“Monggo Pinarak Mas.” Silakan masuk-bertamu Mas, begitu kata seorang Ibu paruh baya di depan
rumahnya, saat kami memasuki sebuah Dukuh atau Kampung terpencil di lereng
Gunung Merapi. Sungguh keramahan yang mulai jarang ditemui di zaman sekarang.
Jalan menuju kampung eksotis yang seperti jalan 'kuil shaolin'
Apalagi saat kami menemui warga sedang ‘sambatan’
atau gotong royong memindah sebuah rumah ‘gebyok’,
atau rumah khas Jawa yang tiang dan dindingnya berbahan baku kayu. Begitu kami
menjumpai mereka sedang istirahat, langsung kami ‘disuguhi’ atau diberi segelas teh hangat dan makanan tradisional jajan pasar. Suatu keramahan dan
kebaikan yang tidak mungkin kami tolak.
keramahan & kebaikan dari warga Girpasang, tiap tamu diajak masuk ke rumahnya dan dijamu
Ditemani Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Desa Tegalmulyo, Kecamatan
Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, kami Pengendali Ekosistem Hutan (PEH)
Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) mengunjungi kampung terisolir yang
berada di pojok Tenggara Merapi, berbatasan dengan Kabupaten Boyolali. Kampung
tersebut bernama Gir Pasang.
Cikal Bakal Gir Pasang
Gir Pasang berasal dari nama Gligir
Pasang. Ada beberapa versi asal-usul namanya. Pertama, Gligir yang berarti pinggiran atau
pinggir jurang; dan Pasang yang
berarti sepasang. Jadi Gir Pasang adalah kampung yang terletak ditengah-tengah
sepasang jurang. Memang diantara kampung yang berketinggian 1.185 m dpl ini
terdapat jurang yang sangat dalam, berkedalaman 150 meter..
Kedua, menurut sesepuh/tetua dukuh Gir Pasang, Patmo (66
tahun), “Gligir Pasang ini ibarat seperti wujud buah
belimbing.
Dari rangkaian kerucut-kerucut, yang mana di kanan kirinya tebal, lalu
tengahnya tipis.”
Ketiga, menurut Subur (50 tahun), ketua Pokdarwis dan Dukuh III
Desa Tegalmulyo, Gir Pasang berasal dari kata Gligir yang berarti pinggir, dan
Pasang yang berarti pohon Pasang. “Dulu di pinggir atau sekitar kampung ini
banyak pohon Pasang,” ujar Pak Subur.
kondisi rumah warga Girpasang dengan solarcell
Di Merapi terutama kawasan TNGM, pohon Pasang (Quercus sundaica) termasuk jenis asli Merapi. Jenis ini sudah
beradaptasi dan tahan terhadap erupsi. 6 bulan setelah erupsi tahun 2010,
batang utama pohon Pasang yang roboh dikira mati, ternyata mulai muncul tunas-tunas
baru. Di blok hutan gunung Ijo kawasan TNGM, samping dukuh Gir Pasang, pohon
Pasang bersama jenis Dadap ri (Erythrina
lithosperma) menjadi habitat raptor
jenis Elang dan primata Lutung Jawa (Trachypithecus auratus).
Untuk cikal bakal Gir Pasang, Patmo
menceritakan, dirinya adalah keturunan keempat dari Ki Trunosono yang dahulu
tinggal di lembah Kapuan dekat Gua Jepang,
Sapuangin Merapi. Kemudian, Ki Trunosono yang
bergelar Kyai Pacul Kuoso dari Panembahan Paku Buwono VI yang memilik 9 anak
laki-laki itu mendapat titah untuk menempati dukuh terpencil ‘Gir Pasang’ ini.
"Jumlah
anak Ki Trunosono ada 9 dengan sebutan pandawa Sembilan; salah satunya, Ki Truno
Pawiro, yang merupakan kakek saya, anak ketiga dari Ki Trunosono”. Patmo melanjutkan ceritanya, “Selain
Ki Truno Pawiro, Gir Pasang
dihuni dua anak lainnya, Truno Rejo dan Rajiyo; sedangkan keenam putra Ki Trunosono yang
lain pindah ke desa lain. “
“Jadi dusun ini berawal dari tiga KK atau
pekarangan dan semuanya masih satu trah," sambungnya. Lebih lanjut Patmo
mengisahkan, setelah Ki Trunosono meninggal,
"tongkat kepemimpinan" Gir Pasang
diwariskan kepada kakeknya, Truno Prawiro, dilanjutkan ke ayahnya yang bernama
Ki Pawiro Tani, baru kemudian ke dirinya.
silaturrahmi dengan Ketua RT Girpasang, Bapak Yosorejo yang ramah
Sekarang Dukuh Gir Pasang didiami 12 KK (35 jiwa) yang menempati 7 rumah
(masih sama dengan awal-mulanya). Semua rumah khas Jawa, menggunakan tiang kayu
dan berdinding kayu atau anyaman bambu. Listrik dari PLN belum ada, sehingga
tiap rumah menggunakan solar cell pemberian Pemda Klaten.
Keindahan Alam
Keindahan alam berupa panorama bukit, lembah dan jurang lereng Merapi dapat
dinikmati sejak berjalan dari lokasi parkir kendaraan. Lokasi Gir Pasang memang
terisolir, kendaraan harus diparkir atau dititipkan pada kampung sebelah,
kampung Ringin. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki meniti tangga yang berkelok
dan naik turun selama sekitar 30 menit sampai 1 jam.
kebun samping rumah warga Girpasang yang dimanfaatkan tiap hari
Menurut cerita Subur, tangga tersebut mulai dibangun pada tahun 2006,
setelah akses jalan terkena longsor akibat gempa Jogja tahun 2006. Awalnya
hanya jalan setapak sempit selebar setengah meter, kemudian dilebarkan menjadi
1,5 meter dan dibuat tangga. Jalur sepanjang sekitar 1 kilometer ini memang
tidak semuanya dibangun tangga, ada yang masih berupa jalan tanah.
Jalan berkelok yang asri dan menyehatkan
Jalur bertangga dan berkelok ini sangat indah dilihat dari atas. Jadi ingat
pada jalur tangga berkelok menuju kuil di Tiongkok, kuil Shaolin di Gunung Songshan,
Propinsi Henan. Burung-burung Merapi tak henti-hentinya berkicau, jika
beruntung juga dapat menemui burung Elang yang terbang soaring sekitar pukul 08.00 sampai 13.00 saat langit cerah. Udara
segar khas pegunungan menambah semangat menikmati perjalanan.
Kearifan Lokal
Selain keindahan alam dan keunikan lokasi yang terisolir, potensi lain yang
masih terjaga di Gir Pasang adalah kearifan lokal warganya. Keramahan, kebaikan
hati dan semangat gotong-royong masih kental mewarnai kampung tertinggi di
Klaten ini.
Keunikan lain adalah di kampung ini tidak ditemui makanan instan seperti
mie instand maupun snack atau makanan ringan. Sejak dini anak-anak dilatih
tidak makan makanan berbungkus plastik. Warga akan khawatir anak-anaknya
mempunyai kebiasaan makan makanan instan akan menyusahkan mereka, karena jauh dari
warung dan perbelanjaan.
ruang publik kampung Girpasang yang asri dan teduh
Untuk menuju lokasi kampung surga Gir Pasang dapat dicapai melalui Obyek
Wisata Deles Indah, dari Yogyakarta paling mudah melalui Pabrik Gula Gondang,
Klaten. Dari Deles Indah cukup melalui jalan yang sudah di-cor ke arah Timur, atau Desa Tegalmulyo. Jika belum tahu, dapat
menuju Basecamp Sapuangin Merapi, dukuh Pajegan, Tegalmulyo untuk minta dipandu
menuju Gir Pasang.
Dari basecamp Sapuangin kemudian menuju dukuh Ringin sekitar 500 meter
untuk parkir kendaraan. Kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki meniti tangga
berkelok dan naik turun sejauh 1 kilometer sambil menikmati panorama dan
kesegaran udara pegunungan. Saat pagi atau sore hari dapat menjumpai etos kerja
warga yakni yang membawa rumput seberat 25-40 Kg di atas kepala menyusuri anak
tangga.
Mencari rumput merupakan kegiatan harian warga, dari usia muda sampai tua
usia 70-an tahun. Saya menjadi teringat sebuah teori dari Charles Darwin, ‘The Survival of The Fittest’, hanya
mereka yang mampu beradaptasi yang dapat hidup. Warga Gir Pasang dapat bertahan
hidup turun-temurun mempertahankan kearifan lokalnya dari godaan zaman. Wallaahu’alam.
Rubrik PARIWISATA koran Kedaulatan Rakyat, tanggal 26 Desember 2015