Rabu, 30 Mei 2018

ISLAM, BUDAYA DAN BENCANA

Hari Jumat, 11 Mei 2018 masyarakat dikagetkan dengan erupsi freatik Gunung Merapi, karena menimbulkan gempa dan suara gemuruh selama 5 menit serta ketinggian kolom mencapai 5500 meter. Erupsi freatik berlanjut pada tanggal 23 Mei 2018, bahkan sampai 4 kali sehingga Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menaikkan tingkat aktivitas menjadi Waspada (Level II).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 30 Mei 2018

Erupsi Gunung Merapi menjadi bahasan yang menarik dan top trending topic di berbagai media. Kepala BPPTKG (Ibu DR. Hanik Humaidah) menyebutkan sebagai Gunung Selebritis. Apalagi momen erupsi terjadi saat bulan Ramadhan, waktu ummat Islam melakukan ibadah puasa. Piliang (2005) menyebutkan bahwa setiap bencana akan menyentak kesadaran humanistik, solidaritas, eksistensial, dan ketuhanan, sehingga orang-orang akan segera mencari rujukan pemahaman melalui ayat-ayat kitab suci, penjelasan ilmiah, mitos, kepercayaan, budaya setempat (local culture), maupun kearifan lokal (local wisdom).

Bencana mampu mengajak setiap orang untuk menjadi seorang perenung kehidupan yang mencoba mencari makna eksistensial paling dalam, bahwa ada makna di balik tiap bencana, bahwa ia berkait dengan keberadaan manusia lain, bahwa ada Tuhan di balik bencana (Basri dkk, 2012). Tingkat keyakinan beragama juga mempengaruhi seseorang atau komunitas mempersepsi, mengelola dan/atau memodifikasi keterlibatan dalam proses mitigasi bencana. Bagi yang dapat menerima dengan lapang dada terhadap suatu benca alam atau efek-efeknya akan lebih aktif dalam proses mitigasi bencana.
Pada abad klasik Islam, Jalal al-Din al-Suyuthi (w.911/1505) berupaya mengembangkan teologi bencana, khususnya gempa bumi. Dia menulis kitab Kasyf al-Salsalah an Wasf al-Zalzalah atau Mengungkap Keterkaitan tentang Karakter Gempa Bumi (Ambrasesys, 2008 dalam Nur Ichwan, 2012). Ini bukan buku geologi tentang gempa bumi, namum lebih merupakan buku teologi tentang gempa bumi. Sesuai kondisi abad klasik, buku ini lebih mengedepankan pendekatan tekstual yang kental, dengan mendeduksi pemikiran teologis dari Al-Quran, Sunnah, atsar (ketetapan hukum) sahabat, dan pendapat-pendapat ulama sebelumnya tentang gempa bumi.

Buku Jalal al-Din al-Suyuthi tersebut merupakan upaya rintisan yang luar biasa untuk dikembangkan lebih jauh. Beberapa intelektual muslim Indonesia yang mulai mengembangkan diantaranya adalah Ali Yafie dengan Fiqih Lingkungan; Teologi Lingkungan-nya Moelyono Abdillah; dan Fachruddin Mangunjaya dengan Konservasi Islam. Pada tahun 2004 pernah pertemuan ulama pesantren di Sukabumi untuk menggagas fiqih linkungan (fiqih al-biah), tapi tidak ada tindak lanjut sesudahnya, kecuali penerbitan laporan pertemuan.

Mayoritas masyarakat lereng Gunung Merapi adalah muslim. Hampir semuanya percaya bahwa Gunung Merapi memiliki penjaga. Bagi golongan tua menyebut penjaga Gunung Merapi dengan sebutan Mbah/Simbah, sehingga dikenal dengan adanya Mbah Petruk di lereng Utara Merapi (Selo dan Cepogo, Boyolali), dan Mbah Kyai Sapu Jagat di lereng Selatan Merapi (Sleman). Untuk golongan muda karena pengaruh pendidikan sudah menganggap penjaga Gunung Merapi adalah malaikat gunung, yang juga merupakan makhluk ciptaan Tuhan.

Kedua golongan masih menjaga kuat keyakinan tersebut, sehingga terwujud dalam perilaku terhadap Gunung Merapi. Seperti kepercayaan masyarakat lereng Utara Merapi terhadap Mbah Petruk. Menurut Susiyanto (2010) nama asli Mbah Petruk sebenarnya adalah Kyai Handoko Kusumo. Kyai Handoko ini merupakan penyebar Islam di Gunung Merapi pada era 1700-an.

Kyai Handoko Kusumo adalah seorang keturunan Arab. Bentuk hidungnya yang lebih mancung dari kebanyakan orang Jawa itulah yang membuat dirinya dikenal dengan nama Mbah Petruk oleh masyarakat setempat. Pada masa tuanya, Mbah Petruk diperkirakan meninggal di Gunung Bibi dan jasadnya tidak pernah diketahui. Hal inilah yang memunculkan anggapan spekulatif bahwa dirinya telah moksa.

Oleh karena itu, kawasan hutan Gunung Bibi yang merupakan Merapi Tua sangat terjaga kelestariannya. Masyarakat masih mempercayai Mbah Petruk, sehingga warga turut aktif menjaga kelestarian hutan di bawah bimbingan Kyai setempat, KH. Muhammad Solikhin. Saat erupsi tahun 2010 masyarakat lereng Gunung Bibi (dusun Wonopedut, Desa Wonodoyo, Cepogo) berlindung ke dalam masjid sambil melantunkan doa-doa.

Dalam menghadapi risiko bencana, masyarakat tidak hanya dituntut untuk beradaptasi secara fisik dengan alam, tetapi juga adaptasi sosial dan budaya yang dibingkai pemahaman agama. Proses adaptasi yang pernah dilakukan oleh masyarakat lokal sejak waktu yang cukup lama terbukti bertahan dalam kondisi bencana. Dalam proses ini akan dijumpai strategi budaya masyarakat berupa resistensi atau fleksibilitas dengan berbagai tindakan sosial dan budaya yang unik seperti ritual, mitos dan legenda; baik hal baru maupun lama tetapi diperbarui (Hoffman & Oliver-Smith 2002 dalam Malik, 2012). Allaahualam.

Kantor Resort Kemalang TNGM, 25 Mei 2018

Jumat, 04 Mei 2018

MUSLIM BERILMU


Untuk mengajarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, Allah SWT menurunkan Rasulullah Saw untuk membina ummat selama kurang lebih 23 tahun. Metode yang digunakan adalah tarbiyah atau pendidikan. Tak heran kader-kader yang dibina oleh Rasulullah Saw adalah generasi hebat yang selalu dikenang sepanjang masa.

Cahaya Jumat Tribun Jogja 4 Mei 2018

Melalui pendidikan  tarbiyah mereka mencapai derajat yang tinggi, yakni orang-orang yang berilmu. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi manfaat dan barokah bagi alam berikut isinya. Tanpa iman, akal akan berjalan sendirian sehingga muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia.

Demikian pula iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengelola alam berikut isinya. Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah SWT maupun manusia (QS. Al Mujadilah (58) : 11). Bahkan setan kewalahan terhadap muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat setan.

Sahabat Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang yang berakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.”

Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”

Kebodohan adalah salah satu faktor kemunduran ummat dan penyebab kerusakan. Oleh karena itu, Rasulullah Saw menggunakan metode tarbiyah melalui pengajaran di emperan masjid Nawabi, Madinah (Shuffah). Rasulullah Saw menunjuk Ubaidah bin Shamit ra menjadi guru di madrasah Al-Shuffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Komunitas ilmuwan Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. Melalui pendidikan yang dilandasi aqidah yang benar akan menjadi manusia yang berilmu sehingga terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah-belah. Bahkan semua permasalahan umat Islam dapat diselesaikan jika kembali pada worldview Islam dan tradisi keilmuan. Allahu ‘alam.

Patangpuluhan, 3 Mei  2018, pukul 17.30 WIB

Jumat, 13 April 2018

JAGA SHALAT BERJAMA'AH DI MASJID


Dalam bukunya Ustad Zulfi Akmal (2014) menceritakan kisah Imam ‘Ubaidillah bin Umar al Qawariry, yang merupakan salah seorang di antara guru Imam Bukhari dan Muslim. Beliau menceritakan tentang pengalamannya:
Rubrik Cahaya Jumat koran TRIBUN JOGJA, Jumat 13 April 2018
Aku hampir tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Suatu hari aku kedatangan tamu yang membuatku terlambat melakukan shalat Isya berjama’ah. Setelah itu aku pergi keluar mencari orang untuk teman shalat berjama’ah di antara qabilah-qabilah Bashrah. Tapi sayangnya semua orang sudah shalat.
Aku berbisik di dalam hati, Rasulullah Saw pernah bersabda: “Shalat berjama’ah lebih utama dari pada shalat sendirian dengan 27 derajat”. Akhirnya aku pulang lagi ke rumah. Sesampai di rumah aku mengerjakan shalat Isya sebanyak 27 kali. Setelah itu aku langsung tidur.
Di dalam tidurku, aku bermimpi melihat diriku bersama serombongan orang yang lagi menunggang kuda. Aku juga menunggangi kuda. Kami saling berpacu. Namun kuda-kuda mereka mampu memacu kudaku. Lalu aku memukul kuda tungganganku supaya ia menyusul mereka.
Tiba-tiba orang yang berada di akhir rombongan menoleh kepadaku dan berkata: “Jangan paksa kudamu! Engkau tidak akan bisa menyusul kami” Aku bertanya: Kenapa? Dia menjawab: Karena kami shalat Isya berjama’ah.
Bagaimana dengan shalat jamaah kita? Berapa shalat jamaah yang kita tinggalkan? Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. (HR. Abu Daud, Ahmad, Hakim, Baihaqi). Peristiwa Isra’ Miraj yang ummat Islam peringati esok  hari juga turut menjelaskan pentingnya shalat bagi seorang muslim.
Selain manfaat bagi diri-sendiri, disyariatkannya shalat berjama’ah adalah untuk mengokohkan ukhuwah Islamiyah. Apalagi saat ini menyongsong tahun politik yang akan lebih banyak membutuhkan kesabaran dalam berinteraksi dengan sesama saudara. Tentu pelajaran kesabaran akan banyak diperoleh dalam shalat berjama’ah di masjid. Seyogyanya seorang muslim tidak meninggalkan shalat jama’ah, karena banyak pahala, hikmah, dan keutamaan didalamnya. Wallaahu’alam.
Patangpuluhan, 12 April 2018 pukul 19.00 WIB

Senin, 26 Februari 2018

KRISIS AIR CAPE TOWN & FILOSOFI PEMBANGUNAN KRATON JOGJA

Saat beberapa kota di Indonesia dilanda bencana alam banjir, kota Cape Town, Afrika Selatan mengalami krisis air. Bahkan Cape Town diperkirakan akan menjadi kota pertama di dunia yang akan mengalami krisis air pada tahun 2018 ini. Pejabat pemerintahan Afrika Selatan memproyeksi kota yang terletak di ujung Selatan benua Afrika ini masih memiliki cadangan air hingga 22 April 2018, sebelum kemudian benar-benar habis (Day Zero).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 Februari 2018

Jika Cape Town benar-benar mencapai Day Zero, pihak berwenang akan mematikan keran air di seluruh kota dan menyisakan aliran di daerah yang paling miskin saja. Pemerintah kota sekarang sudah mematok batas konsumsi air, masing-masing warga hanya punya jatah 50 liter air dari sebelumnya 87 liter untuk seluruh kebutuhannya.  Kapasitas empat bendungan yang menjadi tumpuan kebutuhan air Cape Town, yakni Berg River, Steenbras Lower, Steenbras Upper, Theewaterskloof, Voelvie, dan Wemmershoek sudah berada di bawah 30 persen.

Musim kemarau yang berkepanjangan selama tiga tahun, ditambah curah hujan rendah melanda kawasan berpenduduk 4 juta jiwa ini. Cape Town Water Crisis menyebutkan bahwa perubahan iklim semakin nyata dengan pola curah hujan telah berubah secara dramatis dalam dua dekade terakhir (2018).  Pemerintah kota telah diperingatkan agar merancang sistem pasokan air untuk menanggulangi masalah krisis air dan kekeringan jangka panjang yang diperkirakan akan sering terjadi di masa mendatang.

Kekeringan di Cape Town adalah sebuah gejala ekstrim dari fenomena perubahan iklim, termasuk Indonesia. Krisis air yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia pada  umumnya disebabkan faktor geografis, bencana alam, dan musim kemarau yang panjang. Kondisi ini harus disiasati dengan memperhatikan pembangunan wilayah, jangan sampai kawasan yang menjadi daerah tangkapan air (water catchment area) mengalami kerusakan lingkungan.

Salah satu daerah tangkapan air Propinsi DIY adalah kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Pada tahun 2001 Gubernur DIY, Sri Sultan HB X mengajukan insiatif pembentukan kawasan TNGM kepada Menteri Kehutanan dengan alasan kawasan Gunung Merapi adalah daerah tangkapan air. Kawasan ini harus dilindungi karena perannya yang sangat vital dalam memenuhi hajat hidup penduduk DIY dan Jawa Tengah.

Awal mula kota Yogyakarta sendiri adalah kawasan rawa yang bernama Umbul Pacethokan dan hutan Beringin. Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I kemudian melakukan babat alas dan mendirikan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sekarang menjadi pusat kota Yogyakarta. Inilah kejeniusan Sultan HB I sebagai arsitek kota dengan memilih pusat pemerintahan pada area yang aman dari krisis air.

Demikian pula letak kota Yogyakarta yang diapit 2 sungai besar yakni Sungai Code dan Winongo yang kemudian dibelokkan alirannya ke Timur dan ke Barat dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan. Potensi cadangan air ini jangan sampai membuat terlena dengan pembangunan yang membabi-buta tanpa mengindahkan konservasi air.

Salah satu contohnya selain masih borosnya perilaku masyarakat dalam menggunakan air, juga meningkatnya pertumbuhan hotel dan apartemen yang menggunakan air tanah, bukan dari PDAM. Bahkan hampir tiap tahun kondisi air tanah di Yogyakarta mengalami penurunan hingga 50 cm (Puteri, 2017). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan terpadu sumberdaya air agar dapat dimanfaatkan secara lestari.

Pengelolaan terpadu sumberdaya air adalah suatu proses yang mengintegrasikan pengelolaan air, lahan dan sumberdaya terkait lainnya secara terkoordinasi dalam rangka memaksimalkan resultante ekonomi dan kesejahteraan sosial secara adil tanpa mengorbankan keberlajutan ekosistem (Global Water Partnership, 2000 dalam Sukrasno dkk, 2004).

Air diyakini sangat penting dalam menunjang kehidupan. Bahkan para ahli memprediksikan bahwa suatu saat nanti, perang bukan lagi karena minyak tapi karena kelangkaan air (Time, 1990). Untuk itu perlu dipahami bahwa usaha konservasi air adalah langkah empiris yang memberikan kesempatan hidup semua makhluk di bumi.

Mendudukkan semua makhluk pada tingkat kesetaraan yang egaliter maka usaha ini merupakan salah satu pencerminan maupun penjabaran dari filosofi pembangunan budaya Yogyakarta, yaitu hamemayu hayuning bawono yang pada dasarnya merupakan suatu komitmen untuk selalu berpihak kepada masyarakat dalam arti keseluruhan beserta lingkungannya dengan mewujudkan masyarakat yang ayom, ayem, tata, titi, tentrem dan kerta raharjo; karena masyarakat dalam keadaan seperti ini akan mendahulukan kebutuhan daripada keinginannya yang mampu menahan hausnya keserakahan sebagai perusak utama lingkungan (Sunjoto, 2009).

Filosofi hamemayu hayuning bawono yang dicetuskan oleh Sultan Agung Hanyokrokusuma dan dilanjutkan oleh Sultan HB I semoga tetap lestari. Falsafah ini dapat menjadikan konsep pembangunan selalu berpihak pada konservasi air sehingga masyarakat dapat mencapai kesejahteraan hakiki dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dari generasi ke generasi. Allaahu alam.


Patangpuluhan,  17 Februari 2018, pkl 10.35



Jumat, 09 Februari 2018

MENJAGA DARI BENCANA ALAM

Di beberapa wilayah Indonesia hujan dengan intensitas yang lebih lama menimbulkan beberapa banjir dan longsor. Padahal hujan harusnya membawa berkah dan manfaat, karena menyirami bumi dan membawa kesuburan bagi tumbuhan. Tentu ada yang salah dalam pengelolaan alam yang dilakukan manusia.

Cahaya Jumat Tribun Jogja tanggal 9 Februari 2018

Alam menjadi rusak di tangan manusia. Akibatnya tentu kembali kepada manusia. Al Quran telah menggambarkan kebinasaan ummat terdahulu akibat tindakan merusak alam. Semua perbuatan manusia yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan kemungkaran. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (surat Ar-Ruum: 41)

Contoh kerusakan alam lain adalah wabah Tawon Gung melanda Kabupaten Klaten.  Sudah 2 korban jiwa anak-anak akibat sengat tawon jenis Vespa affinis. Asal-muasal tawon booming dan menjadi ancaman manusia karena gangguan alam. Manusia mengambil pemangsa tawon, seperti burung-burung liar di alam hingga tokek rumah. Padahal satwa tersebut adalah musuh alami serangga. Perannya sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam.

Dalam ayat lain di Al-Quran, Allah juga mengecam manusia yang merusak alam. Dia sangat tidak menyukai orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi (Q.S. Al Baqarah, 2:60, 205; Al Araf, 7:56, 85; Al Qashash, 28: 88; Al Syuara, 26: 183 dll)(Muhammad, 2005). Tindakan merusak alam merupakan bentuk kedzaliman dan kebodohan manusia.

Siapa saja yang menyaksikan tindakan perusak alam berkewajiban menghentikannya. Negara sebagai pengawas dan pelindung kelestarian alam berkewajiban menyeret pelakunya ke pengadilan agar dia mempertanggungjawabkan perbuatannya. Manusia sebagai Khalifah fil Ardh (pemimpin di bumi) wajib menjaga kelestarian alam yang manfaatnya juga untuk manusia sendiri.  Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

Sudah saatnya manusia meng-evaluasi pengelolaan alam. Kerusakan alam harus cepat diperbaiki, karena sejatinya alam bukan milik manusia. alam semesta adalah milik Allah (QS Al-Baqarah, 2:284). Kepemilikan manusia hanyalah amanat, titipan atas pinjaman yang pada saatnya harus dikembalikan dalam keadaannya seperti semula.

Bahkan manusia yang baik justru akan mengembalikan titipan tersebut dalam keadaan yang lebih baik dari ketika dia menerimanya. Nabi mengatakan: Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam mengembalikan utangnya. Mari kita kembalikan titipan alam kepada anak-cucu kita dalam kondisi yang lebih baik daripada saat ini.

Masjid Soedirman,  Colombo, yogyakarta,  7 Februari 2018 pukul 13.00 WIB

Rabu, 24 Januari 2018

MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Seminar nasional jejaring Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia di Jakarta (29-30/11) diwarnai dengan kejadian bencana alam. Setelah utusan region Bali-Nusa Tenggara terhambat karena erupsi Gunung Agung di Bali, utusan dari Yogyakarta juga terkendala karena siklon tropis Cempaka. 2 hari dihantam siklon Cempaka (28 -29/11) membawa kerugian yang tidak sedikit.
Hampir seluruh wilayah propinsi DIY terdampak bencana hidrometereologi ini. Pemda DIY merespon kejadian bencana alam tersebut dengan mengeluarkan status siaga darurat bencana.. Status siaga darurat dapat dinaikkan menjadi tanggap darurat bencana jika jumlah kejadian bencana alam bertambah.
Analisis Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 2 Desember 2017

Bencana Hidrometereologi
Banjir, tanah longsor, badai, kekeringan, kebakaran hutan, El Nino, La Nina, angin topan/puting beliung, angin fohn (angin bohorok, gending, brubu, kumbang) adalah beberapa jenis bencana hidrometereologi. Bencana tersebut disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor metereologi (perubahan iklim), seperti curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin.
Sejatinya perubahan iklim hanya pemicu bencana hidrometereologi saja. Penyebab utama terjadinya bencana alam yang menimbulkan kerugian adalah kerusakan alam/lingkungan yang masif sehingga daya dukung dan tampung lingkungan menurun. Frekuensi curah hujan yang tinggi tidak serta-merta menimbulkan banjir dan tanah longsor jika daya dukung lingkungan cukup.
Akan tetapi kerusakan ekologi pada bagian hulu dengan berkurangnya area hutan sebagai water catchment area (daerah tangkapan air) serta infrastruktur sungai dan drainase yang buruk menjadikan rawan bencana banjir. Satu hari saja wilayah DIY diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi sudah menimbulkan banjir.
Adaptasi dan Mitigasi
Peristiwa bencana alam akibat cuaca di Indonesia menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan lagi sebuah isu. Perubahan iklim adalah fakta yang harus dihadapi oleh kita semua, karena terjadinya juga berkaitan erat dengan kondisi iklim sekaligus perilaku manusia itu sendiri.
Kerentanan-kerentanan yang terjadi telah mengancam kelangsungan hajat hidup bersama. Dikhawatirkan jika tidak segera diantisipasi akan mengganggu keberlangsungan kehidupan masyarakat sekaligus pencapaian pembangunan. Adaptasi serta mitigasi terhadap perubahan iklim adalah tindakan bijaksana agar dapat menyesuaikan diri dan memperkuat ketahanan dalam kehidupan.
Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan upaya dalam menghadapi perubahan iklim, yakni dengan mitigasi dan adaptasi. Bahkan keduanya sudah masuk menjadi bagian dari Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia. Mitigasi sendiri adalah sebuah usaha penanggulangan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan pernurusan emisi atau penyerapan gas rumah kaca (GRK).
Lebih singkatnya mitigasi adalah usaha untuk mengurangi penyebab perubahan iklim. Sedangkan adaptasi adalah proses memperkuat dan membangun strategi antisipasi dampak perubahan iklim serta melaksanakannya, sehingga mampu mengurangi dampak negatif perubahan iklim. Pemerintah menyusun aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat dikembangkan dan dilaksanakan di tingkat lokal atau langsung oleh masyarakat.
Aksi lokal tersebut adalah (1) pengendalian banjir, longsor atau kekeringan; (2) peningkatan ketahanan pangan; (3) penanganan kenaikan muka air laut; (4) pengendalian penyakit terkait iklim; (5) pengelolaan dan pemanfaatan sampah/limbah; (6) pengggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi; (7) budidaya pertanian rendah emisi GRK; (8) peningkatan tutupan vegetasi (penghijauan); dan (9) pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Hampir aksi lokal tersebut sudah dilaksanakan oleh Pemda DIY, seperti inisiasi Kampung Hijau di kota Yogyakarta; manajemen infrastruktur sungai M3K (Madhep, Mundur, Munggah Kali); bank sampah pada tingkat RT, RW hingga Desa; pembuatan biogas sebagai energi ramah lingkungan; penghijauan pada kawasan hulu/daerah tangkapan air; dan lainnya. Hanya saja aksi lokal tersebut masih kurang dijalankan dengan serius.
Kejadian bencana alam siklon tropis Cempaka kali ini semoga menyadarkan kita semua bahwa bencana alam hanya dapat diatasi secara bersama. Slogan SEGORO AMARTO (Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta atau semangat gotong royong menuju kemajuan Yogyakarta) adalah modal awal untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai kota ramah lingkungan. Dan warga Yogyakarta sudah ada pengalaman bangkit kembali setelah bencana alam gempa bumi tahun 2006 dan erupsi Merapi 2010. Pasti BISA!!

#LatePost

Sabtu, 20 Januari 2018

PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim akhir-akhir ini nyata terjadi di berbagai belahan dunia. Kota Sydney, Australia pecan lalu dilanda suhu terpanas dalam hampir 80 tahun terakhir, yakni mencapai 47,3 derajat celcius. Sementara di Amerika dan Kanada mengalami suhu dingin ekstrim hingga mencapai minus 50 derajat celcius. Bahkan sejumlah turis di pegunungan Alpen, Swiss harus dievakuasi dari badai salju (KR, 9/1).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 20 Januari 2018

Kasus-kasus perubahan iklim tersebut juga dialami Indonesia, terutama wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada Desember lalu dengan adanya badai tropis Cempaka dan Dahlia. Dampak perubahan iklim atau kejadian ekstrim dari perubahan iklim itu nyata dimana anomali-anomali tersebut terjadi. Untuk mengatasi dampak tersebut, 197 negara bergabung dalam pengendalian perubahan iklim melalui konvensi UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).

Konvensi UNFCC menghasilkan Paris Agreement pada pertemuan COP-21 di Paris, Perancis pada akhir tahun 2015. Dalam perjanjian ini, isu perubahan iklim yang terkait dengan mitigasi,  adaptasi dan pelaksanaannya (dalam bentuk pendanaan iklim,  alih teknologi dan peningkatan kapasitas) dijangkau secara seimbang Indonesia telah menindaklanjuti hasil Perjanjian Paris dengan  meratifikasi perjanjian ini dengan UU No 16 Tahun 2016. 

Dalam waktu yang hampir bersamaan Indonesia juga telah menyampaian komitment nasional dalam Indonesia NDC (Nationally Determined Contribution) untuk mengurangi emisi sebesar 29% dari BAU (Business As Usual) dengan upaya sendiri dan  sampai 41% dengan bantuan internasional.  Lima Kementerian sector terkait dengan mitigasi perubahan iklim, yaitu Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian telah berproses menuju pencapaian target NDC.

Demikian juga untuk aspek adaptasi perubahan iklim Kementerian/Lembaga terkait juga sudah menyiapkan dirinya masing-masing mencapai target NDC yang ditetapkan. Kementerian LHK (melalui Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim/PPI) sebagai National Focal Point (NFP) sudah menyusun 9 Strategi Implementasi NDC dan menyiapkan berbagai perangkatnya.
Untuk membumikan Perjanjian Paris diperlukan modalitas, prosedur dan pedoman pelaksanaannya yang sedang dipersiapkan oleh Negara.  Oleh karena itu Ditjen PPI Kementerian LHK menyelenggarakan Festival Iklim 2018 tanggal 16-17 Januari 2018 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Festival Iklim ini mengangkat tema Tiga Tahun Capaian Pengendalian Perubahan Iklim.

Festival ini bertujuan penyampaian informasi progres implementasi Perjanjian Paris dan NDC ke masyarakat umum. Selain itu juga sebagai sarana untuk bertukar pikiran tentang rencana, agenda dan aksi pengendalian perubahan iklim oleh dan untuk berbagai stakeholders. Progres ini perlu diketahui oleh publik dan memerlukan pelaksanaan/tindak lanjut oleh Kementerian/Lembaga sesuai mandat masing-masing secara sinergis dengan K/L terkait, serta upaya peningkatan pelibatan Peran Non-Party stakeholders (Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota, swasta, dan civil societies serta masyarakat).

Perubahan iklim merupakan ancaman global namun, kunci keberhasilan aksi pengendaliannya harus dilakukan di tingkat lokal. Emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar berasal dari aktivitas perkotaan sehingga kepala daerah harus berdiri di depan memimpin aksi pengendalian perubahan iklim. Data Bank Dunia bahwa kota-kota di seluruh dunia hanya terdiri atas tiga persen daratan di bumi, tetapi mengonsumsi 60 sampai dengan 80 persen energi dan memproduksi 75 persen GRK (Witoelar, 2017).

Diperkirakan pada tahun 20020 akan tumbuh 20 metropolitan, 50 kota sedang dan lebih dari 100 kota kecil yang baru. Kota-kota baru ini berpotensi menyerap karbon, namun akan mengemisikan karbon yang sangat tinggi mengingat teknologi dan sumber daya yang terbatas dan perencanaan yang kurang terintegrasi. Sangat penting sekali untuk melibatkan walikota dan bupati dalam perjuangan melawan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan karena kebanyakan aktivitas ekonomi, aset negara, infrastruktur, dan fasilitas pemerintahan ada di kabupaten dan kota (Witoelar, 2017).

Aksi lokal dalam pengendalian perubahan iklim dicontohkan oleh warga Dukuh, Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta dalam mengelola kampung ramah lingkungan. Warga sejak November 2017 merintis budidaya perikanan di saluran irigasi yang melewati kampungnya di pinggir Sungai Winongo. Sebelumnya warga membersihkan saluran irigasi dan pinggir sungai serta menanami dengan pohon.

Kampung Dukuh ini aman dari badai tropis Cempaka, bebas dari banjir saat hujan intensitas tinggi. Warga benar-benar menjaga sungai dan kampungnya dengan asri dan nyaman. Tiap sore anak-anak bercengkerama di pinggir saluran irigasi yang teduh sambil memberi makan ikan.
Benar yang dikatakan Skakespeare dalam salah satu bukunya mengemukakan What is a city but its people? Apakah artinya kota tanpa kiprah yang dinamis dari warga atau penduduknya.

Kaliurang,  16 Januari 2018, pukul 09.30 WIB