Jumat, 25 Juni 2021

DESA WISATA BERKELANJUTAN

Dalam 3 bulan ini Sandiaga Salahudin Uno –Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif- telah 4 kali mengunjungi DIY. Hampir semua kunjungannya berkaitan dengan desa wisata, seperti di desa wisata Krebet, desa wisata Sambirejo dan desa wisata Pentingsari.


Analisis Koran Kedaulatan Rakyat, tanggal 25 Juni 2021

Selama masa pandemi kinerja ekonomi DIY memperlihatkan hasil yang lebih baik daripada Bali yang sama-sama mengandalkan sektor pariwisata. Perekonomian Yogyakarta sudah pulih hampir mendekati level sebelum pandemi, sedangkan Bali masih terkontraksi cukup dalam (Lokadata.id, 10/5).

Sebelum pandemi, sektor pariwisata Bali sangat mengandalkan wisatawan mancanegara/asing. Padahal saat ini penerbangan antar Negara belum pulih. Hal ini berbeda dengan pariwisata DIY yang banyak didukung oleh wisatawan lokal. Untuk pariwisata DIY kebangkitan ekonomi banyak ditopang oleh desa wisata.

Menurut Sandiaga –Menparekraf- desa wisata menjadi andalan pemerintah dalam mendongkrak pariwisata di masa pandemi Covid-19. Melalui desa wisata ini diharapkan mampu mewujudkan visi Indonesia sebagai negara tujuan pariwisata berkelas dunia, berdaya saing, berkelanjutan, dan mampu mendorong pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat.

Desa wisata di DIY sudah terlihat kehandalannya setelah menyumbangkan 3 desa wisatanya dalam pemberian sertifikasi dan penghargaan Desa Wisata Berkelanjutan oleh Kementerian Parwisata dan Ekonomi Kreatif / Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tanggal 2 Maret 2021. Desa Wisata Jatimulyo, Kulon Progo; Desa Wisata Nglanggeran, Gunung Kidul dan Desa Wisata Pentingsari, Sleman masuk dalam 16 Desa Wisata se-Indonesia yang memperoleh penghargaan Desa Wisata Berkelanjutan sebagai upaya mendorong quality tourism.

Penerapan standar berkelanjutan berfokus kepada 3 aspek keberlanjutan, yakni sosial, lingkungan dan ekonomi di Desa Wisata. Melalui program sertifikasi desa wisata berkelanjutan  diharapkan desa wisata di Indonesia dapat lebih berkualitas, lebih kredibel, dan mampu berkolaborasi serta bersaing secara domestik dan internasional.

Komitmen Kemenparekraf terhadap pariwisata berkelanjutan sendiri diimplementasikan dengan terbitnya Peraturan Menteri Pariwisata No. 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Sesuai RPJMN 2020-2024, Kemenparekraf menargetkan sebanyak 244 desa wisata menjadi desa wisata mandiri hingga 2024.

Desa wisata telah terbukti mampu menggerakkan ekonomi masyarakat, UMKM, menciptakan lapangan kerja, dan untuk pelestarian lingkungan. Apalagi peraih penghargaan Desa Wisata Berkelanjutan ini juga memprioritaskan aspek Kebersihan Kesehatan, Keselamatan dan Kelestarian Lingkungan sehingga memperoleh sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability).

Wisatawan atau pengunjung tentu akan memilih destinasi wisata yang telah mengantongi sertifikat CHSE, karena mengedepankan rasa aman, nyaman, bersih, sehat dan terjaga keberlanjutan lingkungannya. Menteri Parekraf optimis desa wisata akan bisa menjadi ‘pandemic winner’ seiring dengan perubahan tren wisata paska pandemi. mengedepankan rasa aman, nyaman, bersih, sehat dan terjaga keberlanjutan lingkungannya.

Desa wisata direncanakan sebagai program unggulan untuk membangkitkan semangat kebangkitan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, yang langsung menyentuh ekonomi masyarakat (Kemenparekraf, 30/April/2021). Segmentasi pariwisata ke depan diyakini akan lebih mengarah kepada personalize, customize, localize, dan smaller in size. Personalize diartikan wisatawan akan lebih memilih jenis pariwisata pribadi atau hanya bersama keluarga.

Customize adalah berwisata dengan pilihan minat khusus seperti wisata berbasis alam atau budaya. Localize yakni memilih destinasi yang jaraknya tidak terlalu jauh atau wisata lokal. Sedangkan smaller in size, adalah pariwisata dengan jumlah pengunjung di setiap destinasi wisata yang tidak terlalu massif.

Ketiga kategori tersebut ada di desa wisata, terutama desa wisata bersertifikasi CHSE dan desa wisata berkelanjutan. Contohnya di Desa Wisata Nglanggeran pengunjung dapat ‘quality tourism’ dengan jumlah kecil sambil belajar budidaya kakao dan produksi coklat. Di Desa Wisata Pentingsari pengunjung dapat belajar budaya desa berikut keramahtamahan warga desa yang masih terjaga.

Di Desa Wisata Jatimulyo pengunjung selain berwisata alam menikmati air terjun juga dapat mengamati 105 jenis burung liar yang terjaga di desa ramah burung ini. Wisata di desa wisata berkelanjutan dapat menjadi immune booster bagi jiwa raga di masa pandemi ini.

Yogyakarta, 22 Juni 2021

Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Ahli Perubahan Iklim Kehutanan (APIK) Indonesia Region Jawa & pegiat Ecotourism

Jumat, 23 April 2021

PLANET SAMPAH

Puncak krisis iklim ternyata akan tiba 15 tahun lagi. Lebih cepat dari prediksi para ahli yang diperkirakan terjadi di tahun 2050 atau 2100. Menurut rekaman Laboratorium Penelitian Sistem Bumi (ESRL-NOAA) di Hawai, pada 21 Maret 2021 konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer mencapai rekor baru sebesar 417,72 part per million (The Guardian, 2/4).

 

Ini adalah angka tertinggi jumlah konsentrasi gas rumah kaca sejak Revolusi Industri tahun 1850. Meskipun krisis iklim disebabkan oleh banyak faktor, ada beberapa yang membutuhkan perhatian lebih dari yang lain. Ada 10 masalah lingkungan dan perubahan iklim di dunia.




Analisis koran 'Kedaulatan Rakyat' tanggal 23 Maret 2021 dalam rangka Hari Bumi 22 Maret


Sepertiga makanan yang dikonsumsi manusia di dunia, yakni sekitar 1,3 miliar ton terbuang atau hilang. Jumlah ini cukup untuk memberi makan 3 miliar orang. Limbah dan kerugian makanan menyumbang 4,4 giga ton emisi gas rumah kaca setiap tahun.


Pada tahun 1950, dunia memproduksi lebih dari 2 juta ton plastik per tahun. Pada 2015, produksi membengkak menjadi 419 juta ton. Laporan jurnal Nature menyebutkan sekitar 11 juta ton sampah plastik masuk ke lautan setiap tahun, merusak habitat satwa liar yang hidup di dalamnya.


Para ahli menyebutkan bahwa 91% dari semua plastik yang pernah dibuat tidak didaur ulang. Hal ini  menyebabkan menjadi masalah lingkungan terbesar. Plastik membutuhkan waktu 400 tahun untuk terurai, maka dibutuhkan beberapa generasi hingga sampah plastik tersebut menyatu dengan alam.

 

Di dalam negeri, sampah menempati nomor satu dalam 10 masalah besar Lingkungan di Indonesia, yakni sebesar 40%. Berikutnya adalah masalah banjir (20%); sungai tercemar (11%); pemanasan global (10%); pencemaran udara (6%); rusaknya ekosistem laut (4%); sulitnya air bersih (3%); kerusakan hutan (2%); abrasi (2%); dan pencemaran tanah (2%).

 

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020) jenis sampah di Indonesia terbanyak nomor satu adalah sampah sisa makanan  (30,8%); plastik (18,5%); kayu, ranting, daun (12%); kertas (11,2%) dll. Tingkat rumah tangga memegang porsi terbesar dalam sampah; yakn sebesar 32,4%. Berikutnya disusul oleh pasar tradisional (21,7%); pusat perniagaan (13,9%); fasilitas publik (11%); dll.


Penanganan sampah di Indonesia selama ini juga masih primitif dan cenderung merusak lingkungan, karena sebagian masih dibuang dan ditimbun di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sebesar 69%. Berikutnya adalah dikubur (10%); dibuat kompos dan daur ulang (7%); tidak terkelola (7%); dan dibakar (5%).


Semua penanganan di atas merusak alam, kecuali dibuat kompos dan didaur ulang. Cara terakhir penanganan sampah ini sesuai dengan tema hari Bumi pada tanggal 22 April. Tahun ini tema hari bumi adalah adalah "Restore Our Earth" atau Pulihkan Bumi Kita.


Tema Hari Bumi tahun ini berfokus pada proses alam, teknologi hijau yang sedang berkembang, dan pemikiran inovatif yang dapat memulihkan ekosistem dunia. Sejak tahun 2017 warga Dusun Ngunan-unan, Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul sudah mengelola sampah organik dan non organik secara mandiri. Sampah tidak dibuang ke TPA. Sampah organik berupa sisa makanan, sampah pepohonan, dll diolah menjadi kompos dan POC (pupuk cair). Semua hasilnya dimanfaatkan oleh warga untuk berkebun di lahan pekarangan rumah maupun pertaniannya. Bahkan juga diterapkan di sektor perikanan.

 

Selain itu warga Ngunan-unan juga sudah mulai mengolah sampah keramik dan sampah plastik untuk didaur ulang. Walaupun belum lama berjalan tapi Dusun Ngunan-unan sudah mulai ramai dikunjungi warga luar bahkan mahasiswa untuk belajar pengelolaan sampah secara mandiri. Belajar agar Bumi tidak menjadi Planet Sampah.

Semangat warga Ngunan-unan ini sesuai inti tema hari Bumi tahun ini. "Memulihkan Bumi kita bukan hanya karena kita peduli dengan alam, tetapi karena kita hidup diatasnya. Kita semua membutuhkan Bumi yang sehat untuk mendukung pekerjaan, mata pencaharian, kesehatan dan kelangsungan hidup, dan kebahagiaan kita. Planet yang sehat bukanlah pilihan; tapi adalah kebutuhan," demikian ditulis dari laman earthday.


Yogyakarta, 19 April 2021

Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Ahli Perubahan Iklim Kehutanan (APIK) Indonesia Region Jawa & pegiat Ecotourism

Rabu, 24 Februari 2021

RENCANA NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA

 

Berdasarkan data BNPB sepanjang tahun 2020 terdapat 2.924 kejadian bencana. Saat ini pula Indonesia masih dalam status bencana nasional untuk bencana non-alam akibat pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 di Indonesia berdampak pada hampir seluruh sektor pembangunan. Disisi lain, berbagai bencana yang melanda Indonesia di awal tahun 20201 menimbulkan kerugian dan korban jiwa.


Opini koran  KR 'Kedaulatan Rakyat' tanggal 24 Februari 2021 halaman 11

Dengan mempertimbangkan kompleksitas permasalahan bencana dari sisi potensi ancaman,  kerentanan, kapasitas dan besarannya dampak bencana, serta peluang terjadinya di waktu mendatang, BNPB telah menyusun perencanaan yang komprehensif sehingga penanggulangan bencana (PB) dapat dilaksanakan secara terkoordinasi, terpadu, terarah dan menyeluruh. Perencanaan ini dituangkan dalam Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) Tahun 2020 – 2044 yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020.

Salah satu mandat dari RIPB 2020-2044 adalah disusunnya Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RENAS PB) 2020-2024 yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) pertama yang berakhir pada Tahun 2025, dan periode RPJPN kedua tahun 2025-2045. Selain itu, juga mengacu pada Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim, Tujuan-Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2015-2030, serta Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction/SFDRR 2015-2030).

Ancaman bencana semakin meningkat dengan adanya perubahan iklim, pertambahan jumlah penduduk, perkembangan pembangunan dan infrastruktur, ketersediaan data dan informasi risiko bencana yang terbatas, serta pemahaman masyarakat tentang ancaman bencana disekitarnya yang masih rendah. Tantangan yang paling penting adalah desentralisasi.

Pemerintah pusat dan daerah perlu berkoordinasi dan kolaborasi, karena kunci sukses PB adalah komitmen politis dengan bentuk komitmen pemerintahan daerah dalam PB, membangun sistem PB dan Penyelenggaraan PB yang efektif efisien. RIPB berlaku selama 25 tahun dengan visi adalah mewujudkan Indonesia Tangguh Bencana untuk Pembangunan Berkelanjutan.

Selanjutnya, tujuan RIPB adalah meningkatkan ketangguhan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bencana, serta mengurangi risiko bencana dalam jangka panjang. Isu strategis Renas PB adalah (1) Meningkatnya risiko bencana geologi; (2) Peningkatan potensi dampak dan risiko bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim; (3) Tata kelola, perencanaan, dan pembiayaan (investasi) PB di daerah; (4) Adaptasi kebiasaan baru yang aman dan produktif sebagai fase transisi darurat ke pemulihan darurat bencana non-alam Covid-19; (5) Reformasi elemen sistem penanggulangan bencana (Jati, 2021).

Catatan BNPB tahun 2021 ini bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung mendominasi kejadian bencana. United Nation Environment Programme (UNEP) pada 20 tahun yang lalu menyatakan pemanasan global akan menyebabkan ketidakseimbangan alam. Prediksi tersebut terbukti sekarang.

Kenaikan suhu 20 C menjadi standar untuk menyebut puncak pemanasan global. Jika mencapai suhu tersebut maka suhu rata-rata bumi akan mencapai 140 C (Forestdigest, 6/2). Akibatnya Kota Verkhoyansk di Siberia, Kutub Utara, mencapai 380 C. Dampaknya adalah pelbagai bencana akan melanda di semua belahan bumi.

Pandemi Flu Spanyol pada 1918 yang menewaskan hampir 100 juta orang ditengarai disebabkan oleh pemanasan global. Melonjaknya emisi di atmosfer yang membuat suhu laut Polandia memanas. Kenaikan suhu membuat tiram yang menjadi makanan burung menjadi sakit. Virus yang berpindah ke burung menyebar ke seluruh dunia ketika mereka bermigrasi.

Pandemi Covid-19 saat ini juga mirip dengan Flu Spanyol. Oleh karena itu, dalam webinar Sosialisasi RIPB pada 4 Februari 2021 kemarin bersama BNPB dan Pemda seluruh Indonesia menekankan pentingnya mitigasi pada bencana non alam, yakni wabah pandemi yang selama ini diabaikan.

Tak kalah penting juga perlu waspada terhadap ancaman teknologi seperti dampak dari nuklir maupun senjata biologis. Situs www.scmagazine.com tanggal 8 Februari 2021 memberitakan adanya ancaman hacker untuk meracuni cadangan air warga Florida, Amerika Serikat. Sejatinya bencana dapat dicegah sepanjang otoritas mengaturnya dengan regulasi yang memaksa atau melakukan respons cepat mencegah bencana terjadi (Kartodiharjo, 2021)

 

Yogyakarta, 16 Februari 2021 pukul 09.00 WIB

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Ahli Perubahan Iklim Kehutanan (APIK) Indonesia Region Jawa & pegiat Ecotourism


Selasa, 05 Januari 2021

WISATA KREATIF MASA PANDEMI

Pandemi Covid-19 jelas mengakibatkan dampak buruk bagi pariwisata, contohnya saat liburan Tahun Baru 2021 jumlah kunjungan wisata di Gunung Kidul mengalami penurunan 50 persen (KR/ 2/1). Akan tetapi tidak boleh diam menerima nasib saja. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) yang baru Sandiaga Uno- menyiapkan 3 gagasan untuk pariwisata Indonesia.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 5 Januari 2021 halaman 11

Pertama adalah Inovasi, yakni inovasi pariwisata baik dalam bidang kuliner, fashion, serta kesenian dan budaya yang mencakup beragam tarian di Indonesia. Inovasi juga melibatkan infrastruktur yang berkaitan dengan interkoneksi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Destinasi wisata Puncak Becici di Desa Mangunan, Bantul berinovasi dengan atraksi Gejog Lesung untuk menarik minat wisatawan. 

Kedua Adaptasi, yaitu perlunya penerapan standar protokol kesehatan CHSE (Cleanliness/Kebersihan), (Health/Kesehatan), (Safety/Keselamatan), dan (Environment/Kelestarian Lingkungan) untuk setiap destinasi wisata, yang merupakan adaptasi destinasi wisata di tengah wabah. Saat ini perlu adaptasi dengan target pasar wisata dan ekonomi kreatif pada wisatawan nusantara (wisnus), mengingat ditemukannya kasus varian Covid-19 di luar negeri seperti di Inggris. Hampir semua destinasi wisata di DIY sudah menerapkan protokol kesehatan.

Ketiga Kolaborasi, yakni pariwisata mengedepankan komunikasi terbuka dan kerja sama antarpihak yang makin bersinergi. Saatnya berkolaborasi, tidak hanya diskusi. Jangan ada ego sektoral. Bersinergi saling menguatkan untuk pulihkan sektor andalan. Khusus di DIY sudah ada program Desa Mandiri Budaya yang men-sinergikan stakeholder dan mengurangi ego sektoral  (Sulfiantono, 2020).

Kolaborasi pemangku kepentingan antara Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk industri perbankan, dan sektor swasta dibutuhkan untuk mendukung bangkitnya sektor pariwisata dari dampak pandemi Covid-19. Bank BPD DIY sudah terlibat dalam pembuatan QRIS untuk mempermudah pembayaran tiket sehingga mencegah terjadinya antrian pengunjung di depan loket destinasi wisata.

Sektor pariwisata sangat kompleks dan mata rantainya terhubung dari hulu ke hilir, dan merupakan sektor padat karya. Tahun 2021 ada potensi cerah pariwisata daerah, terutama adanya dana desa yang relevan untuk dikembangkan di sektor pariwisata (Saputro, 2021). Desa wisata yang mempunyai potensi keindahan alam, budaya dan konten kreatif berpotensi tumbuh di tahun 2021.

Desa wisata Nglanggeran, di Kecamatan Patuk, Gunung Kidul adalah desa wisata yang mengemas ide kreatif untuk menggerakkan potensi desa wisata. Desa Nglanggeran yang awalnya (tahun 2012) menggantungkan pada wisata masal/umum pada destinasi wisata Gunung Api Purba, sudah sejak 2015 fokus pada wisata kreatif atau minat khusus. 

Jumlah wisatawan desa wisata Nglanggeran pada tahun 2014 mencapai puncak sebanyak 325.303 orang dengan pemasukan sebesar Rp 1.422.915.000,- (Handoko, 2020). Tahun 2015 mengalami penurunan sebesar 255.917 orang, tapi pemasukan bertambah menjadi Rp 1.541.990.000,-. Tahun 2019 jumlah wisatawan sebesar 103.107 orang dengan pemasukan sebesar Rp 3.272.593.400,-. Peningkatan pemasukan ini diperoleh dari kunjungan wisata minat khusus edukasi seperti pengolahan kakao/coklat; kuliner ceriping; kerajinan topeng; hingga ternak kambing yang menginap di homestay milik warga desa.

Tahun 2021 ini Desa Wisata Nglanggeran akan launching Griya Batik dan Griya Spa (Handoko, 2020). Tenaga kerja kedua wisata minat khusus ini berasal dari warga lulusan SMA/SMK. Contoh lainnya adalah Desa Wisata Jatimulyo, di Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo. Selain menggarap wisata umum  atau massal seperti di destinasi wisata Gua Kiskendo, Sungai Mudal, Air Terjung Kembang Soka, Kedung Pedut, dll; juga fokus pada wisata kreatif avitourism atau wisata pengamatan burung (birdwatching). Walaupun belum ada catatan besaran nilai rupiah yang diperoleh dari seluruh avitourism, tetapi nilai yang dikeluarkan (tourist spending) lebih besar dari wisatawan biasa. 

Wisatawan Birdwatcher bahkan akan menginap di homestay untuk memperpanjang kunjungannya jika target bidikan burung tidak tercapai. Sudah saatnya desa wisata tahun 2021 ini untuk berinovasi; beradaptasi terhadap perubahan; dan berkolaborasi agar dapat bertahan dari wabah. Dan ini sesuai teori Charles Darwin yang mengatakan, yang mampu bertahan hidup adalah yang responsif dan berinovasi terhadap perubahan.

Yogyakarta, 3 Januari 2021, pukul 14.45 WIB


Senin, 04 Januari 2021

RESOLUSI TAHUN BARU?

Tiap tahun baru seringkali membaca status di media sosial tentang resolusi hidup. Sebuah harapan yang ingin dicapai pada tahun tersebut. Bisa juga sebuah cita-cita.

Sekitar 1,5 tahun yang lalu pernah ditanya salah seorang ustadz tentang cita-cita atau keinginan. Saya jawab adanya keinginan, bukan cita-cita atau resolusi.

Karena saya pernah kecewa. Ya, kecewa berat.

Tepatnya tahun 2018 saat cita-cita untuk studi doctoral ke luar negeri hampir tercapai dengan diterimanya beasiswa doctoral di Tiongkok. Jelang keberangkatan ke Wuhan University of Technology tiba-tiba surat tugas belajar tidak dapat turun, gara-gara belum ikut psikotes tugas belajar. Padahal sebelumnya ijin sudah turun untuk ikut seleksi beasiswa dari Kemenristek DIKTI ini.

Pimpinan dari tingkat bawah hingga atas dimintai bantuan nihil hasilnya. Seolah acuh. Padahal juga via jalur alumni kampus. Pimpinan dulu yang mendorong untuk studi juga lepas tangan, sibuk dengan pekerjaan barunya.

Terakhir saya katakan ke ustadz bahwa saya akan memulai hidup seperti air saja. Filosofi air mengalir.

“Hidup adalah serangkaian perubahan yang alami dan spontan. Jangan tolak mereka karena itu hanya membuat penyesalan dan duka. Biarkan realita menjadi realita. Biarkan sesuatu mengalir dengan alami kemanapun mereka suka.” (Lao Tzu)

Alhamdulillah keluarga terutama istri yang senantiasa mensupport. Inilah yang menjadi pilihan untuk selalu dekat dengan keluarga. Mereka-lah supporter sejati. Bukan dari kantor apalagi kampus!

Cukup nikmati hidup, isi dengan ibadah baik madhah dan ghairu madhah, sabar dengan ujian dan ikhlas dengan ketetapan-Nya. 



Jumat, 20 November 2020

DESA MANDIRI BUDAYA


Akhirnya Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 93 Tahun 2020 tentang Desa/Kalurahan Mandiri Budaya. Pergub yang ditandatangani tanggal 9 November 2020 ini merupakan pedoman pelaksanaan Desa/Kalurahan Mandiri Budaya di Provinsi DIY.

Menurut hasil kajian Dinas Kebudayaan DIY tahun 2018, Desa Mandiri Budaya adalah desa otonom yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri melalui pendayagunaan dan pemanfaatan segenap sumberdaya internal desa dan eksternal (supra-desa) untuk mengaktualisasikan, mengembangkan, dan mengkonservasi kekayaan potensi budaya (benda dan/atau tak benda) yang dimilikinya melalui pelibatan partisipasi aktif warga dalam melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.


Opini Koran KEDAULATAN RAKYAT 20 November 2020 halaman 11

Pembentukan Desa Mandiri Budaya dilatarbelakangi akibat pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 yang ternyata belum seperti yang diharapkan (Paniradya Keistimewaan DIY, 2020). Ego sektoral masih terjadi sehingga membuat perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya menjadi tidak sehat, tidak adil, dan tidak efisien dari sudut pandang kawasan. Kajian dari tim penyusun Grand Design Desa Mandiri Budaya DIY tahun 2020 menyebutkan dampak dari ego sektoral adalah salah satunya pemanfaatan anggaran menjadi boros (tidak efisien dan tidak efektif).

Penyerapan dana penanggulangan kemiskinan kurang sampai kepada masyarakat, dan lebih banyak dimanfaatkan oleh birokrasi, dan proses pembangunan serta pendampingan desa tidak mengalami kohesi yang baik antar SKPD dan desa-desa sebagai subjek dan objek pembangunan. Hal ini disebabkan pada SKPD belum seluruhnya memiliki frame work yang jelas dalam mendorong pembangunan desa yang holistic, komprehensif dan terukur.

Idealitas desa masih dilihat dari perspektif masing-msaing SKPD, sehingga tidak ada bentuk ideal atau mendekati paripurna pembangunan desa yang ingin diruju. Persoalan sektoral ini akhirnya terjebak pada program dan penilaian kinerja. Untuk itu dalam konteks pelaksanaan desa mandiri budaya diperlukan harmonisasi pelaksanaan kebijakan pembangunan desa dengan pembangunan ekonomi, budaya, wisata, pangan, pengarusutamaan gender, entrepreneurship, kesehatan mental, teknologi serta penanggulangan kemiskinan (Paniradya Keistimewaan DIY, 2020).

Upaya pengembangan desa mandiri budaya didasarkan pada prinsip bahwa “Desa Mandiri Budaya sebagai Tujuan Pembangunan di DIY”. Dalam hal ini terdapat inisiasi dari pemerintah daerah DIY untuk menggagas pilot project pembangunan desa secara lintas OPD diantaranya, Desa Budaya (Dinas Kebudayaan), Desa Wisata (Dinas Pariwisata), Desa Prima (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk), Desa Preneur (Dinas Koperasi & UMKM).

Tantangan terbesar dalam implementasi Desa Mandiri Budaya terletak pada bagaimana membalikkan basis paradigma pembangunan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top down) menjadi paradigm pembangunan yang memposisikan inisiatif pembangunan desa berasal dari “bawah ke atas” (bottom up). Pembalikan paradigma pembangunan itu juga harus terjadi dari jargon/retorika “membangun desa’ menuju praksis “desa membangun”, dari slogan “membangun masyarakat” menjadi “masyarakat membangun”.

Tujuan pembangunan Desa Mandiri Budaya adalah pertama, mewujudkan kemandirian desa dalam menyejahterakan masyarakat desa melalui pengembangan budaya, wisata, partisipasi secara inklusif terhadap perempuan, pengembangan wirausaha desa, dan ketahanan pangan (Paniradya Keistimewaan DIY, 2020). Kedua, memperkuat potensi desa sebagai banteng pelestarian budaya dalam menghadapi arus global. Ketiga, memperkuat sistem kelembagaan desa untuk mengurangi tingkat kemiskinan melalui ketahanan pangan, kewirausahaan, dan wisata.

Keempat, memperkuat sistem informasi desa sebagai ruang sosialisasi, promosi, dan pemasaran desa. Kelima, memperkuat kapasitas pengelola desa dan organisasi-organisasi di ringkat desa dari sisi intelektual mamupun keterampilan dalam pengelolaan desa. Keenam, memperkuat tata nilai dan kehidupan masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketentraman.

Untuk mencapai target RPJMD 2017-2022 bahwa pada tahun 2022 terwujud 20 Desa Mandiri Budaya, tahun 2020 ini Pemda DIY melakukan pelatihan dan pendampingan 10 Desa Mandiri Budaya. Tentu Pemda DIY butuh kerja keras untuk mewujudkannya, karena baru sedikit Desa yang sudah komplit mempunyai 4 kategori Desa (Wisata, Budaya, Preneur, Prima).

Salah satu desa yang sudah komplit adalah Desa Putat, Kapanewon Patuk dan Desa Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul. Untuk itu pelatihan dan pendampingan kelembagaan senantiasa intens dilaksanakan. Melalui Kelembagaan Desa Mandiri Budaya, diharapkan desa dapat menjadi lumbung ekonomi desa (aspek perekonomian), lingkar budaya desa (aspek kelestarian budaya desa), jaring wira desa (kemandirian masyarakat).

 

Yogyakarta, 18 November 2020

Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pegiat Forkom Desa Wisata DIY

Rabu, 14 Oktober 2020

KOPI PERUBAHAN IKLIM

 

Perubahan iklim akibat pemanasan global menjadi masalah krusial saat ini. Dampaknya dapat ke berbagai bidang seperti krisis pangan, air, energi; dan munculnya wabah penyakit baru. Dampak tersebut dapat dirasakan dari kehidupan sehari-hari, seperti secangkir kopi yang dapat merekam dampak perubahan iklim.

Penyebab utama pemanasan global adalah polusi dan emisi yang membuat atmosfer tidak dapat menyerap panas matahari dan bumi akibat aktivitas manusia. Sedangkan pohon-pohon yang bertugas menyerap panas kian berkurang akibat lahannya yang diokupasi untuk industri dan permukiman. Di Indonesia, kekeringan ekstrem akibat El Niño membuat produksi kopi turun 10%. Sementara musim hujan panjang akibat La Niña menurunkan produksi kopi hingga 80% (Syakir dan Surmaini, 2017).

Opini Koran KEDAULATAN RAKYAT Yogyakarta, tanggal 14 Oktober 2020 halaman 11

Musim yang ekstrem juga memicu hama yang membuat kopi Arabika kian rentan. Penelitian baru-baru ini oleh Kath dkk (2020) juga menemukan kopi Robusta yang sebelumnya lebih tahan hama juga terganggu pertumbuhannya akibat perubahan iklim. Dalam beberapa dekade terakhir, kopi di Amerika Selatan dan Tengah dilanda wabah rust daun kopi, sejenis jamur yang membuat daun hijau kopi menjadi kuning kecokelatan (Andriyana, 2020). Hama juga menyebar dengan cepat.

Di wilayah penghasil kopi di Ethiopia dan Kenya, penggerek biji, sejenis serangga kecil yang bersembunyi di dalam biji kopi, juga mengancam keberlanjutan tanaman ini. Di Indonesia, hama penggerek dan penyakit karat daun juga makin sering terlihat dan menurunkan produksi hingga 50% (Syakir dan Surmaini, 2017).

Dampak iklim telah memberikan perhatian global yang lebih besar terhadap para petani kopi. Pola tanam sistem shaded grown (agroforestry/wanatani/tumpang sari) dipilih menjadi sistem tanam yang dihandalkan petani untuk menghadapi perubahan iklim. Pola tanam wanatani  memungkinkan kopi tak hanya bersahabat dengan tanah dan simpanan air, juga menaikkan keragaman hayati dan menyediakan diversifikasi produk karena pelbagai tanaman diatasnya.

Menurut penelitian Mulyoutami dkk (2004) wanatani pada kopi memberikan fungsi konservasi, yakni: (1) Memberikan naungan. Wanatani kopi dengan naungan kompleks, ada lapisan tajuk menyerupai hutan yang berfungsi memberikan naungan terhadap kopi dan melindungi permukaan tanah dari terpaan air hujan. (2) Menjaga suhu, kelembaban udara dan kelembaban tanah di sekitar kebun.  Lapisan tajuk dari pohon pelindung dan serasah yang jatuh dapat mengurangi masuknya cahaya matahari ke dalam kebun dan tanah sehingga suhu, kelembaban udara dan kelembaban tanah di sekitar kebun tetap terjaga. 

Akar-akar pohon naungan juga dapat menyimpan air sehingga dapat menjaga kelembaban tanah dan ketersediaan air tanah. (3) Menambah kandungan hara dalam tanah. Jika pemilihan tanaman naungan tepat, misalnya jenis tanaman yang dapat hidup bersama dengan kopi, maka tanaman naungan dapat menambah kandungan hara dalam tanah melalui serasah daun-daunnya. (4) Mengurangi kemungkinan terjadinya erosi dan tanah longsor. Akar pohon-pohon naungan/pelindung dapat mengikat tanah sehingga tidak terjadi erosi ataupun tanah longsor.

(5) Memberikan penghasilan tambahan. Tanaman naungan juga menghasilkan nilai ekonomi yang cukup tinggi, seperti hasil kayu, tanaman obat, pangan dan lainnya. Kopi dari wanatani yang berasal dari biji kopi yang diolah dengan cara seminimal mungkin merusak lingkungan dapat meningkatkan taraf hidup petani kopi, apalagi saat krisis akibat pandemi Covid-19 ini.

Kegiatan wanatani kopi yang mulai rintis sejak tahun 2017 oleh relawan basecamp pendakian jalur Sapuangin, Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Klaten sudah berbuah. Produk kopi dari kebun warga yang diberi nama ‘SAPUANGIN’ ini turut menjadi penyangga Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Fungsi ekologi dan ekonomi diperoleh warga dan hutan konservasi milik Negara melalui warung kopi Sapuangin di lereng Tenggara Gunung Merapi yang dibuka tanggal 10 Oktober 2020 kemarin.

Budidaya kopi dari wanatani lestari dapat mengurangi pemanasan global. Penikmat kopi punya hak sekaligus kewajiban dan bertanggung jawab menentukan standar kopi yang diminumnya. Tindakan kecil kita saat minum kopi itu, jika masif, akan mencegah dampak perubahan iklim lebih buruk dan luas.

Yogyakarta, 10 Oktober 2020

Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pendiri WAG Kopi Konservasi