Selasa, 25 Agustus 2015

MENYELAMATKAN SATWA LIAR GUNUNG MERBABU



Pengelola Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) bersama relawan dan masyarakat sejak Rabu (19/8) sibuk menangani kebakaran hutan. Bahkan Kamis malam (20/8) dari CCTV stasiun pengamatan BPPTKG di Ngepos titik api mulai temu gelang. Saat semuanya fokus pada penanganan kebakaran, perlu juga memperhatikan dan siaha penanganan satwa liar yang ada di TNGMb.

Lokasi kebakaran yang terjadi pada ketinggian 1700-2000 m dpl adalah kawasan habitat primata yang dilindungi seperti Lutung hitam (Tracypithecus auratus), Lutung kelabu (Presbytis fredericae), serta mamalia seperti Kijang (Muntiacus muntjak), Musang (Herpates javanica), Landak (Histrix sp.), Luwak (Paradoxurus hermaproditus) dan Macan Tutul (Panthera pardus). Satwa liar tersebut sangat peka, dan akan melakukan migrasi untuk menyelamatkan diri.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 25 Agustus 2015

Sebagai Khalifah fil Ardh manusia harus melindungi makhluk-makhluk lain atau satwa secara bijak karena mereka bermanfaat bagi keseimbangan sistem kehidupan di muka bumi. Makhluk hidup apa pun merupakan mata rantai ekosistem kehidupan yang satu sama lain saling membutuhkan. Peter H. Raven mengatakan bahwa “hilangnya satu jenis pohon akan diikuti hilangnya 10 sampai 30 jenis satwa seperti insekta (serangga), hewan besar dan juga jenis lainnya.” Berangkat dari perspektif inilah, kita juga perlu memperhatikan dan menyelamatkan satwa liar di wilayah itu.
Taman Nasional Gunung Merbabu ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 135/Kpts-II/2004 dengan luas 5.725 ha (Departemen Kehutanan, 2007)  merupakan salah satu taman nasional di Pulau Jawa yang menghadapi tekanan penduduk di sekitarnya. Taman nasional ini dikelilingi oleh 36 desa dengan penduduk berjumlah 121.513 jiwa dari 32.633 rumah tangga (Balai TNGMb, 2009). Selain potensi satwa liar, kawasan hutan TNGMb juga merupakan daerah tangkapan air yang penting.

Kawasan TNGMb merupakan hulu 17 sungai di Kabupaten Magelang, 7 sungai di Kabupaten Boyolali dan 8 sungai di Kabupaten Semarang. Di kawasan TNGMb juga banyak terdapat mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya, antara lain Tuk Sipenduk (Kec. Ampel, Kab. Boyolali), Tuk Babon (Kec. Selo, Kab. Boyolali),Umbul Songo (Kec. Getasan, Kab. Semarang), Simuncar (Kec. Ampel, Kab. Boyolali), Teyeng (Kec. Kedakan Kab. Magelang), Kali Soti (Kec. Kenalan, Kab. Magelang),Tuk Sikendil (Kec. Kesingan, Kab. Magelang), Tuk Kenteng (Kab. Semarang),Tuk Kali Pasang (Kab. Semarang), Tuk Padas (Kab.  Semarang), Tuk Jaran Mati (Kab. Boyolali),Tuk Geded (Kab. Semarang) (Balai TNGMb, 2009).

Belajar dari peristiwa erupsi Gunung Merapi tahun 2010, melalui naluri alamnya yang tajam, banyak satwa liar yang turun gunung untuk menyelamatkan diri. Primata jenis Monyet ekor panjang (Maccaca fascicularis) dari Gunung Merapi melakukan migrasi ke Gunung Merbabu. Aliran sungai DAS Pabelan dengan vegetasi riparian potensial menjadi koridor pengungsian satwa dari Gunung Merbabu ke Merapi, tepatnya di kawasan Desa Lencoh, Kec. Selo, Boyolali.

Penelitian Marhaento dkk (2010) menunjukkan bahwa areal yang dicadangkan untuk koridor jalur migrasi satwa Merapi-Merbabu sudah padat pemukiman, jaringan jalan dan pertanian intensif, maka pembuatan koridor menemui kesulitan. Hasil kajian Gunawan, dkk (2012) luas areal koridor yang harus di-hutan-kan adalah seluas ± 394,91 Ha. Sementara jarak yang harus ditempuh satwa dari Gunung Merapi sampai Gunung Merbabu atau sebaliknya adalah sekitar 6,95 km.

Jarak ini harus ditempuh dengan menyeberangi jalan raya alternatif Boyolali-Magelang. Oleh karena itu, ke depan perlu dipikirkan adanya penyeberangan satwa, baik melalui kolong jembatan maupun di atas jalan. Penyeberangan di kolong jembatan tampaknya lebih memungkinkan. Koridor selebar 200 meter sebenarnya masih kurang memberikan rasa aman kepada satwa yang bersifat sensitif terhadap aktifitas manusia atau jenis-jenis satwa interior, namun mengingat koridor ini diperuntukan bagi keadaan darurat, maka diharapkan bisa menjadi sarana penyelamatan bagi satwaliar saat kebakaran hutan maupun erupsi.

Koridor dengan lebar 200 m ini kemungkinan digunakan oleh satwa pada malam hari, dimana kondisi sekitarnya sepi dari aktifitas manusia (Marhaento dkk, 2010). Mengingat kepentingan jangka panjang, pembuatan koridor ini merupakan investasi yang menguntungkan bagi pelestarian keanekaragaman hayati di kedua taman nasional. Berdasarkan gambaran itulah, perlu dipikirkan bagaimana cara menyelamatkan satwa liar tersebut.

Balai TNGMb, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Pemerintah Propinsi dan Daerah perlu membuat daerah penyangga di sekitar Merbabu maupun Merapi, serta membuat jalur khusus atau jalur hijau sebagai koridor untuk migrasi satwa-satwa tersebut ke daerah penyangga. Disamping itu juga dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana sikap mereka untuk mengamankan dirinya bila berhadapaan dengan satwa liar yang berbahaya dan bagaimana membantu mengamankan satwa liar tersebut. Wallahu’alam bi showab.