Rabu, 09 November 2016

BUDAYA MERAPI DAN RESTORASI

Tanggal 4 - 7 November 2016 saya memperoleh undangan konferensi tahunan Beijing Forum di ibukota Tiongkok, Beijing. Beijing Forum merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Peking University (universitas terbaik di Tiongkok), untuk memfasilitasi forum akademik internasional yang bertujuan untuk mendorong perkembangan sosial dan harmoni antar peradaban serta meningkatkan kesejahteraan ummat manusia.

Di dalam Beijing Forum tahun ini ada forum yang bernama SCCS (Student Conference on Conservation Science) dan mengusung tema “Developing Sustainable and Practicable Approaches to Conservation for the 21st Century.” Forum ini diharapkan dapat berbagi informasi dan ilmu pengetahuan dalam pengelolaan kawasan konservasi untuk kelangsungan hidup manusia.

Kebetulan abstrak tentang budaya masyarakat merapi yang mendorong restorasi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dapat diseminarkan dalam Beijing Forum ini. Apalagi saat ini sudah memasuki tahun ke-6 setelah erupsi Merapi tahun 2010 yang membawa dampak kerusakan kawasan TNGM.
Opini SKH Kedaulatan Rakyat, tanggal 3 November 2016

Erupsi dan Restorasi Merapi
Erupsi tahun 2010 (Oktober – Nopember) melanda sebagian besar kawasan TNGM. Kerugian yang diakibatkan bencana alam erupsi Gunung Merapi sangat besar. Erupsi Gunung Merapi secara periodik membawa konsekuensi perubahan ekosistem secara dinamis. Perubahan ekosistem ini mencakup komponen abiotik, biotik dan sosial budaya.
Perubahan ekosistem yang disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya vegetasi perlu direstorasi dengan melakukan penanaman jenis-jenis vegetasi asli yang pernah ada dalam ekosistem tersebut. Sebenarnya secara alami, ekosistem yang terganggu akan dapat memulihkan dirinya sendiri melalui proses suksesi alam, namun mengingat kerusakan ekosistem hutan di TNGM akibat erupsi maka proses suksesinya akan memerlukan waktu yang sangat lama.
Sementara itu, pemulihan ekosistem perlu segera dilakukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi hutan yang hilang seperti fungsi habitat satwa, fungsi lindung hidrologi dan fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Untuk itu diperlukan campur tangan manusia dalam rangka membantu mempercepat proses recovery (pemulihan) ekosistem yang terdegradasi.
Salah satu cara yang efektif program restorasi TNGM adalah dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat untuk terlibat aktif. Diyakini bahwa kegiatan-kegiatan skala kecil berbasis budaya lokal yang dilakukan oleh masyarakat dapat memberikan dampat positif yang lebih dahsyat dibandingkan mega proyek berteknologi tinggi yang mengandung resiko ekonomi-sosial-politik dan lingkungan yang tidak kecil.
Kearifan adalah seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat yang terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis (Habibudin, 2006). Nilai kearifan dan budaya yang dipegang erat masyarakat Merapi sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa dari Kraton Mataram dan Yogyakarta.
Masyarakat masih memegang kepercayaan bahwa antara Gunung Merapi, Kraton dan Pantai Selatan saling terhubung erat satu sama lain. Mereka meyakini gunung, sungai, dan pohon bukanlah ‘benda mati’ sehingga manusia wajib menjaga kelestariannya, sejalan dengan prinsip “Hamemayu Hayuning Bawono, Ambrasta dur Hangkara dalam pelestarian alam yang diaplikasikan dalam beberapa tradisi budaya. Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Wujud nyata kearifan lokal masyarakat sekitar kawasan TNGM yang terkenal adalah upacara Labuhan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat di dusun Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan Sleman (Merapi lereng Selatan) serta Kecamatan Selo, Boyolali (Merapi lereng Utara) adalah praktik penjagaan kelestarian alam melalui upacara adat. Kedua kawasan tersebut relatif terjaga kelestariannya.
Bahkan masyarakat ikut terlibat aktif dalam kegiatan restorasi yang dilakukan oleh TNGM. Selain itu, mayoritas desa sekitar TNGM juga memiliki budaya ‘merti desa atau merti bumi’, yakni ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME atas nikmat rezeki berupa alam Merapi yang memberikan kehidupan. Merti bumi di Desa Tunggularum, Kecamatan Turi, Sleman contohnya, saat merti bumi juga dilakukan kegiatan penanaman.
Demikian pula dengan di Deles, Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten juga ada kegiatan budaya ‘wayang kulit’ yang dilaksanakan di dalam hutan ‘Saluman’ saat malam hari. Paginya dilakukan penanaman di daerah ‘gundul’ akibat terdampak erupsi. Dengan falsafah Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara berarti sistem pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal juga berorientasi pada nilai ekonomi, namun tanpa mengabaikan nilai ekologinya yang sangat besar artinya bagi nilai konservasi dan pelestarian.

Dengan falsafah tersebut masyarakat Merapi memandang bahwa lingkungan alam sekitar sebagai bagian integral dari kebudayaan, mereka mempunyai kepercayaan penuh bahwa lingkungan alam sekitar adalah penyedia sumber penghidupan bagi mereka, oleh karena itu harus dijaga, dimanfaatkan dan dikelola secara arif. Falsafah masyarakat Merapi ini sangat mendukung program restorasi atau pemulihan ekosistem di kawasan TNGM dan sekitarnya.

@Tangerang, 1 November 2016 pukul 20.30 WIB

Selasa, 08 November 2016

FIGHT CLIMATE CHANGE

Climate change issues has undergone a transformation of global issues into the national strategic issues, and move on to the issue of the regional level. All areas are already feeling the impact of climate change, the rise in temperature and drought. If this condition is not overcomed along with the concept of sustainable development in Indonesia can be certained to fail.

Failed because sustainability indicators not achieved, such as the increasing number, frequency and widespread disaster in Indonesia (Sudibyakto, 2014). To reduce the impact of climate change, the Directorate General of Climate Change Control, Ministry of Forestry of Indonesia together the Association of Experts on Climate Change and Forestry (APIK) Indonesia seeks to synergize the role of academics, environmental practitioners, and local governments in a real work plan.

APIK-Indonesia is a forum set up in 2014 to establish communication and synergy between academics, researchers and practitioners climate change and the environment in Indonesia. The role of APIK Indonesia is thinker and actor that can synergize with all stakeholders in boosting the mitigation efforts, as well as information liaison to the research results and the availability of expertise associated with climate change and forest management (Masripatin, 2014).

At the local level such as Java which has problems of population explosion and the decrease in support of the environment, being very vulnerable to the impacts of climate change. This realization led to the mitigation of climate change is an important thing to be mainstreamed in the development plan (Karuniasa, 2014). The number of environmental issues that affect their social, economic and ecological provide opportunities for APIK to do more to create a breakthrough in contributing to the solution options.

Role of Community Forests

Population density and dynamics of economic growth has eroded the natural resources on the island of Java up to the current conditions, led to the development of the threat to life and sustainable development. One effective way to maintain the carrying capacity of the natural environment in the midst of the insistence of population and climate change is to take benefit of the large number of population to do something to repair and improve environmental quality.

It is believed that small-scale activities carried out by a large number of community can give positive impact more powerful than high-tech big projects which bring the risk of economic-social-political and  environments. Community-based activities can also have bring a direct impact on improving welfare.

Delay Cutting

Very interesting when NGOs Arupa did in study of climate change on society Terong village, Dlingo subdistrict, Bantul regency, Yogyakarta Province that they have the culture to harvest and sell trees were not yet ready to harvest, because it demands urgent needs. The impact of "Tebang Butuh' (Cutting/Harvesting Needed) these are the decline in value of the timber, the threat of forest conservation, and climate change in the long term.

Therefore, the village formed a cooperative 'Tunda Tebang' (Delay Cutting) to address these problems (Arupa, 2014). The name of cooperative is KTT Jasema. Members can borrow with a maximum loan of IDR 5 million. Uniquely, members can ensure a tree as collateral for loans. Trees that can be used as collateral is a tree with a circumference of 60 cm and some types of trees found at the rules of KTT Jasema (Arupa, 2014).

Expected climate change mitigation community - based models of micro-finance or cooperative institutions  'Delay Cutting' can be widespread, so it can play an active role in reducing the impact of climate change

*) Arif Sulfiantono (secretary of APIK-Indonesia chapter Yogyakarta Province)
@Peking University, November 8, 2016, 22.00 pm