Selasa, 17 Desember 2019

TEROR ULAR


Akhir-akhir ini di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan wilayah lain resah karena adanya serangan ular. Belasan ular kobra memasuki pemukiman warga di wilayah Gunung Kidul, bahkan meneror seisi rumah dengan memasuki kamar bayi, hingga pemilik rumah memilih mengungsi. Berita terbaru adalah ular hijau Trimeresurus albolabris yang menyerang relawan Seyegan Rescue (KR, 16/12).

Ada hampir 3000 jenis ular di Dunia, sepuluh persennya ada di Indonesia yakni, 348 jenis ular. Dan 76 jenis diantaranya adalah ular berbisa. Sebenarnya ini merupakan kekayaan hayati yang luar biasa. Sungguh sayang potensi ini belum dimanfaatkan dengan optimal.


Analisis Koran Kedaulatan Rakyat 17 Desember 2019, halaman depan/head line

Salah satu contohnya adalah serum anti bisa ular atau yang disebut SABU hanya tersedia untuk gigitan dari 3 jenis ular berbisa, yakni Ular Kobra (Naja sputatrix), Ular Weling/Welang (Bungarus candidus/Bungarus fasciatus), dan Ular Tanah (Calloselasma/Agkistrodon rhodostoma). Masih kurang 73 jenis ular lagi. Selain itu, Indonesia juga baru memiliki satu orang dokter ahli bisa ular, yakni DR. dr Tri Maharani, M.Si, SpEM.

Menurut Maharani (2019) setiap tahun dilaporkan ada sekitar 1000-2000 laporan gigitan ular dari seluruh Indonesia. Meski belum ada angka yang pasti, jumlah korban gigitan ular di Indonesia diperkiraan jumlahnya sekitar 135.000 orang per tahun, merujuk jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 256 juta jiwa.

Jumlah tersebut dapat lebih besar lagi, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Untuk wilayah DIY sendiri menurut Ketua relawan Animal Keeper Jogja (AKJ) ‘Saliyo’ tahun 2019 ada 18 kasus korban gigitan ular berbisa. 2 diantaranya meninggal dunia, yang disebabkan karena belum tahunya tentang penanganan gigitan ular.

Penanganan pertama gigitan ular (first aid) sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) adalah dengan imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang digigit ular itu tidak bergerak (Maharani, 2018). Banyak Rumah Sakit, Puskesmas hingga komunitas reptil telah memperoleh pelatihan penanganan gigitan ular.

Untuk wilayah DIY sendiri tiap korban gigitan ular akan dipandu penanganannya oleh relawan AKJ sampai sembuh. Jika korban sudah mengalami fase sistemik seperti sesak nafas hingga gagal jantung baru diberika serum atau anti bisa ular. Untuk Rumah Sakit rujukan korban gigitan ular berbisa di wilayah DIY ada di RS Wirosaban Kota Yogya, RS Panembahan Senopati Bantul, PKU Gamping, PKU Bantul, dan Bethesda (Saliyo, 2019).

Dalam menangani ular, perlu mengenal karakteristik hidup satwa melata ini. Mayoritas ular menetas pada awal musim hujan, dan ular menyukai lokasi yang lembab dan hangat. Beberapa anak ular kobra yang ditemukan warga di Godean, Sleman dan Wonosari, Gunung Kidul adalah salah satu contohnya. Apalagi jika sarangnya terendam air akibat hujan, ular akan keluar mencari lokasi nyaman.

Kebersihan rumah dan lingkungan perlu dijaga. Jangan ada tumpukan kain, kardus, daun yang menyebabkan kondisi lembab. Rumah harus dibersihkan dengan pewangi, karena ular menghindari bau wangi. Pemberian garam tidak berpengaruh, tidak membuat ular takut atau menghindar.

Selain itu perlu diperhatikan juga penyebab adanya ular yang masuk pemukiman warga. Hilangnya predator ular seperti Musang, Kucing hutan, burung Elang, burung Hantu dan satwa liar lain turut meningkatkan jumlah populasi ular. Keseimbangan ekologi terganggu akan menyebabkan komponen lain terganggu sehingga dapat menyebabkan bencana ekologi.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah edukasi kepada masyarakat dalam penanganan ular berbisa. Aksi free handling atau penanganan ular berbisa tanpa alat bantu harus dihindari. Apalagi jika dilakukan oleh orang awam. Lebih baik mengundang pawang ular atau ahli penangkap ular.

Untuk jangka panjang perlu diperhatikan keseimbangan ekologi di alam yang mulai terganggu oleh pembangunan dan pertumbuhan penduduk. Kasus serangan tawon (Vespa affinis) dan disusul ular merupakan contoh dari keseimbangan ekologi yang terganggu. Pemerintah harus memperhatikan manfaat dan peran ekologi, tidak hanya kepentingan ekonomi saja. Pembangunan hijau sudah harus diseriusi oleh pemerintah demi manfaat jangka panjang.



Yogyakarta, 16 Desember 2019
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa, anggota relawan AKJ.

Sabtu, 16 November 2019

MENABUNG AIR

Sudah lebih dari sebulan ini beberapa sumur warga Yogyakarta asat atau kering, karena musim kemarau yang panjang. Pakar Hidrologi UGM, Setyawan Purnama, mengatakan telah lama akademisi hidrologi mengingatkan kepada pemerintah, swasta, dan masyarakat bahwa ada ancaman nyata krisis air di DIY (Kumparan, 16/10). Penyebabnya, tak lain karena penurunan muka air tanah, terutama di Kota Yogya dan Kabupaten Sleman rata-rata 30 sentimeter per tahun. 



Analisis koran Kedaulatan Rakyat, 16 November 2019 halaman depan

Jumlah penduduk terus naik, pemukiman bertambah, jumlah hotel meningkat menjadikan penyedotan air tanah makin tinggi sekaligus mengurangi daerah resapan. Saat musim hujan datang dan curah hujan tinggi, namun daerah resapan air minim, maka air akan langsung mengalir ke sungai-sungai besar. Eksploitasi air tanah yang tidak diimbangi dengan resapan hasilnya mengakibatkan permukaan air tanah terus turun. 

Sejatinya menilik sejarah kota Yogyakarta adalah daerah tangkapan air (water catchment area). Kota Yogyakarta awalnya adalah kawasan rawa yang bernama Umbul Pacethokan dan hutan Beringin. Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwono I kemudian melakukan babat alas dan mendirikan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sekarang menjadi pusat kota Yogyakarta. Demikian pula letak kota Yogyakarta yang diapit 2 sungai besar yakni Sungai Code dan Winongo.

Inilah kejeniusan Sultan HB I sebagai arsitek kota dengan memilih pusat pemerintahan pada area yang aman dari krisis air. Tingkat perkembangan wilayah yang cukup pesat menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Wilayah telah berkembang secara ekonomi namun mundur secara ekologis. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan pola hidup masyarakat telah memicu terjadinya krisis lingkungan, utamanya krisis air. 

Menjadi sebuah ironi, daerah yang seharusnya makmur air, namun tejadi bencana banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Padahal sejatinya air hujan merupakan sumber daya karunia Allah SWT. Sudah saatnya memposisikan air hujan agar kembali pada fungsi asalnya sebagai sumber karunia. 

Saat musim hujan aman dari banjir dan kemarau air tetap memadai. Berdasarkan hitungan ahli hidrologi UGM, Agus Maryono, dengan hujan rata-rata di Pulau Jawa sebesar 3000 mm/tahun, kebutuhan air penduduk Jawa adalah 5,1 milyar m3/tahun atau setara dengan 1,3% volume air hujan (Maryono, 2019). Persentase yang sangat kecil dari karunia hujan.

Oleh karena itu, untuk menjaga ketersediaan dan kualitas air tanah dari air hujan dilakukan dengan berbagai cara, seperti pembuatan biopori, sumur peresapan air hujan, hingga memanen air hujan. Cara terakhir ini merupakan cara paling efektif dengan hasil yang cukup besar. Pemanenan air hujan adalah metode dan teknologi yang digunakan untuk mengumpulkan air hujan yang berasal dari atap bangunan, permukaan tanah, jalan atau perbukitan dan dimanfaatkan sebagai salah satu sumber suplai air bersih (UNEP, 2001; Abdullah dkk 2009). 

Memanen air hujan merupakan alternatif sumber air yang sudah dipraktikkan selama berabad-abad di berbagai negara. Maryono dan Santoso (2006) menyebutkan bahwa di dunia internasional saat ini upaya memanen hujan telah menjadi bagian penting dalam agenda global environmental water resources management dalam rangka penanggulangan ketimpangan air pada musim hujan dan kering (lack of water), kekurangan pasokan air bersih penduduk dunia, serta penanggulangan banjir dan kekeringan.

Salah satu teknik pemanenan air hujan yang cocok diterapkan daerah perkotaan adalah dengan metode atap bangunan (roof top rain water harvesting). Teknik ini untuk skala individu bangunan rumah dalam suatu wilayah. Perhitungan dari dosen UGM Agus Maryono bahwa setiap 100 m2 luas atap rumah akan menghasilkan 3,25 m3 air bersih sekali hujan (Maryono, 2019). Atap rumah disini dapat dimanfaatkan sebagai sumber air yang setiap satu kali hujan dapat mencukupi kebutuhan air sekeluarga selama satu minggu.

Salah satu kecamatan di kota Yogyakarta yang telah menerapkan metode pemananen air hujan adalah Kecamatan Tegalrejo. Di kantor Kecamatan Tegalrejo telah terpasang unit alat pemananen air hujan, setelah sebelumnya juga membuat biopori jumbo untuk penangkapan air hujan. Oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Sub Direktorat Pengendalian Kerusakan Sungai, kecamatan Tegalrejo siap launching menjadi Kampung Ramah Air Hujan.

Melalui predikat tersebut, Camat Tegalrejo akan tampil dalam Kongres Memanen Air Hujan Indonesia II di UGM pada tanggal 28-29 November 2019. Melalui kampung ramah air hujan ini diharapkan wilayah lain dapat mengimplementasikan sehingga dapat mengembalikan kota Yogyakarta sebagai daerah tangkapan air. Seperti saat HB I mendirikan kraton Ngayogyakarta, melalui menabung air.


Yogyakarta, 13 November 2019
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa

Kamis, 17 Oktober 2019

KEKERINGAN DAN WISATA BERKELANJUTAN


Dalam suatu berita online disebutkan bahwa kekeringan sudah mengakibatkan sektor andalan Provinsi DIY yakni pariwisata mengalami dampak penurunan pengunjung. Salah satunya adalah wisata andalan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul, yakni Embung Nglanggeran yang mengalami kekeringan, sehingga mengakibatkan jumlah pengunjung turun sebesar 2 ribu dalam sebulan (Detik, 9/10). Rerata pengunjung Embung Nglanggeran mencapai belasan ribu orang.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 17 Oktober 2019

Lokasi lain yang mengalami penurunan pengunjung karena kekeringan yakni wisata air yang ada di Desa Jatimulyo, Kulonprogo, yakni air terjun Kembangsoka, Kedung Pedhut, dan Sungai Mudal. Prakiraan dari BMKG menyebutkan musim hujan diprakirakan mundur, sehingga kemarau tahun ini lebih panjang (BMKG, 19/8). Tentu ini perlu penanganan yang lebih serius agar dampak penurunan ekonomi dapat diminimalisir.

Bagi desa wisata yang sudah maju, sektor pariwisata merupakan andalan dalam pemenuhan ekonomi dan kesejahteraan warga desa. Pada tingkat ini Pemerintah Desa sudah dapat menjadikan pariwisata sebagai alat pengurangan kemiskinan di wilayahnya. Apalagi pengurangan kemiskinan juga merupakan satu dari 17 target pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals – SDGs).

Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism)

Pariwisata berkelanjutan (Sustainable Tourism) jika direncanakan dan dikelola dengan baik dapat secara langsung dan positif berkontribusi terhadap pencapaian pembangunan berkelanjutan (SDGs), termasuk pengurangan kemiskinan, pembangunan perdesaan, pelestarian budaya dan masyarakat, kesetaraan jender, perlindungan lingkungan, mitigasi perubahan iklim dan memperlihatkan dampak yang bermanfaat terhadap mitigasi perubahan iklim. Agar beroleh manfaat dari berbagai keterkaitan positif ini, diperlukan transisi ekonomi yang berkeadilan menuju pembangunan yang rendah karbon, yang tak berpengaruh mengubah iklim (climate resilient), dan ramah lingkungan di Indonesia dengan pandangan kepada pekerjaan layak yang ramah lingkungan, termasuk pendidikan dan kesadaran para pemberi kerja/majikan, pekerja, komunitas tuan rumah dan wisatawan, dengan pemerintah daerah berada di garis depan (Kemenpar, 2012). Investasi yang dinamis dalam Ekonomi Ramah Lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan pariwisata berkelanjutan.

Dalam Peraturan Menteri Pariwisata No.14/2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan, Pemerintah berkomitmen untuk menjadikan pariwisata berkelanjutan sebagai pilar pembangunan nasional. Beleid ini menjadi acuan bagi Kementerian Pariwisata, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan destinasi pariwisata berkelanjutan.

Menurut Menteri Pariwisata –Arief Yahya- sustainable mencakup 3 P, yaitu planet, people, dan prosperity. Intinya bagaimana dapat melestarikan alam, membangun manusia dan menyejahterakan (Kemenpar, 2019). Kendati demikian, tantangan terbesar dalam hal pengelolaan kepariwisataan berbasis lingkungan dan budaya adalah masalah sumber daya manusia, khususnya pemahaman tentang wisata berkelanjutan (sustainable tourism program).

Salah satu contoh penerapan konsep wisata berkelanjutan ada pada pengelolaan obyek wisata air terjun Kembang Soka yang dimiliki Desa Wisata Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Sejak tahun 2015 pengunjung wisatawan juga dikenalkan program adopsi sarang burung Sulingan/Sikatan cacing (Cyornis banyumas) yang menjadi ikon wisata melalui ‘Kopi Sulingan’. Program ini dapat terwujud atas peran aktif warga yang tergabung dalam Masyarakat Pemerhati Burung Jatimulyo (MPHJ) dan Kelompok Tani Hutan Wanapaksi (Kelik, 2019).

Program adopsi sarang burung menjadi alternatif dari pengembangan wisata berkelanjutan, agar warga tetap memperoleh manfaat ekonomi saat sepi pengunjung wisata. Program ini masuk dalam wisata minat khusus Desa Jatimulyo, selain wisata pengamatan burung (birdwatching), budidaya madu klanceng, pengolahan kopi, dan lainnya. Selain itu warga desa juga aktif melakukan penyulaman dan pemeliharaan tanaman yang mempunyai peran dalam konservasi tanah dan air, seperti jenis Salam, Beringin, Gayam, Kemiri, Randu, dan Aren. Jenis tanaman tersebut mampu lebih banyak menyimpan air, cocok untuk diterapkan pada obyek yang memiliki wisata air agar tidak mengalami penurunan debit air secara drastis.

Aksi Desa Jatimulyo dalam mewujudkan Pariwisata Berkelanjutan melalui program konservasi alam merupakan hasil kesadaran dalam menjaga harta berharga yang dimilikinya. Pariwisata berkelanjutan dengan menitikberatkan pada pelestarian alam memberikan keuntungan non-finansial yang jauh lebih besar. Tentu keterlibatan seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan secara terpadu dan bertanggung jawab.

Malioboro, 15 Oktober 2019, pukul 08.05 WIB

Sabtu, 14 September 2019

KARHUTLA DAN OZON


Sampai tanggal 6 September 2019 data kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejumlah 1.233 titik panas. Total sebanyak 9.072 personel dengan 37 heli dikerahkan untuk pemadaman titik api yang ada di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa (BNPNB, 2019). Bahkan hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) tahun ini tidak lupat dari kebakaran hutan.

Analisis KR hari Sabtu, 14 September 2019

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia sendiri bukanlah hal yang baru. Sejak beberapa dekade sangat sering terjadi karhutla, salah satunya hutan yang berada di lahan gambut. Tahun 2015 merupakan periode terburuk karhutla di Indonesia, kurang lebih 2.6 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Para ahli mengungkapkan jika penyebab kebakaran hutan dan lahan karena faktor alam dan kesalahan manusia.

Faktor alam diwakili oleh kondisi cuaca yang turut melatabelakangi karhuta, karena tahun 2015 merupakan fase cuaca kering dampak dari El-Nino. Untuk faktor manusia berupa kelalaian manusia, baik secara individu ataupun disengaja. Dampak karhutla, khususnya di lahan gambut mengakibatkan peningkatan suhu.

Peningkatan suhu, pada dasarnya diakibatkan oleh gas efek rumah kaca yang membuat lapisan ozon rusak. Gas rumah kaca ini diakibatkan oleh berkurangnya kawasan hutan, serta masifnya eksploitasi alam. Peningkatan suhu di bumi salah satu implikasi logisnya ialah mengakibatkan perubahan iklim (climate change) (Setyawan, 2019). Menurut riset NASA (The National Aeronautics and Space Administration) maupun NOAA (The National Oceanic and Atmospheric Administration) yang merupakan badan independen pemerintah Amerika Serikat, mengatakan jika ada tren kenaikan suhu sejak tahun 2010 sebesar 1 derajat celcius.

koran KR halaman 7

Hal tersebut juga sama dengan hasil riset dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang menyatakan sejak era revolusi industri pertama hingga saat ini, telah terjadi peningkatan suhu sebesar 1-1.5 derajat celcius (Setyawan, 2019). Hal inilah yang mengilhami beberapa negara-negara yang tergabung di IPCC untuk sepakat menjaga suhu di bumi dengan berbagai pendekatan, salah satunya melawan deforestasi dan menerapkan aturan ketat terhadap korporasi. Bahkan untuuk mempercepat upaya aksi iklim di wilayah Asia pada tanggal 3-4 September 2019 telah dibentuk Asian Climate Experts (ACE). Kegiatan yang diselenggarakan oleh UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bangkok, Thailand ini dihadiri oleh Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI) mewakili negara Indonesia.

Menurut Peneliti Lingkungan Potensi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) -Eko Cahyono- karhutla sangat mempengaruhi perubahan iklim (2016). Saat terjadi pembakaran biomassa berupa karhutla, maka dihasilkanlah karbon monoksida (CO) yang menjadi pembentuk ozon. Tingkat ozon yang tinggi di atmosfer lapisan atas, yakni stratosfer memang baik. Ozon di lapisan itu akan melindungi makhluk bumi dari radiasi tinggi sinar matahari.
Namun, jika terjadi di atmosfer lapisan bawah, dampaknya ialah sebaliknya. Konsentrasi ozon di permukaan seharusnya rendah, tidak melebihi 100 ppbv (part per billion volume). Jika lebih dari batas, akan membahayakan kesehatan manusia (Cahyono, 2016). Sirkulasi angin juga akan memengaruhi tersebarnya ozon hingga mencapai bagian troposfer atas. Jika demikian, akan membentuk gas rumah kaca yang menjadi penyebab perubahan iklim.
Perubahan iklim lebih besar disebabkan oleh aerosol yang terlepas ke udara akibat kebakaran biomassa. Radiasi matahari sulit masuk ke bumi, penguapan air menjadi rendah, akibatnya tidak terjadi hujan (Cahyono, 2016). Mengingat pentingnya fungsi laposan ozon ini pada tanggal 16 September 1987, lahirlah kesepakatan Protokol Montreal, yang kemudian ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Ozon Internasional.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Montreal dan Konvensi Wina melalui Keppres No 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Konvensi Wina dan Protokol Montreal. Ini upaya Indonesia dalam perlindungan terhadap keberadaan lapisan ozon. Untuk mencegah perubahan iklim yang berakibat pada penipisan  lapisan ozon, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mengampanyekan kelestarian lingkungan melalui penghijauan kembali melalui program penanaman kayu atau penghutanan kembali lahan-lahan yang sudah gundul.
Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK -Ruandha Agung -KLHK berkomitmen untuk melakukan penanaman pohon di atas lahan 800.000 hektar per tahun (2018). Tentu dampak perubahan iklim ini bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja, tapi merupakan tanggungjawab kita semua selaku penghuni planet bumi.
Lereng Tenggara Merapi, 12 September 2019, pukul 09.04 WIB

Sabtu, 10 Agustus 2019

GENERASI MILENIAL DAN KONSERVASI ALAM


Secara umum kesadaran kelompok kaum muda, khususnya kelompok milenial terhadap isu-isu lingkungan hidup dan konservasi alam. Bahkan banyak kelompok milenial yang aktif sebagai relawan pelestarian lingkungan demi kehidupan yang lebih baik. Peran generasi milenial dalam aksi-aksi konservasi alam ini sangat besar,
Generasi milenial menyadari bahwa saat ini kerusakan alam negeri ini semakin tidak terkendali. Laju kerusakan hutan, kebakaran, perdagangan tumbuhan satwa liar dilindungi, pencemaran air, hingga musnahnya terumbu karang semakin nyata. Negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa karena melimpah kekayaan alam dan lingkungan hidup semakin terancam.
Melalui Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) yang diperingati setiap tanggal 10 Agustus berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2009, tahun ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengusung tema ‘Spirit Konservasi Alam Milenial’. Partisipasi aktif dan sifat kritis generasi milenial, khususnya di media sosial diharapkan dapat menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap konservasi keanekaragaman hayati di tanah air.
OPINI koran Kedaulatan Rakyat tanggal 10 Agustus 2019 halaman 11
Generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1990an hingga 2000an. Jika diperhatikan dari tahun kelahiran tersebut, generasi milenial adalah anak-anak muda yang saat ini berusia antara 18-38 tahun. Mereka adalah generasi yang pada  saat  ini memegang peran penting dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara (Suyitno, 2018)

Generasi millenial ini dilahirkan dalam kondisi zaman yang serba mudah dan   tersedia berbagai kemudahan. Mereka sejak awal kelahirannya sudah dapat menyaksikan TV berwarna yang dilengkapi dengan remote controll. Sejak masa sekolah, mereka sudah menggunakan handphone dan bahkan saat ini mereka sudah berganti smartphone. Dalam kehidupan kesehariannya, mereka selalu membutuhkan jaringan internet dan selalu berusaha untuk selalu terhubung dengan jaringan internet (Suyitno, 2018). Eksistensi sosial mereka ditentukan dari  jumlah “pengikut” dan “penyuka”.

Tujuan tema HKAN ‘Spirit Konservasi Alam Milenial’ adalah agar konservasi dapat dipahami oleh generasi muda. Tanggungjawab konservasi alam merupakan tanggungjawab bersama, termasuk generasi mudanya yang merupakan pewaris negeri. Kota Batam dipilih sebagai lokasi puncak peringatan HKAN 2019, karena mempunyai hutan yang berada di tengah kota industri Batam. Hal ini menjadikannya isu strategis mempertahankan kawasan konservasi di tengah laju industrialisasi di era generasi milenial.
Praktik riil konservasi alam oleh generasi milineal dicontohkan Paguyuban Pengamat Burung Jogjakarta (PPBJ). Melalui kegiatan PPBJ lahirlah Atlas Burung Jogjakarta (ABJ) seperti Jogja Bird Atlas, Jogja Interest Bird Map, hingga buku Capung di Yogyakarta. PPBJ sendiri bardiri pada tahun 2005 yang digagas oleh generasi milenial dari organisasi pengamat burung beberapa kampus di Yogyakarta (Anonim, 2016). Bahkan PPBJ beberapa tahun terakhir mempunyai binaan yakni desa Jatimulyo, kecamatan Girimulyo, Kulonprogo.
Cukup banyak kegiatan dilakukan di desa Jatimulyo untuk konservasi burung local yang menjadi incaran pemburu dan pedagang. Akhirnya pada tahun 2014 terbit Peraturan Desa (Perdes) Nomor 8 tentang larangan berburu segala jenis satwa liar di wilayah Desa Jatimulyo. Sejak saat itulah Desa Jatimulyo mendapat julukan ‘Desa Ramah Burung’.
Kelahiran Atlas Burung Jogjakarta (ABJ) memicu lahirnya Atlas Burung Indonesia (ABI). Melalui kegiatan Pertemuan Pengamat Burung Indonesia (PPBI) ke-5 di Bandung, Jawa Barat pada tahun 2015 dilaksanakan pengerjaan ABI. Apalagi setelah adanya peluncuran aplikasi ‘burungnesia’ pada smartphone pada tahun 2017 semakin memudahkan dalam pengerjaan ABI. Semuanya dikerjakan oleh generasi milenial yang peduli pada konservasi alam, terutama kedaulatan akan kekayaan jenis keanekaragaman hayati negeri.
Kegiatan konservasi ini dikerjakan secara swadaya, tanpa bantuan dari pemerintah, swasta maupun LSM. Dibalik ancaman globalisasi dengan adanya kecanggihan teknologi dan kemudahan akses informasi, kiprah mereka patut diapresiasi dan didukung. Terutama semangatnya untuk tetap menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bidang menjaga kelestarian alam demi masa depan anak-cucu.

Yogyakarta, 7 Agustus 2019 pukul 11.00 WIB
Ttd

Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Sc.,M.S.I.
Fungsional PEH TNGM & Koordinator Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa

Sabtu, 23 Februari 2019

JANGAN ANGGAP REMEH PARKIR

Pagi ini saat akan jemput anak-anak di sekolah makjegagik kaget,  ada daihatsu hijet putih (bukan tayo-nya Om Jack😂) parkir tepat di depan keluar masuk rumah. Padahal gerobag juga sudah siap meluncur,  di halaman juga ada 2 gerobag milik Om dan adik sepupu. Sungguh heran campur mangkel.

kendaraan sering banget parkir depan pintu pekarangan rumah😁

"Ini kok orang parkir tidak lihat kondisi sekitar, apakah menghalangi jalan orang lain atau tidak," batinku. Anggapannya mungkin dia nyaman parkir,  orang lain emang gue pikirin 😬.

Beberapa tahun terakhir ini fenomena seperti itu cenderung meninkat. Bahkan 2 bulan yang lalu ada mobil dengan 'nyaman' parkir di halaman masjid,  persis menghalangi jamaah salat masuk masjid.  Langsung aku foto terus kirim grup whatsapp masjid,  ternyata tidak ada yang tahu. Padahal ada jamaah difabel,  yang kakinya pincang karena habis operasi lutut 😬.

Plat B parkir 'nyaman' di masjid 😁

Telusur-telusur ternyata pemilik kendaraan adalah saudaranya salah satu warga yang memang jarang berinteraksi dengan kegiatan warga, apalagi masjid.

Kalau para doktor seperti DR.  Adian Husaeni mengatakan pemilik kendaraan ini tidak punya adab atau etika, yakni kemampuan mengetahui sesuatu pada tempatnya.  Sampai beliau Dr. Adian dan para ahli membuat buku dan kajian "The Lost of Adab", hilangnya adab dalam negeri ini.

Kalau Kang Saptuari Sugiarto lebih sadis lagi. Dalam media sosialnya beliau pasang gambar meme "Mana yang lebih perih: punya mobil tapi gak punya garasi atau punya garasi tapi gak punya mobil". Inilah dampak dari mudahnya kredit kendaraan.

Antara mobil dan garasi mana yang lebih penting? 

Untung salah satu warga pernah usul dalam sarasehan atau temu RT, agar mobil tidak parkir di jalan,  apalagi sehari-semalam. Bagaimana jika ada kebakaran, mobil pemadam kebakaran lewat mana??
Salah satu solusi mobil bisa parkir di lahan tetangga yang aman dan tidak menganggu.

Perkara parkir kendaraan memang perkara sepele,  tapi dapat menjadi masalah besar jika ada pembiaran. Apalagi jika membuat orang lain susah. 

Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi ia menyakiti tetangga-tetangga dengan mulutnya.”. Maka berkatalah Rasulullah SAW: “Sungguh ia termasuk ahli Neraka.”

Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau Si Fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah SAW berkata: “Sungguh ia termasuk ahli Surga.” (HR.Muslim).

Ada satu pelajaran penting dari hadis di atas. Banyaknya ibadah tetapi adabnya rusak tidak membawa manfaat apa pun. Amalnya tidak bisa menyelamatkan dirinya, karena jiwanya buruk. Sebaliknya, jiwa yang bersih meski amalnya sedikit bisa menyelamatkan dirinya.

Sebagian ulama menasihati anaknya: “Wahai anakku, belajar satu bab adab itu sesungguhnya lebih aku sukai daripada kamu belajar tujuh puluh bab ilmu”. Imam Malik pernah menasihati imam Syafi’i ra: “Wahai Muhammad (Muhammad bin Idris As-Syafii), jadikanlah ilmu kamu sebagai garam dan adab mu sebagai tepung”.

Semoga menjadi pelajaran utama bagi penulis.

SDIT Alam Nurul Islam, 23 Februari 2019, pukul 11.00 WIB

Rabu, 06 Februari 2019

UMROHKAN IBUMU!

Tanggal 18 Januari 2019 teman kementerian kehutanan (sebuat aja Fulan) menghubungi untuk tanya info tentang umroh yang pernah kita posting di Facebook. Saat itu pas ada paket umroh 10 hari seharga Rp 16 juta, dengan cukup bayar uang muka untuk booking seat pesawat Rp 3 juta/orang. Fulan ini berencana mengajak ibunya untuk umroh. Langsung saya katakan kalau memang sudah tersedia uang untuk booking seat cepat diamankan terlebih dahulu, karena paket umroh hemat seperti ini dalam hitungan hari bahkan jam langsung habis. Insya Allah kalau niat kuat untuk ibadah dan birul walidain (berbakti kepada orang tua) akan dimudahkan dan dilancarkan oleh-Nya.

Esok harinya Fulan ini langsung kirim foto KTP dan transfer uang untuk booking seat. Setelah beres masalah lain muncul, yakni padatnya antrian pembuatan paspor. Kita beri info tentang kepengurusan paspor, suntik meningitis hingga biometrik (aturan baru dari Saudi Arabia). Sambil terus motivasi Fulan ini, Allah SWT akan beri kemudahan bagi yang husnudzon kepada-Nya.

Siang tadi sekitar pukul 11.14 WIB Fulan memberi kabar bahwa semua urusan dengan imigrasi sudah selesai, tinggal kirim berkas untuk pembuatan visa, sambil mengucapkan banyak terima kasih. Alhamdulillah, hati ini langsung ‘maknyes’ ikut bahagia sekali telah membantu saudara untuk beribadah. Sebuah kepuasan batin yang tidak terganti.



Memang benar sabda Rasulullah Saw untuk memuliakan orang tua, terutama ibu yang telah melahirkan kita, hingga kata ‘Ibu’ disebutkan sampai 3 kali oleh Rasulullah Saw:  “Ibumu .. ibumu .. dan ibumu.” Beberapa kali kita menyarakan kepada saudara dan teman jika masih mempunyai orang tua agar diajak untuk beribadah ke rumah-Nya, Baitullah. Yakin Allah SWT akan memudahkan semua urusan kita, termasuk kebarokahan akan senantiasa melingkupi hidup kita. Panggilan ke rumah-Nya adalah panggilan iman, bukan karena kita mampu, karena sangat banyak muslim yang sangat mampu ekonomi tapi belum sampai rumah-Nya. Malah tidak sedikit yang kurang mampu sudah sampai ke rumah-Nya. Masih ragu untuk beribadah ke rumah-Nya? Ingat tiap saat usia bertambah, dan kematian semakin dekat. Alllahu’alam.

Umroh Keluarga Hemat Yogyakarta, 6 Februari 2019