Jumat, 10 Agustus 2018

GUNUNGAN DAN KONSERVASI ALAM


Selama ini indikator pembangunan hanya memperhitungkan pembangunan fisik dan peningkatan produktifitas serta perekonomian (PDRB, Pendapatan Perkapita, dll). Pandangan pembangunan konvensional ini mengakibatkan degradasi lingkungan akibat eksploitasi faktor produksi dan konsumsi yang berlebihan. Dampaknya adalah dapat dilihat dan dirasakan secara langsung seperti banjir, kebakaran hutan, tanah longsor dan meningkatnya suhu secara global.

Opini Koran Kedaulatan Rakyat (10/8/2018) tentang Hari Konservasi Alam Nasional 10 Agustus 2018 dengan tema 'Harmoni Budaya dan Alam: 1 Abad Konservasi Alam'

Kemajuan teknologi dalam pembangunan tersebut menyebabkan ditinggalkannya budaya lokal masyarakat dalam menjaga lingkungan. Padahal tujuan pembangunan sendiri sejatinya adalah untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan manusia secara lahir dan batin melalui pemanfaatan lingkungan. Faktor inilah salah satu yang mendasari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) dalam mengelola Kawasan konservasi seluas 27 juta hektar dengan tidak meninggalkan budaya lokal masyarakat.

Sejarah konservasi di Indonesia sejak lama ada dengan ditemukannya Prasasti Talang Tuo di kerajaan Sriwijaya (686 M) yang mengajarkan masyarakat dalam konservasi hutan, terutama keseimbangan antara alam dan manusia dalam keberlangsungan hidupnya (Sinaga, 2017). Prasasti Malang dalam kerajaan Majapahit (1395 M) telah memberikan pengetahuan bagaimana hutan dan alam adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hutan, alam dan manusia adalah roh dalam keberlanjutan kehidupan.

Kearifan lingkungan (local wisdom) sudah ada di dalam kehidupan masyarakat sejak zaman pra-sejarah hingga saat ini. Kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun.

Dalam budaya Jawa pada pertunjukan wayang kulit digunakan replika gunung, yakni gunungan yang dipergunakan sebagai simbol kehidupan. Sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai, gunungan ditancapkan di tengah-tengah kelir, untuk melambangkan awal mula dunia sebelum ada manusia, kecuali tetumbuhan dan binatang seperti yang tergambar dalam gunungan (Purwadi, 2015). Kemudian gunungan ditarik ke bawah dan berhenti tiga kali; melambangkan adanya cipta, rasa dan karsa, yang mempunyai arti akan ada kelahiran.

Kelahiran terjadi setelah dalang memisahkan dua gunungan di simpingan kiri dan kanan untuk melambangkan pecahnya lapisan plasenta. Gunungan beserta isinya merupakan lukisan kehidupan duniawi dan batiniah dimana Tuhan Yang Maha Esa menentukan segala kegiatan di alam semesta (Purwadi, 2015). Di dalam gunungan terdapat lukisan makhluk raksasa menjulurkan lidahnya yang merah panjang, monyet memanjat pohon bertarung dengan satwa lainnya, burung-burung beterbangan dan segala jenis hewan lainnya, pohon-pohon dan bunga-bungaan.

Kesemuanya itu melambangkan pohon kehidupan duniawi yang diciptakan Tuhan. Di tengah-tengah gunungan terdapat lukisan sebuah rumah Jawa dengan dua pintunya terkunci rapat dan masing-masing sisinya dijaga oleh seorang raksasa bersenjata gada. Ini melambangkan hukuman bagi orang yang berbuat salah satu jahat. Dua pintu yang terkunci rapat dalam lukisan itu melambangkan kedamaian batin yang tersembunyi di belakang kedua pintu itu (Triyoga, 1991).

Praktek harmonisasi alam dan budaya dijalankan oleh warga Dukuh Bangan, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, masyarakat penyangga Kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Seni pertunjukan wayang kulit dengan topik kelestarian alam rutin dilaksanakan warga, bahkan dilaksanakan di dalam hutan TNGM. Selain itu juga ada hukuman atau sanksi sosial/adat bagi perusak alam.

Pernah ada seorang pemburu burung liar yang tertangkap warga dikenakan hukuman adat, yakni makan ulat yang ada di kebun warga. Bagi warga Dukuh Bangan keberadaan burung liar sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Perannya dalam mengendalikan hama tanaman pertanian atau perkebunan sangat dirasakan oleh warga. Kearifan masyarakat Merapi dipengaruhi oleh nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang ini mendukung pembangunan berkelanjutan sesuai konsep Sustainable Development Goals (SDGs).


Kantor Balai Taman Nasional Gunung Merapi, 6 Agustus 2018, pukul 08.30 WIB

Selasa, 26 Juni 2018

PILKADA DAN BENCANA EKOLOGIS


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 digelar serentak di 17 Provinsi pada hari Rabu (27/6). Jumlah ini separuh dari provinsi di tanah air. Pilkada bukanlah sekedar ajang kontestan menabur janji, tapi keseriusan dan komitmen dalam melaksanakan janji politiknya. Salah satunya adalah tema penanggulangan bencana harus telah menjadi perhatian sejak awal.

Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 Juni 2018

Lokasi Indonesia yang berada di area ring of fire adalah kawasan rawan bencana alam. Hal ini diperburuk dengan kerusakan lingkungan, laju perubahan tata ruang wilayah, perubahan iklim yang sejatinya akibat aktivitas manusia. Padahal mayoritas calon pemimpin daerah tidak mengetahui bahwa bencana alam semakin meningkat dan mencapai tahap darurat ekologis (Nugroho, 2017). Tahap darurat ekologis ini tidak hanya mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor, tapi juga ketidak-seimbangan ekologi.

Contoh nyata bencana yang dianggap remeh adalah bencana ekologi merebaknya korban sengatan tawon di Kabupaten Klaten. Tanggal 19 Juni 2018 tim ekologi Klaten menerima laporan dari Damkar Klaten adanya korban jiwa akibat sengatan tawon. Korban berusia 65 tahun yang tersengat saat angon bebek akhirnya meninggal dunia pada tanggal 13 Juni 2018.

Korban serangga jenis tawon ‘ndhas’ (Vespa affinis) ini melengkapi 2 korban jiwa anak-anak di Klaten. Bahkan ada pasien terindikasi mengalami gagal ginjal akibat racun Tawon (Maharani, 2018). Sejatinya serangga membawa peran besar bagi kelangsungan hidup manusia, terutama untuk keseimbangan ekologi. Bahkan serangga menjadi indikator dari adanya perubahan iklim dan kebersihan lingkungan. Seperti peran Kinjeng/Capung di dunia pertanian karena pemangsa dan penyeimbang alami hama tanaman.

Tawon juga merupakan pengendali ulat pemakan daun dan serangga kecil lainnya. Populasi tawon yang tinggi dapat menekan populasi hama pertanian, sehingga dapat menurunkan tingkat kerusakan tanaman pertanian yang berpengaruh pada meningkatnya produksi pertanian (Kahono, 2018). Peran tawon di alam merupakan salah satu dari keberadaan satwa dalam membentuk keseimbangan ekologi.

Keberadaan setiap komponen dalam suatu ekosistem membentuk jaringan makanan atau jaringan ekologi. Apabila satu komponen dalam jaringan tersebut putus (hilang, rusak, atau musnah), maka keseimbangan ekologi akan terganggu sehingga mengakibatkan bencana ekologis. Keseimbangan ekologi dalam suatu ekosistem berjalan baik jika komponen pembentuk ekosistem tersebut lengkap dan setiap komponen mampu berperan sesuai dengan niche, serta mampu mengatur dirinya sendiri (self regulation).

Sifat self regulation ini terjadi antar-komponen yang membentuk jaringan ekologi dalam suatu ekosistem, sehingga secara alamiah suatu komponen dikendalikan oleh komponen lainnya. Kasus tawon yang ‘outbreak population’ atau tumbuh berlebih di Klaten saat ini adalah salah satu dari gangguan keseimbangan ekologi di alam. Untuk mengendalikan jumlah serangga diperlakukan predator pemangsa.

Satwa predator kelompok serangga mayoritas jenis burung, yakni jenis burung kicauan hingga raptor (jenis elang). Padahal realita sekarang satwa burung banyak diburu atau ditangkap untuk diperdagangkan. Contohnya adalah burung Pentet/Bentet kelabu (Lanius schach) jumlahnya di alam semakin berkurang, padahal punya peran penting sebagai burung pemangsa serangga.

Burung Pentet ini juga memakan tikus tanah sehingga dapat mengendalikan hama pertanian. Demikian pula dengan pohon sebagai sarang burung juga tidak luput dari eksploitasi, apalagi yang berada di area potensi galian C. Tema penanggulangan bencana merupakan tema berat dan tidak menarik bagi calon kepala daerah.

Sebab penanggulangan bencana mensyaratkan visi jangka panjang (Amin, 2018). Bukan sekedar pertimbangan pragmatis guna mendongkrak elektabilitas. Padahal UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dengan tegas menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Pilkada hanya tinggal esok, saatnya pemilih semakin kritis untuk mencari informasi calon pemimpin daerah yang peduli pada keselamatan mereka. Pengetahuan tentang mitigasi bencana alam harus sebanding dengan kriteria calon pemimpin daerah sehingga diperoleh pemimpin daerah yang benar-benar memahami manajemen penanggulangan bencana. Pemimpin yang mempunyai tugas “memayu hayuning bawono,” yakni mensyukuri, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.


Kantor Umroh Mandiri, Sidoarjo, 24 Juni 2018 pukul 08.30 WIB

Minggu, 24 Juni 2018

LAKUKAN YANG MENJADI BAGIANMU, BIARKAN ALLAH MENGURUS LAINNYA

Pada bulan Januari kami niatkan untuk umroh sekeluarga. Februari booking tiket setelah ambil uang tabungan, asuransi dan deposito. Maret periode pengurusan paspor, suntik meningitis, visa, dan lain-lain. Tanggal 22 April 2018 langsung berangkat dari Yogyakarta, dan transit Kualalumpur untuk kemudian lanjut Jeddah.


Ada beberapa ujian selama proses sebelum pemberangkatan, dari kerjaan kantor yang padat, kejar ujian beladiri 2 tingkat hingga anak-anak yang sakit bergantian hingga selama lebih sebulan. Selain itu proses visa yang mengalami keterlambatan karena perubahan aturan juga cukup membuat ‘jantung berdebar-debar’. Disamping itu kami juga ada amanah tetap menjaga kesehatan kedua orang tua (usia 76 dan 74 tahun) agar tetap fit hingga berangkat umroh. Padahal Bapak punya penyakit kompleks, dari jantung, stroke, ginjal, hingga diabetes.

Tapi kami meyakini bahwa Allah SWT akan memudahkan langkah kami mengunjungi rumah-Nya. Selama proses 3 bulan tersebut kami banyak-banyak ibadah. Saran dari dokter yang rutin memeriksa Bapak agar ambil asuransi kesehatan selama perjalanan umroh kami ganti dengan asuransi Allah. Apa itu?

Yakni diganti dengan sedekah fii sabilillah. Tak lupa doa dari ustadz, orang sholih, dan jamaah masjid kami minta agar dilancarkan dan dimudahkan selama perjalanan umroh. Aktivitas mengaji dan dakwah juga tidak kami tinggalkan selama proses menuju Baitullah.

Alhamdulillah perjalanan umroh kami selama 9 hari, 22 April hingga 30 Mei 2018 berjalan dengan lancar dan selamat. Semuanya sehat wal afiat. Bahkan 2 obat batuk yang kami bawa atas saran tetangga tidak kami gunakan sama sekali. Yang 1 botol kami berikan ke teman rombongan umroh yang sakit batuk. Bayangan kesulitan karena ikut umroh mandiri benar-benar sirna. Jamaah umroh mandiri tetap memperoleh layanan seperti jamaah umroh via biro umroh regular, terjamin dalam transportasi dan akomodasi.

Yang kami syukuri dalam umroh mandiri ini kami sekeluarga dapat melakukan ibadah umroh dengan biaya terjangkau. Jauh lebih murah daripada umroh regular. Ke depan kami ingin membuat umroh mandiri keluarga lagi agar keluarga-keluarga muslim dapat melakukan ibadah umroh, tidak dibayang-bayangi mahalnya biaya umroh. Umroh mandiri keluarga juga dapat semakin merekatkan hubungan keluarga, disamping peningkatkan ruhiyah.

Innamal a’malu binniyat, niatkan untuk umroh dan ikhtiar. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutkan biarkan Allah yang mengurus lainnya.

*) Kantor Duapao, Sidoarjo, Jawa Timur, 24 Juni 2018

Rabu, 30 Mei 2018

ISLAM, BUDAYA DAN BENCANA

Hari Jumat, 11 Mei 2018 masyarakat dikagetkan dengan erupsi freatik Gunung Merapi, karena menimbulkan gempa dan suara gemuruh selama 5 menit serta ketinggian kolom mencapai 5500 meter. Erupsi freatik berlanjut pada tanggal 23 Mei 2018, bahkan sampai 4 kali sehingga Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menaikkan tingkat aktivitas menjadi Waspada (Level II).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 30 Mei 2018

Erupsi Gunung Merapi menjadi bahasan yang menarik dan top trending topic di berbagai media. Kepala BPPTKG (Ibu DR. Hanik Humaidah) menyebutkan sebagai Gunung Selebritis. Apalagi momen erupsi terjadi saat bulan Ramadhan, waktu ummat Islam melakukan ibadah puasa. Piliang (2005) menyebutkan bahwa setiap bencana akan menyentak kesadaran humanistik, solidaritas, eksistensial, dan ketuhanan, sehingga orang-orang akan segera mencari rujukan pemahaman melalui ayat-ayat kitab suci, penjelasan ilmiah, mitos, kepercayaan, budaya setempat (local culture), maupun kearifan lokal (local wisdom).

Bencana mampu mengajak setiap orang untuk menjadi seorang perenung kehidupan yang mencoba mencari makna eksistensial paling dalam, bahwa ada makna di balik tiap bencana, bahwa ia berkait dengan keberadaan manusia lain, bahwa ada Tuhan di balik bencana (Basri dkk, 2012). Tingkat keyakinan beragama juga mempengaruhi seseorang atau komunitas mempersepsi, mengelola dan/atau memodifikasi keterlibatan dalam proses mitigasi bencana. Bagi yang dapat menerima dengan lapang dada terhadap suatu benca alam atau efek-efeknya akan lebih aktif dalam proses mitigasi bencana.
Pada abad klasik Islam, Jalal al-Din al-Suyuthi (w.911/1505) berupaya mengembangkan teologi bencana, khususnya gempa bumi. Dia menulis kitab Kasyf al-Salsalah an Wasf al-Zalzalah atau Mengungkap Keterkaitan tentang Karakter Gempa Bumi (Ambrasesys, 2008 dalam Nur Ichwan, 2012). Ini bukan buku geologi tentang gempa bumi, namum lebih merupakan buku teologi tentang gempa bumi. Sesuai kondisi abad klasik, buku ini lebih mengedepankan pendekatan tekstual yang kental, dengan mendeduksi pemikiran teologis dari Al-Quran, Sunnah, atsar (ketetapan hukum) sahabat, dan pendapat-pendapat ulama sebelumnya tentang gempa bumi.

Buku Jalal al-Din al-Suyuthi tersebut merupakan upaya rintisan yang luar biasa untuk dikembangkan lebih jauh. Beberapa intelektual muslim Indonesia yang mulai mengembangkan diantaranya adalah Ali Yafie dengan Fiqih Lingkungan; Teologi Lingkungan-nya Moelyono Abdillah; dan Fachruddin Mangunjaya dengan Konservasi Islam. Pada tahun 2004 pernah pertemuan ulama pesantren di Sukabumi untuk menggagas fiqih linkungan (fiqih al-biah), tapi tidak ada tindak lanjut sesudahnya, kecuali penerbitan laporan pertemuan.

Mayoritas masyarakat lereng Gunung Merapi adalah muslim. Hampir semuanya percaya bahwa Gunung Merapi memiliki penjaga. Bagi golongan tua menyebut penjaga Gunung Merapi dengan sebutan Mbah/Simbah, sehingga dikenal dengan adanya Mbah Petruk di lereng Utara Merapi (Selo dan Cepogo, Boyolali), dan Mbah Kyai Sapu Jagat di lereng Selatan Merapi (Sleman). Untuk golongan muda karena pengaruh pendidikan sudah menganggap penjaga Gunung Merapi adalah malaikat gunung, yang juga merupakan makhluk ciptaan Tuhan.

Kedua golongan masih menjaga kuat keyakinan tersebut, sehingga terwujud dalam perilaku terhadap Gunung Merapi. Seperti kepercayaan masyarakat lereng Utara Merapi terhadap Mbah Petruk. Menurut Susiyanto (2010) nama asli Mbah Petruk sebenarnya adalah Kyai Handoko Kusumo. Kyai Handoko ini merupakan penyebar Islam di Gunung Merapi pada era 1700-an.

Kyai Handoko Kusumo adalah seorang keturunan Arab. Bentuk hidungnya yang lebih mancung dari kebanyakan orang Jawa itulah yang membuat dirinya dikenal dengan nama Mbah Petruk oleh masyarakat setempat. Pada masa tuanya, Mbah Petruk diperkirakan meninggal di Gunung Bibi dan jasadnya tidak pernah diketahui. Hal inilah yang memunculkan anggapan spekulatif bahwa dirinya telah moksa.

Oleh karena itu, kawasan hutan Gunung Bibi yang merupakan Merapi Tua sangat terjaga kelestariannya. Masyarakat masih mempercayai Mbah Petruk, sehingga warga turut aktif menjaga kelestarian hutan di bawah bimbingan Kyai setempat, KH. Muhammad Solikhin. Saat erupsi tahun 2010 masyarakat lereng Gunung Bibi (dusun Wonopedut, Desa Wonodoyo, Cepogo) berlindung ke dalam masjid sambil melantunkan doa-doa.

Dalam menghadapi risiko bencana, masyarakat tidak hanya dituntut untuk beradaptasi secara fisik dengan alam, tetapi juga adaptasi sosial dan budaya yang dibingkai pemahaman agama. Proses adaptasi yang pernah dilakukan oleh masyarakat lokal sejak waktu yang cukup lama terbukti bertahan dalam kondisi bencana. Dalam proses ini akan dijumpai strategi budaya masyarakat berupa resistensi atau fleksibilitas dengan berbagai tindakan sosial dan budaya yang unik seperti ritual, mitos dan legenda; baik hal baru maupun lama tetapi diperbarui (Hoffman & Oliver-Smith 2002 dalam Malik, 2012). Allaahualam.

Kantor Resort Kemalang TNGM, 25 Mei 2018

Jumat, 04 Mei 2018

MUSLIM BERILMU


Untuk mengajarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, Allah SWT menurunkan Rasulullah Saw untuk membina ummat selama kurang lebih 23 tahun. Metode yang digunakan adalah tarbiyah atau pendidikan. Tak heran kader-kader yang dibina oleh Rasulullah Saw adalah generasi hebat yang selalu dikenang sepanjang masa.

Cahaya Jumat Tribun Jogja 4 Mei 2018

Melalui pendidikan  tarbiyah mereka mencapai derajat yang tinggi, yakni orang-orang yang berilmu. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi manfaat dan barokah bagi alam berikut isinya. Tanpa iman, akal akan berjalan sendirian sehingga muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia.

Demikian pula iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengelola alam berikut isinya. Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah SWT maupun manusia (QS. Al Mujadilah (58) : 11). Bahkan setan kewalahan terhadap muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat setan.

Sahabat Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang yang berakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.”

Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”

Kebodohan adalah salah satu faktor kemunduran ummat dan penyebab kerusakan. Oleh karena itu, Rasulullah Saw menggunakan metode tarbiyah melalui pengajaran di emperan masjid Nawabi, Madinah (Shuffah). Rasulullah Saw menunjuk Ubaidah bin Shamit ra menjadi guru di madrasah Al-Shuffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Komunitas ilmuwan Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. Melalui pendidikan yang dilandasi aqidah yang benar akan menjadi manusia yang berilmu sehingga terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah-belah. Bahkan semua permasalahan umat Islam dapat diselesaikan jika kembali pada worldview Islam dan tradisi keilmuan. Allahu ‘alam.

Patangpuluhan, 3 Mei  2018, pukul 17.30 WIB

Jumat, 13 April 2018

JAGA SHALAT BERJAMA'AH DI MASJID


Dalam bukunya Ustad Zulfi Akmal (2014) menceritakan kisah Imam ‘Ubaidillah bin Umar al Qawariry, yang merupakan salah seorang di antara guru Imam Bukhari dan Muslim. Beliau menceritakan tentang pengalamannya:
Rubrik Cahaya Jumat koran TRIBUN JOGJA, Jumat 13 April 2018
Aku hampir tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Suatu hari aku kedatangan tamu yang membuatku terlambat melakukan shalat Isya berjama’ah. Setelah itu aku pergi keluar mencari orang untuk teman shalat berjama’ah di antara qabilah-qabilah Bashrah. Tapi sayangnya semua orang sudah shalat.
Aku berbisik di dalam hati, Rasulullah Saw pernah bersabda: “Shalat berjama’ah lebih utama dari pada shalat sendirian dengan 27 derajat”. Akhirnya aku pulang lagi ke rumah. Sesampai di rumah aku mengerjakan shalat Isya sebanyak 27 kali. Setelah itu aku langsung tidur.
Di dalam tidurku, aku bermimpi melihat diriku bersama serombongan orang yang lagi menunggang kuda. Aku juga menunggangi kuda. Kami saling berpacu. Namun kuda-kuda mereka mampu memacu kudaku. Lalu aku memukul kuda tungganganku supaya ia menyusul mereka.
Tiba-tiba orang yang berada di akhir rombongan menoleh kepadaku dan berkata: “Jangan paksa kudamu! Engkau tidak akan bisa menyusul kami” Aku bertanya: Kenapa? Dia menjawab: Karena kami shalat Isya berjama’ah.
Bagaimana dengan shalat jamaah kita? Berapa shalat jamaah yang kita tinggalkan? Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. (HR. Abu Daud, Ahmad, Hakim, Baihaqi). Peristiwa Isra’ Miraj yang ummat Islam peringati esok  hari juga turut menjelaskan pentingnya shalat bagi seorang muslim.
Selain manfaat bagi diri-sendiri, disyariatkannya shalat berjama’ah adalah untuk mengokohkan ukhuwah Islamiyah. Apalagi saat ini menyongsong tahun politik yang akan lebih banyak membutuhkan kesabaran dalam berinteraksi dengan sesama saudara. Tentu pelajaran kesabaran akan banyak diperoleh dalam shalat berjama’ah di masjid. Seyogyanya seorang muslim tidak meninggalkan shalat jama’ah, karena banyak pahala, hikmah, dan keutamaan didalamnya. Wallaahu’alam.
Patangpuluhan, 12 April 2018 pukul 19.00 WIB

Senin, 26 Februari 2018

KRISIS AIR CAPE TOWN & FILOSOFI PEMBANGUNAN KRATON JOGJA

Saat beberapa kota di Indonesia dilanda bencana alam banjir, kota Cape Town, Afrika Selatan mengalami krisis air. Bahkan Cape Town diperkirakan akan menjadi kota pertama di dunia yang akan mengalami krisis air pada tahun 2018 ini. Pejabat pemerintahan Afrika Selatan memproyeksi kota yang terletak di ujung Selatan benua Afrika ini masih memiliki cadangan air hingga 22 April 2018, sebelum kemudian benar-benar habis (Day Zero).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 Februari 2018

Jika Cape Town benar-benar mencapai Day Zero, pihak berwenang akan mematikan keran air di seluruh kota dan menyisakan aliran di daerah yang paling miskin saja. Pemerintah kota sekarang sudah mematok batas konsumsi air, masing-masing warga hanya punya jatah 50 liter air dari sebelumnya 87 liter untuk seluruh kebutuhannya.  Kapasitas empat bendungan yang menjadi tumpuan kebutuhan air Cape Town, yakni Berg River, Steenbras Lower, Steenbras Upper, Theewaterskloof, Voelvie, dan Wemmershoek sudah berada di bawah 30 persen.

Musim kemarau yang berkepanjangan selama tiga tahun, ditambah curah hujan rendah melanda kawasan berpenduduk 4 juta jiwa ini. Cape Town Water Crisis menyebutkan bahwa perubahan iklim semakin nyata dengan pola curah hujan telah berubah secara dramatis dalam dua dekade terakhir (2018).  Pemerintah kota telah diperingatkan agar merancang sistem pasokan air untuk menanggulangi masalah krisis air dan kekeringan jangka panjang yang diperkirakan akan sering terjadi di masa mendatang.

Kekeringan di Cape Town adalah sebuah gejala ekstrim dari fenomena perubahan iklim, termasuk Indonesia. Krisis air yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia pada  umumnya disebabkan faktor geografis, bencana alam, dan musim kemarau yang panjang. Kondisi ini harus disiasati dengan memperhatikan pembangunan wilayah, jangan sampai kawasan yang menjadi daerah tangkapan air (water catchment area) mengalami kerusakan lingkungan.

Salah satu daerah tangkapan air Propinsi DIY adalah kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Pada tahun 2001 Gubernur DIY, Sri Sultan HB X mengajukan insiatif pembentukan kawasan TNGM kepada Menteri Kehutanan dengan alasan kawasan Gunung Merapi adalah daerah tangkapan air. Kawasan ini harus dilindungi karena perannya yang sangat vital dalam memenuhi hajat hidup penduduk DIY dan Jawa Tengah.

Awal mula kota Yogyakarta sendiri adalah kawasan rawa yang bernama Umbul Pacethokan dan hutan Beringin. Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I kemudian melakukan babat alas dan mendirikan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sekarang menjadi pusat kota Yogyakarta. Inilah kejeniusan Sultan HB I sebagai arsitek kota dengan memilih pusat pemerintahan pada area yang aman dari krisis air.

Demikian pula letak kota Yogyakarta yang diapit 2 sungai besar yakni Sungai Code dan Winongo yang kemudian dibelokkan alirannya ke Timur dan ke Barat dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan. Potensi cadangan air ini jangan sampai membuat terlena dengan pembangunan yang membabi-buta tanpa mengindahkan konservasi air.

Salah satu contohnya selain masih borosnya perilaku masyarakat dalam menggunakan air, juga meningkatnya pertumbuhan hotel dan apartemen yang menggunakan air tanah, bukan dari PDAM. Bahkan hampir tiap tahun kondisi air tanah di Yogyakarta mengalami penurunan hingga 50 cm (Puteri, 2017). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan terpadu sumberdaya air agar dapat dimanfaatkan secara lestari.

Pengelolaan terpadu sumberdaya air adalah suatu proses yang mengintegrasikan pengelolaan air, lahan dan sumberdaya terkait lainnya secara terkoordinasi dalam rangka memaksimalkan resultante ekonomi dan kesejahteraan sosial secara adil tanpa mengorbankan keberlajutan ekosistem (Global Water Partnership, 2000 dalam Sukrasno dkk, 2004).

Air diyakini sangat penting dalam menunjang kehidupan. Bahkan para ahli memprediksikan bahwa suatu saat nanti, perang bukan lagi karena minyak tapi karena kelangkaan air (Time, 1990). Untuk itu perlu dipahami bahwa usaha konservasi air adalah langkah empiris yang memberikan kesempatan hidup semua makhluk di bumi.

Mendudukkan semua makhluk pada tingkat kesetaraan yang egaliter maka usaha ini merupakan salah satu pencerminan maupun penjabaran dari filosofi pembangunan budaya Yogyakarta, yaitu hamemayu hayuning bawono yang pada dasarnya merupakan suatu komitmen untuk selalu berpihak kepada masyarakat dalam arti keseluruhan beserta lingkungannya dengan mewujudkan masyarakat yang ayom, ayem, tata, titi, tentrem dan kerta raharjo; karena masyarakat dalam keadaan seperti ini akan mendahulukan kebutuhan daripada keinginannya yang mampu menahan hausnya keserakahan sebagai perusak utama lingkungan (Sunjoto, 2009).

Filosofi hamemayu hayuning bawono yang dicetuskan oleh Sultan Agung Hanyokrokusuma dan dilanjutkan oleh Sultan HB I semoga tetap lestari. Falsafah ini dapat menjadikan konsep pembangunan selalu berpihak pada konservasi air sehingga masyarakat dapat mencapai kesejahteraan hakiki dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dari generasi ke generasi. Allaahu alam.


Patangpuluhan,  17 Februari 2018, pkl 10.35