Sabtu, 23 Februari 2019

JANGAN ANGGAP REMEH PARKIR

Pagi ini saat akan jemput anak-anak di sekolah makjegagik kaget,  ada daihatsu hijet putih (bukan tayo-nya Om Jack😂) parkir tepat di depan keluar masuk rumah. Padahal gerobag juga sudah siap meluncur,  di halaman juga ada 2 gerobag milik Om dan adik sepupu. Sungguh heran campur mangkel.

kendaraan sering banget parkir depan pintu pekarangan rumah😁

"Ini kok orang parkir tidak lihat kondisi sekitar, apakah menghalangi jalan orang lain atau tidak," batinku. Anggapannya mungkin dia nyaman parkir,  orang lain emang gue pikirin 😬.

Beberapa tahun terakhir ini fenomena seperti itu cenderung meninkat. Bahkan 2 bulan yang lalu ada mobil dengan 'nyaman' parkir di halaman masjid,  persis menghalangi jamaah salat masuk masjid.  Langsung aku foto terus kirim grup whatsapp masjid,  ternyata tidak ada yang tahu. Padahal ada jamaah difabel,  yang kakinya pincang karena habis operasi lutut 😬.

Plat B parkir 'nyaman' di masjid 😁

Telusur-telusur ternyata pemilik kendaraan adalah saudaranya salah satu warga yang memang jarang berinteraksi dengan kegiatan warga, apalagi masjid.

Kalau para doktor seperti DR.  Adian Husaeni mengatakan pemilik kendaraan ini tidak punya adab atau etika, yakni kemampuan mengetahui sesuatu pada tempatnya.  Sampai beliau Dr. Adian dan para ahli membuat buku dan kajian "The Lost of Adab", hilangnya adab dalam negeri ini.

Kalau Kang Saptuari Sugiarto lebih sadis lagi. Dalam media sosialnya beliau pasang gambar meme "Mana yang lebih perih: punya mobil tapi gak punya garasi atau punya garasi tapi gak punya mobil". Inilah dampak dari mudahnya kredit kendaraan.

Antara mobil dan garasi mana yang lebih penting? 

Untung salah satu warga pernah usul dalam sarasehan atau temu RT, agar mobil tidak parkir di jalan,  apalagi sehari-semalam. Bagaimana jika ada kebakaran, mobil pemadam kebakaran lewat mana??
Salah satu solusi mobil bisa parkir di lahan tetangga yang aman dan tidak menganggu.

Perkara parkir kendaraan memang perkara sepele,  tapi dapat menjadi masalah besar jika ada pembiaran. Apalagi jika membuat orang lain susah. 

Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi ia menyakiti tetangga-tetangga dengan mulutnya.”. Maka berkatalah Rasulullah SAW: “Sungguh ia termasuk ahli Neraka.”

Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau Si Fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah SAW berkata: “Sungguh ia termasuk ahli Surga.” (HR.Muslim).

Ada satu pelajaran penting dari hadis di atas. Banyaknya ibadah tetapi adabnya rusak tidak membawa manfaat apa pun. Amalnya tidak bisa menyelamatkan dirinya, karena jiwanya buruk. Sebaliknya, jiwa yang bersih meski amalnya sedikit bisa menyelamatkan dirinya.

Sebagian ulama menasihati anaknya: “Wahai anakku, belajar satu bab adab itu sesungguhnya lebih aku sukai daripada kamu belajar tujuh puluh bab ilmu”. Imam Malik pernah menasihati imam Syafi’i ra: “Wahai Muhammad (Muhammad bin Idris As-Syafii), jadikanlah ilmu kamu sebagai garam dan adab mu sebagai tepung”.

Semoga menjadi pelajaran utama bagi penulis.

SDIT Alam Nurul Islam, 23 Februari 2019, pukul 11.00 WIB

Rabu, 06 Februari 2019

UMROHKAN IBUMU!

Tanggal 18 Januari 2019 teman kementerian kehutanan (sebuat aja Fulan) menghubungi untuk tanya info tentang umroh yang pernah kita posting di Facebook. Saat itu pas ada paket umroh 10 hari seharga Rp 16 juta, dengan cukup bayar uang muka untuk booking seat pesawat Rp 3 juta/orang. Fulan ini berencana mengajak ibunya untuk umroh. Langsung saya katakan kalau memang sudah tersedia uang untuk booking seat cepat diamankan terlebih dahulu, karena paket umroh hemat seperti ini dalam hitungan hari bahkan jam langsung habis. Insya Allah kalau niat kuat untuk ibadah dan birul walidain (berbakti kepada orang tua) akan dimudahkan dan dilancarkan oleh-Nya.

Esok harinya Fulan ini langsung kirim foto KTP dan transfer uang untuk booking seat. Setelah beres masalah lain muncul, yakni padatnya antrian pembuatan paspor. Kita beri info tentang kepengurusan paspor, suntik meningitis hingga biometrik (aturan baru dari Saudi Arabia). Sambil terus motivasi Fulan ini, Allah SWT akan beri kemudahan bagi yang husnudzon kepada-Nya.

Siang tadi sekitar pukul 11.14 WIB Fulan memberi kabar bahwa semua urusan dengan imigrasi sudah selesai, tinggal kirim berkas untuk pembuatan visa, sambil mengucapkan banyak terima kasih. Alhamdulillah, hati ini langsung ‘maknyes’ ikut bahagia sekali telah membantu saudara untuk beribadah. Sebuah kepuasan batin yang tidak terganti.



Memang benar sabda Rasulullah Saw untuk memuliakan orang tua, terutama ibu yang telah melahirkan kita, hingga kata ‘Ibu’ disebutkan sampai 3 kali oleh Rasulullah Saw:  “Ibumu .. ibumu .. dan ibumu.” Beberapa kali kita menyarakan kepada saudara dan teman jika masih mempunyai orang tua agar diajak untuk beribadah ke rumah-Nya, Baitullah. Yakin Allah SWT akan memudahkan semua urusan kita, termasuk kebarokahan akan senantiasa melingkupi hidup kita. Panggilan ke rumah-Nya adalah panggilan iman, bukan karena kita mampu, karena sangat banyak muslim yang sangat mampu ekonomi tapi belum sampai rumah-Nya. Malah tidak sedikit yang kurang mampu sudah sampai ke rumah-Nya. Masih ragu untuk beribadah ke rumah-Nya? Ingat tiap saat usia bertambah, dan kematian semakin dekat. Alllahu’alam.

Umroh Keluarga Hemat Yogyakarta, 6 Februari 2019

Sabtu, 22 Desember 2018

dari DESA RAMAH BURUNG ke DESA WISATA dan TANGGUH BENCANA

Pada KTT perubahan iklim ke-24 (COP 24) yang dilaksanakan di Katowice, Polandia pada tanggal 3 s/d 12 Desember 2018 Indonesia berperan menjadi percontohan negara berkembang dalam pengembangan kapasitas pengendalian perubahan iklim. Peran aktif Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim ini dibuktikan dengan semakin banyaknya aksi riil yang dilaksanakan masyarakat di daerah. Aksi riil ini sebagian besar diinisiasi dan dilaksanakan masyarakat secara swadaya di kelurahan atau pedesaan. Harapan masyarakat memang tidak hanya pada pengendalian perubahan iklim, tetapi menjadi kelurahan/desa tangguh bencana.


Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 22 Desember 2018

Salah satu contoh aksi riil masyarakat kami sampaikan dalam pertemuan Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia di Jakarta (19/12) dengan menceritakan Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Desa ini terletak di dataran tinggi Pegunungan Menoreh yang mempunyai karateristik geomorfik rawan longsor lahan. Hasil survei menunjukkan bahwa selama 20 tahun (1990-2009) terdapat 187 kejadian longsor dengan empat tipe longsor yang tersebar di 6 kecamatan Kawasan pegunungan Menoreh (Priyono dkk, 2011). Kejadian bencana longsor lahan tersebut umumnya terjadi pada saat dan atau setelah kejadian hujan.

Longsor lahan akan terjadi pada saat ada hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu yang lama. Hujan selama lima hari terus menerus dengan intensitas 90 mm/hari atau lebih dapat meningkatkan frekuensi terjadinya longsor. Wahyono (1997) menyampaikan bahwa pada kenyataannya tidak semua wilayah berlereng mempunyai potensi longsor dan hal itu tergantung pada karakter lereng beserta materi penyusunnya terhadap respon tenaga pemicu terutama respon lereng terhadap curah hujan. Akhir tahun 2017 kemarin saat beberapa wilayah DIY dilanda longsor dan banjir akibat badai Cempaka, wilayah Desa Jatimulyo termasuk yang paling kecil kerusakan akibat longsor.

Hal ini karena masyarakat Jatimulyo menyadari akan kondisinya yang rawan longsor lahan dengan tetap mempertahankan hutan rakyatnya. Semua hutan rakyat yang ada di desa dengan luas wilayah 1.629,06 hektar ini milik warga lokal yang dibudidayakan dengan cara wanatani (agroforestry). Hutan rakyat ini merupakan kawasan tangkapan air dan habitat tumbuhan satwa liar yang unik dan spesifik. 7 obyek wisata alam berbasis mata air dan air terjun, yakni Kembangsoka, Goa Kiskendo, Curug Setawing, Grojogan Sewu, Kedung Pedut, dan Sungai Mudal mengantarkan Desa Jatimulyo memperoleh juara III Desa Wisata terbaik tingkat DIY pada tahun 2015.

Untuk melindungi 94 jenis burung di Jatimulyo (24 persen total jenis burung di DIY), tahun 2014 dikeluarkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 8 yang melarang kegiatan perburuan di seluruh kawasan Desa Jatimulyo. Sejak saat itu Desa Jatimulyo mendeklarasikan diri menjadi Desa Ramah Burung. Salah satu jenis burung asli yang cukup sulit ditemukan di daerah lain, yakni Sulingan atau Sikatan Cacing (Cyornis banyumas) dijadikan brand nama produk unggulan Desa Wisata Jatimulyo, yakni Kopi Sulingan.

Tanaman kopi dipilih menjadi produk utama dari sistem wanatani hutan rakyat, karena kopi dibudidayakan dengan sistem ‘shaded grown tree’, yakni ditanam dibawah tegakan pohon atau di bawah naungan. Budidaya kopi dengan sistem ini mendukung fungsi konservasi tanah dan air dalam jangka panjang (Mulyoutami dkk, 2004). Kopi Sulingan menjadi salah satu dari empat alternatif pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan Desa Jatimulyo, yakni (1) Usaha kopi; (2) Ternak lebah klanceng; (3) Produksi gula aren; (4) Wisata tirta (Suparno, 2018).

Produk dari wanatani lain adalah tanaman buah; seperti salak, kelapa, pisang, jengkol, petai, nangka, rambutan, sawo hijau, alpukat, sukun, kakao, kopi, cengkeh; tanaman kayu yakni sengon, mahoni, waru, saman; tumbuhan obat yakni kapulaga, mahkota dewa, dan tumbuhan pakan ternak yakni kaliandra, singkong, gliricideae/polong-polongan (Budi dkk, 2012). Sistem wanatani hutan rakyat dijalankan oleh warga melalui 3 Kelompok Tani Hutan, yakni Wanapaksi, Mudhotomo, dan Karya Tani. Pengetahuan tentang wanatani mengantarkan warga memahami juga tentang peran konservasi tanah dan air dalam mitigasi bencana alam, yakni bencana longsor lahan.

Agar fungsi konservasi dan mitigasi bencana berjalan sinergis, pada tanggal 24 Mei 2017 Pemdes Jatimulyo membentuk kepengurusan Tim Siaga Bencana agar menjadi Desa Tangguh Bencana. Masyarakat Jatimulyo menyadari bahwa penanggulangan bencana alam bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi melalui kapasitas masyarakat yang bertumpu pada kemampuan sumber daya setempat (community disaster management). Transformasi Desa Jatimulyo dari Desa Ramah Burung menjadi Desa Wisata dan Desa Tangguh Bencana merupakan salah satu upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan bencana alam berbasis potensi masyarakat lokal.

Menara Peninsula Hotel, 19 Desember 2018 pukul 11.00 WIB

Senin, 26 November 2018

SERANGAN TAWON NGLANGGERAN

4 hari silam belasan wisatawan dan petugas obyek wisata minat khusus Gunung Api Purba di Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul terluka akibat serangan tawon (KR, 22/11). Dua orang petugas bahkan dibawa ke RS Nurrohmah Gunungkidul untuk mendapatkan perawatan intensif. Berita koran KR tanggal 22 dan 23 Nopember 2018 ini langsung saya share ke grup whatsapp Darurat Tawon Klaten.

Terbit di Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 Nopember 2018

Hampir 2 tahun ini terjadi ledakan populasi tawon ‘ndas’ (Vespa affinis) di wilayah Klaten. Tercatat sudah 6 orang (3 anak-anak dan 3 lansia) meninggal dunia akibat ‘diserang’ tawon, korban terakhir tanggal 11 Nopember 2018. Kasus inilah yang mendasari pembentukan grup darurat tawon klaten. Walaupun sudah berjalan hampir satu tahun tapi kelompok yang terdiri dari Peneliti LIPI, dokter, pemerhati lingkungan, SAR, Pemadam Kebakaran ini belum optimal dalam penanganan serangan tawon, karena masih kurangnya dukungan Pemerintah Daerah.

Akhirnya kelompok ini bekerja swadaya semaksimal kemampuannya, terutama sosialisasi langsung ke masyarakat dan media massa. Salah satunya adalah pengetahuan masyarakat yang masih kurang tentang dunia serangga. Kasus di Nglanggeran ini ‘pelakunya’ menurut dugaan ahli serangga adalah tawon ndas (Vespa affinis), sama dengan kasus di Klaten. Walaupun lebah (Apis dorsata) yang disebutkan dalam berita KR ini juga dapat menyerang apabila terganggu.

Padahal ada perbedaan antara lebah (bee) dan tawon (wasp), yang utama adalah lebah menghasilkan madu sedangkan tawon tidak. Persamaannya adalah serangga ini menjadi agresif jika merasa terganggu. Dalam artikel medis ‘Journal of Emergency Practice and Trauma’ volum 2 tahun 2016 disebutkan bahwa korban sengatan tawon ndas (Vespa affinis) menderita gagal ginjal akibat racun sengatannya.


6 korban meninggal di Klaten juga disebabkan karena penanganan yang terlambat dan kurang tepat. Dokter Tri Maharani (ahli penanganan korban racun satwa) menganjurkan pertolongan pertama (First Aid) untuk korban sengatan tawon, yakni cabut sungutnya, perawatan luka, kompres dengan es, beri obat analgesik oral, dan corticosteroid (2018). Untuk tahap trauma perlu penanganan khusus di rumah sakit.


Sedangkan untuk penanganan peningkatan tawon juga perlu pengetahuan yang memadai. Perlu diingat serangga membawa peran besar bagi kelangsungan hidup manusia, terutama untuk keseimbangan ekologi. Tawon ndas Vespa affinis juga memiliki peran dalam mengendalikan hama pertanian jenis ulat pemakan daun dan serangga kecil lain. Peran lain yang sangat penting dari serangga adalah indikator dari adanya perubahan iklim dan kebersihan lingkungan.


Interaksi tawon dengan manusia ada 4 tingkat, yakni 1. Tidak terganggu/mengganggu, sehingga tercipta Rukun-Harmonis; 2. Terganggu, tapi menghindar; 3. Terganggu, menyerang karena bertahan/melindungi diri; 4. Terganggu, memiliki kemampuan melawan dan menyerang (Kahono, 2018). Selain itu juga perlu diperhatikan tentang peristiwa yang mendahuli terjadinya serangan tawon; yakni melimpahnya jumlah pakan; sedikitnya musuh alami atau kompetitior rendah; habitat bersarang asli yang berkurang sehingga mendekati pemukiman penduduk; seringnya perjumpaan dengan manusia; memyengat karena tidak sengaja (melindungi diri); dan tedesak/terpaksa karena melindungi koloninya.

Dalam pengendalian tawon perlu juga memperhatikan berikut ini; yakni Pengendalian populasi hendaknya melalui pengelolaan dengan memperhatikan prinsip ekologi; eradikasi dan pemindahan sarang/koloni; pemusnahan sarang hanya pada lokasi yang membahayakan manusia; dan keselamatan jiwa masyarakat adalah hal utama (Nugroho, 2018). Selain itu jika dilakukan penanganan sarang tawon juga perlu memperhatikan hal-hal berikut ini, yakni: 1. Tawon termasuk diurnal, yakni aktif pada siang hari; 2. Penanganan diusahakan dengan tidak membakar sarang karena akan membuat tawon agresif; 3. Memindahkan sarang tawon pada saat malam hari atau hujan, karena saat tersebut tawon tidak aktif; 4. Lebih baik memindahkan sarang tawon saat ukuran masih kecil; dan 5. Membuat tanda khusus lokasi sarang tawon yang tidak dipindahkan atau tidak dimusnahkan.

Tentu penanganan akan lebih optimal jika melibatkan semua potensi pemerintah dan masyarakat, karenan wabah tawon merupakan penanganan jangka panjang. Wabah tawon mengajarkan kembali kepada manusia agar lebih mengenal alam sekitar, serta hidup harmonis berdampingan bersamanya.


Patangpuluhan, 23 Nopember 2018 pukul 11.00WIB

Senin, 05 November 2018

MERAJUT KEDAULATAN BANGSA MELALUI AVITURISME

Ditengah semangat peringatan kebangkitan pemuda 90 tahun yang lalu, sekelompok muda asyik dan serius bekerja untuk bangsa. Mirip dengan pendahulunya, mereka juga berjuang untuk kedaulatan dan masa depan bangsa. Perjuangan utama mereka adalah agar bangsa ini memiliki kedaulatan dalam bidang sains ornithology (burung) serta konservasi burung Indonesia.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 5 Nopember 2018

Sebuah fakta kekayaan jenis burung Indonesia luar biasa, ada 1700 jenis. Urutan ke empat di dunia, sedangkan dari segi endemisitas (jenis asli) menempati urutan pertama. Bertentangan dengan kekayaan jenis, kondisi ahli burung Indonesia masih menyedihkan. Jumlah ahli taksonomi burung masih sangat minim, dari 1700 jenis burung hanya dua orang Indonesia yang jadi pendeskripsi utamanya.

Satu-satunya jurnal ilmiah ornitologi Indonesia yang bernama Njawani, yakni Kukila; dan berlogo burung endemik Sulawesi -Maleo-, editornya tidak ada dari Indonesia. Oleh karena itu, sekelompok pemuda tiap tahun getol menyelenggarakan pertemuan nasional untuk merajut kedaulatan bangsa melalui Pertemuan Pengamat Burung Indonesia atau PPBI.

Tahun 2018 ini adalah PPBI ke VIII diselenggarakan pada tanggal 2 sampai 4 November 2018 di Yogyakarta, tepatnya di Universitas Ahmad Dahlan dan Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Tema yang dipilih adalah Merajut Aviturisme Indonesia. Tema ini terinspirasi kisah sukses Ibu Shita selama 20 tahun mengelola wisata alam aviturisme di Papua yang berhasil merajut kedaulatan bangsa melalui pelibatan masyarakat lokal.

Program penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam kegiatan wisata alam aviturisme di Papua mampu meningkatkan ekonomi desa, sekaligus melindungi kekayaan alamnya. Warga dididik dan dilatih mengenal potensi keanekaragaman hayatinya terutama potensi burung surga cenderawasih (Paradise Bird), sehingga menjadi pemandu wisata alam yang handal. Papua kini menjadi salah satu aviturisme favorit para birder (pengamat burung) tingkat dunia.

Aviturisme adalah perjalanan wisata alam untuk melihat dan mengamati burung di habitatnya (Nicolaides, 2013). Aviturisme merupakan gabungan dari wisata alam (ecotourism) dan pengamatan burung (bird watching/birding). Ekowisata sendiri adalah aktivitas wisata berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, pendidikan/pembelajaran, serta pemberdayaan masyarakat lokal.
Sedangkan pengamatan burung adalah kegiatan mengamati segala tingkah laku burung di habitat alam dengan menggunakan peralatan seperti binokuler (teropong) atau kamera. Birder (pengamat burung) biasanya tidak hanya melakukan kegiatan birding, tapi juga aktif dalam kegiatan konservasi alam lainnya, seperti penanaman pohon, aksi kebersihan lingkungan dan lainnya. Tiongkok dan Afrika Selatan adalah salah satu dari negara yang giat mempromosikan aviturisme untuk meningkatkan kunjungan pariwisata.

Alasan utama dipilihnya Desa Jatimulyo sebagai tempat PPBI VIII karena sudah bertransformasi menjadi Desa Ramah Burung melalui Perdes No. 6 tahun 2014. Desa ini  memiliki 95 jenis burung, 18 diantaranya berstatus dilindungi Negara. Jatimulyo juga memiliki produk unik ‘Kopi Sulingan’, dimana  kata sulingan berasal dari nama lokal burung Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), sejenis burung pemakan serangga yang cantik dan bersuara merdu, yang sulit ditemukan di daerah lain.

Daerah lain yang sering dikunjungi untuk aviturisme lingkup Propinsi DIY adalah Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), pantai Trisik Kulonprogo, Kawasan Candi Prambanan, dan Pantai Ngongap Gunung Kidul (Taufiqurrahman, 2018). Bahkan tiap 2 tahun sekali Balai TNGM menyelenggarakan lomba pengamatan burung tingkat nasional.

Selain itu sebenarnya aviturisme dapat menjadi wahana pendidikan dan pembelajaran. Hal ini dipraktekkan oleh Bapak Lim Wen Sin yang meng-edukasi warga Dusun Cacahan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman melalui burung pemangsa burung hantu jenis Serak Jawa (Tyto alba javanica). Warga desa dilatih untuk memanfaatkan burung hantu sebagai pengendali hama pertanian jenis tikus.

Hasil dari pemanfaatan burung hantu dapat meningkatkan hasil pertanian sebanyak 15 hingga 20 persen. Pengamatan Lim Wen Sin (2017) sepasang burung hantu yang menyuapi 2 anaknya dalam 2,5 bulan dapat memakan 1.080 ekor tikus. Kini Dusun Cacahan menjadi salah satu lokasi aviturisme sekaligus belajar pertanian ramah lingkungan.

Aviturisme tentu menimbulkan multi efek bagi ekonomi masyarakat lokal, karena birder tentu juga akan membutuhkan makanan, jasa pemandu, transportasi, penginapan, dan lain sebagainya. Sugeng rawuh birders peserta PPBI VIII di Yogyakarta, selamat bekerja untuk Merajut Kedaulatan Bangsa!

Yogyakarta, 31 Oktober 2018 pukul 07.01 WIB

Sabtu, 13 Oktober 2018

Menjawab Ya... ya... ya.. berhaji 3 kali

Suatu ketika,  Kyai Cholil memanggil Abdullah,  salah seorang santrinya, yang dikenal sangat miskin. 

"Abdullah, kamu pergi haji tahun ini juga ya!" kata Kyai Cholil. 


Perintah Kyai Cholil itu tentu amat membingungkan Abdullah. Bagaikana ia bisa pergi haji kalau untuk makan sehari-hari saja teramat susah. Namun demikian, ini adalah perintah gurunya. 

"Ya...  ya ... ya... , Kyai, " jawabnya terbata-bata,  sambil mengangguk berkali-kali. 

Kali lain,  Kyai Cholil memanggil Zaid,  santrinya juga,  yang tergolong dari keluarga berada. 

"Zaid,  kamu segera pergi haji ya!" kata Kyai Cholil. 

Meski dari keluarga berada,  bagi Zaid untuk pergi haji harus dipikirkan seribu kali. Sebab,  selain ongkos pergi haji tidak sedikit, juga perjalanannya ke tanah Arab cukup berat. Karena itu Zaid menjawab, 
"Saya tidak mampu untuk pergi haji,  Kyai."

Di kemudian hari,  Abdullah benar-benar bisa pergi haji berkali-kali, sebanyak anggukan kepala ketika menjawab perintah Kyai Cholil.

Abdullah pergi haji pada tahun itu juga.  Sementara Zaid hingga akhir hayatnya tak pernah mampu menunaikan ibadah haji. 


*dari buku 'Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU',  Editor: Saifullah Ma'shum,  Mizan: 1998.


Jumat, 21 September 2018

MEMAHAMI SOAL KEBAKARAN GUNUNG


Hampir satu bulan ini beberapa Kawasan gunung dilanda kebakaran hutan. Gunung Lawu, Sumbing, Sindoro, bahkan Merapi tidak luput dari kebakaran pada tahun ini. Untuk penanggulangan kebakaran lahan di Gunung Sumbing dan Sindoro sendiri Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengerahkan helikopter yang dapat menjatuhkan bom air.

Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 21 September 2018

Medan yang sulit di lereng yang curam merupakan alasan utama pemadaman menggunakan bom air. Apalagi bulan Agustus dan September merupakan puncak musim kemarau. Cuaca kering dan panas ekstrem membuat api mudah tersulut dan cepat menyebar. Walaupun sejatinya penyebab utama kebakaran hutan bukan alam, tapi manusia.

Berita KR (18/9) menyebutkan bahwa Polres Temanggung sudah menangkap salah satu tersangka perambah dan pembakar hutan lindung Gunung Sindoro. Tersangka tersebut adalah seorang petani, warga desa yang tinggal di lereng Gunung Sindoro. Di Pulau Jawa warga desa memang terlibat dalam pengelolaan Kawasan hutan, baik hutan produksi, lindung maupun hutan negara (Kawasan konservasi).

Warga desa atau petani yang terlibat dalam pengelolaan hutan disebut ‘Pesanggem’. Pesanggem berasal dari kata dasar bahasa Jawa yakni ‘sanggem;, artinya andil garapan atau bagian lahan garapan (Wirawan, 2008) atau beban yang menjadi tanggungjawab seseorang (Simon dkk, 1999). Pesanggem baru muncul pada awal tahun 1970, sehubungan dengan proyek pembangunan Perum Perhutani.

Pesanggem berarti penggarap andil lahan hutan. Kata ini biasa digunakan oleh orang-orang Perhutani untuk menyebut masyarakat yang membuka lahan pertanian di hutan, atau orang yang bersedia atau sanggup memikul tanggungjawab menggarap lahan melalui kontrak dengan Perhutani. Pesanggem tak selalu harus tinggal di dalam kawasan hutan.

Mereka memanfaatkan lahan di bawah tegakan pohon utama (seperti Pinus, Jati, dll) untuk lahan pertanian seperti menanam kopi, Lombok, jagung, dll. Saat ini istilah pesanggem tidak hanya untuk petani yang terlibat kontrak dengan Perhutani. Siapapun yang memanfaatkan hutan, dan secara kultur berinteraksi dengan hutan, maka berhak disebut sebagai pesanggem.

Di Kawasan hutan negara seperti Taman Nasional, petani yang masih memanfaatkan Kawasan hutan yang berada di dalam Zona Tradisional juga disebut pesanggem. Umumnya pesanggem yang berinteraksi di dalam Zona Tradisional di Taman Nasional memanfaatkan lahan di bawah tegakan/pohon berupa rumput untuk pakan ternak. Saat musim hujan rumput melimpah jumlahnya, sedangkan saat musim kemarau menipis.

Saat musim kemarau inilah pesanggem mengolah lahan sanggeman-nya dengan menyingkirkan tumbuhan gulma yang mengganggu pertumbuhan rumput. Salah satu cara andalan yang digunakan pesanggem untuk membasmi tumbuhan gulma adalah dengan cara membakar. Kegiatan inilah yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan.

Apalagi jika lokasi sanggeman berada di kelerengan yang curam akan susah diatasi jika terjadi kebakaran. Hal ini yang terjadi di Gunung Sumbing dan Sindoro. Salah satu cara efektif untuk menangani kebakaran hutan adalah dengan penanganan represif dan preventif.

Penanganan kebakaran hutan yang represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.

Penanganan preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan (Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, 2002). Penanganan ini dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi.

Penanganan preventif adalah yang paling baik, terutama dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat. Kunci utama yang dilakukan pengelola Kawasan hutan produksi, lindung atau negara adalah dengan melakukan pendataan masyarakat yang terlibat atau menjadi pesanggem. Melalui pendataan ini akan diketahui Kawasan hutan yang terbakar  merupakan sanggeman seseorang.

Tanggungjawab pesanggem adalah menjaga sanggeman-nya agar aman dan memenuhi tujuan pengelola atau pemilik hutan. Oleh karena itu, hubungan antara pesanggem dan pemilih hutan harus senantiasa dijalankan dengan baik. Tiap periode tertentu perlu ditinjau ulang kesepakatan kontrak atau kerjasamanya, karena tidak jarang pesanggem menjual sanggeman-nya ke orang lain tanpa memberikan laporan. Wallaahu’alam.

Patangpuluhan, 20 September 2018, pukul 07.00 WIB