatuan karst. Apalagi sekitar kolam adalah hutan dengan berbagai macam pepohonan, menjadikan suasana sejuk. Perpaduan hijaunya pepohonan dan air kolam, serta gemericik suara air terjun menciptakan kesyahduan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Surga kecil ini adalah obyek wisata air terjun ‘Kembang Soka’ yang sering juga disebut dengan air terjun ‘Mbang Soka’. Air terjun ini terletak di Dusun Gunung Kelir, Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, DIY. Menurut cerita masyarakat setempat yang disampaikan oleh pemandu kami -Mas Kelik- yang juga Ketua pengelola obyek wisata Kembang Soka, nama air terjun ini berasal dari salah satu mata air yang diatasnya tumbuh bunga Soka.

Kedung/kolam Kembang Soka dari air terjun yang mengalir

“Ada 6 Tuk (sumber air) di area Kembang Soka ini mas; Tuk Modal, Tuk Jaran, Tuk Miri, Tuk Bangki, Tuk Sepanggal dan Tuk Kembang Soka,” jelas Mas Kelik. Beberapa sumber air ini mengalir membentuk air terjun dengan ketinggian 3 sampai lebih dari 10 meter. Untuk area Kembang Soka sendiri sudah dirintis sejak tahun 2014 menjadi obyek tujuan wisata alam.

Area seluar sekitar 5 hektar ini ditata secara artistik dengan bahan utama berupa bambu petung dan kayu yang diperoleh dari hutan masyarakat setempat. Memang profesi masyarakat sebagian besar adalah petani hutan. Kopi, Kakao, Talas adalah produk dari hutan milik masyarakat.

Pengelola Kembang Soka juga menyediakan pelampung air bagi pengunjung yang ingin bermain di kolam sedalam 1 hingga 2,5 meter ini. Airnya cukup dingin, khas kawasan pegunungan dengan ketinggian 500 – 600 meter di atas permukaan laut (dpl). Begitu selesai bermain air, baik di kolam maupun air terjun pengunjung dapat menyantap makanan yang disajikan di kedai sekitar kolam.

Kami sendiri dijamu oleh Mas Kelik dengan kopi produk asli dari masyarakat Jatimulyo, yakni Kopi Sulingan. Kopi jenis robusta ini termasuk ramah lingkungan, karena biji kopi diperoleh dari tanaman kopi yang tumbuh liar di bawah teduhan hutan masyarakat (shaded grown). Kata “sulingan” sendiri berasal dari nama lokal burung Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), sejenis burung pemakan serangga yang cantik dan bersuara merdu, yang sulit ditemukan di daerah lain.
Desa wisata Jatimulyo merupakan daerah yang kaya akan keanekaragaman burung. Terdapat sekitar 81 jenis burung di kawasan ini (24 persen total jenis burung di DIY), keberadaannya dilindungi oleh Peraturan Desa (Perdes) yang melarang kegiatan perburuan. Jadi disela-sela bunyi gemericik air juga terdengar kicau burung. Bahkan saat siang hari kami mendengan suara burung Elang Ular Bido (Spilornis cheela) sedang terbang soaring mencari makan.

di rubrik PARIWISATA koran Kedaulatan Rakyat tanggal 5 Februari 2017
Selain air terjun Kembang Soka, Desa Jatimulyo juga mempunyai obyek wisata alam Goa Kiskendo, Curug Setawing, Grojogan Sewu, Kedung Pedut, dan Sungai Mudal. Goa Kiskendo merupakan obyek wisata alam yang sudah lama dikelola oleh Pemerintah Daerah. Lainnya dikelola oleh kelompok masyarakat dibawah koordinasi Desa Jatimulyo.
Desa Jatimulyo sendiri ditunjuk menjadi desa wisata oleh pemerintah sejak Juli 2008. Sejak saat itu, agar pengelolaan dapat berjalan lancar, maka dibentuk kelompok pengelola desa wisata yang terdiri dari pengurus inti, masyarakat penyedia homestay, dan sumber daya pemandu. Pada tahun 2015 obyek wisata alam Desa Jatimulyo diresmikan oleh Bupati Kulonprogo, Bapak dr. Hasto Wardoyo. Bahkan pada tahun tersebut memperoleh juara III kategori Desa Wisata terbaik se-Provinsi DIY. 
Untuk menuju Desa wisata Jatimulyo saat ini terbilang lebih mudah, meskipun membutuhkan usaha. Jarak dari kota Jogja sekitar 30 Km. Akses jalan yang mudah dan baik melalui Jalan Godean lurus ke Barat arah Kulonprogo, melewati Sungai Progo, dan naik ke kawasan Pegunungan Menoreh. Cukup banyak papan penunjuk arah menuju obyek wisata alam Jatimulyo.
Wisatawan yang berniat ke obyek wisata ini, sebaiknya mempersiapkan fisik yang cukup prima, karena diperlukan perjalanan kaki yang cukup jauh dan naik turun. Kendaraan roda dua maupun lebih dapat dititipkan pada warga maupun pengelola parkirnya dengan membayar Rp.1000,- sampai Rp. 5000,- saja, sedangkan untuk menikmati obyek wisatanya kita hanya diwajibkan membayar biaya tiket masuk sebesar sekitar Rp 5000,-. Untuk Curug Setawing sendiri malah hanya membayar Rp. 3.000,- sudah termasuk biaya parkir sepeda motor.
Untuk fasilitas permainan di dalam lokasi ada biaya tersendiri. Seperti flying fox di obyek wisata Sungai Mudal dan Kedung Pedhut biayanya Rp. 15.000,-. Untuk sewa hammock dan pelampung sekitar Rp.5.000,- sampai Rp.10.000,-. Bahkan untuk jajan dan ngopi di dalam area obyek wisata alam masih tergolong murah. Kami sekeluarga (4 orang) hanya mengeluarkan uang sekitar Rp.40.000,- sudah dapat menikmati mie rebus telur, kopi, dan tempe mendoan.
Berada di deretan Pegunungan Menoreh dengan panorama indah, Desa Wiasata Jatimulyo memiliki aset yang sangat besar nilainya dalam menyokong pengembangan pariwisata. Selain itu, kawasan ini dirasa strategis karena berhawa sejuk dan berada di jalur wisata kabupaten Kulonprogo (Waduk Sermo- Gua Kiskendo- Puncak Suroloyo) sehingga diharapkan akan menjadi the new rising star  obyek wisata di Provinsi DIY. Suatu penyesalan jika berwisata ke Yogyakarta melewatkan air terjun surgawi Desa Jatimulyo.


Yogyakarta, 14 Januari 2017

Selasa, 03 Januari 2017

1 Januari 1925, Hari Lahirnya Jong Islamieten Bond (JIB), Organisasi Pemuda Islam Pertama

Mayoritas umat Islam, terutama generasi mudanya, belum tahu kalau tanggal 1 Januari adalah hari lahir dari Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi pemuda Islam pertama tingkat nasional. Tepatnya lahir pada 1 Januari 1925. Dalam buku Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito yang ditulis oleh S.U. Bajasut dan Lukman Hakim dibahas dengan menarik tentang lahirnya JIB.

Kelahiran JIB dilatarbelakangi dari aktivis Jong Java (organisasi kepemudaan lintas agama) dari Islam seperti Kasman Singodimejo, Gus Muso (Ki Musa Al-Machfoed) dan Suhodo yang berkeyakinan ada kerenggangan pada oganisasi pemuda pelajar. Hal ini dikarenakan aktivis organisasi pemuda yang semuanya pelajar MULO dan AMS yang beragama Islam tidak memperoleh pelajaran agama Islam. Mereka juga tidak punya banyak waktu untuk belajar di madrasah atau sekolah agama. Di MULO dan AMS kebanyakan guru mereka yang orang Belanda justru acap kali melontarkan kata-kata sinis terhadap umat dan ajaran Islam.

Ketiga aktivis Jong Java tersebut berkeyakinan kerenggangan diantar organisasi pemuda pelajar dapat diperbaiki melalui ajaran Islam. Mengapa Islam? Karena Islam adalah agama yang dianut oleh rakyat di seluruh Nusantara.

Ketua Hoofd-Bestuur Jong Java Raden Syamsuridjal, sependapat dengan pandangan Kasman dkk. Maka pada Kongres ke-7 Jong Java, 27-31 Desember 1924, Syamsuridjal mengusulkan kepada Kongres supaya Islam dijadikan pelajaran wajib dalam Jong Java. Ada 2 pertimbangan, yakni Pertama, sebagai calon pemimpin masyarakat, para anggota Jong Java hendaklah memahami masyarakat yang akan mereka pimpin dengan mengenal sikap, kecenderungan, dan keyakinan masyarakat itu, serta dengan bergaul dengan mereka. Sikap ini hanya dapat dikembangkan apabila mereka lebih pula mengenal agama yang dianut oleh sebagian masyarakat itu, yaitu Islam.

Syamsuridjal juga berpendapat bahwa usul itu wajar saja dan dapat dipertanggungjawabkan karena pendeta-pendeta Katolik dan Protestan telah juga mengadakan kursus pelajaran agama mereka untuk anggota-anggota peminat dari Jong Java.

Usul yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan itu ternyata mendapat tantangan besar dari peserta Kongres ke-7 Jong Java. Dalam dua kali voting, pendapat yang pro dan kontra sama kuat. Untuk itu keputusan akhir diserahkan sepenuhnya kepada Ketua Hoofd-Bestuur.

Sebagai pengusul agar Islam dijadikan pelajaran wajib dalam Jong Java, Syamsuridjal merasa tidak etis jika dia memenangkan usulnya sendiri. Oleh karena itu, Syamsuridjal menyatakan usulnya tidak diterima oleh Kongres. Bersamaan dengan itu, Syamsuridjal meletakkan jabatan sebagai Ketua Hoofd-Bestuur Jong Java.

Kecewa karena usul pengajaran agama Islam tidak diterima, menjelang tengah malam para aktivis Islam Jong Java saat berpapasan dengan H. Agus Salim mencurahkan isi hatinya. H. Agus Salim menentramkan hatinya mereka, kemudian muncul gagasan untuk mendirikan organisasi sebagai wadah kegiatan pemuda Islam. Maka lahirlah organisasi pemuda Islam pertama yang bernama Jong Islamieten Bond (disingkat JIB).

Mohamad Roem menyebut penolakan Kongres Jong Java terhadap usul Syamsuridjal sebagai blessing in disguise, karena apabila usul itu diterima, kemungkinan organisasi pemuda pelajar Islam tidak akan pernah muncul.

Bersamaan dengan lahirnya JIB juga beredar brosur atau sirkuler yang memuat rumusan: “Tak seorang pun yang akan mungkin bekerja dengan sepenuh hati untuk meningkatkan taraf rakyat bila ia tidak mempunyua respek, apalagi simpat kepada agama rakyat ini ... agama yang merupakan faktor paling penting dalam semangat serta sifat bangsa kita.”
Brosur juga berisi: “Banyak pandangan palsu dan salah tentang Islam ... dari sekolah, buku teks, dan buku-buku perpustakaan serta dari kawan pelindung dan penasihat yang “bermurah hati”, dengan akibat bahwa kedudukan Islam yang semula tinggi di daerah ini digerogoti.”

Akhirnya tanggal 1 Januari 1925 JIB lahir dengan merumuskan tujuannya sebagai berikut:
1.     1. Meningkatkan perkembangan jasmaniah dan rohaniah para anggota dengan cara pendidikan dan aktivitas diri sendiri.
2.      2. Menanam dan menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa persaudaraan di antara golongan-golongan intelektual yang terdiri dari berbagai suku bangsa.
3.      3. Menumbuhkan dan meningkatkan pendekatan antara golongan intelektual dan rakyat.
4.      4. Mempelajari Islam.
5.      5. Menumbuhkan dan mengembangkan simpati terhadap Islam dan penganutnya disamping toleransi positif terhadap pihak-pihak yang berkeyakinan lain.
6
JIB juga mendirikan organisasi kepanduan dengan nama Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Perkataan Nationaal Indonesische (kebangsaan Indonesia) ini merupakan pertama kali digunakan suatu organisasi secara resmi di Indonesia.

Jasa lain JIB untuk perkembangan kaum intelektual muda Muslim ialah diterbitkannya majalah yang diedarkan ke kalangan luar JIB. Majalah yang terbit sejak maret 1925 itu diberi nama An-Noer (Het-Licht) dengan moto:
Mereka ingin memadamkan cahaya agama Allah dengan mulut (ucapan) mereka, tapi Allah tidak mengizinkan kemauan mereka, melainkan lebih mencemerlangkan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (QS. At-Taubah ayat 32).

Walaupun JIB hanya berkiprah 17 tahun, tapi telah berhasil melahirkan para pemimpin bangsa yang punya peran penting lahirnya NKRI, seperti M. Natsir, Mohamad Roem, Prawoto M, dll.

Semoga kisah lahirnya JIB ini dapat mencerahkan organisasi pemuda Islam saat ini, terutama BKPRMI. Periode kepengurusan berikutnya diharapkan BKPRMI di tingkat propinsi (DPW), Kabupaten/Kota (DPD), hingga Kecamatan (DPK) dipegang oleh pemuda usia dibawah 30 tahun. Hal ini juga sesuai dengan UU Ormas tahun 2014 yang menyebutkan tentang syarat kepengurusan organisasi kepemudaan maksimal berusia 30 tahun.

Selain itu publikasi baik berupa buletin, website maupun sosial media juga berperan aktif dalam pengembangan intelektualitas generasi muda. Laa izzatta illa bil Islam, tiada kemuliaan tanpa Islam ..


*) lereng Tenggara Gunung Merapi, 3 Januari 2016 pukul 09.29 WIB untuk website http://jogjakemasjid.com/bkprmi-114/jib-jong-islamieten-bond-organisasi-pemuda-islam-pertama.html DPW BKPRMI DIY

Rabu, 09 November 2016

BUDAYA MERAPI DAN RESTORASI

Tanggal 4 - 7 November 2016 saya memperoleh undangan konferensi tahunan Beijing Forum di ibukota Tiongkok, Beijing. Beijing Forum merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Peking University (universitas terbaik di Tiongkok), untuk memfasilitasi forum akademik internasional yang bertujuan untuk mendorong perkembangan sosial dan harmoni antar peradaban serta meningkatkan kesejahteraan ummat manusia.

Di dalam Beijing Forum tahun ini ada forum yang bernama SCCS (Student Conference on Conservation Science) dan mengusung tema “Developing Sustainable and Practicable Approaches to Conservation for the 21st Century.” Forum ini diharapkan dapat berbagi informasi dan ilmu pengetahuan dalam pengelolaan kawasan konservasi untuk kelangsungan hidup manusia.

Kebetulan abstrak tentang budaya masyarakat merapi yang mendorong restorasi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dapat diseminarkan dalam Beijing Forum ini. Apalagi saat ini sudah memasuki tahun ke-6 setelah erupsi Merapi tahun 2010 yang membawa dampak kerusakan kawasan TNGM.
Opini SKH Kedaulatan Rakyat, tanggal 3 November 2016

Erupsi dan Restorasi Merapi
Erupsi tahun 2010 (Oktober – Nopember) melanda sebagian besar kawasan TNGM. Kerugian yang diakibatkan bencana alam erupsi Gunung Merapi sangat besar. Erupsi Gunung Merapi secara periodik membawa konsekuensi perubahan ekosistem secara dinamis. Perubahan ekosistem ini mencakup komponen abiotik, biotik dan sosial budaya.
Perubahan ekosistem yang disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya vegetasi perlu direstorasi dengan melakukan penanaman jenis-jenis vegetasi asli yang pernah ada dalam ekosistem tersebut. Sebenarnya secara alami, ekosistem yang terganggu akan dapat memulihkan dirinya sendiri melalui proses suksesi alam, namun mengingat kerusakan ekosistem hutan di TNGM akibat erupsi maka proses suksesinya akan memerlukan waktu yang sangat lama.
Sementara itu, pemulihan ekosistem perlu segera dilakukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi hutan yang hilang seperti fungsi habitat satwa, fungsi lindung hidrologi dan fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Untuk itu diperlukan campur tangan manusia dalam rangka membantu mempercepat proses recovery (pemulihan) ekosistem yang terdegradasi.
Salah satu cara yang efektif program restorasi TNGM adalah dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat untuk terlibat aktif. Diyakini bahwa kegiatan-kegiatan skala kecil berbasis budaya lokal yang dilakukan oleh masyarakat dapat memberikan dampat positif yang lebih dahsyat dibandingkan mega proyek berteknologi tinggi yang mengandung resiko ekonomi-sosial-politik dan lingkungan yang tidak kecil.
Kearifan adalah seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat yang terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis (Habibudin, 2006). Nilai kearifan dan budaya yang dipegang erat masyarakat Merapi sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa dari Kraton Mataram dan Yogyakarta.
Masyarakat masih memegang kepercayaan bahwa antara Gunung Merapi, Kraton dan Pantai Selatan saling terhubung erat satu sama lain. Mereka meyakini gunung, sungai, dan pohon bukanlah ‘benda mati’ sehingga manusia wajib menjaga kelestariannya, sejalan dengan prinsip “Hamemayu Hayuning Bawono, Ambrasta dur Hangkara dalam pelestarian alam yang diaplikasikan dalam beberapa tradisi budaya. Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Wujud nyata kearifan lokal masyarakat sekitar kawasan TNGM yang terkenal adalah upacara Labuhan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat di dusun Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan Sleman (Merapi lereng Selatan) serta Kecamatan Selo, Boyolali (Merapi lereng Utara) adalah praktik penjagaan kelestarian alam melalui upacara adat. Kedua kawasan tersebut relatif terjaga kelestariannya.
Bahkan masyarakat ikut terlibat aktif dalam kegiatan restorasi yang dilakukan oleh TNGM. Selain itu, mayoritas desa sekitar TNGM juga memiliki budaya ‘merti desa atau merti bumi’, yakni ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME atas nikmat rezeki berupa alam Merapi yang memberikan kehidupan. Merti bumi di Desa Tunggularum, Kecamatan Turi, Sleman contohnya, saat merti bumi juga dilakukan kegiatan penanaman.
Demikian pula dengan di Deles, Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten juga ada kegiatan budaya ‘wayang kulit’ yang dilaksanakan di dalam hutan ‘Saluman’ saat malam hari. Paginya dilakukan penanaman di daerah ‘gundul’ akibat terdampak erupsi. Dengan falsafah Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara berarti sistem pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal juga berorientasi pada nilai ekonomi, namun tanpa mengabaikan nilai ekologinya yang sangat besar artinya bagi nilai konservasi dan pelestarian.

Dengan falsafah tersebut masyarakat Merapi memandang bahwa lingkungan alam sekitar sebagai bagian integral dari kebudayaan, mereka mempunyai kepercayaan penuh bahwa lingkungan alam sekitar adalah penyedia sumber penghidupan bagi mereka, oleh karena itu harus dijaga, dimanfaatkan dan dikelola secara arif. Falsafah masyarakat Merapi ini sangat mendukung program restorasi atau pemulihan ekosistem di kawasan TNGM dan sekitarnya.

@Tangerang, 1 November 2016 pukul 20.30 WIB