Pada KTT perubahan iklim ke-24 (COP 24) yang dilaksanakan di Katowice, Polandia pada tanggal 3 s/d 12 Desember 2018 Indonesia berperan menjadi percontohan negara berkembang dalam pengembangan kapasitas pengendalian perubahan iklim. Peran aktif Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim ini dibuktikan dengan semakin banyaknya aksi riil yang dilaksanakan masyarakat di daerah. Aksi riil ini sebagian besar diinisiasi dan dilaksanakan masyarakat secara swadaya di kelurahan atau pedesaan. Harapan masyarakat memang tidak hanya pada pengendalian perubahan iklim, tetapi menjadi kelurahan/desa tangguh bencana.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 22 Desember 2018
Salah satu contoh aksi riil masyarakat kami sampaikan dalam pertemuan Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia di Jakarta (19/12) dengan menceritakan Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Desa ini terletak di dataran tinggi Pegunungan Menoreh yang mempunyai karateristik geomorfik rawan longsor lahan. Hasil survei menunjukkan bahwa selama 20 tahun (1990-2009) terdapat 187 kejadian longsor dengan empat tipe longsor yang tersebar di 6 kecamatan Kawasan pegunungan Menoreh (Priyono dkk, 2011). Kejadian bencana longsor lahan tersebut umumnya terjadi pada saat dan atau setelah kejadian hujan.
Longsor lahan akan terjadi pada saat ada hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu yang lama. Hujan selama lima hari terus menerus dengan intensitas 90 mm/hari atau lebih dapat meningkatkan frekuensi terjadinya longsor. Wahyono (1997) menyampaikan bahwa pada kenyataannya tidak semua wilayah berlereng mempunyai potensi longsor dan hal itu tergantung pada karakter lereng beserta materi penyusunnya terhadap respon tenaga pemicu terutama respon lereng terhadap curah hujan. Akhir tahun 2017 kemarin saat beberapa wilayah DIY dilanda longsor dan banjir akibat badai Cempaka, wilayah Desa Jatimulyo termasuk yang paling kecil kerusakan akibat longsor.
Hal ini karena masyarakat Jatimulyo menyadari akan kondisinya yang rawan longsor lahan dengan tetap mempertahankan hutan rakyatnya. Semua hutan rakyat yang ada di desa dengan luas wilayah 1.629,06 hektar ini milik warga lokal yang dibudidayakan dengan cara wanatani (agroforestry). Hutan rakyat ini merupakan kawasan tangkapan air dan habitat tumbuhan satwa liar yang unik dan spesifik. 7 obyek wisata alam berbasis mata air dan air terjun, yakni Kembangsoka, Goa Kiskendo, Curug Setawing, Grojogan Sewu, Kedung Pedut, dan Sungai Mudal mengantarkan Desa Jatimulyo memperoleh juara III Desa Wisata terbaik tingkat DIY pada tahun 2015.
Untuk melindungi 94 jenis burung di Jatimulyo (24 persen total jenis burung di DIY), tahun 2014 dikeluarkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 8 yang melarang kegiatan perburuan di seluruh kawasan Desa Jatimulyo. Sejak saat itu Desa Jatimulyo mendeklarasikan diri menjadi Desa Ramah Burung. Salah satu jenis burung asli yang cukup sulit ditemukan di daerah lain, yakni Sulingan atau Sikatan Cacing (Cyornis banyumas) dijadikan brand nama produk unggulan Desa Wisata Jatimulyo, yakni Kopi Sulingan.
Tanaman kopi dipilih menjadi produk utama dari sistem wanatani hutan rakyat, karena kopi dibudidayakan dengan sistem ‘shaded grown tree’, yakni ditanam dibawah tegakan pohon atau di bawah naungan. Budidaya kopi dengan sistem ini mendukung fungsi konservasi tanah dan air dalam jangka panjang (Mulyoutami dkk, 2004). Kopi Sulingan menjadi salah satu dari empat alternatif pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan Desa Jatimulyo, yakni (1) Usaha kopi; (2) Ternak lebah klanceng; (3) Produksi gula aren; (4) Wisata tirta (Suparno, 2018).
Produk dari wanatani lain adalah tanaman buah; seperti salak, kelapa, pisang, jengkol, petai, nangka, rambutan, sawo hijau, alpukat, sukun, kakao, kopi, cengkeh; tanaman kayu yakni sengon, mahoni, waru, saman; tumbuhan obat yakni kapulaga, mahkota dewa, dan tumbuhan pakan ternak yakni kaliandra, singkong, gliricideae/polong-polongan (Budi dkk, 2012). Sistem wanatani hutan rakyat dijalankan oleh warga melalui 3 Kelompok Tani Hutan, yakni Wanapaksi, Mudhotomo, dan Karya Tani. Pengetahuan tentang wanatani mengantarkan warga memahami juga tentang peran konservasi tanah dan air dalam mitigasi bencana alam, yakni bencana longsor lahan.
Agar fungsi konservasi dan mitigasi bencana berjalan sinergis, pada tanggal 24 Mei 2017 Pemdes Jatimulyo membentuk kepengurusan Tim Siaga Bencana agar menjadi Desa Tangguh Bencana. Masyarakat Jatimulyo menyadari bahwa penanggulangan bencana alam bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi melalui kapasitas masyarakat yang bertumpu pada kemampuan sumber daya setempat (community disaster management). Transformasi Desa Jatimulyo dari Desa Ramah Burung menjadi Desa Wisata dan Desa Tangguh Bencana merupakan salah satu upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan bencana alam berbasis potensi masyarakat lokal.
Menara Peninsula Hotel, 19 Desember 2018 pukul 11.00 WIB