Jumat, 20 November 2020

DESA MANDIRI BUDAYA


Akhirnya Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 93 Tahun 2020 tentang Desa/Kalurahan Mandiri Budaya. Pergub yang ditandatangani tanggal 9 November 2020 ini merupakan pedoman pelaksanaan Desa/Kalurahan Mandiri Budaya di Provinsi DIY.

Menurut hasil kajian Dinas Kebudayaan DIY tahun 2018, Desa Mandiri Budaya adalah desa otonom yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri melalui pendayagunaan dan pemanfaatan segenap sumberdaya internal desa dan eksternal (supra-desa) untuk mengaktualisasikan, mengembangkan, dan mengkonservasi kekayaan potensi budaya (benda dan/atau tak benda) yang dimilikinya melalui pelibatan partisipasi aktif warga dalam melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.


Opini Koran KEDAULATAN RAKYAT 20 November 2020 halaman 11

Pembentukan Desa Mandiri Budaya dilatarbelakangi akibat pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 yang ternyata belum seperti yang diharapkan (Paniradya Keistimewaan DIY, 2020). Ego sektoral masih terjadi sehingga membuat perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya menjadi tidak sehat, tidak adil, dan tidak efisien dari sudut pandang kawasan. Kajian dari tim penyusun Grand Design Desa Mandiri Budaya DIY tahun 2020 menyebutkan dampak dari ego sektoral adalah salah satunya pemanfaatan anggaran menjadi boros (tidak efisien dan tidak efektif).

Penyerapan dana penanggulangan kemiskinan kurang sampai kepada masyarakat, dan lebih banyak dimanfaatkan oleh birokrasi, dan proses pembangunan serta pendampingan desa tidak mengalami kohesi yang baik antar SKPD dan desa-desa sebagai subjek dan objek pembangunan. Hal ini disebabkan pada SKPD belum seluruhnya memiliki frame work yang jelas dalam mendorong pembangunan desa yang holistic, komprehensif dan terukur.

Idealitas desa masih dilihat dari perspektif masing-msaing SKPD, sehingga tidak ada bentuk ideal atau mendekati paripurna pembangunan desa yang ingin diruju. Persoalan sektoral ini akhirnya terjebak pada program dan penilaian kinerja. Untuk itu dalam konteks pelaksanaan desa mandiri budaya diperlukan harmonisasi pelaksanaan kebijakan pembangunan desa dengan pembangunan ekonomi, budaya, wisata, pangan, pengarusutamaan gender, entrepreneurship, kesehatan mental, teknologi serta penanggulangan kemiskinan (Paniradya Keistimewaan DIY, 2020).

Upaya pengembangan desa mandiri budaya didasarkan pada prinsip bahwa “Desa Mandiri Budaya sebagai Tujuan Pembangunan di DIY”. Dalam hal ini terdapat inisiasi dari pemerintah daerah DIY untuk menggagas pilot project pembangunan desa secara lintas OPD diantaranya, Desa Budaya (Dinas Kebudayaan), Desa Wisata (Dinas Pariwisata), Desa Prima (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk), Desa Preneur (Dinas Koperasi & UMKM).

Tantangan terbesar dalam implementasi Desa Mandiri Budaya terletak pada bagaimana membalikkan basis paradigma pembangunan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top down) menjadi paradigm pembangunan yang memposisikan inisiatif pembangunan desa berasal dari “bawah ke atas” (bottom up). Pembalikan paradigma pembangunan itu juga harus terjadi dari jargon/retorika “membangun desa’ menuju praksis “desa membangun”, dari slogan “membangun masyarakat” menjadi “masyarakat membangun”.

Tujuan pembangunan Desa Mandiri Budaya adalah pertama, mewujudkan kemandirian desa dalam menyejahterakan masyarakat desa melalui pengembangan budaya, wisata, partisipasi secara inklusif terhadap perempuan, pengembangan wirausaha desa, dan ketahanan pangan (Paniradya Keistimewaan DIY, 2020). Kedua, memperkuat potensi desa sebagai banteng pelestarian budaya dalam menghadapi arus global. Ketiga, memperkuat sistem kelembagaan desa untuk mengurangi tingkat kemiskinan melalui ketahanan pangan, kewirausahaan, dan wisata.

Keempat, memperkuat sistem informasi desa sebagai ruang sosialisasi, promosi, dan pemasaran desa. Kelima, memperkuat kapasitas pengelola desa dan organisasi-organisasi di ringkat desa dari sisi intelektual mamupun keterampilan dalam pengelolaan desa. Keenam, memperkuat tata nilai dan kehidupan masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketentraman.

Untuk mencapai target RPJMD 2017-2022 bahwa pada tahun 2022 terwujud 20 Desa Mandiri Budaya, tahun 2020 ini Pemda DIY melakukan pelatihan dan pendampingan 10 Desa Mandiri Budaya. Tentu Pemda DIY butuh kerja keras untuk mewujudkannya, karena baru sedikit Desa yang sudah komplit mempunyai 4 kategori Desa (Wisata, Budaya, Preneur, Prima).

Salah satu desa yang sudah komplit adalah Desa Putat, Kapanewon Patuk dan Desa Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul. Untuk itu pelatihan dan pendampingan kelembagaan senantiasa intens dilaksanakan. Melalui Kelembagaan Desa Mandiri Budaya, diharapkan desa dapat menjadi lumbung ekonomi desa (aspek perekonomian), lingkar budaya desa (aspek kelestarian budaya desa), jaring wira desa (kemandirian masyarakat).

 

Yogyakarta, 18 November 2020

Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pegiat Forkom Desa Wisata DIY

Rabu, 14 Oktober 2020

KOPI PERUBAHAN IKLIM

 

Perubahan iklim akibat pemanasan global menjadi masalah krusial saat ini. Dampaknya dapat ke berbagai bidang seperti krisis pangan, air, energi; dan munculnya wabah penyakit baru. Dampak tersebut dapat dirasakan dari kehidupan sehari-hari, seperti secangkir kopi yang dapat merekam dampak perubahan iklim.

Penyebab utama pemanasan global adalah polusi dan emisi yang membuat atmosfer tidak dapat menyerap panas matahari dan bumi akibat aktivitas manusia. Sedangkan pohon-pohon yang bertugas menyerap panas kian berkurang akibat lahannya yang diokupasi untuk industri dan permukiman. Di Indonesia, kekeringan ekstrem akibat El Niño membuat produksi kopi turun 10%. Sementara musim hujan panjang akibat La Niña menurunkan produksi kopi hingga 80% (Syakir dan Surmaini, 2017).

Opini Koran KEDAULATAN RAKYAT Yogyakarta, tanggal 14 Oktober 2020 halaman 11

Musim yang ekstrem juga memicu hama yang membuat kopi Arabika kian rentan. Penelitian baru-baru ini oleh Kath dkk (2020) juga menemukan kopi Robusta yang sebelumnya lebih tahan hama juga terganggu pertumbuhannya akibat perubahan iklim. Dalam beberapa dekade terakhir, kopi di Amerika Selatan dan Tengah dilanda wabah rust daun kopi, sejenis jamur yang membuat daun hijau kopi menjadi kuning kecokelatan (Andriyana, 2020). Hama juga menyebar dengan cepat.

Di wilayah penghasil kopi di Ethiopia dan Kenya, penggerek biji, sejenis serangga kecil yang bersembunyi di dalam biji kopi, juga mengancam keberlanjutan tanaman ini. Di Indonesia, hama penggerek dan penyakit karat daun juga makin sering terlihat dan menurunkan produksi hingga 50% (Syakir dan Surmaini, 2017).

Dampak iklim telah memberikan perhatian global yang lebih besar terhadap para petani kopi. Pola tanam sistem shaded grown (agroforestry/wanatani/tumpang sari) dipilih menjadi sistem tanam yang dihandalkan petani untuk menghadapi perubahan iklim. Pola tanam wanatani  memungkinkan kopi tak hanya bersahabat dengan tanah dan simpanan air, juga menaikkan keragaman hayati dan menyediakan diversifikasi produk karena pelbagai tanaman diatasnya.

Menurut penelitian Mulyoutami dkk (2004) wanatani pada kopi memberikan fungsi konservasi, yakni: (1) Memberikan naungan. Wanatani kopi dengan naungan kompleks, ada lapisan tajuk menyerupai hutan yang berfungsi memberikan naungan terhadap kopi dan melindungi permukaan tanah dari terpaan air hujan. (2) Menjaga suhu, kelembaban udara dan kelembaban tanah di sekitar kebun.  Lapisan tajuk dari pohon pelindung dan serasah yang jatuh dapat mengurangi masuknya cahaya matahari ke dalam kebun dan tanah sehingga suhu, kelembaban udara dan kelembaban tanah di sekitar kebun tetap terjaga. 

Akar-akar pohon naungan juga dapat menyimpan air sehingga dapat menjaga kelembaban tanah dan ketersediaan air tanah. (3) Menambah kandungan hara dalam tanah. Jika pemilihan tanaman naungan tepat, misalnya jenis tanaman yang dapat hidup bersama dengan kopi, maka tanaman naungan dapat menambah kandungan hara dalam tanah melalui serasah daun-daunnya. (4) Mengurangi kemungkinan terjadinya erosi dan tanah longsor. Akar pohon-pohon naungan/pelindung dapat mengikat tanah sehingga tidak terjadi erosi ataupun tanah longsor.

(5) Memberikan penghasilan tambahan. Tanaman naungan juga menghasilkan nilai ekonomi yang cukup tinggi, seperti hasil kayu, tanaman obat, pangan dan lainnya. Kopi dari wanatani yang berasal dari biji kopi yang diolah dengan cara seminimal mungkin merusak lingkungan dapat meningkatkan taraf hidup petani kopi, apalagi saat krisis akibat pandemi Covid-19 ini.

Kegiatan wanatani kopi yang mulai rintis sejak tahun 2017 oleh relawan basecamp pendakian jalur Sapuangin, Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Klaten sudah berbuah. Produk kopi dari kebun warga yang diberi nama ‘SAPUANGIN’ ini turut menjadi penyangga Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Fungsi ekologi dan ekonomi diperoleh warga dan hutan konservasi milik Negara melalui warung kopi Sapuangin di lereng Tenggara Gunung Merapi yang dibuka tanggal 10 Oktober 2020 kemarin.

Budidaya kopi dari wanatani lestari dapat mengurangi pemanasan global. Penikmat kopi punya hak sekaligus kewajiban dan bertanggung jawab menentukan standar kopi yang diminumnya. Tindakan kecil kita saat minum kopi itu, jika masif, akan mencegah dampak perubahan iklim lebih buruk dan luas.

Yogyakarta, 10 Oktober 2020

Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pendiri WAG Kopi Konservasi


Kamis, 17 September 2020

PENJAGA OZON

       Pada tahun 1985 tim ilmuwan Inggris tidak sengaja menemukan sebuah lubang akibat kerusakan lapisan ozon di Kutub Selatan dan lubang ini bisa mengancam kehidupan di planet bumi. Lapisan ozon merupakan perisai pelindung bumi yang berada di laposan stratosfer (10-50 km di atas permukaan bumi) yang berfungsi menyerap radiasi ultraviolet yang dipancarkan dari matahari.

ANALISIS koran Kedaulatan Rakyat hari ini, 17 September 2020

Tanpa lapisan ozon, semua makhluk yang ada di bumi takkan bisa bertahan hidup. Menyikapi temuan ilmuwan Inggris tersebut, PBB untuk pertama kalinya pada 1985 menyusun sebuah konvensi di Wina untuk melindungi ozon. Pada 16 September 1987, sekitar 50 negara dunia meratifikasi Protokol Montreal di kota Montreal, Kanada.

Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 16 September tersebut sebagai Hari Pelestarian Lapisan Ozon Sedunia dalam resolusi 49/114 pada 1987. Menipisnya lapisan ozon merupakan respon alami terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.

Pada tahun 80-90an penggunaan zat klorofluorokarbon (CFC) secara massif merusak lapisan ozon (Setiadi, 2020). CFC adalah sekelompok senyawa yang mengandung unsur klorin, fluor dan karbon. CFC dikenal karena sifatnya yang stabil, tidak reaktif, tidak beracun, tidak berasa, tidak berbau dan tidak mudah terbakar.

Lapisan ozon dapat diperbaiki dengan menekan laju perubahan iklim, pemanasan global dan menjauhi pemakaian zat-zat atau senyawa yang merusak ozon secara massif. Lama proses perbaikan atmosfer bumi sulit ditentukan dengan pasti mengingat semua proses yang terjadi di atmosfer adalah proses non linier yang melihatkan banyak faktor.

Untuk mencegah menipisnya lapisan ozon, Indonesia punya komitmen mengurangi laju perubahan iklim dan pemanasan global. Target yang dicapai adalah penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% tahun 2030, atau sebanyak 859 juta ton emisi setara karbon dioksida. Tekad yang diajukan dalam Perjanjian Paris 2015 itu akan dicapai melalui mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan global.

Menurut Ruandha Agung, -Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan- target tersebut dapat dicapai jika semua pihak berkolaborasi. Aksi perubahan iklim Indonesia ini disebut Indonesia Climate Action Network, yang disingkat ICAN dengan slogan Theres no Planet B. I CAN. Together we can.

Pandemi Covid-19 adalah salah satu dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global. Virus-virus ganas yang awalnya ‘sembunyi, akhirnya keluar karena gangguan keseimbangan ekologi dan membahayakan eksistensi manusia. Dampak dari pandemi memang bumi mampu melakukan perbaikan, karena aktivitas manusia berkurang, terutama aktivitas industri dan transportasi yang mengakibatkan polusi.

Masalahnya, pandemi sebagai solusi bukan pilihan. Pandemi sebagai sebab dan dampak adalah keniscayaan yang mesti dihadapi melalui kebijakan negara yang efektif dalam mencegah dampak menipisnya lapisan ozon (Hafsyah, 2020). Sebab, di luar pandemi, pelbagai bencana sudah mengintip akibat tidak seimbangnya ekologi di bumi.

Dampak ketidakseimbangan ekologi bumi lebih dahsyat daripada pandemi. Oleh karena itu, penting bagi kita dengan kesadaran untuk menjaga bumi dengan tidak hanya menekankan pada adaptasi namun mitigasi. Aksi nyata tingkat lokal yang dilakukan secara terus-menerus akan menular juga, seperti daur ulang sampah; penggunaan produk ramah lingkungan; penghijauan lahan kritis; dan lain-lain.

Demikian pula yang dilaksanakan oleh Forum Upcycle Indonesia (FUI) dalam memperingati Hari Lapisan Ozon melaksanakan kegiatan Artcycle Talk, yakni kegiatan pameran produk re/up-cycle di River house, Kasihan, Bantul. Produk ini menggunakan material limbah berbasis plastik, kertas, logam, kain, kayu, gelas/kaca dan minyak.

Kegiatan yang diinisasi oleh seniman Jogja ini juga melibatkan aktivis pengolah limbah sampah DIY sehingga dapat bernilai ekonomi kembali (economic circular). Harusnya tahun 2020 ini FUI menyelenggarakan seminar ilmiah, pameran produk; dll tentang Upcyle (pengolahan limbah sampah) dengan melibatkan narasumber tingkat dunia di Yogyakarta. 

Pandemi menyebabkan kegiatan dievaluasi kembali untuk dilaksanakan sesuai protokol. Kegiatan Artcycle Talk dipilih karena ada nilai ekonomi didalamnya yang diharapkan dapat menanggulangi dampak ekonomi pandemi. Pelajaran dari pandemi adalah bahwa penanganan menipisnya lapisan ozon, adalah pekerjaan rumah kita semua, yakni Penjaga Ozon.

Yogyakarta, 14 September 2020 pukul 15.15 WIB

Arif Sulfiantono,S.Hut.,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & panitia seminar Upcycle Indonesia 2020


Selasa, 11 Agustus 2020

MITIGASI DI WISATA

Pariwisata Yogya kembali berduka. Tragedi yang menelan 7 wisatwan pantai Selatan saat berwisata di pantai Goa Cemara, Bantul, yang berasal dari satu keluarga sangat mengusik. Padahal awal tahun 2020 ini pariwisata DIY terpukul oleh kecelakaan siswa SMP Turi. Ketika 10 orang meninggal dunia saat outbond di Sungai Sempor.

Pandemi Covid-19 juga menjadi ujian lainnya. Krisis ini harus menjadi pembelajaran sangat berharga bagi pengelola wisata. Dalam adaptasi kebiasaan baru (AKB) sekarang, umumnya hanya fokus pada protokol Covid-19 saat melakukan pembukaan kembali destinasi wisata.


Rubrik ANALISIS koran KEDAULATAN RAKYAT, 11 Agustus 2020

Pasalnya selain Korona, masih ada 12 jenis ancaman bencana di wilayah DIY, yakni Banjir, Banjir Bandang, Gempa Bumi, Tanah Longsor, Kekeringan, Cuaca Ekstrim, Kebakaran Hutan dan Lahan, Letusan Gunung Api, Tsunami, Gelombang Pasang, Kegagalan Teknologi, Epidemi dan Wabah Penyakit (BPBD DIY, 2019). Belum lama DIY juga beberapa kali diguncang gempa bumi.

Ironisnya, mayoritas destinasi atau obyek wisata belum ada fasilitas jalur evakuasi menuju titik kumpul yang aman bagi pengunjung wisata. Pengelola destinasi-pun mayoritas jarang memperoleh latihan atau penyegaran penanganan bencana atau kecelakaan.

Kecelakaan tentu menjadi pembelajaran berharga. Dan itu bukan hanya ombak. Karena juga ada hewan yang berbahaya. Bulan Juni hingga Juli kemarin juga cukup banyak wisatawan yang menjadi korban ubur-ubur laut, terutama di pantai Selatan Gunungkidul. Ini perlu perlu perhatian khusus bagi pengelola wisata. Tahun 2018 lalu destinasi Nglanggeran juga dikagetkan dengan adanya serangan tawon.

Satwa liar lain yang harus diwaspadai adalah satwa berbisa seperti ular. Data dari Animal Keeper Jogja (AKJ) tahun 2019 di DIY ada sebanyak 18 orang menjadi korban, dengan 2 orang meninggal dunia (Saliyo, 2019). Sepanjang tahun 2020 ini ada 8 orang menjadi korban ular berbisa. Tidak ada yang meninggal dunia, seiring dengan meningkatnya edukasi penanganan korban ular berbisa dan jumlah RS rujukan yang bertambah.

Satwa berbisa yang hidup di destinasi wisata ini harus didata dan dipetakan agar mitigasi kecelakaan berjalan dengan baik. Bidang Kapasitas Kelembagaan Dinas Pariwisata DIY tahun ini menjadikan Desa Wisata Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo sebagai pilot project penerapan Desa Wisata Tangguh Bencana.

Pengelola Sungai Mudal yakni salah satu destinasi wisata di Desa Jatimulyo sudah melakukan pendataan dan pemetaan jenis ular berbisa, yakni ada 7 jenis (Tyo, 2020). Pengelola destinasi di Jatimulyo juga diminta untuk membuat plang jalur evakuasi dan titik kumpul sebagai mitigasi saat terjadi bencana seperti gempa bumi dan tanah longsor.

Selain itu pengelola juga diwajibkan untuk menjalankan SOP mitigasi bencana atau kecelakaan seperti gempa bumi, tanah longsor dan kecelakaan pengunjung (jatuh, terkilir, patah tulang, dll). Pengelolaan destinasi wisata harus memiliki perspektif Pengurangan Risiko Bencana/Kecelakaan agar memberikan keamanan, kenyamanan dan keberlanjutan bagi pengunjung.

Dengan perspektif ini akan dapat mendorong peningkatan wisatawan ke destinasi, karena pengunjung merasa aman dan tentram untuk berwisata di destinasi yang sudah menjalankan mitigasi wisata. Pengelola destinasi-pun tidak akan kesulitasn mencari investor atau sponsor karena destinasi wisatanya sudah menjalankan SOP mitigasi bencana/kecelakaan.

Memang membangun wisata itu mudah, tapi mempertahankannya sulit, dan mengembangkannya itu wajib. Sudahkah diterapkan SOP mitigasi wisata selain protokol Covid-19? Saat krisis ini adalah terbaik untuk evaluasi dan belajar bersama.

Patangpuluhan, 6 Agustus 2020, pukul 22.00 WIB

Kamis, 09 Juli 2020

PEMBURU BURUNG


Infeksi virus korona covid-19 membuat dunia menghadapi dilema. Di satu sisi virus yang membuat pandemi global ini memicu pengurangan emisi karbon akibat kebijakan karantina wilayah di banyak negara untuk mencegah penyebarannya, di sisi lain membuat ekonomi mandek. Dampaknya perburuan satwa liar marak kembali, terutama burung.


ANALISIS KR, koran Kedaulatan Rakyat hari Kamis, tanggal 9 Juli 2020

Grup wasap Animal Keeper Jogja (AKJ) pekan lalu ramai dengan pemberitaan pemburu burung yang marak di desa-desa, bahkan kawasan hutan Negara seperti Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Petugas Resort Cangkringan TNGM bersama masyarakat mitra polhut (MMP) dalam 2 pekan terakhir menangkap 3 orang pemburu (Info Merapi, 3/7).

Pemburu tersebut memanfaatkan kondisi saat wisata TNGM lockdown, saat sepi dari pengunjung wisata. Sepinya aktivitas seperti wisata jeep mengakibatkan hutan ramai dengan aktivitras satwa liar, terutama burung. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pemburu untuk memikat burung dengan pulut dan jaring.

Kawasan Resort Cangkringan sendiri adalah mayoritas zona rehabilitasi dan restorasi, yakni zona pemulihan dari erupsi Merapi tahun 2010. Pemulihan ekosistem tidak hanya dengan penanaman pohon endemik Merapi, tapi juga ditunjang dengan aktivitas satwa liar. Terutama satwa burung yang sangat membantu dalam pemulihan ekosistem.

Hal lain yang dikhawatirkan adalah penularan penyakit dari satwa liar kepada manusia, atau yang disebut zoonosis. Burung yang sakit akan memudahkan penularan virus karena mereka bermigrasi ketika berkembang biak atau mencari pakan. Burung juga akan berinteraksi dengan kelelawar, satwa yang memiliki kemampuan sebagai sarang virus paling banyak dibanding satwa lain.

Larangan perburuan satwa liar sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Terhadap Perlindungan Satwa. Pemerintah Daerah Provinsi DIY juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Habitat Alami.

Dalam Pasal 8 kawasan Gunung Merapi masuk dalam habitat alami kawasan ekosistem vulkan. Demikian pula dengan kawasan ekosistem lain, seperti karst, dataran tinggi, dataran rendah, pantai berbatu dan/atau berpasir, perairan tawar, mangrove, dan gumuk pasir. Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten Kota, dan Pemerintah Desa berkewajiban atas pelestarian Habitat Alami; dan dilakukan secara sistematis, terpadu, terarah, dan berkelanjutan (Pasal 22).

Pelestarian Habitat Alami dilaksanakan secara terkoordinasi melalui upaya konservasi dan rehabilitasi (Pasar 24). Larangan perusakan habitat alami disebutkan dalam pasal 46, yakni menangkap dan/atau membunuh satwa yang dilestarikan di dalam Habitat Alami. Disini diperlukan peran aktif masyarakat dalam menjaga habitat alami.

Salah satu peran aktif masyarakat adalah dengan adanya aturan yang tegas melarang, seperti Peraturan Desa (Perdes). Peraturan Daerah (Perda) yang ada diperkuat dengan Perdes agar masyarakat dapat ikut mengawal kelestarian ekosistem di desanya. Kesuksesan pelaksanaan Perdes larangan berburu dicontohkan oleh Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo.

Desa yang terletak di pegunungan Menoreh ini membuat sebuah peraturan untuk menjaga lingkungan, yakni Perdes No.8 Tahun 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Perdes ini mengatur langkah-langkah desa dalam pelestarian tumbuhan dan satwa liar di Desa Jatimulyo. Salah satu bagiannya adalah mengatur pelestarian burung.

Bagi pemburu burung yang tertangkap di Desa Jatimulyo akan dikenakan denda minimal Rp 5 juta. Perdes ini berhasil mengendalikan para pemburu burung, yang dulu jumlahnya banyak seperti orang mancing. Tahun 2020 ini jumlah burung di Desa Jatimulyo ada 105 jenis, dengan 19 jenis merupakan burung endemik (Suparno, 2020). Pengamatan burung menjadi wisata andalan di Desa Wisata Jatimulyo ini.

Kesuksesan Desa Jatimulyo diikuti oleh Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo yang mengeluarkan Perdes Nomor 4 tahun 2017 tentang Pelestarian Lingkugan Hidup. Pemerintah Desa Pagerharjo memasang papan larangan berburu/memikat burung di beberapa tempat termasuk dengan sanksi dan denda.

Sudah saatnya Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Desa bersama masyarakat menyiapkan kondisi “normal baru” setelah pandemi. Kondisi tersebut adalah membangun sistem penopang kehidupan dengan rambu-rambu pembangunan lingkungan dengan memakai prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs). Urusan pelestarian alam dan kearifan lokal semestinya tak sekadar tema peringatan Hari Lingkungan Hidup, Bumi atau Konservasi, namun menjadi komitmen kita bersama dalam pemulihan pandemi dan setelahnya.

Yogyakarta, 6 Juli 2020 pukul 09.07 WIB
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pegiat Forkom Desa-Kampung Wisata DIY

Rabu, 10 Juni 2020

DESA WISATA SIAP!


Pariwisata menjadi salah satu sektor usaha yang terkena pukulan telak wabah virus korona. Tidak hanya tempat wisata, hotel, dan restoran; desa wisata juga terkena imbas pandemi Korona/Covid-19. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi ada potensi kehilangan devisa dari sektor pariwisata senilai USD 530 juta (sekitar Rp 7,4 triliun) akibat pandemi Korona ini.


Analisis Kedaulatan Rakyat tanggal 10 Juni 2020 halaman depan (headline)

Kerugian tersebut belum dihitung berdasarkan supply chain baik untuk perhotelan maupun restoran atau kuliner. Kerugian ini akan terus berlanjut bila masyarakat tidak melakukan aktivitas. Untuk wilayah DIY sendiri, menurut Dinas Pariwisata DIY kerugian di sektor Pariwisata sekitar 81 milyar.

Akhirnya Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjuk Provinsi DIY, Bali dan Kepulauan Riau menjadi proyek percontohan pertama penerapan protokol ‘new normal’ dalam rangka pemulihan ekonomi di sektor pariwisata yang terpuruk akibat pandemi virus Korona.

Diharapkan pemulihan ekonomi melalui sektor pariwisata masih terbuka lebar, diantaranya adalah sektor wisata alam (ekowisata) dan desa wisata. Sektor ini diprediksi mampu cepat bangkit kembali paska pandemi Korona. Hasil survei Desa Wisata Institute (2020) sehubungan dengan pandemi Korona diperoleh temuan menarik.

Diperoleh fakta hanya 11,3% desa wisata mengalami keprihatinan yang mendalam, sedangkan sisanya sebanyak 88,7% merasa biasa saja walaupun ada dampak yang dirasakan, Mereka merasa tidak kehilangan pendapatan utama mereka yang memiliki eksistensi sosio kultural.

Desa Wisata Mangir yang masuk wilayah Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul telah mempersiapkan diri dalam menghadapi pandemi Korona. Dibawah duet Pak Lurah Irwan Susanto dan Sekdes Zuchri Saren Satrio yang masih muda-muda telah menyiapkan warga desanya menghadapi wabah virus ini.

Awal tahun 2020 ini Pemerintah Desa Sendangsari memberikan bantuan 12 koloni lebah klanceng jenis Trigona itama ke kelompok pembudidaya madu klanceng Dusun Mangir. 5 bulan berikutnya berkembang menjadi 20 koloni lebah. Harga madu klanceng cukup tinggi, yakni Rp 500 ribu/liter.

Budidaya madu klanceng merupakan alternatif selain wisata desa dan ternyata mampu menopang ekonomi warga di saat pandemi Korona. Tujuan besar lainnya adalah dengan budidaya madu klanceng otomatis masyarakat dapat menjaga kelestarian hutan pekarangan yang menjadikan Desa Sendangsari ‘ijo royo-royo’. Di sekiling rumah masih banyak hutan pekarangan yang terjaga dengan baik.

Sejatinya masyarakat banyak memetik pelajaran dari adanya wabah pageblug ini. Selain kreativitas masyarakat dalam menyambung hidup, juga semangat untuk bangkit dari pandemi Korona. Untuk menyambut dibukanya pariwisata kedepan, desa wisata perlu mempersiapkan protokol yang disusun oleh Pemerintah. Dinas Pariwisata DIY menjelaskan waktu dibukanya destinasi wisata di Provinsi DIY; yakni saat pandemi sudah berakhir atau tren Covid-19 sudah melandai dengan jeda waktu sekitar 3 bulan; atau direkomendasikan oleh Gugus Tugas Covid-19 DIY dan kabupaten/kota.

Selain itu juga ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh area wisata; yakni adanya fasilitas kebersihan cuci tangan dengan jumlah cukup; standar operasional prosedur (SOP) protokol CHS (Cleanlines, Health, Safety) atau kebersihan, kesehatan, dan keamanan yang dilaksanakan secara konsisten; serta pembatasan pengunjung/wisatawan agar tidak menimbulkan kerumumnan. Setelah penyiapan destinasi yang sudah ada fasilitas kebersihan, kesehatan dan keamanan, serta penyusunan protokol Covid-19 sektor wisata, kemudian dilakukan ujicoba ada simulasi protokol pada destinasi yang sudah siap.

Terakhir baru sosialisasi dan publikasi ke masyarakat umum. Selama masa tanggap darurat Korona sampai tanggal 30 Juni 2020, desa wisata diharapkan dapat mempersiapkan dan berbenah diri. Pemerintah tentu akan memilih paket wisata yang aman terlebih dahulu seperti kelompok kecil, personal atau keluarga. Kegiatan wisata minat khusus seperti petualangan, ecotourism, agrotourism, wellness memiliki peluang besar dikunjungi wisatawan.

Sistem kepariwisataan yang mengacu pada harmonisasi ekologi dan ekonomi menjadi potensi untuk dikembangkan di desa wisata. Mampukah desa wisata di wilayah DIY mampu untuk melaksanakan new normal pariwisata? Melihat sejarah bangkitnya masyarakat DIY dari bencana gempa bumi tahun 2006 tentu mampu dan optimis!

Yogyakarta, 4 Juni 2020 pukul 09.00 WIB
Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pegiat Forkom Desa-Kampung Wisata DIY

Kamis, 02 April 2020

DESA MELAWAN COVID-19

Di saat banyak desa melakukan penyemprotan hingga lockdown di wilayahnya dalam menyikapi penyebaran wabah Covid-19, beberapa desa bertindak lebih maju lagi. Setelah Pemerintah mengumumkan masa tanggap darurat Covid-19 hingga 29 Mei 2020, Pemerintah Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul langsung membentuk tim tanggap darurat untuk antisipasi kemungkinan terburuk.

Opini Koran KEDAULATAN RAKYAT tanggal 2 April 2020 halaman 11

Lurah Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi langsung membentuk tim khusus Panggungharjo Tanggap Covid-19 (PTC). PTC adalah gerakan bersama warga desa Panggungharjo dalam penanggulangan bencana Covid-19 melalui upaya pencegahan, penanganan, maupun penanggulangan dampak virus dalam aspek kesehatan, sosial, maupun ekonomi.

PTC yang disusun Pak Lurah bersama tim terdiri dari satu modul utama serta empat modul pendukung. Modul utama adalah modul PTC-19, sedangkan modul pendukung meliputi Modul Lapor yang digunakan untuk menghimpun data kondisi warga baik kondisi klinis maupun non klinis khususnya ekonomi. Kemudian Modul Dukung untuk menghimpun potensi sumber daya sosial yang mungkin diberdayakan guna memitigasi baik pencegahan, penanganan maupun penanggulangan dampak baik klinis maupun non klinis. 

Modul ketiga adalah Modul Mitigasi Klinis berbasis web aplikasi untuk memonitoring dan asistensi harian kepada warga yang beresiko terdampak secara klinis. Terakhir modul keempat adalah Modul Mitigasi Ekonomi yang digunakan untuk identifikasi kelompok terdampak sehingga bisa digunakan sebagai dasar dalam melakukan upaya pencegahan berupa pemberikan pekerjaan yang kehilangan pekerjaan melalui program PKTD dan Program Sejengkal Tanah Seluas Harapan maupun upaya penanganan dan penanggulangan melalui program jarring pengaman dengan mengoptimalkan peran lembaga desa Bapel JPS.

Hasilnya dalam rilis tanggal 29/3 dari 3.495 warga Panggungharjo melaporkan kondisi kesehatannya melalui web aplikasi, dengan rincian 12 orang dalam pantauan; 11 kontak erat resiko tinggi, 159 kontak erat resiko rendah, 435 orang dengan gejala, 2.157 orang tanpa gejala. Dari data ini Pemdes Panggungharjo dapat melakukan kegiatan strategis dari aspek klinis.

Pemdes Panggungharjo telah melaksanakan Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat (PPBM), yakni upaya meningkatkan kapasitas masyarakat atau mengurangi kerentanan masyarakat, agar mampu menolong diri sendiri dan kelompoknya dalam menghadapi ancaman bahaya yang berpotensi menjadi bencana di sekitar kehidupannya (Sudibyakto dkk, 2012). Manajemen kebencanaan berbasis masyarakat ini meliputi keseluruhan tahap, yaitu pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan. PBBM pada intinya merupakan sebuah pendekatan penanggulangan bencana yang berbasis pada komunitas lokal. 

Dalam praktiknya, manajemen ini mengakomodasi potensi dan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat sebagai sumber daya dalam melaksanakan program penanggulangan bencana. Sehingga, diharapkan masyarakat akan tanggap dan sadar bahwa mereka mempunyai kapasitas yang memadai dalam penanggulangan bencana. Proses pemberdayaan ini menghendaki adanya kemauan politik (politic will) dari pemerintah untuk berperan sebagai fasilitator dalam rangka mendorong berkembangnya Kelompok Masyarakat Sadar dan Tanggap Bencana (Sudibyakto dkk, 2012)

Pemimpin masyarakat lokal sudah seharusnya menjadi agen pembelajaran dan perubahan untuk inisiatif masyarakat lokal (Tyler, 2006 dalam Indiyanto 2012). Oleh karena itu, ia harus mampu menjembatani dan berbicara dengan dua bahasa (bahasa sains dan bahasa pengetahuan lokal). Ia harus merupakan sosok yang terpelajar sekaligus memiliki charisma dan mendapat pengakuan (recognition)

Ia juga mempunyai kekuatan mengompakkan (consolidation) oleh dua sisi: kultural (tradition) dan struktural (rational legal authority). Atau dengan kata lain, adanya pmimpin kharismatik didukung oleh birokrasi struktral yang dikontrol oleh otoritas yang berdiri secara rasional atau sebuah kombinasi tradisional dan otoritas birokrasi (Weber, 1947 dalam Indiyanto, 2012). Karena bagaimanapun, masyarakat membutuhkan legitimasi di tengah ketidakpastian dan kecemasan. Apalagi ditengah gempuran berita Covid-19 baik di media massa maupun media sosial saat ini.

Yogyakarta, 30 Maret 2020

Kamis, 27 Februari 2020

DESA WISATA TANGGUH BENCANA

Paska peristiwa susur sungai yang membawa korban 10 orang meninggal,  Forum Komunikasi Desa Wisata Kabupaten Sleman mengeluarkan press release bahwa kegiatan tersebut dilakukan secara mandiri, tanpa koordinasi ataupun diketahui pengelola desa wisata (deswita) setempat.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 27 Februari 2020

Walaupun sudah ada press release, ditengarai desa wisata setempat akan mendapat dampak dari kejadian kecelakaan sungai tersebut, berupa penurunan jumlah wisatawan. Diakui perkembangan desa wisata saat ini marak, terutama dengan mengangkat potensi wisata alam. Karateristik wisata alam memiliki keunggulan dibandingkan wisata lain.

Wisata alam tidak dapat melalui perantara untuk pengunjungnya, oleh karenanya untuk menikmati wisata alam pengunjung harus datang langsung ke lokasi. Nuansa alam dengan udara yang masih segar dengan berbagai spot selfie menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Namun begitu wisata alam juga harus mampu menghadirkan ketangguhan dalam pengelolaannya (Suparlan, 2019).

Pengelolaan pariwisata khususnya wisata alam harus mampu mengidentifikasi dampak dari 12 jenis ancaman bencana di wilayah DIY, yakni Banjir, Banjir Bandang, Gempa Bumi, Tanah Longsor, Kekeringan, Cuaca Ekstrim, Kebakaran Hutan dan Lahan, Letusan Gunung Api, Tsunami, Gelombang Pasang, Kegagalan Teknologi, Epidemi dan Wabah Penyakit (BPBD DIY, 2019). Ancaman bencana yang ada telah nyata memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan industri pariwisata yang ada.

Contohnya adalah bencana badai cempaka karena cuaca ekstrim pada akhir 2017 lalu menyebabkan banjir sungai Oya Gunungkidul, lokasi yang sebelumnya tidak pernah terjadi sejarah banjir. Dampak ini kemudian menyebabkan kerusakan di sejumlah obyek wisata seperti Air Terjun Sri Getuk  dengan kerugian diperkirakan mencapai 500 juta (Suparlan, 2019).

Imbas gempa bumi di Lombok menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya berdampak pada kunjungan wisatawan mancanegara, dan negara berpotensi kehilangan Rp1,4 triliun (Fahrurozy, 2018). Padahal, sebelumnya, Kementerian Pariwisata menargetkan kunjungan Wisman sebanyak 17 Juta Wisman pada 2018.

Dalam sebuah penelitian, Prideaux dan Laws mendefinisikan krisis dalam industri pariwisata sebagai segala peristiwa yang mengganggu dan menghambat jalannya industri pariwisata (Fahrurozy, 2018). Integrasi pengelolaan pariwisata terutama di desa wisata dengan konsep pengurangan risiko bencana sangat diperlukan mengingat perkembangan industri pariwisata alam yang sangat rentan terhadap 12 jenis ancaman bencana yang ada.

Gerakan membangun pengelolaan pariwisata berperspektif pengurangan risiko bencana sebenarnya telah di-inisiasi oleh beberapa desa wisata di propinsi DIY. Krisis akibat bencana alam atau kecelakaan, baik yang dapat diprediksi maupun tidak, dapat menggoyang fondasi kegiatan pariwisata, menghambat sebuah daerah dalam membangun sektor pariwisatanya.

Pelajaran dari krisis di masa lalu, dapat dijadikan acuan membangun fondasi manajemen krisis yang lebih baik (Fahrurozy, 2018). Pendekatan holistik untuk mengelola krisis pada destinasi pariwisata harus hadir sebagai prasyarat agar kegiatan ekonomi pariwisata terus berlangsung.

Dalam pengelolaan Desa Wisata harus memiliki prespektif Pengurangan Risiko Bencana agar memberikan keamanan, kenyamanan dan keberlanjutan bagi pengelola dan pengunjung. Oleh karena itu, pengetahuan dan ketrampilan pengelola desa wisata harus terus menerus ditingkatkan, sehingga terwujud Deswita Tangguh Bencana. 

Yogyakarta, 24 Februari 2020

Selasa, 11 Februari 2020

SIAPA NIAT AKAN BEROLEH HASIL

“Man Jadda Wa Jada”. Pepatah bahasa Arab ini popular saat booming novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, yang kemudian disusul dengan penayangan film bioskop. Pepatah yang berarti “Siapa yang bersungguh-sungguh dia akan mendapatkan”, sedang arti bebasnya adalah “Siapa yang bersungguh-sungguh, ia pasti berhasil.”

Membaca pepatah ini jadi ingat jamaah KUM (Komunitas Umroh Mandiri) yang luar biasa. Seorang bapak usia 50an yang berniat umroh, dan dalam 3 pekan dapat terwujud. Tanggal 10 Desember 2019 beliau nelpon untuk konsultasi umroh. 4 hari berikutnya langsung mulai proses pembuatan paspor, yang disusul transfer untuk booking seat umroh. Tanggal 17 Desember 2019 langsung pelunasan biaya umroh, disusul persiapan lainnya terutama ruhiyah dan ibadah. Padahal saya tahu kondisi ekonomi beliau baru ‘kurang sehat’. Alhamdulillah tanggal 1 Januari 2020 beliau berangkat umroh selama 12 hari!!

Sebagian chatting di whatsapp dengan bapak jamaah KUM

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Amal itu bergantung niat.” Beliau juga bersabda, “Hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syahwat yang tersembunyi.” Menurut Ibnu Taimiyah (w. 728 H), kata “niat” (niyyah) dalam istilah orang Arab hampir sinonim dengan “kehendak” (qasd) dan “keinginan” (iradah).

Niat adakalanya dipahami sebagai salah satu macam keinginan, atau semakna dengan keinginan. Padahal niat itu lebih spesifik daripada keinginan, karena keinginan itu berkaitan dengan perbuatan sendiri ataupun perbuatan orang lain, sedangkan niat hanya berkaitan dengan perbuatan sendiri. Anda bisa mengatakan, “Aku ingin orang itu berangkat umroh,” tapi tak bisa mengatakan, “Aku niat orang itu berangkat umroh.”

Menurut Ibnu Taimiyah, NIAT itu mengikuti PENGETAHUAN. Siapa mengetahui apa yang mau dia kerjakan, tentulah ia sudah meniatkannya secara otomatis. Niat itu otomatis terwujud begitu orang mengetahui perbuatan yang ingin ia lakukan.

Sedangkan menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H), Niat adalah terdorong dan condongnya diri kepada tujuan yang diinginkannya dan penting baginya. Bila kecondongan itu tidak berada dalam batin, maka tak mungkin ia dihasilkan dan diwujudkan dengan usaha dan memaksa diri, itu sebatas perpindahan pikiran dari sesuatu ke yang lain.

Syekh al-Harits al-Muhasibi (w. 243 H) mengajarkan tentang evaluasi niat.
Siapa yang paling sejati niatnya?
Orang yang paling sejati niat

Siapa yang paling jauh dari niat sejati?
Orang yang paling jauh dari niat adalah orang yang melupakan niat, itu adalah orang yang paling tidak tahu tentang niat.

Percayakah bahwa yang mampu melaksanakan ibadah umroh atau haji itu tidak mesti orang kaya atau berkecukupan? Tidak! Tapi orang yang niat kuat dan tulus iklhlas-lah yang mampu! Banyak orang yang berkecukupan bahkan berkelebihan tapi belum pernah dia beribadah ke Baitullah. Puluhan Negara ia kunjungi, tapi rumah Allah ia lupakan.

Maka dalam melakukan setiap aktivitas, niatkan semua itu untuk menunaikan hak Allah di hadapan-Nya. Jangan sibukkan hatimu dengan harta yang kaumiliki.

“Orang-orang yang mengikuti petunjuk pasti diberi Allah tambahan petunnuk dan diberi sifat takwa.” (QS. Muhammad: 17)
Ibnu Umar menceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Perbuatan itu tergantung niat. Bagi setiap orang balasan dari apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari)

Wallaahu’alam bi shawab.

Selalu bekali dengan ilmu agar niat senantiasa terjaga

Yogyakarta, 11 Februari 2020, pukul 20.53 WIB
Tour Leader Komunitas Umroh Mandiri

Rabu, 29 Januari 2020

CORONA DAN PERAN SATWA LIAR


Sedikitnya 106 orang dilaporkan tewas dan lebih dari 4 ribu kasus virus corona sedang ditangani di berbagai wilayah Tiongkok (Detik. 28/1). Hari Jumat (24/1) Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok Cabang Wuhan mengeluarkan Press Release tentang kondisi pelajar WNI sebanyak 93 orang di Wuhan, Tiongkok bagian Tengah. Semua dalam kondisi sehat serta dalam pantauan kampus dan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia).


ANALISIS koran Kedaulatan Rakyat (KR) tanggal 29 Januari 2020

Mereka menjadi bagian dari sekitar 11 juta yang masuk karantina massal kota Wuhan. Semua akses transportasi ditutup, baik kereta, pesawat, dan bus dari Wuhan maupun menuju Wuhan untuk mengurangi risiko penyebaran wabah Corona. Virus dengan nama 2019 Novel Coronavirus atau 2019-nCoV ini diduga berasal dari pasar makanan yang “melakukan transaksi ilegal satwa liar” (BBC, 24/1). Peneliti mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra, mencatat bahwa tiga jenis virus corona yang bersifat mematikan terhadap manusia berasal dari jenis satwa yang sama sebagai perantara alaminya, yakni kelelawar (Tempo, 25/1).

Material genetik dari 2019-nCoV ini merupakan rekombinasi dari material genetik virus yang berasal dari kelelawar dan ular. Sugiyono menjelaskan hipotesis tersebut berasal dari kode-kode protein atau material genetik 2019-nCoV yang diambil dari sampel korban meninggal yang ternyata memiliki kesamaan dengan material genetik dari ular (Tempo, 25/1). Data tersebut diketahui setelah membandingkan sampel virus itu dengan lebih dari 200 jenis virus Corona dari berbagai satwa yang diketahui dijual di sebuah pasar di Wuhan--di mana sejumlah korban infeksi pertama diketahui pernah mendatanginya.

Menurut Taufiq P. Nugraha, peneliti satwa liar dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, para ilmuwan menduga kemunculan zoonosis (penyakit pada manusia yang ditularkan hewan) baru seperti kasus Corona dampak tingginya frekuensi interaksi antara satwa liar dengan manusia (Tempo, 25/1). Kasus wabah Ebola di Afrika Barat pada 2014, deforestasi untuk pertanian dapat berperan dalam ekspansi kelelawar di luar habitatnya dan ekspansi manusia ke dalam habitat kelelawar, sehingga keduanya dapat saling berinteraksi bebas dan berisiko tinggi dalam penyebaran penyakit baru.

Pada penyakit Ebola dapat dikaitkan dengan kebiasaan manusia, terutama di daerah Afrika yang memiliki kebiasaan mengonsumsi daging satwa liar. Daging satwa liar yang terkontaminasi akan menjadi media efektif penularan Ebola pada manusia (Jayanegara dalam Jurnal Continuing Mediacal Education, CDK-243/vol.43 no.8 th. 2016). Upaya perlindungan individu adalah cara efektif untuk mengurangi penularan manusia, antara lain dengan mengurangi kontak dengan kelelawar, monyet atau kera, dan konsumsi daging mentah (Jayanegara, 2016).

Sejatinya satwa liar mempunyai peranan sebagai penyeimbang ekosistem alam, manjadi salah satu bagian rantai makanan. Kehadiran satwa liar mempunyai fungsi dan peranan penting bagi ekosistem alami serta bagi kehidupan manusia. Di alam, setiap individu satwa liar ikut dalam siklus perputaran makanan di habitatnya (hutan), sehingga pohon-pohon di hutan tetap bisa tumbuh berkembang biak dan menjadikan hutan tetap ada.
Dengan begitu fungsi hutan sebagai pemasok oksigen dan air, juga pengontrol suhu udara dan pengendali musim akan tetap berlangsung. Maka manusia dan seluruh mahluk hidup di Bumi akan dapat merasakan manfaat ini. Agar dapat berperan sebagai penyeimbang ekosistemnya, satwa liar harus dapat hidup nyaman di habitat alaminya.
Contoh adalah keberadaan kelelawar di alam adalah sebagai penjaga keseimbangan populasi serangga dan membantu dalam penyerbukan bunga. Gangguan pada satwa nocturnal (aktivitas malam hari) ini akan berdampak besar pada dunia tumbuhan, dan secara tidak langsung juga akan mengancam kehidupan manusia.
Sebagian manusia menerjemahkan kesadaran menjaga satwa liar dari kepunahan dengan memeliharanya di rumah atau di luar habitatnya. Padahal dengan memindahkan satwa liar dari habitat aslinya, akan menyebabkan fungsi hutan terganggu. Resiko yang kita hadapi jika memelihara satwa liar terlebih satwa liar dilindungi, adalah terganggunya fungsi hutan  kepunahan satwa, hingga penularan penyakit dari dan ke satwa seperti pada kasus Corona, Ebola, SARS, dll.
Peristiwa wabah penyakit akibat satwa liar harus menjadi pembelajaran yang berharga dalam memanfaatkan alam. Konsumsi alam yang ‘serakah’ akan berdampak merugikan bagi manusia sendiri. Pemanfaatan alam yang bijak sejalan dengan prinsip Hamemayu Hayuning Bawana atau prinsip harmoni dengan alam –bukan mengendalikannya- yang merupakan tujuan utama Taois (Tucker, 1994).
Yogyakarta, 28 Januari 2020
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa, alumnus Beijing Forestry University, Tiongkok (China Scholarship Council)