Perubahan iklim akibat pemanasan global menjadi masalah krusial saat
ini. Dampaknya dapat ke berbagai bidang seperti krisis pangan, air, energi; dan
munculnya wabah penyakit baru. Dampak tersebut dapat dirasakan dari kehidupan
sehari-hari, seperti secangkir kopi yang dapat merekam dampak perubahan iklim.
Penyebab utama pemanasan global adalah polusi dan emisi yang membuat atmosfer tidak dapat menyerap panas matahari dan bumi akibat aktivitas manusia. Sedangkan pohon-pohon yang bertugas menyerap panas kian berkurang akibat lahannya yang diokupasi untuk industri dan permukiman. Di Indonesia, kekeringan ekstrem akibat El Niño membuat produksi kopi turun 10%. Sementara musim hujan panjang akibat La Niña menurunkan produksi kopi hingga 80% (Syakir dan Surmaini, 2017).
Musim yang ekstrem juga memicu hama yang membuat kopi Arabika kian rentan. Penelitian baru-baru ini oleh Kath dkk (2020) juga menemukan kopi Robusta yang sebelumnya lebih tahan hama juga terganggu pertumbuhannya akibat perubahan iklim. Dalam beberapa dekade terakhir, kopi di Amerika Selatan dan Tengah dilanda wabah rust daun kopi, sejenis jamur yang membuat daun hijau kopi menjadi kuning kecokelatan (Andriyana, 2020). Hama juga menyebar dengan cepat.
Di wilayah penghasil kopi di Ethiopia dan Kenya, penggerek biji, sejenis serangga kecil yang bersembunyi di dalam biji kopi, juga mengancam keberlanjutan tanaman ini. Di Indonesia, hama penggerek dan penyakit karat daun juga makin sering terlihat dan menurunkan produksi hingga 50% (Syakir dan Surmaini, 2017).
Dampak iklim telah memberikan perhatian global yang lebih besar terhadap para petani kopi. Pola tanam sistem shaded grown (agroforestry/wanatani/tumpang sari) dipilih menjadi sistem tanam yang dihandalkan petani untuk menghadapi perubahan iklim. Pola tanam wanatani memungkinkan kopi tak hanya bersahabat dengan tanah dan simpanan air, juga menaikkan keragaman hayati dan menyediakan diversifikasi produk karena pelbagai tanaman diatasnya.
Menurut penelitian Mulyoutami dkk (2004) wanatani pada kopi memberikan fungsi konservasi, yakni: (1) Memberikan naungan. Wanatani kopi dengan naungan kompleks, ada lapisan tajuk menyerupai hutan yang berfungsi memberikan naungan terhadap kopi dan melindungi permukaan tanah dari terpaan air hujan. (2) Menjaga suhu, kelembaban udara dan kelembaban tanah di sekitar kebun. Lapisan tajuk dari pohon pelindung dan serasah yang jatuh dapat mengurangi masuknya cahaya matahari ke dalam kebun dan tanah sehingga suhu, kelembaban udara dan kelembaban tanah di sekitar kebun tetap terjaga.
Akar-akar pohon naungan juga dapat menyimpan air sehingga dapat menjaga kelembaban tanah dan ketersediaan air tanah. (3) Menambah kandungan hara dalam tanah. Jika pemilihan tanaman naungan tepat, misalnya jenis tanaman yang dapat hidup bersama dengan kopi, maka tanaman naungan dapat menambah kandungan hara dalam tanah melalui serasah daun-daunnya. (4) Mengurangi kemungkinan terjadinya erosi dan tanah longsor. Akar pohon-pohon naungan/pelindung dapat mengikat tanah sehingga tidak terjadi erosi ataupun tanah longsor.
(5) Memberikan penghasilan tambahan. Tanaman naungan juga menghasilkan nilai ekonomi yang cukup tinggi, seperti hasil kayu, tanaman obat, pangan dan lainnya. Kopi dari wanatani yang berasal dari biji kopi yang diolah dengan cara seminimal mungkin merusak lingkungan dapat meningkatkan taraf hidup petani kopi, apalagi saat krisis akibat pandemi Covid-19 ini.
Kegiatan wanatani kopi yang mulai rintis sejak tahun 2017 oleh relawan basecamp pendakian jalur Sapuangin, Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Klaten sudah berbuah. Produk kopi dari kebun warga yang diberi nama ‘SAPUANGIN’ ini turut menjadi penyangga Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Fungsi ekologi dan ekonomi diperoleh warga dan hutan konservasi milik Negara melalui warung kopi Sapuangin di lereng Tenggara Gunung Merapi yang dibuka tanggal 10 Oktober 2020 kemarin.
Budidaya kopi dari wanatani lestari dapat mengurangi pemanasan global. Penikmat kopi punya hak sekaligus kewajiban dan bertanggung jawab menentukan standar kopi yang diminumnya. Tindakan kecil kita saat minum kopi itu, jika masif, akan mencegah dampak perubahan iklim lebih buruk dan luas.
Yogyakarta,
10 Oktober 2020
Ttd
Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan
Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pendiri WAG Kopi
Konservasi