Kamis, 27 Februari 2020

DESA WISATA TANGGUH BENCANA

Paska peristiwa susur sungai yang membawa korban 10 orang meninggal,  Forum Komunikasi Desa Wisata Kabupaten Sleman mengeluarkan press release bahwa kegiatan tersebut dilakukan secara mandiri, tanpa koordinasi ataupun diketahui pengelola desa wisata (deswita) setempat.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 27 Februari 2020

Walaupun sudah ada press release, ditengarai desa wisata setempat akan mendapat dampak dari kejadian kecelakaan sungai tersebut, berupa penurunan jumlah wisatawan. Diakui perkembangan desa wisata saat ini marak, terutama dengan mengangkat potensi wisata alam. Karateristik wisata alam memiliki keunggulan dibandingkan wisata lain.

Wisata alam tidak dapat melalui perantara untuk pengunjungnya, oleh karenanya untuk menikmati wisata alam pengunjung harus datang langsung ke lokasi. Nuansa alam dengan udara yang masih segar dengan berbagai spot selfie menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Namun begitu wisata alam juga harus mampu menghadirkan ketangguhan dalam pengelolaannya (Suparlan, 2019).

Pengelolaan pariwisata khususnya wisata alam harus mampu mengidentifikasi dampak dari 12 jenis ancaman bencana di wilayah DIY, yakni Banjir, Banjir Bandang, Gempa Bumi, Tanah Longsor, Kekeringan, Cuaca Ekstrim, Kebakaran Hutan dan Lahan, Letusan Gunung Api, Tsunami, Gelombang Pasang, Kegagalan Teknologi, Epidemi dan Wabah Penyakit (BPBD DIY, 2019). Ancaman bencana yang ada telah nyata memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan industri pariwisata yang ada.

Contohnya adalah bencana badai cempaka karena cuaca ekstrim pada akhir 2017 lalu menyebabkan banjir sungai Oya Gunungkidul, lokasi yang sebelumnya tidak pernah terjadi sejarah banjir. Dampak ini kemudian menyebabkan kerusakan di sejumlah obyek wisata seperti Air Terjun Sri Getuk  dengan kerugian diperkirakan mencapai 500 juta (Suparlan, 2019).

Imbas gempa bumi di Lombok menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya berdampak pada kunjungan wisatawan mancanegara, dan negara berpotensi kehilangan Rp1,4 triliun (Fahrurozy, 2018). Padahal, sebelumnya, Kementerian Pariwisata menargetkan kunjungan Wisman sebanyak 17 Juta Wisman pada 2018.

Dalam sebuah penelitian, Prideaux dan Laws mendefinisikan krisis dalam industri pariwisata sebagai segala peristiwa yang mengganggu dan menghambat jalannya industri pariwisata (Fahrurozy, 2018). Integrasi pengelolaan pariwisata terutama di desa wisata dengan konsep pengurangan risiko bencana sangat diperlukan mengingat perkembangan industri pariwisata alam yang sangat rentan terhadap 12 jenis ancaman bencana yang ada.

Gerakan membangun pengelolaan pariwisata berperspektif pengurangan risiko bencana sebenarnya telah di-inisiasi oleh beberapa desa wisata di propinsi DIY. Krisis akibat bencana alam atau kecelakaan, baik yang dapat diprediksi maupun tidak, dapat menggoyang fondasi kegiatan pariwisata, menghambat sebuah daerah dalam membangun sektor pariwisatanya.

Pelajaran dari krisis di masa lalu, dapat dijadikan acuan membangun fondasi manajemen krisis yang lebih baik (Fahrurozy, 2018). Pendekatan holistik untuk mengelola krisis pada destinasi pariwisata harus hadir sebagai prasyarat agar kegiatan ekonomi pariwisata terus berlangsung.

Dalam pengelolaan Desa Wisata harus memiliki prespektif Pengurangan Risiko Bencana agar memberikan keamanan, kenyamanan dan keberlanjutan bagi pengelola dan pengunjung. Oleh karena itu, pengetahuan dan ketrampilan pengelola desa wisata harus terus menerus ditingkatkan, sehingga terwujud Deswita Tangguh Bencana. 

Yogyakarta, 24 Februari 2020

Selasa, 11 Februari 2020

SIAPA NIAT AKAN BEROLEH HASIL

“Man Jadda Wa Jada”. Pepatah bahasa Arab ini popular saat booming novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, yang kemudian disusul dengan penayangan film bioskop. Pepatah yang berarti “Siapa yang bersungguh-sungguh dia akan mendapatkan”, sedang arti bebasnya adalah “Siapa yang bersungguh-sungguh, ia pasti berhasil.”

Membaca pepatah ini jadi ingat jamaah KUM (Komunitas Umroh Mandiri) yang luar biasa. Seorang bapak usia 50an yang berniat umroh, dan dalam 3 pekan dapat terwujud. Tanggal 10 Desember 2019 beliau nelpon untuk konsultasi umroh. 4 hari berikutnya langsung mulai proses pembuatan paspor, yang disusul transfer untuk booking seat umroh. Tanggal 17 Desember 2019 langsung pelunasan biaya umroh, disusul persiapan lainnya terutama ruhiyah dan ibadah. Padahal saya tahu kondisi ekonomi beliau baru ‘kurang sehat’. Alhamdulillah tanggal 1 Januari 2020 beliau berangkat umroh selama 12 hari!!

Sebagian chatting di whatsapp dengan bapak jamaah KUM

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Amal itu bergantung niat.” Beliau juga bersabda, “Hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syahwat yang tersembunyi.” Menurut Ibnu Taimiyah (w. 728 H), kata “niat” (niyyah) dalam istilah orang Arab hampir sinonim dengan “kehendak” (qasd) dan “keinginan” (iradah).

Niat adakalanya dipahami sebagai salah satu macam keinginan, atau semakna dengan keinginan. Padahal niat itu lebih spesifik daripada keinginan, karena keinginan itu berkaitan dengan perbuatan sendiri ataupun perbuatan orang lain, sedangkan niat hanya berkaitan dengan perbuatan sendiri. Anda bisa mengatakan, “Aku ingin orang itu berangkat umroh,” tapi tak bisa mengatakan, “Aku niat orang itu berangkat umroh.”

Menurut Ibnu Taimiyah, NIAT itu mengikuti PENGETAHUAN. Siapa mengetahui apa yang mau dia kerjakan, tentulah ia sudah meniatkannya secara otomatis. Niat itu otomatis terwujud begitu orang mengetahui perbuatan yang ingin ia lakukan.

Sedangkan menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H), Niat adalah terdorong dan condongnya diri kepada tujuan yang diinginkannya dan penting baginya. Bila kecondongan itu tidak berada dalam batin, maka tak mungkin ia dihasilkan dan diwujudkan dengan usaha dan memaksa diri, itu sebatas perpindahan pikiran dari sesuatu ke yang lain.

Syekh al-Harits al-Muhasibi (w. 243 H) mengajarkan tentang evaluasi niat.
Siapa yang paling sejati niatnya?
Orang yang paling sejati niat

Siapa yang paling jauh dari niat sejati?
Orang yang paling jauh dari niat adalah orang yang melupakan niat, itu adalah orang yang paling tidak tahu tentang niat.

Percayakah bahwa yang mampu melaksanakan ibadah umroh atau haji itu tidak mesti orang kaya atau berkecukupan? Tidak! Tapi orang yang niat kuat dan tulus iklhlas-lah yang mampu! Banyak orang yang berkecukupan bahkan berkelebihan tapi belum pernah dia beribadah ke Baitullah. Puluhan Negara ia kunjungi, tapi rumah Allah ia lupakan.

Maka dalam melakukan setiap aktivitas, niatkan semua itu untuk menunaikan hak Allah di hadapan-Nya. Jangan sibukkan hatimu dengan harta yang kaumiliki.

“Orang-orang yang mengikuti petunjuk pasti diberi Allah tambahan petunnuk dan diberi sifat takwa.” (QS. Muhammad: 17)
Ibnu Umar menceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Perbuatan itu tergantung niat. Bagi setiap orang balasan dari apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari)

Wallaahu’alam bi shawab.

Selalu bekali dengan ilmu agar niat senantiasa terjaga

Yogyakarta, 11 Februari 2020, pukul 20.53 WIB
Tour Leader Komunitas Umroh Mandiri

Rabu, 29 Januari 2020

CORONA DAN PERAN SATWA LIAR


Sedikitnya 106 orang dilaporkan tewas dan lebih dari 4 ribu kasus virus corona sedang ditangani di berbagai wilayah Tiongkok (Detik. 28/1). Hari Jumat (24/1) Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok Cabang Wuhan mengeluarkan Press Release tentang kondisi pelajar WNI sebanyak 93 orang di Wuhan, Tiongkok bagian Tengah. Semua dalam kondisi sehat serta dalam pantauan kampus dan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia).


ANALISIS koran Kedaulatan Rakyat (KR) tanggal 29 Januari 2020

Mereka menjadi bagian dari sekitar 11 juta yang masuk karantina massal kota Wuhan. Semua akses transportasi ditutup, baik kereta, pesawat, dan bus dari Wuhan maupun menuju Wuhan untuk mengurangi risiko penyebaran wabah Corona. Virus dengan nama 2019 Novel Coronavirus atau 2019-nCoV ini diduga berasal dari pasar makanan yang “melakukan transaksi ilegal satwa liar” (BBC, 24/1). Peneliti mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra, mencatat bahwa tiga jenis virus corona yang bersifat mematikan terhadap manusia berasal dari jenis satwa yang sama sebagai perantara alaminya, yakni kelelawar (Tempo, 25/1).

Material genetik dari 2019-nCoV ini merupakan rekombinasi dari material genetik virus yang berasal dari kelelawar dan ular. Sugiyono menjelaskan hipotesis tersebut berasal dari kode-kode protein atau material genetik 2019-nCoV yang diambil dari sampel korban meninggal yang ternyata memiliki kesamaan dengan material genetik dari ular (Tempo, 25/1). Data tersebut diketahui setelah membandingkan sampel virus itu dengan lebih dari 200 jenis virus Corona dari berbagai satwa yang diketahui dijual di sebuah pasar di Wuhan--di mana sejumlah korban infeksi pertama diketahui pernah mendatanginya.

Menurut Taufiq P. Nugraha, peneliti satwa liar dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, para ilmuwan menduga kemunculan zoonosis (penyakit pada manusia yang ditularkan hewan) baru seperti kasus Corona dampak tingginya frekuensi interaksi antara satwa liar dengan manusia (Tempo, 25/1). Kasus wabah Ebola di Afrika Barat pada 2014, deforestasi untuk pertanian dapat berperan dalam ekspansi kelelawar di luar habitatnya dan ekspansi manusia ke dalam habitat kelelawar, sehingga keduanya dapat saling berinteraksi bebas dan berisiko tinggi dalam penyebaran penyakit baru.

Pada penyakit Ebola dapat dikaitkan dengan kebiasaan manusia, terutama di daerah Afrika yang memiliki kebiasaan mengonsumsi daging satwa liar. Daging satwa liar yang terkontaminasi akan menjadi media efektif penularan Ebola pada manusia (Jayanegara dalam Jurnal Continuing Mediacal Education, CDK-243/vol.43 no.8 th. 2016). Upaya perlindungan individu adalah cara efektif untuk mengurangi penularan manusia, antara lain dengan mengurangi kontak dengan kelelawar, monyet atau kera, dan konsumsi daging mentah (Jayanegara, 2016).

Sejatinya satwa liar mempunyai peranan sebagai penyeimbang ekosistem alam, manjadi salah satu bagian rantai makanan. Kehadiran satwa liar mempunyai fungsi dan peranan penting bagi ekosistem alami serta bagi kehidupan manusia. Di alam, setiap individu satwa liar ikut dalam siklus perputaran makanan di habitatnya (hutan), sehingga pohon-pohon di hutan tetap bisa tumbuh berkembang biak dan menjadikan hutan tetap ada.
Dengan begitu fungsi hutan sebagai pemasok oksigen dan air, juga pengontrol suhu udara dan pengendali musim akan tetap berlangsung. Maka manusia dan seluruh mahluk hidup di Bumi akan dapat merasakan manfaat ini. Agar dapat berperan sebagai penyeimbang ekosistemnya, satwa liar harus dapat hidup nyaman di habitat alaminya.
Contoh adalah keberadaan kelelawar di alam adalah sebagai penjaga keseimbangan populasi serangga dan membantu dalam penyerbukan bunga. Gangguan pada satwa nocturnal (aktivitas malam hari) ini akan berdampak besar pada dunia tumbuhan, dan secara tidak langsung juga akan mengancam kehidupan manusia.
Sebagian manusia menerjemahkan kesadaran menjaga satwa liar dari kepunahan dengan memeliharanya di rumah atau di luar habitatnya. Padahal dengan memindahkan satwa liar dari habitat aslinya, akan menyebabkan fungsi hutan terganggu. Resiko yang kita hadapi jika memelihara satwa liar terlebih satwa liar dilindungi, adalah terganggunya fungsi hutan  kepunahan satwa, hingga penularan penyakit dari dan ke satwa seperti pada kasus Corona, Ebola, SARS, dll.
Peristiwa wabah penyakit akibat satwa liar harus menjadi pembelajaran yang berharga dalam memanfaatkan alam. Konsumsi alam yang ‘serakah’ akan berdampak merugikan bagi manusia sendiri. Pemanfaatan alam yang bijak sejalan dengan prinsip Hamemayu Hayuning Bawana atau prinsip harmoni dengan alam –bukan mengendalikannya- yang merupakan tujuan utama Taois (Tucker, 1994).
Yogyakarta, 28 Januari 2020
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa, alumnus Beijing Forestry University, Tiongkok (China Scholarship Council)

Selasa, 17 Desember 2019

TEROR ULAR


Akhir-akhir ini di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan wilayah lain resah karena adanya serangan ular. Belasan ular kobra memasuki pemukiman warga di wilayah Gunung Kidul, bahkan meneror seisi rumah dengan memasuki kamar bayi, hingga pemilik rumah memilih mengungsi. Berita terbaru adalah ular hijau Trimeresurus albolabris yang menyerang relawan Seyegan Rescue (KR, 16/12).

Ada hampir 3000 jenis ular di Dunia, sepuluh persennya ada di Indonesia yakni, 348 jenis ular. Dan 76 jenis diantaranya adalah ular berbisa. Sebenarnya ini merupakan kekayaan hayati yang luar biasa. Sungguh sayang potensi ini belum dimanfaatkan dengan optimal.


Analisis Koran Kedaulatan Rakyat 17 Desember 2019, halaman depan/head line

Salah satu contohnya adalah serum anti bisa ular atau yang disebut SABU hanya tersedia untuk gigitan dari 3 jenis ular berbisa, yakni Ular Kobra (Naja sputatrix), Ular Weling/Welang (Bungarus candidus/Bungarus fasciatus), dan Ular Tanah (Calloselasma/Agkistrodon rhodostoma). Masih kurang 73 jenis ular lagi. Selain itu, Indonesia juga baru memiliki satu orang dokter ahli bisa ular, yakni DR. dr Tri Maharani, M.Si, SpEM.

Menurut Maharani (2019) setiap tahun dilaporkan ada sekitar 1000-2000 laporan gigitan ular dari seluruh Indonesia. Meski belum ada angka yang pasti, jumlah korban gigitan ular di Indonesia diperkiraan jumlahnya sekitar 135.000 orang per tahun, merujuk jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 256 juta jiwa.

Jumlah tersebut dapat lebih besar lagi, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Untuk wilayah DIY sendiri menurut Ketua relawan Animal Keeper Jogja (AKJ) ‘Saliyo’ tahun 2019 ada 18 kasus korban gigitan ular berbisa. 2 diantaranya meninggal dunia, yang disebabkan karena belum tahunya tentang penanganan gigitan ular.

Penanganan pertama gigitan ular (first aid) sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) adalah dengan imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang digigit ular itu tidak bergerak (Maharani, 2018). Banyak Rumah Sakit, Puskesmas hingga komunitas reptil telah memperoleh pelatihan penanganan gigitan ular.

Untuk wilayah DIY sendiri tiap korban gigitan ular akan dipandu penanganannya oleh relawan AKJ sampai sembuh. Jika korban sudah mengalami fase sistemik seperti sesak nafas hingga gagal jantung baru diberika serum atau anti bisa ular. Untuk Rumah Sakit rujukan korban gigitan ular berbisa di wilayah DIY ada di RS Wirosaban Kota Yogya, RS Panembahan Senopati Bantul, PKU Gamping, PKU Bantul, dan Bethesda (Saliyo, 2019).

Dalam menangani ular, perlu mengenal karakteristik hidup satwa melata ini. Mayoritas ular menetas pada awal musim hujan, dan ular menyukai lokasi yang lembab dan hangat. Beberapa anak ular kobra yang ditemukan warga di Godean, Sleman dan Wonosari, Gunung Kidul adalah salah satu contohnya. Apalagi jika sarangnya terendam air akibat hujan, ular akan keluar mencari lokasi nyaman.

Kebersihan rumah dan lingkungan perlu dijaga. Jangan ada tumpukan kain, kardus, daun yang menyebabkan kondisi lembab. Rumah harus dibersihkan dengan pewangi, karena ular menghindari bau wangi. Pemberian garam tidak berpengaruh, tidak membuat ular takut atau menghindar.

Selain itu perlu diperhatikan juga penyebab adanya ular yang masuk pemukiman warga. Hilangnya predator ular seperti Musang, Kucing hutan, burung Elang, burung Hantu dan satwa liar lain turut meningkatkan jumlah populasi ular. Keseimbangan ekologi terganggu akan menyebabkan komponen lain terganggu sehingga dapat menyebabkan bencana ekologi.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah edukasi kepada masyarakat dalam penanganan ular berbisa. Aksi free handling atau penanganan ular berbisa tanpa alat bantu harus dihindari. Apalagi jika dilakukan oleh orang awam. Lebih baik mengundang pawang ular atau ahli penangkap ular.

Untuk jangka panjang perlu diperhatikan keseimbangan ekologi di alam yang mulai terganggu oleh pembangunan dan pertumbuhan penduduk. Kasus serangan tawon (Vespa affinis) dan disusul ular merupakan contoh dari keseimbangan ekologi yang terganggu. Pemerintah harus memperhatikan manfaat dan peran ekologi, tidak hanya kepentingan ekonomi saja. Pembangunan hijau sudah harus diseriusi oleh pemerintah demi manfaat jangka panjang.



Yogyakarta, 16 Desember 2019
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa, anggota relawan AKJ.

Sabtu, 16 November 2019

MENABUNG AIR

Sudah lebih dari sebulan ini beberapa sumur warga Yogyakarta asat atau kering, karena musim kemarau yang panjang. Pakar Hidrologi UGM, Setyawan Purnama, mengatakan telah lama akademisi hidrologi mengingatkan kepada pemerintah, swasta, dan masyarakat bahwa ada ancaman nyata krisis air di DIY (Kumparan, 16/10). Penyebabnya, tak lain karena penurunan muka air tanah, terutama di Kota Yogya dan Kabupaten Sleman rata-rata 30 sentimeter per tahun. 



Analisis koran Kedaulatan Rakyat, 16 November 2019 halaman depan

Jumlah penduduk terus naik, pemukiman bertambah, jumlah hotel meningkat menjadikan penyedotan air tanah makin tinggi sekaligus mengurangi daerah resapan. Saat musim hujan datang dan curah hujan tinggi, namun daerah resapan air minim, maka air akan langsung mengalir ke sungai-sungai besar. Eksploitasi air tanah yang tidak diimbangi dengan resapan hasilnya mengakibatkan permukaan air tanah terus turun. 

Sejatinya menilik sejarah kota Yogyakarta adalah daerah tangkapan air (water catchment area). Kota Yogyakarta awalnya adalah kawasan rawa yang bernama Umbul Pacethokan dan hutan Beringin. Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I kemudian melakukan babat alas dan mendirikan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sekarang menjadi pusat kota Yogyakarta. Demikian pula letak kota Yogyakarta yang diapit 2 sungai besar yakni Sungai Code dan Winongo.

Inilah kejeniusan Sultan HB I sebagai arsitek kota dengan memilih pusat pemerintahan pada area yang aman dari krisis air. Tingkat perkembangan wilayah yang cukup pesat menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Wilayah telah berkembang secara ekonomi namun mundur secara ekologis. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan pola hidup masyarakat telah memicu terjadinya krisis lingkungan, utamanya krisis air. 

Menjadi sebuah ironi, daerah yang seharusnya makmur air, namun tejadi bencana banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Padahal sejatinya air hujan merupakan sumber daya karunia Allah SWT. Sudah saatnya memposisikan air hujan agar kembali pada fungsi asalnya sebagai sumber karunia. 

Saat musim hujan aman dari banjir dan kemarau air tetap memadai. Berdasarkan hitungan ahli hidrologi UGM, Agus Maryono, dengan hujan rata-rata di Pulau Jawa sebesar 3000 mm/tahun, kebutuhan air penduduk Jawa adalah 5,1 milyar m3/tahun atau setara dengan 1,3% volume air hujan (Maryono, 2019). Persentase yang sangat kecil dari karunia hujan.

Oleh karena itu, untuk menjaga ketersediaan dan kualitas air tanah dari air hujan dilakukan dengan berbagai cara, seperti pembuatan biopori, sumur peresapan air hujan, hingga memanen air hujan. Cara terakhir ini merupakan cara paling efektif dengan hasil yang cukup besar. Pemanenan air hujan adalah metode dan teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan air hujan yang berasal dari atap bangunan, permukaan tanah, jalan atau perbukitan dan dimanfaatkan sebagai salah satu sumber suplai air bersih (UNEP, 2001; Abdullah dkk 2009). 

Memanen air hujan merupakan alternatif sumber air yang sudah dipraktikkan selama berabad-abad di berbagai negara. Maryono dan Santoso (2006) menyebutkan bahwa di dunia internasional saat ini upaya memanen hujan telah menjadi bagian penting dalam agenda global environmental water resources management dalam rangka penanggulangan ketimpangan air pada musim hujan dan kering (lack of water), kekurangan pasokan air bersih penduduk dunia, serta penanggulangan banjir dan kekeringan.

Salah satu teknik pemanenan air hujan yang cocok diterapkan daerah perkotaan adalah dengan metode atap bangunan (roof top rain water harvesting). Teknik ini untuk skala individu bangunan rumah dalam suatu wilayah. Perhitungan dari dosen UGM Agus Maryono bahwa setiap 100 m2 luas atap rumah akan menghasilkan 3,25 m3 air bersih sekali hujan (Maryono, 2019). Atap rumah disini dapat dimanfaatkan sebagai sumber air yang setiap satu kali hujan dapat mencukupi kebutuhan air sekeluarga selama satu minggu.

Salah satu kecamatan di kota Yogyakarta yang telah menerapkan metode pemananen air hujan adalah Kecamatan Tegalrejo. Di kantor Kecamatan Tegalrejo telah terpasang unit alat pemananen air hujan, setelah sebelumnya juga membuat biopori jumbo untuk penangkapan air hujan. Oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Sub Direktorat Pengendalian Kerusakan Sungai, kecamatan Tegalrejo siap launching menjadi Kampung Ramah Air Hujan.

Melalui predikat tersebut, Camat Tegalrejo akan tampil dalam Kongres Memanen Air Hujan Indonesia II di UGM pada tanggal 28-29 November 2019. Melalui kampung ramah air hujan ini diharapkan wilayah lain dapat mengimplementasikan sehingga dapat mengembalikan kota Yogyakarta sebagai daerah tangkapan air. Seperti saat HB I mendirikan kraton Ngayogyakarta, melalui menabung air.


Yogyakarta, 13 November 2019
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa

Kamis, 17 Oktober 2019

KEKERINGAN DAN WISATA BERKELANJUTAN


Dalam suatu berita online disebutkan bahwa kekeringan sudah mengakibatkan sektor andalan Provinsi DIY yakni pariwisata mengalami dampak penurunan pengunjung. Salah satunya adalah wisata andalan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul, yakni Embung Nglanggeran yang mengalami kekeringan, sehingga mengakibatkan jumlah pengunjung turun sebesar 2 ribu dalam sebulan (Detik, 9/10). Rerata pengunjung Embung Nglanggeran mencapai belasan ribu orang.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 17 Oktober 2019

Lokasi lain yang mengalami penurunan pengunjung karena kekeringan yakni wisata air yang ada di Desa Jatimulyo, Kulonprogo, yakni air terjun Kembangsoka, Kedung Pedhut, dan Sungai Mudal. Prakiraan dari BMKG menyebutkan musim hujan diprakirakan mundur, sehingga kemarau tahun ini lebih panjang (BMKG, 19/8). Tentu ini perlu penanganan yang lebih serius agar dampak penurunan ekonomi dapat diminimalisir.

Bagi desa wisata yang sudah maju, sektor pariwisata merupakan andalan dalam pemenuhan ekonomi dan kesejahteraan warga desa. Pada tingkat ini Pemerintah Desa sudah dapat menjadikan pariwisata sebagai alat pengurangan kemiskinan di wilayahnya. Apalagi pengurangan kemiskinan juga merupakan satu dari 17 target pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals – SDGs).

Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism)

Pariwisata berkelanjutan (Sustainable Tourism) jika direncanakan dan dikelola dengan baik dapat secara langsung dan positif berkontribusi terhadap pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs), termasuk pengurangan kemiskinan, pembangunan perdesaan, pelestarian budaya dan masyarakat, kesetaraan jender, perlindungan lingkungan, mitigasi perubahan iklim dan memperlihatkan dampak yang bermanfaat terhadap mitigasi perubahan iklim. Agar beroleh manfaat dari berbagai keterkaitan positif ini, diperlukan transisi ekonomi yang berkeadilan menuju pembangunan yang rendah karbon, yang tak berpengaruh mengubah iklim (climate resilient), dan ramah lingkungan di Indonesia dengan pandangan kepada pekerjaan layak yang ramah lingkungan, termasuk pendidikan dan kesadaran para pemberi kerja/majikan, pekerja, komunitas tuan rumah dan wisatawan, dengan pemerintah daerah berada di garis depan (Kemenpar, 2012). Investasi yang dinamis dalam Ekonomi Ramah Lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Dalam Peraturan Menteri Pariwisata No.14/2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan, Pemerintah berkomitmen untuk menjadikan pariwisata berkelanjutan sebagai pilar pembangunan nasional. Beleid ini menjadi acuan bagi Kementerian Pariwisata, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan destinasi pariwisata berkelanjutan.

Menurut Menteri Pariwisata –Arief Yahya- sustainable mencakup 3 P, yaitu planet, people, dan prosperity. Intinya bagaimana dapat melestarikan alam, membangun manusia dan menyejahterakan (Kemenpar, 2019). Kendati demikian, tantangan terbesar dalam hal pengelolaan kepariwisataan berbasis lingkungan dan budaya adalah masalah sumber daya manusia, khususnya pemahaman tentang wisata berkelanjutan (sustainable tourism program).

Salah satu contoh penerapan konsep wisata berkelanjutan ada pada pengelolaan obyek wisata air terjun Kembang Soka yang dimiliki Desa Wisata Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Sejak tahun 2015 pengunjung wisatawan juga dikenalkan program adopsi sarang burung Sulingan/Sikatan cacing (Cyornis banyumas) yang menjadi ikon wisata melalui ‘Kopi Sulingan’. Program ini dapat terwujud atas peran aktif warga yang tergabung dalam Masyarakat Pemerhati Burung Jatimulyo (MPHJ) dan Kelompok Tani Hutan Wanapaksi (Kelik, 2019).

Program adopsi sarang burung menjadi alternatif dari pengembangan wisata berkelanjutan, agar warga tetap memperoleh manfaat ekonomi saat sepi pengunjung wisata. Program ini masuk dalam wisata minat khusus Desa Jatimulyo, selain wisata pengamatan burung (birdwatching), budidaya madu klanceng, pengolahan kopi, dan lainnya. Selain itu warga desa juga aktif melakukan penyulaman dan pemeliharaan tanaman yang mempunyai peran dalam konservasi tanah dan air, seperti jenis Salam, Beringin, Gayam, Kemiri, Randu, dan Aren. Jenis tanaman tersebut mampu lebih banyak menyimpan air, cocok untuk diterapkan pada obyek yang memiliki wisata air agar tidak mengalami penurunan debit air secara drastis.

Aksi Desa Jatimulyo dalam mewujudkan Pariwisata Berkelanjutan melalui program konservasi alam merupakan hasil kesadaran dalam menjaga harta berharga yang dimilikinya. Pariwisata berkelanjutan dengan menitikberatkan pada pelestarian alam memberikan keuntungan non-finansial yang jauh lebih besar. Tentu keterlibatan seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan secara terpadu dan bertanggung jawab.

Malioboro, 15 Oktober 2019, pukul 08.05 WIB

Sabtu, 14 September 2019

KARHUTLA DAN OZON


Sampai tanggal 6 September 2019 data kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejumlah 1.233 titik panas. Total sebanyak 9.072 personel dengan 37 heli dikerahkan untuk pemadaman titik api yang ada di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa (BNPNB, 2019). Bahkan hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) tahun ini tidak lupat dari kebakaran hutan.

Analisis KR hari Sabtu, 14 September 2019

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia sendiri bukanlah hal yang baru. Sejak beberapa dekade sangat sering terjadi karhutla, salah satunya hutan yang berada di lahan gambut. Tahun 2015 merupakan periode terburuk karhutla di Indonesia, kurang lebih 2.6 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Para ahli mengungkapkan jika penyebab kebakaran hutan dan lahan karena faktor alam dan kesalahan manusia.

Faktor alam diwakili oleh kondisi cuaca yang turut melatabelakangi karhuta, karena tahun 2015 merupakan fase cuaca kering dampak dari El-Nino. Untuk faktor manusia berupa kelalaian manusia, baik secara individu ataupun disengaja. Dampak karhutla, khususnya di lahan gambut mengakibatkan peningkatan suhu.

Peningkatan suhu, pada dasarnya diakibatkan oleh gas efek rumah kaca yang membuat lapisan ozon rusak. Gas rumah kaca ini diakibatkan oleh berkurangnya kawasan hutan, serta masifnya eksploitasi alam. Peningkatan suhu di bumi salah satu implikasi logisnya ialah mengakibatkan perubahan iklim (climate change) (Setyawan, 2019). Menurut riset NASA (The National Aeronautics and Space Administration) maupun NOAA (The National Oceanic and Atmospheric Administration) yang merupakan badan independen pemerintah Amerika Serikat, mengatakan jika ada tren kenaikan suhu sejak tahun 2010 sebesar 1 derajat celcius.

koran KR halaman 7

Hal tersebut juga sama dengan hasil riset dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang menyatakan sejak era revolusi industri pertama hingga saat ini, telah terjadi peningkatan suhu sebesar 1-1.5 derajat celcius (Setyawan, 2019). Hal inilah yang mengilhami beberapa negara-negara yang tergabung di IPCC untuk sepakat menjaga suhu di bumi dengan berbagai pendekatan, salah satunya melawan deforestasi dan menerapkan aturan ketat terhadap korporasi. Bahkan untuuk mempercepat upaya aksi iklim di wilayah Asia pada tanggal 3-4 September 2019 telah dibentuk Asian Climate Experts (ACE). Kegiatan yang diselenggarakan oleh UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bangkok, Thailand ini dihadiri oleh Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI) mewakili negara Indonesia.

Menurut Peneliti Lingkungan Potensi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) -Eko Cahyono- karhutla sangat mempengaruhi perubahan iklim (2016). Saat terjadi pembakaran biomassa berupa karhutla, maka dihasilkanlah karbon monoksida (CO) yang menjadi pembentuk ozon. Tingkat ozon yang tinggi di atmosfer lapisan atas, yakni stratosfer memang baik. Ozon di lapisan itu akan melindungi makhluk bumi dari radiasi tinggi sinar matahari.
Namun, jika terjadi di atmosfer lapisan bawah, dampaknya ialah sebaliknya. Konsentrasi ozon di permukaan seharusnya rendah, tidak melebihi 100 ppbv (part per billion volume). Jika lebih dari batas, akan membahayakan kesehatan manusia (Cahyono, 2016). Sirkulasi angin juga akan memengaruhi tersebarnya ozon hingga mencapai bagian troposfer atas. Jika demikian, akan membentuk gas rumah kaca yang menjadi penyebab perubahan iklim.
Perubahan iklim lebih besar disebabkan oleh aerosol yang terlepas ke udara akibat kebakaran biomassa. Radiasi matahari sulit masuk ke bumi, penguapan air menjadi rendah, akibatnya tidak terjadi hujan (Cahyono, 2016). Mengingat pentingnya fungsi laposan ozon ini pada tanggal 16 September 1987, lahirlah kesepakatan Protokol Montreal, yang kemudian ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Ozon Internasional.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Montreal dan Konvensi Wina melalui Keppres No 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Konvensi Wina dan Protokol Montreal. Ini upaya Indonesia dalam perlindungan terhadap keberadaan lapisan ozon. Untuk mencegah perubahan iklim yang berakibat pada penipisan  lapisan ozon, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mengampanyekan kelestarian lingkungan melalui penghijauan kembali melalui program penanaman kayu atau penghutanan kembali lahan-lahan yang sudah gundul.
Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK -Ruandha Agung -KLHK berkomitmen untuk melakukan penanaman pohon di atas lahan 800.000 hektar per tahun (2018). Tentu dampak perubahan iklim ini bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja, tapi merupakan tanggungjawab kita semua selaku penghuni planet bumi.
Lereng Tenggara Merapi, 12 September 2019, pukul 09.04 WIB