Jumat, 26 Juni 2015

Pelajaran dari SEMUT, LABA-LABA dan LEBAH



3 (tiga) binatang serangga yang menjadi nama Surat dalam Al-Qur’an, yakni An-Naml (semut), Al-Ankabut (laba-laba), dan An-Nahl (lebah).. Ketiga serangga kecil ini memberikan banyak pelajaran bagi manusia.

1.        SEMUT (An-Naml)
Semut terkenal dengan semangat gotong-royong dan kerja kerasnya. Namun semut juga memiliki kebiasaan rakus akan makanan. Semut memakan segalanya, mulai dari biji-bijian, bangkai serangga hingga sisa-sisa sampah.
Semut menghimpun makanan sedikit demi sedikit tanpa berhenti. Serangga kecil ini dapat menghimpun makanan untuk bertahun-tahun. Padahal usianya tidak lebih dari setahun. Ketamakannya sedemikian besar sehingga ia berusaha dan seringkali berhasil memikul sesuatu yang lebih besar dari tubuhnya. 

Foto macro semut atas seizin Teguh Santosa (macro photographer)

Di zaman ini jelas banyak orang yang berbudaya seperti semut. Budaya semut adalah ‘budaya menumpuk-numpuk harta’. Rakus akan harta tanpa disesuaikan dengan kebutuhannya. Siang malam berkerja tanpa melihat baik benarnya cara harta didapat. Orang seperti ini biasanya bersifat kikir enggan berbagi, yang penting dirinya kaya berkecukupan. Memandang dan mengukur segala sesuatu dari segi materi, yang ada di otaknya hanya berfikir bagaimana cara mendapatkan harta sebanyak-banyaknya.
Orang berbudaya hidup seperti semut selalu panjang angan-angan, menganggap kehidupan dunia adalah kekal. Umurnya dihabiskan hanya untuk mengejar dan menumpuk-numpuk kekayaan. Sedikit sekali waktunya disisihkan untuk menyiapkan bekal waktu kembali menghadap sang pencipta.

2.        LABA-LABA (Al-Ankabut)
Laba-laba adalah binatang yang pintar membangun jaring perangkap. Meski terlihat rapuh namun demikian jaring ini bukanlah tempat yang aman (QS. Al-Ankabut [29]:41). Apapun yang berlindung di sana akan binasa. Bahkan jantannya disergapnya untuk dihabisi oleh betinanya. Telur-telurnya yang menetas saling berdesakan hingga dapat saling memusnahkan. Inilah gambaran yang mengerikan dari kehidupan sejenis binatang.
Orang berbudaya hidup seperti kebiasaan laba-laba adalah orang yang cerdik namun cenderung licik. Pintar merencanakan dan mengatur perangkap. Satu-persatu, helai demi helai jaring perangkap dibentangkan. Walau terlihat indah tapi tujuan akhirnya adalah memangsa dan membunuh.
Orang berbudaya laba-laba sangat merugikan orang lain dan tidak mensyukuri nikmat yang telah didapatkannya, ia tidak lagi berpikir tentang sekitarnya dan mereka tidak lagi membutuhkan berpikir apa, siapa, kapan, dan di mana. Apa yang ia pikirkan hanyalah untuk kepentingan dan kesenangan pribadi.
Orang hidup meniru gaya laba-laba adalah orang yang tidak tahu berterimakasih dan berhati dingin. Bukan hanya musuh yang dihancurkannya tetapi juga teman bahkan orang-orang paling dekat dengannya juga dikhianatinya. Itu terlihat dari kebiasaan laba-laba yang membunuh dan memakan sendiri pasangannya, bahkan tak jarang anak-anak laba-laba yang baru menetas memakan induknya.

3.        LEBAH (An-Nahl)
Lebah terkenal dengan serangga yang sangat disiplin, setia dan rela berkorban. Dalam tugas hidupnya pembagian peran lebah ada lebah pekerja, lebah ratu dan lebah pejantan. Semua bekerja dengan teratur tanpa pernah saling berkelahi atau mengeluh.
Atas perintah Allah SWT ia memilih gunung dan pohon-pohon sebagai tempat tinggal (An-Nahl [16] : 68). Sarangnya dibuat berbentuk segi enam agar efisen dalam penggunaan ruang. Sumber makanannya dipilih dari yang baik-baik saja yaitu nektar (sari bunga) dari bunga yang terbaik dan menghasilkan yang baik pula berupa madu. Sarang lebah juga terkenal sangat steril sehingga tidak ada bakteri/kuman yang masuk sehingga tidak ada pembusukan di sarang lebah.
Lebah tidak akan menggangu kecuali ada yang menggangunya. Sering kali lebah mengorbankan hidupnya hanya demi mempertahankan sarang dan koloninya karena lebah akan mati begitu satu serangan sengatan di sarangkan ke penggangunya. Hebatnya lagi, sengatan lebah ini pun bermanfaat untuk manusia untuk dijadikan obat.
Sikap kita dapat diibaratkan dengan berbagai jenis binatang ini. Ada yang berbudaya 'semut'. Sering menghimpun dan menumpuk harta, menumpuk ilmu yang tidak dimanfaatkan. Budaya 'semut' adalah budaya 'aji mumpung'. Pemborosan, foya-foya adalah implementasinya. Entah berapa banyak juga tipe 'laba-laba' yang ada di sekeliling kita. Yang hanya berpikir: "Siapa yang dapat dijadikan mangsa."
Rasulullah Saw mengibaratkan seorang mukmin sebagai 'lebah'. Sesuatu yang tidak merusak dan tidak menyakitkan : "Tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang bermanfaat dan jika menimpa sesuatu tidak merusak dan tidak pula memecahkannya." Semoga kita menjadi ibarat lebah. Insya Allah.

#diolah dari berbagai sumber, untuk buletin KUBAH MERAPI Edisi 4 Bulan Juni 2015

JIMAT PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN



“Kita sandarkan perjuangan kita sekarang ini atas dasar kesucian, kita yakin, bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak akan melalaikan hamba-Nya yang memperjuangkan sesuatu yang adil berasaskan kesucian bathin. Jangan cemas, jangan putus asa, meski kita sekalian menghadapi macam-macam kesukaran dan menderita segala kekurangan, karena itu kita insya Allah akan menang, jika perjuangan kita sungguh berdasarkan kesucian, membela kebenaran dan keadilan.
Ingatlah pada firman Tuhan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 138 yang berbunyi: “Walaa tahinu walaa tahzanuu, Wa antumul a’launa inkuntum mu’minin”, yang artinya “Janganlah kamu merasa rendah, jangan kamu bersusah hati sedang kamu sesungguhnya lebih baik jika kamu mukmin.”

Dengan penuh keyakinan sang Jenderal menyiapkan pasukannya. Kutipan ayat-ayat suci itu bukanlah pemanis bibir untuk mendongkrak popularitas. Kalimat agung itu hanya akan mampu dilahirkan oleh orang yang meyakininya. Pesan Rabbaniyah itu mengiringi seruan mobilisasi dalam menghadapi kekuatan Belanda, pada agresi kedua.

Dua jam sebelum pendaratan (Belanda, red), Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman yang masih berumur 30 tahun, membangunkanku. Setelah menyampaikan informasi yang diterimanya terlebih dahulu, dia mendesak, “Saya minta dengan sangat, agar Bung Karno turut menyingkir. Rencana saya hendak meninggalkan kota dan masuk hutan. Ikutlah Bung Karno dengan saya.”
Sambil mengenakan pakaianku cepat-cepat aku berkata:
“Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan pertempuran dengan anak buahmu. Dan tempatmu bukanlah pelarian bagi saya. Saya harus tinggal di sini, dan mungkin bisa berunding untuk kita dan memimpin rakyat kita semua. Kemungkinan Belanda mempertaruhkan kepala Bung Karno. Jika Bung Karno tetap tinggal di sini, Belanda mungkin menembak saya. Dalam kedua hal ini saya menghadapi kematian, tapi jangan kuatir. Saya tidak takut. Anak-anak kita menguburkan tentara Belanda yang mati. Kita perang dengan cara yang beradab, akan tetapi …”

Soedirman mengepalkan tinjunya: “…Kami akan peringatkan kepada Belanda, kalau Belanda menyakiti Sukarno, bagi mereka tak ada ampun lagi. Belanda akan mengalami pembunuhan besar-besaran.” Soedirman melangkah ke luar dan dengan cemas melihat udara. Ia masih belum melihat tanda-tanda, “Apakah ada instruksi terakhir sebelum saya berangkat?” tanyanya.
“Ya, jangan adakan pertempuran di jalanan dalam kota. Kita tidak mungkin menang. Akan tetapi pindahkanlah tentaramu ke luar kota, Dirman, dan berjuanglah sampai mati. Saya perintahkan kepadamu untuk menyebarkan tentara ke desa-desa. Isilah seluruh lurah dan bukit. Tempatkan anak buahmu di setiap semak belukar. Ini adalah perang gerilya semesta”.

“Sekali pun kita harus kembali pada cara amputasi tanpa obat bius dan mempergunakan daun pisang sebagai perban, namun jangan biarkan dunia berkata bahwa kemerdekaan kita dihadiahkan dari dalam tas seorang diplomat. Perlihatkan kepada dunia bahwa kita membeli kemerdekaan itu dengan mahal, dengan darah, keringat dan tekad yang tak kunjung padam. Dan jangan ke luar dari lurah dan bukit hingga Presidenmu memerintahkannya. Ingatlah, sekali pun para pemimpin tertangkap, orang yang di bawahnya harus menggantikannya, baik ia militer maupun sipil. Dan Indonesia tidak akan menyerah!”
Itulah dialog yang terekam saat detik-detik agresi militer Belanda tanggal 19 Desember 1948, Sukarno menuturkan kepada Cindy Adams dalam biografinya.

Perlu diketahui bahwa pada saat memimpin perang gerilya paru-paru sang Jenderal hanya berfungsi sebelah atau hanya satu paru-paru yang bisa dijadikan tumpuan dalam setiap tarikan nafas sang Jenderal. Dan sebenarnya Presiden Sukarno pada waktu itu menyarankan agar Jenderal Soedirman menjalani perawatan saja karena penyakit Jenderal Soedirman pada waktu itu tergolong parah.
“Yang sakit itu Soedirman…panglima besar tidak pernah sakit….” Itu jawaban sang Jenderal. Tidak terbayangkan begitu besarnya semangat perjuangan sang Jenderal dalam melawan musuh dan penyakit yang dideritanya.

Kaji Soedirman, seorang Jenderal Besar dengan pakaian Kyai tetapi tetap dihormati oleh 
pasukan TNI  dan dicintai rakyat Indonesia.

Dengan berbekal materi seadanya Sang Jenderal memimpin pasukannya berperang melawan tentara sekutu yang diboncengi tentara Belanda. Dengan ditandu Jenderal Soedirman keluar masuk hutan, naik dan turun gunung memimpin pasukan, meracik strategi perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan lamanya dengan rute Yogyakarta sampai Malang. Kisah menarik terjadi pada waktu Jenderal Soedirman memimpin peperangan dan terjadi pengkhianatan dari salah satu anggota pasukannya.

Tentara Belanda menggunakan berbagai cara untuk menjebak dan menangkapnya. Jenderal yang ahli strategi ini adalah target operasi yang paling diburu waktu itu. Setelah Belanda mendapatkan informasi dari salah satu penghianat di internal pasukan Jendral Soedirman. Belanda kemudian mengepung keberadaan Jenderal Soedirman.
Menyadari kondisinya dalam keadaan terjepit, Sang Jenderal tidak kehilangan akal. Seluruh anak buahnya diperintahkan memakai sarung dan peci, lalu dibuatlah scenario seolah-olah dalam ruangan itu tengah mengadakan pengajian. Taktik ini digunakan untuk mengelabui Belanda yang akan menangkap dirinya.

Pada saat salah seorang pimpinan Belanda memasuki ruangan dan bertanya di manakah keberadaan Sang Jendral, maka informan Belanda yang turut hadir dalam ruangan itu –selama ini tidak diketahui keberadaan pengkhianat ini– turut serta pula mengikuti taktik Sang Jenderal, berdiri dan menunjuk ke arah Jenderal Soedirman (Pada waktu itu berpura pura menjadi seorang kyai yang memimpin pengajian). Namun komandan Belanda itu tidak mempercayai kalau yang memimpin pengajian itu adalah Jenderal Soedirman sendiri,

Karena dinilai memberikan informasi palsu, akhirnya si pengkhianat malah ditembak di tempat oleh komandan Belanda tersebut. Kemudian mereka pergi dengan meninggalkan persembunyian Sang Jenderal dan anak buahnya. Maka selamatlah Jenderal Soedirman dan pasukannya. Sebuah taktik brillian dan pengambilan keputusan yang tepat dari Sang Jenderal. Strategi perang gerilyanya terbukti efektif dalam memimpin pasukan melawan penjajah. Banyak kerugian yang diderita pasukan penjajah dalam taktik gerilya ini.

Pemerhati Komunisme, KH Muh Jazir ASP mengungkapkan bahwa diantara para pejuang dan pahlawan nasional yang belum pernah ditangkap oleh penjajah Belanda, Inggris dan juga PKI atau kelompok Komunis pada zaman revolusioner adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Bahkan beberapa kali para petinggi penjajah Belanda, Inggris dan juga PKI mengeluarkan keputusan dan mengerahkan pasukan untuk menangkap Jenderal Soedirman hingga terkepung, mereka tidak juga bisa menangkap Jenderal Soedirman.

Dengan fenomena tersebut, orang-orang yang memanggul Jenderal Soedirman, seperti Suparjo, Rustam, Joko Pranolo sampai kaget dan terheran-heran. Sebab, pada saat itu Jenderal Soedirman sedang dalam kondisi sakit. “Bahkan pada waktu Jenderal Soedirman dikepung oleh tentara Inggris di sekitar Jambu, disitu kan ada sebuah pegunungan dan Jenderal Soedirman beserta pasukannya ada ditengah-tengah, tapi nyatanya Jenderal Soedirman bisa lolos dari pengepungan,” ungkap KH Jazir.

“Bahkan sampai herannya, Rustam, Suparjo dan yang lainnya yang memanggul Jenderal Soedirman ini bertanya. Sebenarnya jimat apa yang dipakai Mas Kyai Soedirman ini sehingga selalu lolos dan tidak bisa ditangkap oleh Belanda dan PKI. Lalu dengan senyum kecil, Jenderal Soedirman menjawab, iya, saya memang pakai jimat,” ujarnya.

“Dan jimat saya adalah, saya berperang selalu dalam keadaan wudhu. Jadi yang pertama Jenderal Soedirman itu selalu bersuci sebelum memulai peperangan. Makanya, kalau kita menyusuri jejak perjuangan dan pemberhentian pasukan Jenderal Soedirman, disitu kita akan mendapati adanya sebuah padasan, yang fungsinya untuk berwudhu Jenderal Soedirman,” jelas KH Jazir.

“Kemudian yang kedua, jimat Jenderal Soedirman adalah sholat diawal waktu. Jadi dalam kondisi apapun, meskipun sedang pecah perang, Jenderal Soedirman tidak pernah meninggalkan sholat wajib diawal waktu,” imbuhnya.

“Dan yang ketiga, Jenderal Soedirman berkata bahwa aku mencintai rakyatku sepenuh hati. Bahkan jika Jenderal Soedirman membawa perbekalan makanan disaat perang, lalu singgah disuatu tempat, maka para pasukannya itu disuruh memberikan makanan itu kepada warga terlebih dahulu,” ucapnya.

Sebagai seorang Ustadz yang terpanggil untuk berjuang membebaskan dan mempertahankan kemerdekaan negerinya, jenderal Soedirman meyakini jika perjuangan ini merupakan jihad fi sabilillah, melawan kaum kafir. Sebab itu, dalam situasi yang paling genting sekalipun, Soedirman tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Selain ibadah wajib, seperti sholat lima waktu, Soedirman juga sering menunaikan Qiyamul-lail dan puasa sunnah.
Jenderal Soedirman selalu menjaga ibadah-ibadahnya. Bahkan dalam keadaan yang sangat berbahaya bagi jiwanya. Dalam gerilya di selatan Yogya dalam perang kemerdekaan, Soedirman yang dalam kondisi sakit selalu menjaga sholatnya juga sholat malamnya. Bahkan tak jarang dia juga berpuasa Senin-Kamis. Di setiap kampung yang disinggahinya, dia selalu mendirikan pengajian dan memberikan ceramah keagamaan kepada pasukannya.

Kabar keshalihan Soedirman ini sampai ke seluruh penjuru Nusantara. Sebab itu, para pejuang Aceh yang juga meyakini jika perang kemerdekaan merupakan jihad Fisabilillah, begitu mendengar panglimanya yang shalih ini sakit, mereka segera mengirim bantuan berupa 40 botol obat suntik streptomisin guna mengobati penyakit paru-paru beliau.

Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya, 38 tahun, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dicintai rakyat menghadap Sang Khalik tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad. Bangsa ini mencatat satu lagi pejuang umat, yang lahir dari umat dan selalu berjalan seiring untuk kepentingan umat.

#sumber cerita dari www.dakwatuna.com dan www.panjimas.com, sumber gambar dari www.mediaprabowo.com
#diolah untuk buletin KUBAH MERAPI Edisi 4 Bulan Juni 2015