Seminar nasional jejaring Asosiasi Ahli
Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia di Jakarta (29-30/11) diwarnai
dengan kejadian bencana alam. Setelah utusan region Bali-Nusa Tenggara
terhambat karena erupsi Gunung Agung di Bali, utusan dari Yogyakarta juga
terkendala karena siklon tropis Cempaka. 2 hari dihantam siklon Cempaka (28
-29/11) membawa kerugian yang tidak sedikit.
Hampir seluruh wilayah propinsi DIY terdampak
bencana hidrometereologi ini. Pemda DIY merespon kejadian bencana alam tersebut
dengan mengeluarkan status siaga darurat bencana.. Status siaga darurat dapat
dinaikkan menjadi tanggap darurat bencana jika jumlah kejadian bencana alam
bertambah.
Analisis Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 2 Desember 2017
Bencana
Hidrometereologi
Banjir, tanah longsor, badai, kekeringan,
kebakaran hutan, El Nino, La Nina, angin topan/puting beliung, angin fohn
(angin bohorok, gending, brubu, kumbang) adalah beberapa jenis bencana
hidrometereologi. Bencana tersebut disebabkan atau dipengaruhi oleh
faktor-faktor metereologi (perubahan iklim), seperti curah hujan, kelembaban,
temperatur, dan angin.
Sejatinya perubahan iklim hanya pemicu
bencana hidrometereologi saja. Penyebab utama terjadinya bencana alam yang
menimbulkan kerugian adalah kerusakan alam/lingkungan yang masif sehingga daya
dukung dan tampung lingkungan menurun. Frekuensi curah hujan yang tinggi tidak
serta-merta menimbulkan banjir dan tanah longsor jika daya dukung lingkungan
cukup.
Akan tetapi kerusakan ekologi pada bagian
hulu dengan berkurangnya area hutan sebagai water
catchment area (daerah tangkapan air) serta infrastruktur sungai dan
drainase yang buruk menjadikan rawan bencana banjir. Satu hari saja wilayah DIY
diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi sudah menimbulkan banjir.
Adaptasi
dan Mitigasi
Peristiwa bencana alam akibat cuaca di
Indonesia menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan lagi sebuah isu. Perubahan
iklim adalah fakta yang harus dihadapi oleh kita semua, karena terjadinya juga
berkaitan erat dengan kondisi iklim sekaligus perilaku manusia itu sendiri.
Kerentanan-kerentanan yang terjadi telah
mengancam kelangsungan hajat hidup bersama. Dikhawatirkan jika tidak segera
diantisipasi akan mengganggu keberlangsungan kehidupan masyarakat sekaligus
pencapaian pembangunan. Adaptasi serta mitigasi terhadap perubahan iklim adalah
tindakan bijaksana agar dapat menyesuaikan diri dan memperkuat ketahanan dalam
kehidupan.
Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan
upaya dalam menghadapi perubahan iklim, yakni dengan mitigasi dan adaptasi.
Bahkan keduanya sudah masuk menjadi bagian dari Direktorat Jendral Pengendalian
Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
Indonesia. Mitigasi sendiri adalah sebuah usaha penanggulangan untuk mencegah
terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan pernurusan emisi atau penyerapan
gas rumah kaca (GRK).
Lebih singkatnya mitigasi adalah usaha
untuk mengurangi penyebab perubahan
iklim. Sedangkan adaptasi adalah proses memperkuat dan membangun strategi antisipasi dampak perubahan
iklim serta melaksanakannya, sehingga
mampu mengurangi dampak negatif perubahan iklim. Pemerintah menyusun aksi adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim yang dapat dikembangkan dan dilaksanakan di tingkat lokal atau
langsung oleh masyarakat.
Aksi lokal tersebut adalah (1)
pengendalian banjir, longsor atau kekeringan; (2) peningkatan ketahanan pangan;
(3) penanganan kenaikan muka air laut; (4) pengendalian penyakit terkait iklim;
(5) pengelolaan dan pemanfaatan sampah/limbah; (6) pengggunaan energi baru,
terbarukan dan konservasi energi; (7) budidaya pertanian rendah emisi GRK; (8)
peningkatan tutupan vegetasi (penghijauan); dan (9) pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Hampir aksi lokal tersebut sudah
dilaksanakan oleh Pemda DIY, seperti inisiasi Kampung Hijau di kota Yogyakarta;
manajemen infrastruktur sungai M3K (Madhep,
Mundur, Munggah Kali); bank sampah pada tingkat RT, RW hingga Desa;
pembuatan biogas sebagai energi ramah lingkungan; penghijauan pada kawasan
hulu/daerah tangkapan air; dan lainnya. Hanya saja aksi lokal tersebut masih
kurang dijalankan dengan serius.
Kejadian bencana alam siklon tropis
Cempaka kali ini semoga menyadarkan kita semua bahwa bencana alam hanya dapat
diatasi secara bersama. Slogan SEGORO
AMARTO (Semangat Gotong Royong Agawe
Majune Ngayogyakarta atau semangat gotong royong menuju kemajuan
Yogyakarta) adalah modal awal untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai kota ramah
lingkungan. Dan warga Yogyakarta sudah ada pengalaman bangkit kembali setelah
bencana alam gempa bumi tahun 2006 dan erupsi Merapi 2010. Pasti BISA!!
#LatePost