Dampak
perubahan iklim semakin lama semakin dapat dirasakan. Selain temperatur udara
yang semakin meningkat (sumuk) di
daerah tropis, kawasan pantai juga menjadi daerah yang terdampak perubahan
iklim. Sejak Juni 2017 sering terjadi penyimpangan gelombang laut, sehingga
nelayan takut untuk mencari ikan (KR, 16/9/2017).
Mau-tidak mau seluruh
penghuni bumi harus siap menghadapi dampak dari perubahan iklim. Tanggung jawab negara menjamin keselamatan rakyat dari perubahan
iklim tanpa intervensi pemerintah sebagai pemegang mandat negara, sangat tidak
mungkin untuk menyiapkan dan mendorong adaptasi warga. Dan menjadi kewajiban
pemerintah untuk melindungi dan menyelamatkan warga negaranya dari berbagai
ancaman.
Pada
tanggal 7-9 September 2017 Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim
(Ditjen PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku institusi
pemerintah yang menangani perubahan iklim menyelenggarakan rapat koordinasi di
Yogyakarta. Salah satu arah kebijakan
yang dihasilkan adalah dengan telah diratifikasinya Paris Agreement 2015, dan telah disampaikannya komitmen Indonesia
yang tertuang dalam Nationally Determined
Contributions (NDC), diperlukan upaya bersama dalam bentuk program dan
kegiatan nyata, dengan mengarahkan modalitas yang dimiliki agar Indonesia
segera mendapatkan manfaat dalam pengendalian perubahan iklim.
Opini koran KR tanggal 22 September 2017
Program Kampung Iklim (Proklim)
Salah satu
upaya negara untuk menyiapkan masyarakat dalam adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim dengan membentuk Proklim atau
Program Kampung Iklim. Proklim
adalah program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementrian Lingkungan
Hidup sejak tahun 2012 dalam rangka mendorong masyarakat untuk melakukan
peningkatan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan
emisi gas rumah kaca serta memberikan penghargaan terhadap upaya-upaya adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilaksanakan di tingkat lokal sesuai
dengan kondisi wilayah.
Proklim telah bertransformasi dari memberikan apresiasi
terhadap wilayah administratif paling
rendah setingkat RW/dusun dan paling tinggi setingkat
kelurahan/desa, menjadi mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya Kampung Iklim
melalui pengayaan inovasi program adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim yang
dilaksanakan secara kolaborasi antara pemerintah (Party) dengan “Non
Party Stakeholder”. Selain itu kriteria lokasi Proklim juga diperluas
mencakup wilayah yang masyarakatnya telah melakukan upaya adaptasi dan mitigasi
secara berkesinambungan, seperti komunitas pondok pesantren, perguruan tinggi,
dan lain-lain.
Tahun 2018 Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim Ditjen PPI
KLHK berencana melaksanakan pengembangan program kampung iklim pada 100 lokasi
(hasil rakornis Ditjen PPI KLHK). Pada tahun 2012 Badan Lingkungan Hidup (BLH)
kota Yogyakarta memilih tiga kampung yakni kampung Gambiran, Pandeyan, dan
Umbulharjo sebagai kampung iklim. 3 kampung ini dipilih karena sukses sebagai
kampung hijau.
Kegiatan dari kampung hijau fokus pada pengolahan sanitasi
air, pengelolaan sampah dan pemeliharaan sungai. Kegiatan kampung hijau
memperoleh respon positif dari masyarakat. Pada tahun 2015 BLH kota Yogyakarta
memberikan penghargaan 6 kelurahan yang telah menerapkan kampung hijau, yakni
kampung Rejowinangun, Sorosutan, Pringgokusuman, Suryatmajan, Wirogunan, dan
Wirobrajan.
Program M3K (Munggah Mundur Madep Kali)
Hampir semua kawasan kampung hijau di Yogyakarta tersebut
berada pada bantaran sungai. Menurut Laurens (2012) upaya yang dilakukan
masyarakat pada titik sentral pengelolaan lingkungan perkotaan utamanya berawal
dari bantaran sungai. Padahal bantaran sungai adalah wilayah paling rentan
terdampak dari perubahan iklim.
Sejatinya Pemerintah Kota Yogyakarta
mempunyai program M3K (Munggah Mundur
Madep Kali) dalam pengelolaan sungai yang digagas oleh Walikota Hery
Zudianto. Program ini merupakan bentuk komitmen daerah dalam rangka menjaga hak
sempadan sungai. Program M3K berisi munggah
(naik), mundur (mundur) dan madep kali (menghadap ke sungai)
didasari atas semakin buruknya kualitas air sungai, paradigma masyarakat
apabila masih menganggap sungai sebagai “halaman belakang rumah” membuat mereka
menutup mata dengan realita kondisi sungai, terbukti dengan maraknya praktek
buang sampah sembarangan.
Dengan program M3K masyarakat
diminta mengubah paradigmanya untuk menjadikan sungai sebagai unit penting
“halaman depan rumah” sehingga selalu kebersihan dan keasriannya. Selain itu,
prinsip munggah dan mundur mengisyaratkan adanya langkah
preventif dari pemerintah untuk menjawab permasalahan banjir longsor di daerah
sempadan sungai. Program M3K ini adalah wujud nyata dari Proklim untuk mitigasi
perubahan iklim berbasis masyarakat.
Patangpuluhan, 16 September 2017