Sedikitnya 106 orang dilaporkan tewas dan lebih
dari 4 ribu kasus virus corona sedang ditangani di berbagai wilayah Tiongkok
(Detik. 28/1). Hari Jumat (24/1) Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok
Cabang Wuhan mengeluarkan Press Release
tentang kondisi pelajar WNI sebanyak 93 orang di Wuhan, Tiongkok bagian Tengah.
Semua dalam kondisi sehat serta dalam pantauan kampus dan KBRI (Kedutaan Besar
Republik Indonesia).
ANALISIS koran Kedaulatan Rakyat (KR) tanggal 29 Januari 2020
Mereka menjadi bagian dari sekitar 11 juta yang
masuk karantina massal kota Wuhan. Semua akses transportasi ditutup, baik
kereta, pesawat, dan bus dari Wuhan maupun menuju Wuhan untuk mengurangi risiko
penyebaran wabah Corona. Virus dengan nama 2019
Novel Coronavirus atau 2019-nCoV ini
diduga berasal dari pasar makanan yang “melakukan transaksi ilegal satwa liar”
(BBC, 24/1). Peneliti mikrobiologi dari Pusat
Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra,
mencatat bahwa tiga jenis virus corona yang
bersifat mematikan terhadap manusia berasal dari jenis satwa yang sama sebagai
perantara alaminya, yakni kelelawar (Tempo, 25/1).
Material
genetik dari 2019-nCoV ini
merupakan rekombinasi dari material genetik virus yang berasal dari kelelawar
dan ular. Sugiyono menjelaskan hipotesis tersebut
berasal dari kode-kode protein atau material genetik 2019-nCoV yang diambil
dari sampel korban meninggal yang ternyata memiliki kesamaan dengan material
genetik dari ular (Tempo, 25/1). Data tersebut diketahui setelah membandingkan
sampel virus itu dengan lebih dari 200 jenis virus Corona dari berbagai satwa yang
diketahui dijual di sebuah pasar di Wuhan--di mana sejumlah korban infeksi
pertama diketahui pernah mendatanginya.
Menurut Taufiq
P. Nugraha, peneliti satwa liar dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, para
ilmuwan menduga kemunculan zoonosis (penyakit pada manusia yang ditularkan
hewan) baru seperti kasus Corona dampak tingginya frekuensi interaksi antara
satwa liar dengan manusia (Tempo, 25/1). Kasus wabah Ebola di Afrika Barat pada
2014, deforestasi untuk pertanian dapat berperan dalam ekspansi kelelawar di
luar habitatnya dan ekspansi manusia ke dalam habitat kelelawar, sehingga
keduanya dapat saling berinteraksi bebas dan berisiko tinggi dalam penyebaran
penyakit baru.
Pada
penyakit Ebola dapat dikaitkan dengan kebiasaan manusia, terutama di daerah
Afrika yang memiliki kebiasaan mengonsumsi daging satwa liar. Daging satwa liar
yang terkontaminasi akan menjadi media efektif penularan
Ebola pada manusia (Jayanegara dalam Jurnal Continuing
Mediacal Education, CDK-243/vol.43 no.8 th. 2016). Upaya perlindungan
individu adalah cara efektif untuk mengurangi penularan manusia, antara lain
dengan mengurangi kontak dengan kelelawar, monyet atau kera, dan konsumsi
daging mentah
(Jayanegara, 2016).
Sejatinya satwa liar
mempunyai peranan sebagai penyeimbang ekosistem alam, manjadi salah satu bagian
rantai makanan. Kehadiran satwa liar mempunyai fungsi dan peranan penting bagi
ekosistem alami serta bagi kehidupan manusia. Di alam, setiap individu satwa
liar ikut dalam siklus perputaran makanan di habitatnya (hutan), sehingga
pohon-pohon di hutan tetap bisa tumbuh berkembang biak dan menjadikan hutan
tetap ada.
Dengan begitu fungsi
hutan sebagai pemasok oksigen dan air, juga pengontrol suhu udara dan
pengendali musim akan tetap berlangsung. Maka manusia dan seluruh mahluk hidup
di Bumi akan dapat merasakan manfaat ini. Agar dapat berperan sebagai
penyeimbang ekosistemnya, satwa liar harus dapat hidup nyaman di habitat
alaminya.
Contoh adalah keberadaan kelelawar di alam adalah sebagai penjaga
keseimbangan populasi serangga dan membantu dalam penyerbukan bunga. Gangguan
pada satwa nocturnal (aktivitas malam
hari) ini akan berdampak besar pada dunia tumbuhan, dan secara tidak langsung
juga akan mengancam kehidupan manusia.
Sebagian manusia
menerjemahkan kesadaran menjaga satwa liar dari kepunahan dengan memeliharanya
di rumah atau di luar habitatnya. Padahal dengan memindahkan satwa liar dari
habitat aslinya, akan menyebabkan fungsi hutan terganggu. Resiko yang kita
hadapi jika memelihara satwa liar terlebih satwa liar dilindungi, adalah
terganggunya fungsi hutan kepunahan
satwa, hingga penularan penyakit dari dan ke satwa seperti pada kasus Corona,
Ebola, SARS, dll.
Peristiwa wabah
penyakit akibat satwa liar harus menjadi pembelajaran yang berharga dalam
memanfaatkan alam. Konsumsi alam yang ‘serakah’ akan berdampak merugikan bagi
manusia sendiri. Pemanfaatan alam yang bijak sejalan dengan prinsip Hamemayu Hayuning Bawana atau prinsip harmoni
dengan alam –bukan mengendalikannya- yang merupakan tujuan utama Taois (Tucker,
1994).
Yogyakarta, 28
Januari 2020
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim &
Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa, alumnus Beijing Forestry University,
Tiongkok (China Scholarship Council)