Rabu, 29 Januari 2020

CORONA DAN PERAN SATWA LIAR


Sedikitnya 106 orang dilaporkan tewas dan lebih dari 4 ribu kasus virus corona sedang ditangani di berbagai wilayah Tiongkok (Detik. 28/1). Hari Jumat (24/1) Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok Cabang Wuhan mengeluarkan Press Release tentang kondisi pelajar WNI sebanyak 93 orang di Wuhan, Tiongkok bagian Tengah. Semua dalam kondisi sehat serta dalam pantauan kampus dan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia).


ANALISIS koran Kedaulatan Rakyat (KR) tanggal 29 Januari 2020

Mereka menjadi bagian dari sekitar 11 juta yang masuk karantina massal kota Wuhan. Semua akses transportasi ditutup, baik kereta, pesawat, dan bus dari Wuhan maupun menuju Wuhan untuk mengurangi risiko penyebaran wabah Corona. Virus dengan nama 2019 Novel Coronavirus atau 2019-nCoV ini diduga berasal dari pasar makanan yang “melakukan transaksi ilegal satwa liar” (BBC, 24/1). Peneliti mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra, mencatat bahwa tiga jenis virus corona yang bersifat mematikan terhadap manusia berasal dari jenis satwa yang sama sebagai perantara alaminya, yakni kelelawar (Tempo, 25/1).

Material genetik dari 2019-nCoV ini merupakan rekombinasi dari material genetik virus yang berasal dari kelelawar dan ular. Sugiyono menjelaskan hipotesis tersebut berasal dari kode-kode protein atau material genetik 2019-nCoV yang diambil dari sampel korban meninggal yang ternyata memiliki kesamaan dengan material genetik dari ular (Tempo, 25/1). Data tersebut diketahui setelah membandingkan sampel virus itu dengan lebih dari 200 jenis virus Corona dari berbagai satwa yang diketahui dijual di sebuah pasar di Wuhan--di mana sejumlah korban infeksi pertama diketahui pernah mendatanginya.

Menurut Taufiq P. Nugraha, peneliti satwa liar dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, para ilmuwan menduga kemunculan zoonosis (penyakit pada manusia yang ditularkan hewan) baru seperti kasus Corona dampak tingginya frekuensi interaksi antara satwa liar dengan manusia (Tempo, 25/1). Kasus wabah Ebola di Afrika Barat pada 2014, deforestasi untuk pertanian dapat berperan dalam ekspansi kelelawar di luar habitatnya dan ekspansi manusia ke dalam habitat kelelawar, sehingga keduanya dapat saling berinteraksi bebas dan berisiko tinggi dalam penyebaran penyakit baru.

Pada penyakit Ebola dapat dikaitkan dengan kebiasaan manusia, terutama di daerah Afrika yang memiliki kebiasaan mengonsumsi daging satwa liar. Daging satwa liar yang terkontaminasi akan menjadi media efektif penularan Ebola pada manusia (Jayanegara dalam Jurnal Continuing Mediacal Education, CDK-243/vol.43 no.8 th. 2016). Upaya perlindungan individu adalah cara efektif untuk mengurangi penularan manusia, antara lain dengan mengurangi kontak dengan kelelawar, monyet atau kera, dan konsumsi daging mentah (Jayanegara, 2016).

Sejatinya satwa liar mempunyai peranan sebagai penyeimbang ekosistem alam, manjadi salah satu bagian rantai makanan. Kehadiran satwa liar mempunyai fungsi dan peranan penting bagi ekosistem alami serta bagi kehidupan manusia. Di alam, setiap individu satwa liar ikut dalam siklus perputaran makanan di habitatnya (hutan), sehingga pohon-pohon di hutan tetap bisa tumbuh berkembang biak dan menjadikan hutan tetap ada.
Dengan begitu fungsi hutan sebagai pemasok oksigen dan air, juga pengontrol suhu udara dan pengendali musim akan tetap berlangsung. Maka manusia dan seluruh mahluk hidup di Bumi akan dapat merasakan manfaat ini. Agar dapat berperan sebagai penyeimbang ekosistemnya, satwa liar harus dapat hidup nyaman di habitat alaminya.
Contoh adalah keberadaan kelelawar di alam adalah sebagai penjaga keseimbangan populasi serangga dan membantu dalam penyerbukan bunga. Gangguan pada satwa nocturnal (aktivitas malam hari) ini akan berdampak besar pada dunia tumbuhan, dan secara tidak langsung juga akan mengancam kehidupan manusia.
Sebagian manusia menerjemahkan kesadaran menjaga satwa liar dari kepunahan dengan memeliharanya di rumah atau di luar habitatnya. Padahal dengan memindahkan satwa liar dari habitat aslinya, akan menyebabkan fungsi hutan terganggu. Resiko yang kita hadapi jika memelihara satwa liar terlebih satwa liar dilindungi, adalah terganggunya fungsi hutan  kepunahan satwa, hingga penularan penyakit dari dan ke satwa seperti pada kasus Corona, Ebola, SARS, dll.
Peristiwa wabah penyakit akibat satwa liar harus menjadi pembelajaran yang berharga dalam memanfaatkan alam. Konsumsi alam yang ‘serakah’ akan berdampak merugikan bagi manusia sendiri. Pemanfaatan alam yang bijak sejalan dengan prinsip Hamemayu Hayuning Bawana atau prinsip harmoni dengan alam –bukan mengendalikannya- yang merupakan tujuan utama Taois (Tucker, 1994).
Yogyakarta, 28 Januari 2020
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa, alumnus Beijing Forestry University, Tiongkok (China Scholarship Council)