Kamis, 19 November 2015

Mengelola Kawasan Khas Merapi



5 tahun yang lalu (26 Oktober – 6 Nopember 2010) erupsi Merapi berlangsung, membawa korban jiwa, harta benda dan ekosistem yang tidak sedikit. Luncuran awan panas (pyroclastic flow) telah merusak dan memusnahkan sebagian hutan di kawasan (Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Sebagai salah satu gunung berapi yang aktif, kawasan TNGM merupakan daerah rawan bencana.

Demikian pula dengan ekosistem Merapi mempunyai ciri khas, seperti perilaku letusannya, tipikal kerusakan yang ditimbulkan, serta proses ’biological recovery’-nya. Sebenarnya tanpa restorasi, Gunung Merapi biasanya akan recovery (pulih) sendiri. Evaluasi selama 5 tahun pengelolaan paska erupsi, pengelolaan Merapi masih terjebak pada tindakan pilihan antara restorasi dan rehabilitasi, tanpa mempertimbangkan karakteristik, elemen, struktur, dan fungsi Merapi (Danarto, 2014)

 
Opini Koran 'Kedaulatan Rakyat' tanggal 2 November 2015

Untuk kasus Merapi juga dapat dilakukan re-vegetasi, yakni penanaman pohon sebagai upaya percepatan penutupan lahan untuk perbaikan fungsi bio-fisio-ekologis. Strategi vegetasi ini dikembangkan berbasis permasalahan faktual di lapangan. Tujuan utama re-vegetasi adalah untuk konservasi dan daerah tangkapan air. 

Merapi juga memiliki status tapak yang tergolong sangat khas. Untuk itu perlu stratifikasi tapak yang jelas, seperti sebelah kanan dan kiri sejajar dengan aliran lahar/lava; dan pada bagian lain sejajar kontur (Danarto, 2014). Demikian pula dengan setiap spesies mempunyai kemampuan berbeda, karena individu setiap spesies selalu bersifat unik. 

Contoh nyata adalah pada kawasan terdampak erupsi tingkat berat seperti Desa Glagaharjo, Sleman, ternyata tumbuhan yang paling cepat pulih (recovery) adalah pisang. 4 hari setelah terdampak awan panas, muncul tunas baru dari tumbuhan pisang (Danarto, 2014).  Padahal tumbuhan lain tinggal batang utamanya saja, bahkan ada yang mati. 

Jenis lainnya adalah rumput kalanjana dan bambu apus. Kurang dari satu tahun sebagian besar kawasan lereng Selatan sudah rimbun dengan jenis Akasia dekuren/Sogo (Acacia decurens). Kawasan ini sebelumnya terdampak parah, tidak tersisa satu jenis pepohonan. Fenomena Akasia dekuren menimbulkan kajian ilmiah yang menarik di kalangan ilmuwan dan konservasionis, karena jenis ini bukan termasuk tumbuhan asli dari Gunung Merapi.
 
Dalam segi Ilmu Budaya, orang Jawa yang tinggal di lereng Gunung Merapi agaknya tidak bisa mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka dengan bahasa teknis yang lugas seperti istilah fertilitas tanah kaitannya dengan abu vulkanik letusan Gunung Merapi (Purwadi, 2014). Akan tetapi secara masuk akal mereka memiliki pengalaman dan pengetahuan fertilitas itu, yang disediakan dari mitos dan ritual adat.

Kearifan lokal masyarakat Merapi dipengaruhi oleh nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang. Pewarisan nilai seni budaya tersebut berlangsung secara turun temurun (Purwadi, 2014). Masyarakat Merapi juga termasuk masyarakat tangguh. Paska erupsi, pemukiman cepat tumbuh kembali, masyarakat kembali antusias membangun dan mengembangkan desa. 

Pengetahuan masyarakat pada mitigasi bencana alam semakin meningkat. Beberapa desa sudah terbentuk Sekolah Siaga Bencana (SSB). Pelajar tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) hingga SMA dilatih mitigasi bencana. Bahkan sekolah di luar Merapi juga menyempatkan untuk belajar SSB. Akhirnya wisata yang berkembang juga wisata berbasis mitigasi bencana alam. 

Wisata alam yang terkenal adalah Touring Jalur Lava Merapi menggunakan Jeep. Menyusul kemudian wisata pendakian. Alhasil Balai TNGM juga meningkatkan kemampuan dalam bidang SAR (Search And Rescue) bagi petugasnya dan masyarakat. Untuk bidang SAR sudah terbentuk 2 kelompok SAR yang sudah dapat diandalkan dan menjadi mitra penting TNGM, yakni SAR Barameru dari Desa Lencoh, Selo, Boyolali; dan SAR 12 dari Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten.

Erupsi Merapi tahun 2010 membawa pelajaran yang sangat berharga. Ekosistem Merapi ternyata jauh lebih indah dan kompleks. Jika Balai TNGM selaku pengelola kawasan TNGM mampu menghilangkan hambatan dan menyediakan lingkungan yang sesuai, potensi untuk berkembang menjadi luar biasa. Wallahu’alam.

TNGM Menuju TN Berbasis Mitigasi Bencana Alam



Saat ini tepat 5 tahun erupsi besar Gunung Merapi (26 Oktober – 6 Nopember 2010) yang membawa korban jiwa, harta benda dan ekosistem yang tidak sedikit. Luncuran awan panas (pyroclastic flow) telah merusak dan memusnahkan sebagian hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Bahkan erupsi tersebut oleh Presiden SBY ditetapkan sebagai Bencana Nasional.
 
Sebagai salah satu gunung berapi yang aktif, kawasan Gunung Merapi merupakan daerah rawan bencana. Bencana alam erupsi Merapi tahun 2010 menjadikan pelajaran berharga bagi pengelolaan Taman Nasional (TN)  yang berbasis pada mitigasi bencana alam (pengurangan resiko bencana alam). Pengelolaan TN berbasis pada mitigasi bencana adalah model pengelolaan yang disesuaikan dengan kerawanan (hazard), kerentanan (vulnerability), dan komponen yang beresiko (elemen at risk) terhadap kepunahan.

Spesies (makhluk hidup) yang paling rentan terhadap kepunahan meliputi organisme besar; makanan; spesies populasi ukuran kecil; spesies yang telah berevolusi dalam isolasi; spesies dengan penyebaran miskin; migrasi spesies; dan spesies bersarang dalam koloni. Beberapa faktor yang mendorong meningkatnya kepunahan adalah kerusakan habitat; spesies asing/pendatang (invasive alien species); eksploitasi berlebihan dan perburuan; fragmentasi habitat; dan bencana alam.


Opini TribunJogja tanggal 30 Oktober 2015


Faktor penyebab kepunahan keanekaragaman hayati sendiri berkaitan erat dengan teori biogeografi pulau. Teori ini menjelaskan bahwa luas area pulau akan menentukan jumlah spesies yang menghuninya. Saat luas habitat alam suatu pulau berkurang akibat bencana, maka pulau tersebut hanya mampu mendukung spesies sebanyak yang hidup pada pulau yang lebih kecil ukurannya (Supriatna, 2008).

Teori biogeografi pulau dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena kepunahan spesies yang terdapat di kawasan konservasi, seperti TN. Kawasan TN dianggap sebagai suatu pulau yang dikelilingi oleh habitat yang rusak. Ketika pulau itu rusak akibat tingginya tekanan dari sekelilingnya, maka spesies yang hidup di pulau tersebut akan musnah.

Pemodelan yang dilakukan Mac Arthur dan Wilson (1967) menyebutkan bahwa apabila 50% dari luasan kawasan rusak, maka 10% spesies yang ada didalamnya punah (Primack, 1993). Hasil Rapid Damage Assessment dengan citra satelit yang dilakukan oleh Balai TNGM menunjukkan 5.263,06 Ha atau 82,10% total kawasan rusak.

Alhasil selama 5 tahun pengelolaan TNGM lebih memfokuskan pada kegiatan restorasi ekosistem (pemulihan ekosistem). Selain itu juga kegiatan monitoring kembali potensi tumbuhan dan satwa liar; serta sumber/mata air. Kegiatan restorasi juga meliputi kegiatan penanaman dan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNGM. 

Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya dilaksanakan internal Balai TNGM, tetapi juga kerjasama dengan stake holder seperti Fakultas Kehutanan UGM, BPPTKG, SAR, JICA, LSM Kanopi, Kutilang, media massa, dan lain sebagainya. Bahkan satu tahun ini Balai TNGM juga melakukan kegiatan mitigasi bencana seperti kecelakaan pendakian dan pengendalian kebakaran hutan.

Operasi khusus SAR (Search And Rescue) pendaki Ery Yunanto pada bulan Mei 2015 dan kebakaran di wilayah Magelang selama musim kemarau ini menjadikan pelajaran berharga bagi Balai TNGM. Paska kejadian tersebut Balai TNGM melakukan peningkatan kemampuan SAR petugas TNGM terutama yang berada di Resort bersama masyarakat. 

Balai TNGM tidak dapat bekerja tanpa dukungan dan peran serta masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat sekitar TNGM dilibatkan dalam pengelolaan. Untuk bidang SAR sudah terbentuk 2 kelompok SAR yang sudah dapat diandalkan, yakni SAR Barameru dari Desa Lencoh, Selo, Boyolali; dan SAR 12 dari Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten.

Demikian pula dengan bidang pemberdayaan masyarakat, sudah terbentuk kelompok tani hutan di hampir semua desa sekitar kawasan TNGM. Kelompok tani ini selalu dilibatkan dalam kegiatan restorasi kawasan akibat erupsi, serta kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat. 

Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan mengelola kawasan rawan bencana Balai TNGM sudah menyusun visi untuk rencana strategis tahun 2015 – 2019, yakni: Menjadi Taman Nasional Yang Mantap Dalam Mengelola Ekosistem Volkano Yang Dinamis Berbasis Partisipasi Para Pihak.” Semoga pembelajaran selama 5 tahun dapat memudahkan dalam mencapai visi tersebut. Allahu'alam.

Selasa, 25 Agustus 2015

MENYELAMATKAN SATWA LIAR GUNUNG MERBABU



Pengelola Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) bersama relawan dan masyarakat sejak Rabu (19/8) sibuk menangani kebakaran hutan. Bahkan Kamis malam (20/8) dari CCTV stasiun pengamatan BPPTKG di Ngepos titik api mulai temu gelang. Saat semuanya fokus pada penanganan kebakaran, perlu juga memperhatikan dan siaha penanganan satwa liar yang ada di TNGMb.

Lokasi kebakaran yang terjadi pada ketinggian 1700-2000 m dpl adalah kawasan habitat primata yang dilindungi seperti Lutung hitam (Tracypithecus auratus), Lutung kelabu (Presbytis fredericae), serta mamalia seperti Kijang (Muntiacus muntjak), Musang (Herpates javanica), Landak (Histrix sp.), Luwak (Paradoxurus hermaproditus) dan Macan Tutul (Panthera pardus). Satwa liar tersebut sangat peka, dan akan melakukan migrasi untuk menyelamatkan diri.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 25 Agustus 2015

Sebagai Khalifah fil Ardh manusia harus melindungi makhluk-makhluk lain atau satwa secara bijak karena mereka bermanfaat bagi keseimbangan sistem kehidupan di muka bumi. Makhluk hidup apa pun merupakan mata rantai ekosistem kehidupan yang satu sama lain saling membutuhkan. Peter H. Raven mengatakan bahwa “hilangnya satu jenis pohon akan diikuti hilangnya 10 sampai 30 jenis satwa seperti insekta (serangga), hewan besar dan juga jenis lainnya.” Berangkat dari perspektif inilah, kita juga perlu memperhatikan dan menyelamatkan satwa liar di wilayah itu.
Taman Nasional Gunung Merbabu ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 135/Kpts-II/2004 dengan luas 5.725 ha (Departemen Kehutanan, 2007)  merupakan salah satu taman nasional di Pulau Jawa yang menghadapi tekanan penduduk di sekitarnya. Taman nasional ini dikelilingi oleh 36 desa dengan penduduk berjumlah 121.513 jiwa dari 32.633 rumah tangga (Balai TNGMb, 2009). Selain potensi satwa liar, kawasan hutan TNGMb juga merupakan daerah tangkapan air yang penting.

Kawasan TNGMb merupakan hulu 17 sungai di Kabupaten Magelang, 7 sungai di Kabupaten Boyolali dan 8 sungai di Kabupaten Semarang. Di kawasan TNGMb juga banyak terdapat mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya, antara lain Tuk Sipenduk (Kec. Ampel, Kab. Boyolali), Tuk Babon (Kec. Selo, Kab. Boyolali),Umbul Songo (Kec. Getasan, Kab. Semarang), Simuncar (Kec. Ampel, Kab. Boyolali), Teyeng (Kec. Kedakan Kab. Magelang), Kali Soti (Kec. Kenalan, Kab. Magelang),Tuk Sikendil (Kec. Kesingan, Kab. Magelang), Tuk Kenteng (Kab. Semarang),Tuk Kali Pasang (Kab. Semarang), Tuk Padas (Kab.  Semarang), Tuk Jaran Mati (Kab. Boyolali),Tuk Geded (Kab. Semarang) (Balai TNGMb, 2009).

Belajar dari peristiwa erupsi Gunung Merapi tahun 2010, melalui naluri alamnya yang tajam, banyak satwa liar yang turun gunung untuk menyelamatkan diri. Primata jenis Monyet ekor panjang (Maccaca fascicularis) dari Gunung Merapi melakukan migrasi ke Gunung Merbabu. Aliran sungai DAS Pabelan dengan vegetasi riparian potensial menjadi koridor pengungsian satwa dari Gunung Merbabu ke Merapi, tepatnya di kawasan Desa Lencoh, Kec. Selo, Boyolali.

Penelitian Marhaento dkk (2010) menunjukkan bahwa areal yang dicadangkan untuk koridor jalur migrasi satwa Merapi-Merbabu sudah padat pemukiman, jaringan jalan dan pertanian intensif, maka pembuatan koridor menemui kesulitan. Hasil kajian Gunawan, dkk (2012) luas areal koridor yang harus di-hutan-kan adalah seluas ± 394,91 Ha. Sementara jarak yang harus ditempuh satwa dari Gunung Merapi sampai Gunung Merbabu atau sebaliknya adalah sekitar 6,95 km.

Jarak ini harus ditempuh dengan menyeberangi jalan raya alternatif Boyolali-Magelang. Oleh karena itu, ke depan perlu dipikirkan adanya penyeberangan satwa, baik melalui kolong jembatan maupun di atas jalan. Penyeberangan di kolong jembatan tampaknya lebih memungkinkan. Koridor selebar 200 meter sebenarnya masih kurang memberikan rasa aman kepada satwa yang bersifat sensitif terhadap aktifitas manusia atau jenis-jenis satwa interior, namun mengingat koridor ini diperuntukan bagi keadaan darurat, maka diharapkan bisa menjadi sarana penyelamatan bagi satwaliar saat kebakaran hutan maupun erupsi.

Koridor dengan lebar 200 m ini kemungkinan digunakan oleh satwa pada malam hari, dimana kondisi sekitarnya sepi dari aktifitas manusia (Marhaento dkk, 2010). Mengingat kepentingan jangka panjang, pembuatan koridor ini merupakan investasi yang menguntungkan bagi pelestarian keanekaragaman hayati di kedua taman nasional. Berdasarkan gambaran itulah, perlu dipikirkan bagaimana cara menyelamatkan satwa liar tersebut.

Balai TNGMb, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), Pemerintah Propinsi dan Daerah perlu membuat daerah penyangga di sekitar Merbabu maupun Merapi, serta membuat jalur khusus atau jalur hijau sebagai koridor untuk migrasi satwa-satwa tersebut ke daerah penyangga. Disamping itu juga dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana sikap mereka untuk mengamankan dirinya bila berhadapaan dengan satwa liar yang berbahaya dan bagaimana membantu mengamankan satwa liar tersebut. Wallahu’alam bi showab.