Hampir satu bulan ini beberapa Kawasan gunung dilanda kebakaran
hutan. Gunung Lawu, Sumbing, Sindoro, bahkan Merapi tidak luput dari kebakaran
pada tahun ini. Untuk penanggulangan kebakaran lahan di Gunung Sumbing dan
Sindoro sendiri Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengerahkan
helikopter yang dapat menjatuhkan bom air.
Medan yang sulit di lereng yang curam merupakan alasan utama
pemadaman menggunakan bom air. Apalagi bulan Agustus dan September merupakan puncak musim kemarau. Cuaca
kering dan panas ekstrem membuat api mudah tersulut dan cepat menyebar. Walaupun
sejatinya penyebab utama kebakaran hutan bukan alam, tapi manusia.
Berita KR (18/9) menyebutkan bahwa Polres
Temanggung sudah menangkap salah satu tersangka perambah dan pembakar hutan
lindung Gunung Sindoro. Tersangka tersebut adalah seorang petani, warga desa
yang tinggal di lereng Gunung Sindoro. Di Pulau Jawa warga desa memang terlibat
dalam pengelolaan Kawasan hutan, baik hutan produksi, lindung maupun hutan
negara (Kawasan konservasi).
Warga desa atau petani yang terlibat dalam
pengelolaan hutan disebut ‘Pesanggem’.
Pesanggem berasal dari kata dasar bahasa Jawa yakni ‘sanggem;,
artinya andil garapan atau bagian lahan garapan (Wirawan, 2008) atau beban yang
menjadi tanggungjawab seseorang (Simon dkk, 1999). Pesanggem baru muncul pada awal tahun 1970, sehubungan dengan
proyek pembangunan Perum Perhutani.
Pesanggem berarti penggarap andil lahan hutan. Kata ini
biasa digunakan oleh orang-orang Perhutani untuk menyebut masyarakat yang
membuka lahan pertanian di hutan, atau orang yang bersedia atau sanggup memikul
tanggungjawab menggarap lahan melalui kontrak dengan Perhutani. Pesanggem tak selalu harus tinggal di
dalam kawasan hutan.
Mereka memanfaatkan lahan di bawah tegakan pohon
utama (seperti Pinus, Jati, dll) untuk lahan pertanian seperti menanam kopi,
Lombok, jagung, dll. Saat ini istilah pesanggem
tidak hanya untuk petani yang terlibat kontrak dengan Perhutani. Siapapun yang
memanfaatkan hutan, dan secara kultur berinteraksi dengan hutan, maka berhak
disebut sebagai pesanggem.
Di Kawasan hutan negara seperti Taman Nasional,
petani yang masih memanfaatkan Kawasan hutan yang berada di dalam Zona
Tradisional juga disebut pesanggem. Umumnya
pesanggem yang berinteraksi di dalam
Zona Tradisional di Taman Nasional memanfaatkan lahan di bawah tegakan/pohon
berupa rumput untuk pakan ternak. Saat musim hujan rumput melimpah jumlahnya,
sedangkan saat musim kemarau menipis.
Saat musim kemarau inilah pesanggem mengolah lahan sanggeman-nya
dengan menyingkirkan tumbuhan gulma yang mengganggu pertumbuhan rumput. Salah
satu cara andalan yang digunakan pesanggem
untuk membasmi tumbuhan gulma adalah dengan cara membakar. Kegiatan inilah yang
menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan.
Apalagi jika lokasi sanggeman berada di kelerengan yang curam akan susah diatasi jika
terjadi kebakaran. Hal ini yang terjadi di Gunung Sumbing dan Sindoro. Salah
satu cara efektif untuk menangani kebakaran hutan adalah dengan penanganan represif dan preventif.
Penanganan kebakaran hutan yang represif adalah upaya yang
dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran
hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses
peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara
sengaja), dan lain-lain.
Penanganan preventif adalah setiap
usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau
mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan (Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, 2002). Penanganan ini dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi.
Penanganan preventif adalah yang paling baik,
terutama dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat. Kunci utama yang
dilakukan pengelola Kawasan hutan produksi, lindung atau negara adalah dengan
melakukan pendataan masyarakat yang terlibat atau menjadi pesanggem. Melalui pendataan ini akan diketahui Kawasan hutan yang
terbakar merupakan sanggeman seseorang.
Tanggungjawab pesanggem adalah menjaga sanggeman-nya
agar aman dan memenuhi tujuan pengelola atau pemilik hutan. Oleh karena itu,
hubungan antara pesanggem dan pemilih hutan harus senantiasa dijalankan dengan
baik. Tiap periode tertentu perlu ditinjau ulang kesepakatan kontrak atau
kerjasamanya, karena tidak jarang pesanggem
menjual sanggeman-nya ke orang lain
tanpa memberikan laporan. Wallaahu’alam.
Patangpuluhan, 20 September 2018, pukul 07.00 WIB