Sabtu, 22 Desember 2018

dari DESA RAMAH BURUNG ke DESA WISATA dan TANGGUH BENCANA

Pada KTT perubahan iklim ke-24 (COP 24) yang dilaksanakan di Katowice, Polandia pada tanggal 3 s/d 12 Desember 2018 Indonesia berperan menjadi percontohan negara berkembang dalam pengembangan kapasitas pengendalian perubahan iklim. Peran aktif Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim ini dibuktikan dengan semakin banyaknya aksi riil yang dilaksanakan masyarakat di daerah. Aksi riil ini sebagian besar diinisiasi dan dilaksanakan masyarakat secara swadaya di kelurahan atau pedesaan. Harapan masyarakat memang tidak hanya pada pengendalian perubahan iklim, tetapi menjadi kelurahan/desa tangguh bencana.


Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 22 Desember 2018

Salah satu contoh aksi riil masyarakat kami sampaikan dalam pertemuan Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia di Jakarta (19/12) dengan menceritakan Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Desa ini terletak di dataran tinggi Pegunungan Menoreh yang mempunyai karateristik geomorfik rawan longsor lahan. Hasil survei menunjukkan bahwa selama 20 tahun (1990-2009) terdapat 187 kejadian longsor dengan empat tipe longsor yang tersebar di 6 kecamatan Kawasan pegunungan Menoreh (Priyono dkk, 2011). Kejadian bencana longsor lahan tersebut umumnya terjadi pada saat dan atau setelah kejadian hujan.

Longsor lahan akan terjadi pada saat ada hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu yang lama. Hujan selama lima hari terus menerus dengan intensitas 90 mm/hari atau lebih dapat meningkatkan frekuensi terjadinya longsor. Wahyono (1997) menyampaikan bahwa pada kenyataannya tidak semua wilayah berlereng mempunyai potensi longsor dan hal itu tergantung pada karakter lereng beserta materi penyusunnya terhadap respon tenaga pemicu terutama respon lereng terhadap curah hujan. Akhir tahun 2017 kemarin saat beberapa wilayah DIY dilanda longsor dan banjir akibat badai Cempaka, wilayah Desa Jatimulyo termasuk yang paling kecil kerusakan akibat longsor.

Hal ini karena masyarakat Jatimulyo menyadari akan kondisinya yang rawan longsor lahan dengan tetap mempertahankan hutan rakyatnya. Semua hutan rakyat yang ada di desa dengan luas wilayah 1.629,06 hektar ini milik warga lokal yang dibudidayakan dengan cara wanatani (agroforestry). Hutan rakyat ini merupakan kawasan tangkapan air dan habitat tumbuhan satwa liar yang unik dan spesifik. 7 obyek wisata alam berbasis mata air dan air terjun, yakni Kembangsoka, Goa Kiskendo, Curug Setawing, Grojogan Sewu, Kedung Pedut, dan Sungai Mudal mengantarkan Desa Jatimulyo memperoleh juara III Desa Wisata terbaik tingkat DIY pada tahun 2015.

Untuk melindungi 94 jenis burung di Jatimulyo (24 persen total jenis burung di DIY), tahun 2014 dikeluarkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 8 yang melarang kegiatan perburuan di seluruh kawasan Desa Jatimulyo. Sejak saat itu Desa Jatimulyo mendeklarasikan diri menjadi Desa Ramah Burung. Salah satu jenis burung asli yang cukup sulit ditemukan di daerah lain, yakni Sulingan atau Sikatan Cacing (Cyornis banyumas) dijadikan brand nama produk unggulan Desa Wisata Jatimulyo, yakni Kopi Sulingan.

Tanaman kopi dipilih menjadi produk utama dari sistem wanatani hutan rakyat, karena kopi dibudidayakan dengan sistem ‘shaded grown tree’, yakni ditanam dibawah tegakan pohon atau di bawah naungan. Budidaya kopi dengan sistem ini mendukung fungsi konservasi tanah dan air dalam jangka panjang (Mulyoutami dkk, 2004). Kopi Sulingan menjadi salah satu dari empat alternatif pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan Desa Jatimulyo, yakni (1) Usaha kopi; (2) Ternak lebah klanceng; (3) Produksi gula aren; (4) Wisata tirta (Suparno, 2018).

Produk dari wanatani lain adalah tanaman buah; seperti salak, kelapa, pisang, jengkol, petai, nangka, rambutan, sawo hijau, alpukat, sukun, kakao, kopi, cengkeh; tanaman kayu yakni sengon, mahoni, waru, saman; tumbuhan obat yakni kapulaga, mahkota dewa, dan tumbuhan pakan ternak yakni kaliandra, singkong, gliricideae/polong-polongan (Budi dkk, 2012). Sistem wanatani hutan rakyat dijalankan oleh warga melalui 3 Kelompok Tani Hutan, yakni Wanapaksi, Mudhotomo, dan Karya Tani. Pengetahuan tentang wanatani mengantarkan warga memahami juga tentang peran konservasi tanah dan air dalam mitigasi bencana alam, yakni bencana longsor lahan.

Agar fungsi konservasi dan mitigasi bencana berjalan sinergis, pada tanggal 24 Mei 2017 Pemdes Jatimulyo membentuk kepengurusan Tim Siaga Bencana agar menjadi Desa Tangguh Bencana. Masyarakat Jatimulyo menyadari bahwa penanggulangan bencana alam bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi melalui kapasitas masyarakat yang bertumpu pada kemampuan sumber daya setempat (community disaster management). Transformasi Desa Jatimulyo dari Desa Ramah Burung menjadi Desa Wisata dan Desa Tangguh Bencana merupakan salah satu upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan bencana alam berbasis potensi masyarakat lokal.

Menara Peninsula Hotel, 19 Desember 2018 pukul 11.00 WIB

Senin, 26 November 2018

SERANGAN TAWON NGLANGGERAN

4 hari silam belasan wisatawan dan petugas obyek wisata minat khusus Gunung Api Purba di Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul terluka akibat serangan tawon (KR, 22/11). Dua orang petugas bahkan dibawa ke RS Nurrohmah Gunungkidul untuk mendapatkan perawatan intensif. Berita koran KR tanggal 22 dan 23 Nopember 2018 ini langsung saya share ke grup whatsapp Darurat Tawon Klaten.

Terbit di Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 Nopember 2018

Hampir 2 tahun ini terjadi ledakan populasi tawon ‘ndas’ (Vespa affinis) di wilayah Klaten. Tercatat sudah 6 orang (3 anak-anak dan 3 lansia) meninggal dunia akibat ‘diserang’ tawon, korban terakhir tanggal 11 Nopember 2018. Kasus inilah yang mendasari pembentukan grup darurat tawon klaten. Walaupun sudah berjalan hampir satu tahun tapi kelompok yang terdiri dari Peneliti LIPI, dokter, pemerhati lingkungan, SAR, Pemadam Kebakaran ini belum optimal dalam penanganan serangan tawon, karena masih kurangnya dukungan Pemerintah Daerah.

Akhirnya kelompok ini bekerja swadaya semaksimal kemampuannya, terutama sosialisasi langsung ke masyarakat dan media massa. Salah satunya adalah pengetahuan masyarakat yang masih kurang tentang dunia serangga. Kasus di Nglanggeran ini ‘pelakunya’ menurut dugaan ahli serangga adalah tawon ndas (Vespa affinis), sama dengan kasus di Klaten. Walaupun lebah (Apis dorsata) yang disebutkan dalam berita KR ini juga dapat menyerang apabila terganggu.

Padahal ada perbedaan antara lebah (bee) dan tawon (wasp), yang utama adalah lebah menghasilkan madu sedangkan tawon tidak. Persamaannya adalah serangga ini menjadi agresif jika merasa terganggu. Dalam artikel medis ‘Journal of Emergency Practice and Trauma’ volum 2 tahun 2016 disebutkan bahwa korban sengatan tawon ndas (Vespa affinis) menderita gagal ginjal akibat racun sengatannya.


6 korban meninggal di Klaten juga disebabkan karena penanganan yang terlambat dan kurang tepat. Dokter Tri Maharani (ahli penanganan korban racun satwa) menganjurkan pertolongan pertama (First Aid) untuk korban sengatan tawon, yakni cabut sungutnya, perawatan luka, kompres dengan es, beri obat analgesik oral, dan corticosteroid (2018). Untuk tahap trauma perlu penanganan khusus di rumah sakit.


Sedangkan untuk penanganan peningkatan tawon juga perlu pengetahuan yang memadai. Perlu diingat serangga membawa peran besar bagi kelangsungan hidup manusia, terutama untuk keseimbangan ekologi. Tawon ndas Vespa affinis juga memiliki peran dalam mengendalikan hama pertanian jenis ulat pemakan daun dan serangga kecil lain. Peran lain yang sangat penting dari serangga adalah indikator dari adanya perubahan iklim dan kebersihan lingkungan.


Interaksi tawon dengan manusia ada 4 tingkat, yakni 1. Tidak terganggu/mengganggu, sehingga tercipta Rukun-Harmonis; 2. Terganggu, tapi menghindar; 3. Terganggu, menyerang karena bertahan/melindungi diri; 4. Terganggu, memiliki kemampuan melawan dan menyerang (Kahono, 2018). Selain itu juga perlu diperhatikan tentang peristiwa yang mendahuli terjadinya serangan tawon; yakni melimpahnya jumlah pakan; sedikitnya musuh alami atau kompetitior rendah; habitat bersarang asli yang berkurang sehingga mendekati pemukiman penduduk; seringnya perjumpaan dengan manusia; memyengat karena tidak sengaja (melindungi diri); dan tedesak/terpaksa karena melindungi koloninya.

Dalam pengendalian tawon perlu juga memperhatikan berikut ini; yakni Pengendalian populasi hendaknya melalui pengelolaan dengan memperhatikan prinsip ekologi; eradikasi dan pemindahan sarang/koloni; pemusnahan sarang hanya pada lokasi yang membahayakan manusia; dan keselamatan jiwa masyarakat adalah hal utama (Nugroho, 2018). Selain itu jika dilakukan penanganan sarang tawon juga perlu memperhatikan hal-hal berikut ini, yakni: 1. Tawon termasuk diurnal, yakni aktif pada siang hari; 2. Penanganan diusahakan dengan tidak membakar sarang karena akan membuat tawon agresif; 3. Memindahkan sarang tawon pada saat malam hari atau hujan, karena saat tersebut tawon tidak aktif; 4. Lebih baik memindahkan sarang tawon saat ukuran masih kecil; dan 5. Membuat tanda khusus lokasi sarang tawon yang tidak dipindahkan atau tidak dimusnahkan.

Tentu penanganan akan lebih optimal jika melibatkan semua potensi pemerintah dan masyarakat, karenan wabah tawon merupakan penanganan jangka panjang. Wabah tawon mengajarkan kembali kepada manusia agar lebih mengenal alam sekitar, serta hidup harmonis berdampingan bersamanya.


Patangpuluhan, 23 Nopember 2018 pukul 11.00WIB

Senin, 05 November 2018

MERAJUT KEDAULATAN BANGSA MELALUI AVITURISME

Ditengah semangat peringatan kebangkitan pemuda 90 tahun yang lalu, sekelompok muda asyik dan serius bekerja untuk bangsa. Mirip dengan pendahulunya, mereka juga berjuang untuk kedaulatan dan masa depan bangsa. Perjuangan utama mereka adalah agar bangsa ini memiliki kedaulatan dalam bidang sains ornithology (burung) serta konservasi burung Indonesia.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 5 Nopember 2018

Sebuah fakta kekayaan jenis burung Indonesia luar biasa, ada 1700 jenis. Urutan ke empat di dunia, sedangkan dari segi endemisitas (jenis asli) menempati urutan pertama. Bertentangan dengan kekayaan jenis, kondisi ahli burung Indonesia masih menyedihkan. Jumlah ahli taksonomi burung masih sangat minim, dari 1700 jenis burung hanya dua orang Indonesia yang jadi pendeskripsi utamanya.

Satu-satunya jurnal ilmiah ornitologi Indonesia yang bernama Njawani, yakni Kukila; dan berlogo burung endemik Sulawesi -Maleo-, editornya tidak ada dari Indonesia. Oleh karena itu, sekelompok pemuda tiap tahun getol menyelenggarakan pertemuan nasional untuk merajut kedaulatan bangsa melalui Pertemuan Pengamat Burung Indonesia atau PPBI.

Tahun 2018 ini adalah PPBI ke VIII diselenggarakan pada tanggal 2 sampai 4 November 2018 di Yogyakarta, tepatnya di Universitas Ahmad Dahlan dan Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Tema yang dipilih adalah Merajut Aviturisme Indonesia. Tema ini terinspirasi kisah sukses Ibu Shita selama 20 tahun mengelola wisata alam aviturisme di Papua yang berhasil merajut kedaulatan bangsa melalui pelibatan masyarakat lokal.

Program penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam kegiatan wisata alam aviturisme di Papua mampu meningkatkan ekonomi desa, sekaligus melindungi kekayaan alamnya. Warga dididik dan dilatih mengenal potensi keanekaragaman hayatinya terutama potensi burung surga cenderawasih (Paradise Bird), sehingga menjadi pemandu wisata alam yang handal. Papua kini menjadi salah satu aviturisme favorit para birder (pengamat burung) tingkat dunia.

Aviturisme adalah perjalanan wisata alam untuk melihat dan mengamati burung di habitatnya (Nicolaides, 2013). Aviturisme merupakan gabungan dari wisata alam (ecotourism) dan pengamatan burung (bird watching/birding). Ekowisata sendiri adalah aktivitas wisata berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, pendidikan/pembelajaran, serta pemberdayaan masyarakat lokal.
Sedangkan pengamatan burung adalah kegiatan mengamati segala tingkah laku burung di habitat alam dengan menggunakan peralatan seperti binokuler (teropong) atau kamera. Birder (pengamat burung) biasanya tidak hanya melakukan kegiatan birding, tapi juga aktif dalam kegiatan konservasi alam lainnya, seperti penanaman pohon, aksi kebersihan lingkungan dan lainnya. Tiongkok dan Afrika Selatan adalah salah satu dari negara yang giat mempromosikan aviturisme untuk meningkatkan kunjungan pariwisata.

Alasan utama dipilihnya Desa Jatimulyo sebagai tempat PPBI VIII karena sudah bertransformasi menjadi Desa Ramah Burung melalui Perdes No. 6 tahun 2014. Desa ini  memiliki 95 jenis burung, 18 diantaranya berstatus dilindungi Negara. Jatimulyo juga memiliki produk unik ‘Kopi Sulingan’, dimana  kata sulingan berasal dari nama lokal burung Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), sejenis burung pemakan serangga yang cantik dan bersuara merdu, yang sulit ditemukan di daerah lain.

Daerah lain yang sering dikunjungi untuk aviturisme lingkup Propinsi DIY adalah Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), pantai Trisik Kulonprogo, Kawasan Candi Prambanan, dan Pantai Ngongap Gunung Kidul (Taufiqurrahman, 2018). Bahkan tiap 2 tahun sekali Balai TNGM menyelenggarakan lomba pengamatan burung tingkat nasional.

Selain itu sebenarnya aviturisme dapat menjadi wahana pendidikan dan pembelajaran. Hal ini dipraktekkan oleh Bapak Lim Wen Sin yang meng-edukasi warga Dusun Cacahan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman melalui burung pemangsa burung hantu jenis Serak Jawa (Tyto alba javanica). Warga desa dilatih untuk memanfaatkan burung hantu sebagai pengendali hama pertanian jenis tikus.

Hasil dari pemanfaatan burung hantu dapat meningkatkan hasil pertanian sebanyak 15 hingga 20 persen. Pengamatan Lim Wen Sin (2017) sepasang burung hantu yang menyuapi 2 anaknya dalam 2,5 bulan dapat memakan 1.080 ekor tikus. Kini Dusun Cacahan menjadi salah satu lokasi aviturisme sekaligus belajar pertanian ramah lingkungan.

Aviturisme tentu menimbulkan multi efek bagi ekonomi masyarakat lokal, karena birder tentu juga akan membutuhkan makanan, jasa pemandu, transportasi, penginapan, dan lain sebagainya. Sugeng rawuh birders peserta PPBI VIII di Yogyakarta, selamat bekerja untuk Merajut Kedaulatan Bangsa!

Yogyakarta, 31 Oktober 2018 pukul 07.01 WIB

Sabtu, 13 Oktober 2018

Menjawab Ya... ya... ya.. berhaji 3 kali

Suatu ketika,  Kyai Cholil memanggil Abdullah,  salah seorang santrinya, yang dikenal sangat miskin. 

"Abdullah, kamu pergi haji tahun ini juga ya!" kata Kyai Cholil. 


Perintah Kyai Cholil itu tentu amat membingungkan Abdullah. Bagaikana ia bisa pergi haji kalau untuk makan sehari-hari saja teramat susah. Namun demikian, ini adalah perintah gurunya. 

"Ya...  ya ... ya... , Kyai, " jawabnya terbata-bata,  sambil mengangguk berkali-kali. 

Kali lain,  Kyai Cholil memanggil Zaid,  santrinya juga,  yang tergolong dari keluarga berada. 

"Zaid,  kamu segera pergi haji ya!" kata Kyai Cholil. 

Meski dari keluarga berada,  bagi Zaid untuk pergi haji harus dipikirkan seribu kali. Sebab,  selain ongkos pergi haji tidak sedikit, juga perjalanannya ke tanah Arab cukup berat. Karena itu Zaid menjawab, 
"Saya tidak mampu untuk pergi haji,  Kyai."

Di kemudian hari,  Abdullah benar-benar bisa pergi haji berkali-kali, sebanyak anggukan kepala ketika menjawab perintah Kyai Cholil.

Abdullah pergi haji pada tahun itu juga.  Sementara Zaid hingga akhir hayatnya tak pernah mampu menunaikan ibadah haji. 


*dari buku 'Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU',  Editor: Saifullah Ma'shum,  Mizan: 1998.


Jumat, 21 September 2018

MEMAHAMI SOAL KEBAKARAN GUNUNG


Hampir satu bulan ini beberapa Kawasan gunung dilanda kebakaran hutan. Gunung Lawu, Sumbing, Sindoro, bahkan Merapi tidak luput dari kebakaran pada tahun ini. Untuk penanggulangan kebakaran lahan di Gunung Sumbing dan Sindoro sendiri Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengerahkan helikopter yang dapat menjatuhkan bom air.

Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 21 September 2018

Medan yang sulit di lereng yang curam merupakan alasan utama pemadaman menggunakan bom air. Apalagi bulan Agustus dan September merupakan puncak musim kemarau. Cuaca kering dan panas ekstrem membuat api mudah tersulut dan cepat menyebar. Walaupun sejatinya penyebab utama kebakaran hutan bukan alam, tapi manusia.

Berita KR (18/9) menyebutkan bahwa Polres Temanggung sudah menangkap salah satu tersangka perambah dan pembakar hutan lindung Gunung Sindoro. Tersangka tersebut adalah seorang petani, warga desa yang tinggal di lereng Gunung Sindoro. Di Pulau Jawa warga desa memang terlibat dalam pengelolaan Kawasan hutan, baik hutan produksi, lindung maupun hutan negara (Kawasan konservasi).

Warga desa atau petani yang terlibat dalam pengelolaan hutan disebut ‘Pesanggem’. Pesanggem berasal dari kata dasar bahasa Jawa yakni ‘sanggem;, artinya andil garapan atau bagian lahan garapan (Wirawan, 2008) atau beban yang menjadi tanggungjawab seseorang (Simon dkk, 1999). Pesanggem baru muncul pada awal tahun 1970, sehubungan dengan proyek pembangunan Perum Perhutani.

Pesanggem berarti penggarap andil lahan hutan. Kata ini biasa digunakan oleh orang-orang Perhutani untuk menyebut masyarakat yang membuka lahan pertanian di hutan, atau orang yang bersedia atau sanggup memikul tanggungjawab menggarap lahan melalui kontrak dengan Perhutani. Pesanggem tak selalu harus tinggal di dalam kawasan hutan.

Mereka memanfaatkan lahan di bawah tegakan pohon utama (seperti Pinus, Jati, dll) untuk lahan pertanian seperti menanam kopi, Lombok, jagung, dll. Saat ini istilah pesanggem tidak hanya untuk petani yang terlibat kontrak dengan Perhutani. Siapapun yang memanfaatkan hutan, dan secara kultur berinteraksi dengan hutan, maka berhak disebut sebagai pesanggem.

Di Kawasan hutan negara seperti Taman Nasional, petani yang masih memanfaatkan Kawasan hutan yang berada di dalam Zona Tradisional juga disebut pesanggem. Umumnya pesanggem yang berinteraksi di dalam Zona Tradisional di Taman Nasional memanfaatkan lahan di bawah tegakan/pohon berupa rumput untuk pakan ternak. Saat musim hujan rumput melimpah jumlahnya, sedangkan saat musim kemarau menipis.

Saat musim kemarau inilah pesanggem mengolah lahan sanggeman-nya dengan menyingkirkan tumbuhan gulma yang mengganggu pertumbuhan rumput. Salah satu cara andalan yang digunakan pesanggem untuk membasmi tumbuhan gulma adalah dengan cara membakar. Kegiatan inilah yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan.

Apalagi jika lokasi sanggeman berada di kelerengan yang curam akan susah diatasi jika terjadi kebakaran. Hal ini yang terjadi di Gunung Sumbing dan Sindoro. Salah satu cara efektif untuk menangani kebakaran hutan adalah dengan penanganan represif dan preventif.

Penanganan kebakaran hutan yang represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.

Penanganan preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan (Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, 2002). Penanganan ini dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi.

Penanganan preventif adalah yang paling baik, terutama dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat. Kunci utama yang dilakukan pengelola Kawasan hutan produksi, lindung atau negara adalah dengan melakukan pendataan masyarakat yang terlibat atau menjadi pesanggem. Melalui pendataan ini akan diketahui Kawasan hutan yang terbakar  merupakan sanggeman seseorang.

Tanggungjawab pesanggem adalah menjaga sanggeman-nya agar aman dan memenuhi tujuan pengelola atau pemilik hutan. Oleh karena itu, hubungan antara pesanggem dan pemilih hutan harus senantiasa dijalankan dengan baik. Tiap periode tertentu perlu ditinjau ulang kesepakatan kontrak atau kerjasamanya, karena tidak jarang pesanggem menjual sanggeman-nya ke orang lain tanpa memberikan laporan. Wallaahu’alam.

Patangpuluhan, 20 September 2018, pukul 07.00 WIB

Minggu, 02 September 2018

KERAJAAN KUPU-KUPU BANTIMURUNG


“Kupu-kupu yang lucu, kemana engkau terbang, hilir mudik mencari, kupu-kupu yang kembang.” Lagu anak-anak ciptaan Ibu Sud ini sangat familiar bagi orang Indonesia. Lirik lagu ini sangat cocok untuk dinyanyikan di Kawasan Bantimurung yang dikenal sebagai Kerajaan Kupu-kupu.

Redaksi Pariwisata Koran Kedaulatan Rakyat, Ahad 2 September 2018

Bantimurung yang dijuluki sebagai ‘The Kingdom of Butterfly’ oleh Alfred Russel Wallace (1857) karena tingginya keanekaragaman kupu-kupu. Area yang masuk Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) ini telah menjadi destinasi favorit wisata alam. Menurut Kepala Sub Bagian Tata Usaha TN Babul ‘Bapak Abdul Aziz Bakry’ perolehan Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2017 dari tiket yang terjual mencapai 2,7 Milyar, melebihi dari target yang ditetapkan sebesar 1,6 Milyar. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bagi Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) untuk melakukan studi banding ke TN Babul pada tanggal 27 – 28 Juli 2018, belajar pengelolaan wisata alam.

Kantor Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di Maros, Sulawesi Selatan

Taman Nasional Bantimurung sendiri terletak di Kabupaten Maros dan berjarak kurang lebih 42 km dari kota Makassar, provinsi Sulawesi Selatan. Saat berwisata di Bantimurung, pengunjung akan disuguhi pemandangan alam pegunungan karst yang indah dengan kesejukan udara di sekitarnya. Ditambah lagi dengan adanya Air Terjun yang mengalir deras dengan aliran sungai yang berbatuan diapit oleh kokohnya tebing-tebing terjal, menjadikannya semakin lengkap sebagai tempat wisata yang menyegarkan tubuh dan pikiran.


Tulisan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di dinding karst terbesar

Pegunungan Karst di Bantimurung yang memiliki luas sekitar 47.000 hektar ini merupakan pegunugan karst yang terbesar di dunia setelah Tiongkok yang memiliki luas 100 ribu hektar (Ambaratih, 2012). Pada tahun 1856, Alfred Russel Wallace seorang peneliti berkebangsaan Inggris menemukan 256 jenis kupu-kupu di daerah tersebut. Diantara sekian banyak jenis kupu-kupu, 18 diantaranya adalah jenis kupu-kupu endemik yang hanya ditemukan di daerah Bantimurung.


Taman Kupu-Kupu Bantimurung

Sejarah dan asal usul kata Bantimurung dimulai sejak masa Perjanjian Bungaya I dan II (1667-1669) saat Maros ditetapkan sebagai daerah yang dikuasai langsung oleh Belanda (Asnawin, 2018). Ketika itu, wilayah kerajaan Maros diformulasikan dalam bentuk Regentschaap yang dipimpin oleh penguasa bangsawan lokal bergelar Regent (setingkat Bupati).

Setelah itu, Maros berubah menjadi Distrik adat Gemeschaap yang dipimpin oleh seorang kepala distrik yang dipilih oleh bangsawan lokal dengan gelar Karaeng Arung atau Gallarang. Kerajaan Simbang merupakan salah satu distrik adat Gemenschaap yang berada dalam wilayah kerajaan Maros. Distrik ini dipimpin oleh seorang bangsawan lokal bergelar ‘Karaeng.’

Pada sekitar tahun 1923, Patahoeddin Daeng Paroempa, diangkat menjadi Karaeng Simbang. Dia mulai mengukuhkah kehadiran kembali Kerajaan Simbang dengan melakukan penataan dan pembangunan di wilayahnya. Salah satu program yang dijalankannya ialah dengan melaksanakan pembuatan jalan melintas Kerajaan Simbang agar mobilitas dari dan ke daerah-daerah sekitarnya menjadi lancar.

Pengunjung taman kupu-kupu bantimurung sedang asyik mendokumentasikan

Pembuatan jalan ini, rencananya akan membelah daerah hutan belantara. Sayangnya, pekerjaan tersebut terhambat akibat terdengarnya bunyi menderu dari dalam hutan yang menjadi jalur pembuatan jalan tersebut. Saat itu, para pekerja tidak berani melanjutkan pekerjaan pembuatan jalan, karena suara gemuruh tersebut begitu keras. Karaeng Simbang yang memimpin langsung proyek ini lalu memerintahkan seorang pegawai kerajaan untuk memeriksa ke dalam hutan belantara dan mencari tahu dari mana suara bergemuruh itu berasal.

Setelah melakukan perjalanan singkat ke dalam kawasan hutan untuk mencari tahu dari mana suara bergemuruh berasal, pegawai kerajaan langsung kembali melapor kepada Karaeng Simbang. Namun sebelum melapor, Karaeng Simbang terlebih dahulu bertanya. Aga ro merrung?,” tanyanya. (Bahasa Bugis; yang berarti: "apa itu yang bergemuruh?")

Benti, puang (air, tuanku)," jawab sang pegawai kerajaan (Benti adalah bahasa Bugis halus untuk air). Merasa penasaran, Karaeng Simbang mengajak seluruh anggota rombongan untuk melihat langsung air bergemuruh tersebut. Sesampainya di tempat asal suara, Karaeng Simbang langsung terpana dan takjub menyaksikan luapan air begitu besar merambah batu cadas yang mengalir jatuh dari atas gunung.

Makessingi kapang narekko iyae onroangnge' diasengi benti merrung! (mungkin ada baiknya jika tempat ini dinamakan air yang bergemuruh)," ujar Karaeng Simbang, Patahoeddin Daeng Paroempa. Berawal dari kata benti merrung itulah kemudian berubah bunyi menjadi Bantimurung.

TN Babul sendiri ditunjuk menjadi Kawasan Taman Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 dengan luas 43.750 hektar. Kawasan TN Babul merupakan gabungan dari Kawasan konservasi, yakni Cagar Alam (Bantimurung, Karaenta, Bulusaraung); Taman Wisata Alam (Bantimurung dan Gua Pattunuang); serta Kawasan Hutan Lainnya (Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Produksi Tetap) (TN Babul, 2018). Mandat penunjukan menjadi Taman Nasional adalah Pertama Potensi Karst, yakni potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan keanekaragaman hayati yang tinggi serta keunikan dan kekhasan gejala alam dengan fenomena alam yang indah.

Helena Sky Bridge

Kedua Potensi Tumbuhan dan Satwa Liar yang endemik dan khas, seperti tumbuhan Nyato (Palaquium obtusifolium), Kayu hitam (Diospyros celebica), Satwa Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebensis), Musang Sulawesi (Macrogolidia mussenbraecki), serta Kupu-kupu (Cethosia myrina, Troides haliphron, Troides helena dan Troides hypolitus). Ketiga adanya lanskap unik, goa alam dan nilai historis yang menjadi wahana pendidikan konservasi, laboratorium alam, ekowisata dan daerah tangkapan air (TN Babul, 2018).

Helena Sky Bridge yang tinggi dan cantik

Kawasan wisata Bantimurung yang merupakan salah satu dari 7 destinasi wisata (The Seven Wonders) memiliki luasan 48,60 hektar. Lokasi favorit wisatawan adalah Taman Kupu-Kupu (show window) dan ruang display. Taman Kupu-kupu memiliki luas 7.000 m2 yang diberi tutup berupa jaring raksasa, sehingga nampak seperti Kerajaan Kupu-kupu.

Di dalam Kerajaan Kupu-kupu ini ada jembatan langit Helena (Helena Sky Bridge), yang merupakan lokasi favorit untuk foto selfie pengunjung. Helena berasal dari nama spesies Kupu-kupu asli dan dilindungi, yakni Troides helena. Jembatan yang dibangun pada Januari 2017 dapat dijangkau dengan berjalan kaki naik bukit atau trekking dari loket ke sejauh sekitar 200 meter. Hampir semua rombongan studi banding TNGM naik jembatan fenomenal ini.

Untuk naik dan menyeberang jembatan, pengunjung diharuskan antre, karena jembatan dengan panjang 50 meter ini memiliki batas maksimal bobot. Petugas membatasi hanya lima orang sekali naik jembatan ini. Begitu naik ke menaranya sebelum menyeberang, muncul perasaan was-was, karena berada pada ketinggian 100 meter. Namun wisatawan dilengkapi dengan perlengkapan keamanan yang sesuai standar, yakni helm dan webbing. Dari atas jembatan ini pengunjung dapat melihat indahnya kerajaan kupu-kupu Bantimurung. Tak jauh dari sana pun terlihat 'kubah raksasa' penangkaran kupu-kupu yang menjadi ikon Bantimurung. Keberadaan gunung karst menambah indah latar foto di atasnya. Saya sendiri berkali-kali mengucap Subhanallah karena melihat kebesaran Tuhan dari atas jembatan.

Bagi pengunjung yang phobia pada ketinggian juga dapat menikmati keindahan Kerajaan Kupu-kupu Bantimurung di dalam kubah raksasan tempat penangkaran Kupu-kupu. Penangkaran yang dibangun pada tahun 2007 ini awalnya berisi 4 jenis Kupu-kupu, kemudian pada tahun 2015 meningkat menjadi 20 jenis (TN Babul, 2018). Selain itu, pengunjung juga dapat belajar identifikasi jenis Kupu-kupu di dalam ruang display.

Display kupu-kupu di dalam ruangan

Di dalam ruangan ini berisi ratusan awetan kupu-kupu Bantimurung. Total ada 240 jenis kupu-kupu (Papilionoidea) di dalam TN Babul yang telah teridentifikasi sampai tingkat spesies. Di dalam ruang display juga tersedia peralatan untuk pengawetan Kupu-kupu sebagai wahana Pendidikan, selain sebagai koleksi ilmu pengetahuan.

Dengan tiket masuk pengunjung sebesar Rp 25.000,- dan tiket Helena Sky Bridge sebesar Rp 15.000,- dapat meng-eksplorasi kerajaan kupu-kupu Bantimurung. Untuk obat kangen saat meninggalkan kerajaan kupu-kupu saya membeli gantungan kunci kupu-kupu yang dijual oleh pedagang asongan seharga Rp 5.000,- hingga Rp 10.000,-. Sungguh destinasi wisata negeri Daeng yang sangat sayang untuk dilewatkan.

Yogyakarta, 7 Agustus 2018

Jumat, 10 Agustus 2018

GUNUNGAN DAN KONSERVASI ALAM


Selama ini indikator pembangunan hanya memperhitungkan pembangunan fisik dan peningkatan produktifitas serta perekonomian (PDRB, Pendapatan Perkapita, dll). Pandangan pembangunan konvensional ini mengakibatkan degradasi lingkungan akibat eksploitasi faktor produksi dan konsumsi yang berlebihan. Dampaknya adalah dapat dilihat dan dirasakan secara langsung seperti banjir, kebakaran hutan, tanah longsor dan meningkatnya suhu secara global.

Opini Koran Kedaulatan Rakyat (10/8/2018) tentang Hari Konservasi Alam Nasional 10 Agustus 2018 dengan tema 'Harmoni Budaya dan Alam: 1 Abad Konservasi Alam'

Kemajuan teknologi dalam pembangunan tersebut menyebabkan ditinggalkannya budaya lokal masyarakat dalam menjaga lingkungan. Padahal tujuan pembangunan sendiri sejatinya adalah untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan manusia secara lahir dan batin melalui pemanfaatan lingkungan. Faktor inilah salah satu yang mendasari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) dalam mengelola Kawasan konservasi seluas 27 juta hektar dengan tidak meninggalkan budaya lokal masyarakat.

Sejarah konservasi di Indonesia sejak lama ada dengan ditemukannya Prasasti Talang Tuo di kerajaan Sriwijaya (686 M) yang mengajarkan masyarakat dalam konservasi hutan, terutama keseimbangan antara alam dan manusia dalam keberlangsungan hidupnya (Sinaga, 2017). Prasasti Malang dalam kerajaan Majapahit (1395 M) telah memberikan pengetahuan bagaimana hutan dan alam adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hutan, alam dan manusia adalah roh dalam keberlanjutan kehidupan.

Kearifan lingkungan (local wisdom) sudah ada di dalam kehidupan masyarakat sejak zaman pra-sejarah hingga saat ini. Kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun.

Dalam budaya Jawa pada pertunjukan wayang kulit digunakan replika gunung, yakni gunungan yang dipergunakan sebagai simbol kehidupan. Sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai, gunungan ditancapkan di tengah-tengah kelir, untuk melambangkan awal mula dunia sebelum ada manusia, kecuali tetumbuhan dan binatang seperti yang tergambar dalam gunungan (Purwadi, 2015). Kemudian gunungan ditarik ke bawah dan berhenti tiga kali; melambangkan adanya cipta, rasa dan karsa, yang mempunyai arti akan ada kelahiran.

Kelahiran terjadi setelah dalang memisahkan dua gunungan di simpingan kiri dan kanan untuk melambangkan pecahnya lapisan plasenta. Gunungan beserta isinya merupakan lukisan kehidupan duniawi dan batiniah dimana Tuhan Yang Maha Esa menentukan segala kegiatan di alam semesta (Purwadi, 2015). Di dalam gunungan terdapat lukisan makhluk raksasa menjulurkan lidahnya yang merah panjang, monyet memanjat pohon bertarung dengan satwa lainnya, burung-burung beterbangan dan segala jenis hewan lainnya, pohon-pohon dan bunga-bungaan.

Kesemuanya itu melambangkan pohon kehidupan duniawi yang diciptakan Tuhan. Di tengah-tengah gunungan terdapat lukisan sebuah rumah Jawa dengan dua pintunya terkunci rapat dan masing-masing sisinya dijaga oleh seorang raksasa bersenjata gada. Ini melambangkan hukuman bagi orang yang berbuat salah satu jahat. Dua pintu yang terkunci rapat dalam lukisan itu melambangkan kedamaian batin yang tersembunyi di belakang kedua pintu itu (Triyoga, 1991).

Praktek harmonisasi alam dan budaya dijalankan oleh warga Dukuh Bangan, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, masyarakat penyangga Kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Seni pertunjukan wayang kulit dengan topik kelestarian alam rutin dilaksanakan warga, bahkan dilaksanakan di dalam hutan TNGM. Selain itu juga ada hukuman atau sanksi sosial/adat bagi perusak alam.

Pernah ada seorang pemburu burung liar yang tertangkap warga dikenakan hukuman adat, yakni makan ulat yang ada di kebun warga. Bagi warga Dukuh Bangan keberadaan burung liar sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Perannya dalam mengendalikan hama tanaman pertanian atau perkebunan sangat dirasakan oleh warga. Kearifan masyarakat Merapi dipengaruhi oleh nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang ini mendukung pembangunan berkelanjutan sesuai konsep Sustainable Development Goals (SDGs).


Kantor Balai Taman Nasional Gunung Merapi, 6 Agustus 2018, pukul 08.30 WIB

Selasa, 26 Juni 2018

PILKADA DAN BENCANA EKOLOGIS


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 digelar serentak di 17 Provinsi pada hari Rabu (27/6). Jumlah ini separuh dari provinsi di tanah air. Pilkada bukanlah sekedar ajang kontestan menabur janji, tapi keseriusan dan komitmen dalam melaksanakan janji politiknya. Salah satunya adalah tema penanggulangan bencana harus telah menjadi perhatian sejak awal.

Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 Juni 2018

Lokasi Indonesia yang berada di area ring of fire adalah kawasan rawan bencana alam. Hal ini diperburuk dengan kerusakan lingkungan, laju perubahan tata ruang wilayah, perubahan iklim yang sejatinya akibat aktivitas manusia. Padahal mayoritas calon pemimpin daerah tidak mengetahui bahwa bencana alam semakin meningkat dan mencapai tahap darurat ekologis (Nugroho, 2017). Tahap darurat ekologis ini tidak hanya mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor, tapi juga ketidak-seimbangan ekologi.

Contoh nyata bencana yang dianggap remeh adalah bencana ekologi merebaknya korban sengatan tawon di Kabupaten Klaten. Tanggal 19 Juni 2018 tim ekologi Klaten menerima laporan dari Damkar Klaten adanya korban jiwa akibat sengatan tawon. Korban berusia 65 tahun yang tersengat saat angon bebek akhirnya meninggal dunia pada tanggal 13 Juni 2018.

Korban serangga jenis tawon ‘ndhas’ (Vespa affinis) ini melengkapi 2 korban jiwa anak-anak di Klaten. Bahkan ada pasien terindikasi mengalami gagal ginjal akibat racun Tawon (Maharani, 2018). Sejatinya serangga membawa peran besar bagi kelangsungan hidup manusia, terutama untuk keseimbangan ekologi. Bahkan serangga menjadi indikator dari adanya perubahan iklim dan kebersihan lingkungan. Seperti peran Kinjeng/Capung di dunia pertanian karena pemangsa dan penyeimbang alami hama tanaman.

Tawon juga merupakan pengendali ulat pemakan daun dan serangga kecil lainnya. Populasi tawon yang tinggi dapat menekan populasi hama pertanian, sehingga dapat menurunkan tingkat kerusakan tanaman pertanian yang berpengaruh pada meningkatnya produksi pertanian (Kahono, 2018). Peran tawon di alam merupakan salah satu dari keberadaan satwa dalam membentuk keseimbangan ekologi.

Keberadaan setiap komponen dalam suatu ekosistem membentuk jaringan makanan atau jaringan ekologi. Apabila satu komponen dalam jaringan tersebut putus (hilang, rusak, atau musnah), maka keseimbangan ekologi akan terganggu sehingga mengakibatkan bencana ekologis. Keseimbangan ekologi dalam suatu ekosistem berjalan baik jika komponen pembentuk ekosistem tersebut lengkap dan setiap komponen mampu berperan sesuai dengan niche, serta mampu mengatur dirinya sendiri (self regulation).

Sifat self regulation ini terjadi antar-komponen yang membentuk jaringan ekologi dalam suatu ekosistem, sehingga secara alamiah suatu komponen dikendalikan oleh komponen lainnya. Kasus tawon yang ‘outbreak population’ atau tumbuh berlebih di Klaten saat ini adalah salah satu dari gangguan keseimbangan ekologi di alam. Untuk mengendalikan jumlah serangga diperlakukan predator pemangsa.

Satwa predator kelompok serangga mayoritas jenis burung, yakni jenis burung kicauan hingga raptor (jenis elang). Padahal realita sekarang satwa burung banyak diburu atau ditangkap untuk diperdagangkan. Contohnya adalah burung Pentet/Bentet kelabu (Lanius schach) jumlahnya di alam semakin berkurang, padahal punya peran penting sebagai burung pemangsa serangga.

Burung Pentet ini juga memakan tikus tanah sehingga dapat mengendalikan hama pertanian. Demikian pula dengan pohon sebagai sarang burung juga tidak luput dari eksploitasi, apalagi yang berada di area potensi galian C. Tema penanggulangan bencana merupakan tema berat dan tidak menarik bagi calon kepala daerah.

Sebab penanggulangan bencana mensyaratkan visi jangka panjang (Amin, 2018). Bukan sekedar pertimbangan pragmatis guna mendongkrak elektabilitas. Padahal UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dengan tegas menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Pilkada hanya tinggal esok, saatnya pemilih semakin kritis untuk mencari informasi calon pemimpin daerah yang peduli pada keselamatan mereka. Pengetahuan tentang mitigasi bencana alam harus sebanding dengan kriteria calon pemimpin daerah sehingga diperoleh pemimpin daerah yang benar-benar memahami manajemen penanggulangan bencana. Pemimpin yang mempunyai tugas “memayu hayuning bawono,” yakni mensyukuri, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.


Kantor Umroh Mandiri, Sidoarjo, 24 Juni 2018 pukul 08.30 WIB

Minggu, 24 Juni 2018

LAKUKAN YANG MENJADI BAGIANMU, BIARKAN ALLAH MENGURUS LAINNYA

Pada bulan Januari kami niatkan untuk umroh sekeluarga. Februari booking tiket setelah ambil uang tabungan, asuransi dan deposito. Maret periode pengurusan paspor, suntik meningitis, visa, dan lain-lain. Tanggal 22 April 2018 langsung berangkat dari Yogyakarta, dan transit Kualalumpur untuk kemudian lanjut Jeddah.


Ada beberapa ujian selama proses sebelum pemberangkatan, dari kerjaan kantor yang padat, kejar ujian beladiri 2 tingkat hingga anak-anak yang sakit bergantian hingga selama lebih sebulan. Selain itu proses visa yang mengalami keterlambatan karena perubahan aturan juga cukup membuat ‘jantung berdebar-debar’. Disamping itu kami juga ada amanah tetap menjaga kesehatan kedua orang tua (usia 76 dan 74 tahun) agar tetap fit hingga berangkat umroh. Padahal Bapak punya penyakit kompleks, dari jantung, stroke, ginjal, hingga diabetes.

Tapi kami meyakini bahwa Allah SWT akan memudahkan langkah kami mengunjungi rumah-Nya. Selama proses 3 bulan tersebut kami banyak-banyak ibadah. Saran dari dokter yang rutin memeriksa Bapak agar ambil asuransi kesehatan selama perjalanan umroh kami ganti dengan asuransi Allah. Apa itu?

Yakni diganti dengan sedekah fii sabilillah. Tak lupa doa dari ustadz, orang sholih, dan jamaah masjid kami minta agar dilancarkan dan dimudahkan selama perjalanan umroh. Aktivitas mengaji dan dakwah juga tidak kami tinggalkan selama proses menuju Baitullah.

Alhamdulillah perjalanan umroh kami selama 9 hari, 22 April hingga 30 Mei 2018 berjalan dengan lancar dan selamat. Semuanya sehat wal afiat. Bahkan 2 obat batuk yang kami bawa atas saran tetangga tidak kami gunakan sama sekali. Yang 1 botol kami berikan ke teman rombongan umroh yang sakit batuk. Bayangan kesulitan karena ikut umroh mandiri benar-benar sirna. Jamaah umroh mandiri tetap memperoleh layanan seperti jamaah umroh via biro umroh regular, terjamin dalam transportasi dan akomodasi.

Yang kami syukuri dalam umroh mandiri ini kami sekeluarga dapat melakukan ibadah umroh dengan biaya terjangkau. Jauh lebih murah daripada umroh regular. Ke depan kami ingin membuat umroh mandiri keluarga lagi agar keluarga-keluarga muslim dapat melakukan ibadah umroh, tidak dibayang-bayangi mahalnya biaya umroh. Umroh mandiri keluarga juga dapat semakin merekatkan hubungan keluarga, disamping peningkatkan ruhiyah.

Innamal a’malu binniyat, niatkan untuk umroh dan ikhtiar. Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutkan biarkan Allah yang mengurus lainnya.

*) Kantor Duapao, Sidoarjo, Jawa Timur, 24 Juni 2018

Rabu, 30 Mei 2018

ISLAM, BUDAYA DAN BENCANA

Hari Jumat, 11 Mei 2018 masyarakat dikagetkan dengan erupsi freatik Gunung Merapi, karena menimbulkan gempa dan suara gemuruh selama 5 menit serta ketinggian kolom mencapai 5500 meter. Erupsi freatik berlanjut pada tanggal 23 Mei 2018, bahkan sampai 4 kali sehingga Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menaikkan tingkat aktivitas menjadi Waspada (Level II).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 30 Mei 2018

Erupsi Gunung Merapi menjadi bahasan yang menarik dan top trending topic di berbagai media. Kepala BPPTKG (Ibu DR. Hanik Humaidah) menyebutkan sebagai Gunung Selebritis. Apalagi momen erupsi terjadi saat bulan Ramadhan, waktu ummat Islam melakukan ibadah puasa. Piliang (2005) menyebutkan bahwa setiap bencana akan menyentak kesadaran humanistik, solidaritas, eksistensial, dan ketuhanan, sehingga orang-orang akan segera mencari rujukan pemahaman melalui ayat-ayat kitab suci, penjelasan ilmiah, mitos, kepercayaan, budaya setempat (local culture), maupun kearifan lokal (local wisdom).

Bencana mampu mengajak setiap orang untuk menjadi seorang perenung kehidupan yang mencoba mencari makna eksistensial paling dalam, bahwa ada makna di balik tiap bencana, bahwa ia berkait dengan keberadaan manusia lain, bahwa ada Tuhan di balik bencana (Basri dkk, 2012). Tingkat keyakinan beragama juga mempengaruhi seseorang atau komunitas mempersepsi, mengelola dan/atau memodifikasi keterlibatan dalam proses mitigasi bencana. Bagi yang dapat menerima dengan lapang dada terhadap suatu benca alam atau efek-efeknya akan lebih aktif dalam proses mitigasi bencana.
Pada abad klasik Islam, Jalal al-Din al-Suyuthi (w.911/1505) berupaya mengembangkan teologi bencana, khususnya gempa bumi. Dia menulis kitab Kasyf al-Salsalah an Wasf al-Zalzalah atau Mengungkap Keterkaitan tentang Karakter Gempa Bumi (Ambrasesys, 2008 dalam Nur Ichwan, 2012). Ini bukan buku geologi tentang gempa bumi, namum lebih merupakan buku teologi tentang gempa bumi. Sesuai kondisi abad klasik, buku ini lebih mengedepankan pendekatan tekstual yang kental, dengan mendeduksi pemikiran teologis dari Al-Quran, Sunnah, atsar (ketetapan hukum) sahabat, dan pendapat-pendapat ulama sebelumnya tentang gempa bumi.

Buku Jalal al-Din al-Suyuthi tersebut merupakan upaya rintisan yang luar biasa untuk dikembangkan lebih jauh. Beberapa intelektual muslim Indonesia yang mulai mengembangkan diantaranya adalah Ali Yafie dengan Fiqih Lingkungan; Teologi Lingkungan-nya Moelyono Abdillah; dan Fachruddin Mangunjaya dengan Konservasi Islam. Pada tahun 2004 pernah pertemuan ulama pesantren di Sukabumi untuk menggagas fiqih linkungan (fiqih al-biah), tapi tidak ada tindak lanjut sesudahnya, kecuali penerbitan laporan pertemuan.

Mayoritas masyarakat lereng Gunung Merapi adalah muslim. Hampir semuanya percaya bahwa Gunung Merapi memiliki penjaga. Bagi golongan tua menyebut penjaga Gunung Merapi dengan sebutan Mbah/Simbah, sehingga dikenal dengan adanya Mbah Petruk di lereng Utara Merapi (Selo dan Cepogo, Boyolali), dan Mbah Kyai Sapu Jagat di lereng Selatan Merapi (Sleman). Untuk golongan muda karena pengaruh pendidikan sudah menganggap penjaga Gunung Merapi adalah malaikat gunung, yang juga merupakan makhluk ciptaan Tuhan.

Kedua golongan masih menjaga kuat keyakinan tersebut, sehingga terwujud dalam perilaku terhadap Gunung Merapi. Seperti kepercayaan masyarakat lereng Utara Merapi terhadap Mbah Petruk. Menurut Susiyanto (2010) nama asli Mbah Petruk sebenarnya adalah Kyai Handoko Kusumo. Kyai Handoko ini merupakan penyebar Islam di Gunung Merapi pada era 1700-an.

Kyai Handoko Kusumo adalah seorang keturunan Arab. Bentuk hidungnya yang lebih mancung dari kebanyakan orang Jawa itulah yang membuat dirinya dikenal dengan nama Mbah Petruk oleh masyarakat setempat. Pada masa tuanya, Mbah Petruk diperkirakan meninggal di Gunung Bibi dan jasadnya tidak pernah diketahui. Hal inilah yang memunculkan anggapan spekulatif bahwa dirinya telah moksa.

Oleh karena itu, kawasan hutan Gunung Bibi yang merupakan Merapi Tua sangat terjaga kelestariannya. Masyarakat masih mempercayai Mbah Petruk, sehingga warga turut aktif menjaga kelestarian hutan di bawah bimbingan Kyai setempat, KH. Muhammad Solikhin. Saat erupsi tahun 2010 masyarakat lereng Gunung Bibi (dusun Wonopedut, Desa Wonodoyo, Cepogo) berlindung ke dalam masjid sambil melantunkan doa-doa.

Dalam menghadapi risiko bencana, masyarakat tidak hanya dituntut untuk beradaptasi secara fisik dengan alam, tetapi juga adaptasi sosial dan budaya yang dibingkai pemahaman agama. Proses adaptasi yang pernah dilakukan oleh masyarakat lokal sejak waktu yang cukup lama terbukti bertahan dalam kondisi bencana. Dalam proses ini akan dijumpai strategi budaya masyarakat berupa resistensi atau fleksibilitas dengan berbagai tindakan sosial dan budaya yang unik seperti ritual, mitos dan legenda; baik hal baru maupun lama tetapi diperbarui (Hoffman & Oliver-Smith 2002 dalam Malik, 2012). Allaahualam.

Kantor Resort Kemalang TNGM, 25 Mei 2018

Jumat, 04 Mei 2018

MUSLIM BERILMU


Untuk mengajarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, Allah SWT menurunkan Rasulullah Saw untuk membina ummat selama kurang lebih 23 tahun. Metode yang digunakan adalah tarbiyah atau pendidikan. Tak heran kader-kader yang dibina oleh Rasulullah Saw adalah generasi hebat yang selalu dikenang sepanjang masa.

Cahaya Jumat Tribun Jogja 4 Mei 2018

Melalui pendidikan  tarbiyah mereka mencapai derajat yang tinggi, yakni orang-orang yang berilmu. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi manfaat dan barokah bagi alam berikut isinya. Tanpa iman, akal akan berjalan sendirian sehingga muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia.

Demikian pula iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengelola alam berikut isinya. Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah SWT maupun manusia (QS. Al Mujadilah (58) : 11). Bahkan setan kewalahan terhadap muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat setan.

Sahabat Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang yang berakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.”

Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”

Kebodohan adalah salah satu faktor kemunduran ummat dan penyebab kerusakan. Oleh karena itu, Rasulullah Saw menggunakan metode tarbiyah melalui pengajaran di emperan masjid Nawabi, Madinah (Shuffah). Rasulullah Saw menunjuk Ubaidah bin Shamit ra menjadi guru di madrasah Al-Shuffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an.

Komunitas ilmuwan Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. Melalui pendidikan yang dilandasi aqidah yang benar akan menjadi manusia yang berilmu sehingga terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah-belah. Bahkan semua permasalahan umat Islam dapat diselesaikan jika kembali pada worldview Islam dan tradisi keilmuan. Allahu ‘alam.

Patangpuluhan, 3 Mei  2018, pukul 17.30 WIB

Jumat, 13 April 2018

JAGA SHALAT BERJAMA'AH DI MASJID


Dalam bukunya Ustad Zulfi Akmal (2014) menceritakan kisah Imam ‘Ubaidillah bin Umar al Qawariry, yang merupakan salah seorang di antara guru Imam Bukhari dan Muslim. Beliau menceritakan tentang pengalamannya:
Rubrik Cahaya Jumat koran TRIBUN JOGJA, Jumat 13 April 2018
Aku hampir tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Suatu hari aku kedatangan tamu yang membuatku terlambat melakukan shalat Isya berjama’ah. Setelah itu aku pergi keluar mencari orang untuk teman shalat berjama’ah di antara qabilah-qabilah Bashrah. Tapi sayangnya semua orang sudah shalat.
Aku berbisik di dalam hati, Rasulullah Saw pernah bersabda: “Shalat berjama’ah lebih utama dari pada shalat sendirian dengan 27 derajat”. Akhirnya aku pulang lagi ke rumah. Sesampai di rumah aku mengerjakan shalat Isya sebanyak 27 kali. Setelah itu aku langsung tidur.
Di dalam tidurku, aku bermimpi melihat diriku bersama serombongan orang yang lagi menunggang kuda. Aku juga menunggangi kuda. Kami saling berpacu. Namun kuda-kuda mereka mampu memacu kudaku. Lalu aku memukul kuda tungganganku supaya ia menyusul mereka.
Tiba-tiba orang yang berada di akhir rombongan menoleh kepadaku dan berkata: “Jangan paksa kudamu! Engkau tidak akan bisa menyusul kami” Aku bertanya: Kenapa? Dia menjawab: Karena kami shalat Isya berjama’ah.
Bagaimana dengan shalat jamaah kita? Berapa shalat jamaah yang kita tinggalkan? Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. (HR. Abu Daud, Ahmad, Hakim, Baihaqi). Peristiwa Isra’ Miraj yang ummat Islam peringati esok  hari juga turut menjelaskan pentingnya shalat bagi seorang muslim.
Selain manfaat bagi diri-sendiri, disyariatkannya shalat berjama’ah adalah untuk mengokohkan ukhuwah Islamiyah. Apalagi saat ini menyongsong tahun politik yang akan lebih banyak membutuhkan kesabaran dalam berinteraksi dengan sesama saudara. Tentu pelajaran kesabaran akan banyak diperoleh dalam shalat berjama’ah di masjid. Seyogyanya seorang muslim tidak meninggalkan shalat jama’ah, karena banyak pahala, hikmah, dan keutamaan didalamnya. Wallaahu’alam.
Patangpuluhan, 12 April 2018 pukul 19.00 WIB

Senin, 26 Februari 2018

KRISIS AIR CAPE TOWN & FILOSOFI PEMBANGUNAN KRATON JOGJA

Saat beberapa kota di Indonesia dilanda bencana alam banjir, kota Cape Town, Afrika Selatan mengalami krisis air. Bahkan Cape Town diperkirakan akan menjadi kota pertama di dunia yang akan mengalami krisis air pada tahun 2018 ini. Pejabat pemerintahan Afrika Selatan memproyeksi kota yang terletak di ujung Selatan benua Afrika ini masih memiliki cadangan air hingga 22 April 2018, sebelum kemudian benar-benar habis (Day Zero).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 Februari 2018

Jika Cape Town benar-benar mencapai Day Zero, pihak berwenang akan mematikan keran air di seluruh kota dan menyisakan aliran di daerah yang paling miskin saja. Pemerintah kota sekarang sudah mematok batas konsumsi air, masing-masing warga hanya punya jatah 50 liter air dari sebelumnya 87 liter untuk seluruh kebutuhannya.  Kapasitas empat bendungan yang menjadi tumpuan kebutuhan air Cape Town, yakni Berg River, Steenbras Lower, Steenbras Upper, Theewaterskloof, Voelvie, dan Wemmershoek sudah berada di bawah 30 persen.

Musim kemarau yang berkepanjangan selama tiga tahun, ditambah curah hujan rendah melanda kawasan berpenduduk 4 juta jiwa ini. Cape Town Water Crisis menyebutkan bahwa perubahan iklim semakin nyata dengan pola curah hujan telah berubah secara dramatis dalam dua dekade terakhir (2018).  Pemerintah kota telah diperingatkan agar merancang sistem pasokan air untuk menanggulangi masalah krisis air dan kekeringan jangka panjang yang diperkirakan akan sering terjadi di masa mendatang.

Kekeringan di Cape Town adalah sebuah gejala ekstrim dari fenomena perubahan iklim, termasuk Indonesia. Krisis air yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia pada  umumnya disebabkan faktor geografis, bencana alam, dan musim kemarau yang panjang. Kondisi ini harus disiasati dengan memperhatikan pembangunan wilayah, jangan sampai kawasan yang menjadi daerah tangkapan air (water catchment area) mengalami kerusakan lingkungan.

Salah satu daerah tangkapan air Propinsi DIY adalah kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Pada tahun 2001 Gubernur DIY, Sri Sultan HB X mengajukan insiatif pembentukan kawasan TNGM kepada Menteri Kehutanan dengan alasan kawasan Gunung Merapi adalah daerah tangkapan air. Kawasan ini harus dilindungi karena perannya yang sangat vital dalam memenuhi hajat hidup penduduk DIY dan Jawa Tengah.

Awal mula kota Yogyakarta sendiri adalah kawasan rawa yang bernama Umbul Pacethokan dan hutan Beringin. Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I kemudian melakukan babat alas dan mendirikan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sekarang menjadi pusat kota Yogyakarta. Inilah kejeniusan Sultan HB I sebagai arsitek kota dengan memilih pusat pemerintahan pada area yang aman dari krisis air.

Demikian pula letak kota Yogyakarta yang diapit 2 sungai besar yakni Sungai Code dan Winongo yang kemudian dibelokkan alirannya ke Timur dan ke Barat dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan. Potensi cadangan air ini jangan sampai membuat terlena dengan pembangunan yang membabi-buta tanpa mengindahkan konservasi air.

Salah satu contohnya selain masih borosnya perilaku masyarakat dalam menggunakan air, juga meningkatnya pertumbuhan hotel dan apartemen yang menggunakan air tanah, bukan dari PDAM. Bahkan hampir tiap tahun kondisi air tanah di Yogyakarta mengalami penurunan hingga 50 cm (Puteri, 2017). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan terpadu sumberdaya air agar dapat dimanfaatkan secara lestari.

Pengelolaan terpadu sumberdaya air adalah suatu proses yang mengintegrasikan pengelolaan air, lahan dan sumberdaya terkait lainnya secara terkoordinasi dalam rangka memaksimalkan resultante ekonomi dan kesejahteraan sosial secara adil tanpa mengorbankan keberlajutan ekosistem (Global Water Partnership, 2000 dalam Sukrasno dkk, 2004).

Air diyakini sangat penting dalam menunjang kehidupan. Bahkan para ahli memprediksikan bahwa suatu saat nanti, perang bukan lagi karena minyak tapi karena kelangkaan air (Time, 1990). Untuk itu perlu dipahami bahwa usaha konservasi air adalah langkah empiris yang memberikan kesempatan hidup semua makhluk di bumi.

Mendudukkan semua makhluk pada tingkat kesetaraan yang egaliter maka usaha ini merupakan salah satu pencerminan maupun penjabaran dari filosofi pembangunan budaya Yogyakarta, yaitu hamemayu hayuning bawono yang pada dasarnya merupakan suatu komitmen untuk selalu berpihak kepada masyarakat dalam arti keseluruhan beserta lingkungannya dengan mewujudkan masyarakat yang ayom, ayem, tata, titi, tentrem dan kerta raharjo; karena masyarakat dalam keadaan seperti ini akan mendahulukan kebutuhan daripada keinginannya yang mampu menahan hausnya keserakahan sebagai perusak utama lingkungan (Sunjoto, 2009).

Filosofi hamemayu hayuning bawono yang dicetuskan oleh Sultan Agung Hanyokrokusuma dan dilanjutkan oleh Sultan HB I semoga tetap lestari. Falsafah ini dapat menjadikan konsep pembangunan selalu berpihak pada konservasi air sehingga masyarakat dapat mencapai kesejahteraan hakiki dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dari generasi ke generasi. Allaahu alam.


Patangpuluhan,  17 Februari 2018, pkl 10.35