Sabtu, 09 Desember 2017

TAHUN BARU HIJRIYAH DAN JIHAD BIL-ILMI

Ummat Islam kembali memperingati pergantian tahun baru Hijriyah, yakni 1438 H berganti 1439 H. Seorang ulama besar Imam Hasan al-Basri mengingatkan, "Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, berlalu pulalah sebagian hidupmu."

dimuat di koran TRIBUN Jogja 22 Sept 2017

Dengan demikian harusnya seorang muslim menyiapkan dirinya menghadapi jatah waktunya yang semakin berkurang.
Masih ada PR besar bagi ummat Islam, yakni mengejar ketertinggalan dalam segalam bidang, terutama peradaban ilmu.

Era kemunduran Dinasti Turki Ustmani akhir abad 18, banyak bangsa muslim terjajah, dan mengalami keterpurukan. Kondisi saat ini mengingatkan pada tahun 1099-1187 M, dimana kondisi ummat Islam terpuruk dan kiblat pertama muslim yakni Masjidil Aqsha jatuh ke pasukan Salib.

Saat ini Masjidil Aqsha yang masuk Negara Palestina dijajah oleh Israel.
Kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah baik pada abad 10-11 maupun saat ini menyebabkan seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Paska jatuhnya Masjidil Aqsha di Yerussalem pada tahun 1099, ulama besar Al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar.

Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Hasilnya pada tahun 1187 Yerussalem dapat dibebaskan oleh Shalahuddin Al Ayubi.

Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu/Kitabul Ilmi (Husaini, 2017).

Strategi ini dicontoh oleh KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912 dan KH. Hasyim Asyari dengan mendirikan Nadhatul Ulama tahun 1926.
Lulusan dari Muhammadiyah maupun NU menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan NKRI, baik di bidang politik maupun terjun langsung di medan jihad/peperangan.

Langkah ulama Al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius. Ketika ummat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, Al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar.

Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah hati/aqal. Agama adalah penerang hati, sedangkan ilmu pengetahuan peradaban adalah penerang akal, begitu kata salah satu mujaddid abad 20 yakni Badiuzzaman Said Nursi dari Turki.


Selasa, 07 November 2017

7 TAHUN ERUPSI GUNUNG MERAPI

7 tahun sudah erupsi Merapi telah berlangsung, yakni 26 Oktober sampai 6 November 2010. Perubahan paling nyata adalah mulai tumbuhnya vegetasi tutupan lahan yang terdampak langsung erupsi dan munculnya spot wisata alam merapi. Selain itu perubahan yang menarik adalah perubahan masyarakat dari subsisten menuju masyarakat konsumsi.
Menurut catatan Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) kerusakan ekosistem di kawasan TNGM akibat erupsi tahun 2010, yakni rusak berat seluas ± 1242,16 hektar (20,21%);  rusak sedang seluas ± 1207,91 hektar  (19,66%); dan rusak ringan seluas ± 2543,94 hektar (41,40%). Tentu besarnya kerusakan ini membawa konsekuensi untuk melakukan kegiatan pemulihan ekosistem. Balai TNGM bersama mitra (pemda, masyarakat, Perguruan Tinggi, swasta, dan lain-lain) telah melakukan penanaman (restorasi) seluas 604.85 hektar, dari sesudah erupsi hingga saat ini (Statistik TNGM tahun 2016).
Opini KR tanggal 7 November 2017
Kegiatan restorasi selain untuk pemulihan ekosistem akibat erupsi tahun 2010, juga merupakan sub agenda pertama RPJMN Pemerintahan Presiden Jokowi. Agenda ini masuk dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2015 – 2019, seluas 100.000 hektar lahan degradasi seluruh kawasan konservasi di Indonesia.
Balai TNGM pada tahun 2017 ini telah menyusun Rencana Pemulihan Ekosistem (RPE), yakni kegiatan mengembalikan ekosistem, baik sumberdaya alam hayati maupun kondisi fisik lingkungannya sehingga secara bertahap terwujud keseimbangan dinamis dan kembalinya fungsi-fungsi ekosistem. Ada tipologi kawasan yang akan menjadi sasaran RPE dengan jumlah total luasan 3.488,85 ha.
Tujuan dari RPE adalah mengembalikan sepenuhnya integritas ekosistem, kembali kepada kondisi aslinya atau kepada kondisi masa depan tertentu sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan. Balai TNGM juga menyiapkan habitat references untuk mendukung pemulihan ekosistem, yakni lokasi-lokasi sebagai ekosistem referensi dengan asumsi jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati didalamnya belum berubah sejak 100 tahun yang lalu berdasarkan data sejarah erupsi. Habitat references adalah ekosistem tak terganggu yang berada di sekitar areal yang akan dipulihkan atau deskripsi ekologis berupa laporan survei, jurnal, foto udara atau citra satelit, suatu ekosistem yang memiliki kemiripan ekologis dengan ekosistem yang akan dipulihkan dan merupakan referensi sementara untuk mencapai tujuan pemulihan, dimana unsur-unsur ekosistem referensi dapat menjadi contoh (template) bagi kegiatan pemulihan (P.48/Menhut-II/2014, BAB I, pasal 1, nomor 20).
Vegetasi yang dipilih dari habitat references adalah jenis asli Merapi yang terbukti mampu bertahan terhadap erupsi Merapi, sumber pakan satwa liar, dan mendukung fungsi penyimpan air. Jenis vegetasi tersebut adalah Puspa (Schima walichii), Pasang (Lithocarpus sundaicus), Manisrejo (Vaccinium Varingiaufolium), Sarangan (Castanopsis argentea), Klewer (Engelhardtia spicata Lechen ex Blume). Wilodo Banyu (Ficus lepicarpa Blume.), Wilodo Jowo (Ficus fulva Elmer.), Dadap (Erythrina variegata), Krembi daun lebar (Homalanthus giganteus Zoll. & Moritzi), Krembi daun sempit (Homalanthus populneus Geiseler Pax.), Anggrung (Trema orientalis), Anggring (Trema cannabina Lour), Tesek (Dodonaea viscosa Jaeq).
            Perubahan lainnya adalah sesudah 7 tahun erupsi adalah jumlah lokasi wisata alam -di dalam maupun luar kawasan TNGM- semakin meningkat seiring dengan naiknya tren wisata alam secara global. Apalagi ditunjang dengan fenomena foto selfie dan dukungan media sosial menjadi media promosi ampuh untuk menarik wisatawan berkunjung ke Merapi. Ada 15 Desa penyangga kawasan TNGM (dari total 30 Desa) yang mempunyai lokasi wisata alam. Tercatat ada 860.543 pengunjung yang berwisata di dalam kawasan TNGM selama kurun waktu tahun 2012 sampai 2016 (Statistik TNGM tahun 2016).
           Tentu angka tersebut adalah potensi yang perlu digarap serius dengan melibatkan warga merapi melaui pemberdayaan masyarakat. Secara umum, pola kehidupan sosial pada daerah penyangga TNGM masih didominasi oleh ciri-ciri masyarakat tradisional. Ciri yang masih cukup kuat adalah pola proses produksi subsisten dimana sebagian besar produk yang dihasilkan dipergunakan untuk keperluan keluarga atau pasar skala kecil (TNGM, 2017). Meskipun demikian, ciri ini terus bergerak ke arah masyarakat madya dan modern.
            Masyarakat Merapi masih memiliki ketergantungan mata pencaharian pada sektor pertanian dan peternakan. Di bidang pertanian, pola budidaya yang dikembangkan pada dusun-dusun penyangga TNGM adalah pertanian lahan kering dengan dominasi kebun dan sayur. Survei yang dilaksanakan Balai TNGM (2017) mencatat ada 3.631 peternak sapi (8.416 ekor sapi), 956 peternak kambing (6.535 ekor kambing), 54 peternak kelinci (540 ekor kelinci), dan 1.247 pemilik unggas.
Agar kelestarian kawasan Merapi tetap terjaga dan masyarakat sejahtera, Balai TNGM pada tahun 2017 menyusun master plan pemberdayaan masyarakat daerah penyangga selama periode 10 tahun. Ditargetkan, kegiatan pemberdayaan masyarakat daerah penyangga TNGM dapat meningkatkan pendapatan keluarga sasaran sebesar 20% dalam 10 tahun ke depan. Tentu untuk mewujudkan visi “Merapi lestari, Masyarakat sejahtera’ TNGM menggandeng mitra kerja (pemda, PT, LSM dll), guyub rukun mbangun Merapi.
Yogyakarta, 6 November 2017

Selasa, 17 Oktober 2017

POTENSI HUTAN TANAMAN PANGAN

Di era perubahan iklim ini, peran pertanian terlebih sektor pangan sangat strategis. Sektor pertanian sebagai penyedia pangan dan bahan baku pengolahan ini perlu mendapatkan perhatian. Walaupun sektor pertanian sebagai penyangga pangan dunia, namun hampir semua usaha tani ini rentan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, perubahan iklim merupakan salah satu ancaman serius terhadap ketahanan pangan yang harus disikapi secara bijak.
Capaian kedaulatan pangan sendiri masuk dalam program Nawa Cita Presiden Jokowi, yakni mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Capaian ini dituangkan dalam kebijakan program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)  untuk mendukung kedaulatan pangan 2015-2019, yakni penyediaan lahan 1 juta hektar untuk mendukung pembangunan sawah baru melalui pelepasan kawasan hutan dan pinjam pakai; pemanfaatan areal hutan di bawah tegakan hutan seluas 250.000 hektar; kemitraan dunia usaha dengan dana CSR produktif seluas 1,6 juta hektar; dan terbangunnya urban farming melalui pemanfaatan kompos di 100 kota (KLHK, 2014).
Opini koran KR/Kedaulatan Rakyat tanggal 17 Oktober 2017
Kebijakan pengelolaan hutan sebagai penyedia pangan tertuang dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan dan PP 6/2007 jo PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Anonim, 2009). Kontribusi kehutanan dalam mendukung penyediaan pangan dapat bersifat tidak langsung maupun yang mendukung sistem pertanian pangan.
Kontribusi ini terkait dengan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengatur iklim mikro, penyerap karbon dan sebagai sumber plasma nutfah. Peran hutan sebagai penyedia pangan telah berlangsung sejak awal peradaban dan terus berlanjut hingga saat ini (Puspitojati, 2014)).
Hutan alam menyediakan aneka jenis pangan nabati, yang berupa buah-buahan, biji-bijian, umbi-umbian, pati-patian dan sayuran sebagai sumber karbohidrat, protein dan vitamin nabati, serta menyediakan beragam jenis pangan hewani yang berupa satwa liar. Saat ini, sebagian masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, masih menggantungkan sebagian kebutuhan pangannya dari hutan.
Selain hutan alam, hutan tanaman juga telah dirancang-bangun agar memiliki potensi dalam menyediakan pangan, baik secara periodis maupun secara berkelanjutan. Pada awal pembangunan hutan tanaman jati di Jawa tahun 1850 sampai awal tahun 1990-an, tanaman pangan hanya dibudidayakan pada saat permudaan hutan, yang dilaksanakan dengan sistem tumpangsari (Simon, 2006).
            Kontribusi hutan sebagai penyangga pangan masyarakat desa sekitar hutan dalam kaitannya dengan ketersediaan pangan nasional juga terlihat dalam tingkat produksi pangan yang dihasilkan dari kawasan hutan. Berdasarkan data tahun 2008, luas kawasan hutan yang telah memeberikan kontribusi pada pangan nasional mencapai lebih dari 312.000 hektar dengan tingkat produksi lebih dari 932.000 ton setara pangan dari jenis-jenis padi, jagung, kedelai, dan lain-lain (Kemenhut, 2010). Namun, karena kendala sistem pencatatan dan pelaporan, kontribusi pangan dari kehutanan selama ini belum tercatat dengan baik dalam statistik nasional.
Hutan sebagai penyangga pangan bagi masyarakat desa sekitarnya memiliki setidaknya 77 jenis tanaman sumber pangan penghasil karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 75 jenis tanaman penghasil minyak dan lemak, 389 jenis biji-bijian dan buah-buahan, 228 jenis sayuran, 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan, 40 jenis penghasil bahan minuman, serta tumbuhan obat sebanyak 1.260 jenis (Kemenhut, 2010). Program tumpang sari yang dikerjakan Perum Perhutani bersama masyarakat desa sekitar hutan melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) selama tahun 2001-2009 produksi bahan pangan mencapai 13,5 juta ton (padi, jagung, kacang-kacangan, dan jenis pangan lainnya), atau setara Rp 9,1 triliun.
Sistem agroforestry yakni pengelolaan tanaman pertanian bersinergi dengan kawasan hutan menghasilkan kekayaan jenis tumbuhan yang sangat tinggi. Di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan hutan desa sekitarnya memiliki potensi tanaman pangan sebanyak 40 jenis dan tanaman obat sebanyak 47 jenis. Selain itu ada potensi lain seperti tumbuhan hias (11 jenis), aromatik (7 jenis), pakan ternak (7 jenis), pestisida nabati (4 jenis), pewarna dan tanin (2 jenis), kayu bakar (10 jenis), upacara adat (20 jenis), bahan bangunan (13 jenis) dan bahan tali, anyaman dan kerajinan (6 jenis) (Anggana, 2011).
Petani di sekitar TNGM memiliki tingkat interaksi dengan gunung merapi yang cukup erat. Prinsip mereka adalah ‘Ora Ubet Ora Ngliwet’, yakni rezeki walaupun sudah diatur oleh Gusti Allah tetap harus dijemput dengan bekerja keras.


Yogyakarta, 14 Oktober 2017

Jumat, 22 September 2017

M3K SEBAGAI PROGRAM KAMPUNG IKLIM

Dampak perubahan iklim semakin lama semakin dapat dirasakan. Selain temperatur udara yang semakin meningkat (sumuk) di daerah tropis, kawasan pantai juga menjadi daerah yang terdampak perubahan iklim. Sejak Juni 2017 sering terjadi penyimpangan gelombang laut, sehingga nelayan takut untuk mencari ikan (KR, 16/9/2017).
Mau-tidak mau seluruh penghuni bumi harus siap menghadapi dampak dari perubahan iklim. Tanggung jawab negara menjamin keselamatan rakyat dari perubahan iklim tanpa intervensi pemerintah sebagai pemegang mandat negara, sangat tidak mungkin untuk menyiapkan dan mendorong adaptasi warga. Dan menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi dan menyelamatkan warga negaranya dari berbagai ancaman.
Pada tanggal 7-9 September 2017 Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku institusi pemerintah yang menangani perubahan iklim menyelenggarakan rapat koordinasi di Yogyakarta.  Salah satu arah kebijakan yang dihasilkan adalah dengan telah diratifikasinya Paris Agreement 2015, dan telah disampaikannya komitmen Indonesia yang tertuang dalam Nationally Determined Contributions (NDC), diperlukan upaya bersama dalam bentuk program dan kegiatan nyata, dengan mengarahkan modalitas yang dimiliki agar Indonesia segera mendapatkan manfaat dalam pengendalian perubahan iklim.
Opini koran KR tanggal 22 September 2017

Program Kampung Iklim (Proklim)
            Salah satu upaya negara untuk menyiapkan masyarakat dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan membentuk Proklim atau Program Kampung Iklim. Proklim adalah program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementrian Lingkungan Hidup sejak tahun 2012 dalam rangka mendorong masyarakat untuk melakukan peningkatan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca serta memberikan penghargaan terhadap upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilaksanakan di tingkat lokal sesuai dengan kondisi wilayah.
Proklim telah bertransformasi dari memberikan apresiasi terhadap wilayah administratif paling rendah setingkat RW/dusun dan paling tinggi setingkat kelurahan/desa, menjadi mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya Kampung Iklim melalui pengayaan inovasi program adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim yang dilaksanakan secara kolaborasi antara pemerintah (Party) dengan “Non Party Stakeholder”. Selain itu kriteria lokasi Proklim juga diperluas mencakup wilayah yang masyarakatnya telah melakukan upaya adaptasi dan mitigasi secara berkesinambungan, seperti komunitas pondok pesantren, perguruan tinggi, dan lain-lain.
Tahun 2018 Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim Ditjen PPI KLHK berencana melaksanakan pengembangan program kampung iklim pada 100 lokasi (hasil rakornis Ditjen PPI KLHK). Pada tahun 2012 Badan Lingkungan Hidup (BLH) kota Yogyakarta memilih tiga kampung yakni kampung Gambiran, Pandeyan, dan Umbulharjo sebagai kampung iklim. 3 kampung ini dipilih karena sukses sebagai kampung hijau.
Kegiatan dari kampung hijau fokus pada pengolahan sanitasi air, pengelolaan sampah dan pemeliharaan sungai. Kegiatan kampung hijau memperoleh respon positif dari masyarakat. Pada tahun 2015 BLH kota Yogyakarta memberikan penghargaan 6 kelurahan yang telah menerapkan kampung hijau, yakni kampung Rejowinangun, Sorosutan, Pringgokusuman, Suryatmajan, Wirogunan, dan Wirobrajan.
Program M3K (Munggah Mundur Madep Kali)
Hampir semua kawasan kampung hijau di Yogyakarta tersebut berada pada bantaran sungai. Menurut Laurens (2012) upaya yang dilakukan masyarakat pada titik sentral pengelolaan lingkungan perkotaan utamanya berawal dari bantaran sungai. Padahal bantaran sungai adalah wilayah paling rentan terdampak dari perubahan iklim.
Sejatinya Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai program M3K (Munggah Mundur Madep Kali) dalam pengelolaan sungai yang digagas oleh Walikota Hery Zudianto. Program ini merupakan bentuk komitmen daerah dalam rangka menjaga hak sempadan sungai. Program M3K berisi munggah (naik), mundur (mundur) dan madep kali (menghadap ke sungai) didasari atas semakin buruknya kualitas air sungai, paradigma masyarakat apabila masih menganggap sungai sebagai “halaman belakang rumah” membuat mereka menutup mata dengan realita kondisi sungai, terbukti dengan maraknya praktek buang sampah sembarangan.
Dengan program M3K masyarakat diminta mengubah paradigmanya untuk menjadikan sungai sebagai unit penting “halaman depan rumah” sehingga selalu kebersihan dan keasriannya. Selain itu, prinsip munggah dan mundur mengisyaratkan adanya langkah preventif dari pemerintah untuk menjawab permasalahan banjir longsor di daerah sempadan sungai. Program M3K ini adalah wujud nyata dari Proklim untuk mitigasi perubahan iklim berbasis masyarakat.

Patangpuluhan, 16 September 2017

Jumat, 08 September 2017

BERGURU PADA MERAPI

7 tahun setelah erupsi tahun 2010, Gunung Merapi berbenah diri, dan menunjukkan perubahannya. Gunung berapi paling aktif ini ternyata masih menjadi destinasi favorit wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara. Spot wisata alam dan budaya yang dikelola masyarakat maupun Pemerintah mulai bermunculan di sekiling Gunung Merapi.
Gunung yang berada berada di wilayah Kabupaten Klaten dan Boyolali, Propinsi Jawa Tengah serta Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini menyimpan potensi alam yang luar biasa. Selain ekosistem volkano atau gunung berapi yang khas, juga menyimpan sumber air yang dimanfaatkan oleh masyarakat kedua propinsi. Alasan inilah yang mendasari Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X mengajukan usulan agar kawasan Gunung Merapi menjadi Taman Nasional.
Rubrik Pariwisata KR tanggal 13 Agustus 2017

Taman Nasional sendiri adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Permenhut No. 56 Tahun 2006). Usulan dari penguasa Kraton Yogyakarta yang juga Gubernur DIY ini ditindaklanjuti oleh Kementerian Kehutanan dengan sebuah kajian yang mendalam. Pada tahun 2004 Menteri Kehutanan menunjuk kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi Seluas ± 6.410 ha, di Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten dan Sleman menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004.
Obyek wisata alam yang terkenal sebelum erupsi tahun 2010 Kaliurang dan Kalikuning di Sleman, Deles di Klaten dan Selo di Boyolali. Setelah erupsi tahun 2010 bermunculan banyak obyek wisata yang dikelola masyarakat atau Desa. Wisata Adventure Jeep Wisata Merapi masih menjadi favorit wisatawan selama mengunjungi Merapi.
Selain itu obyek wisata alam Nirmolo dan Muncar, Kaliurang, Sleman dan pendakian Gunung Merapi via jalur Selo, Boyolali yang dikelola oleh Balai TNGM masih menjadi primadona wisatawan. “Selama tahun 2016 jumlah wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata alam TNGM ada 234.780 orang, dengan perincian 233.306 wisatawan nusantara, dan 1.474 wisatawan mancanegara,” jelas Susilo Ari Wibowo,S.Hut,M.Sc., koordinator Bagian Evaluasi dan Laporan TNGM.
Tahun 2017 Balai TNGM juga membuka obyek wisata alam lain, seperti Kalikuning di Cangkringan, Jurang Jero di Srumbung Magelang, serta wisata pendakian via Sapuangin di Kemalang, Klaten. “Jalur pendakian Sapuangin atau jalur Deles (lama) kita buka secara resmi pada 12 Mei 2017 untuk mengakomodir salah satu fungsi Taman Nasional, yakni pemanfaatan wisata alam”, kata Iskandar, S.Hut, Kepala Seksi Pengelolaan TNGM wilayah Klaten – Boyolali.
“Untuk jalur Sapuangin kita buat eksklusif, kuota maksimal 20 orang per hari, beda dengan Selo yang dapat mencapai ratusan orang tiap harinya. Dan adanya 2 jalur pendakian di Gunung Merapi (Sapuangin dan Selo) ini sangat membantu kami dalam manajemen pendakian,” jelas Iskandar. Dalam pengelolaan obyek wisata alam TNGM juga melibatkan Pemerintah Desa, sehingga masyarakat turut merasakan manfaatnya secara ekonomi.
Selain potensi wisata alam berupa landscape atau bentang alam, dalam kawasan TNGM juga menyimpan potensi keanekaragaman hayati khas pegunungan tropis. Menurut Koordinator Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) TNGM –Putu Dhian Budami,S.Hut,MPA- ada 171 jenis burung dan 15 jenis mamalia yang hidup di dalam kawasan TNGM. “Sebelum erupsi tahun 2010 ada 159 jenis burung, survei kehati pada tahun 2011 tercatat ada 97 jenis burung, jadi ada peningkatan setelah erupsi 2010.”
Sama dengan Taman Nasional lain, TNGM juga memiliki satwa maskot atau flagship species, yakni Elang Jawa (Nisaetus bartelsi). Burung yang menjadi simbol NKRI ini termasuk satwa yang dilindungi oleh Negara, karena statusnya yang terancam punah. Elang Jawa di TNGM hanya hidup di hutan primer yang masih terjaga keasliannya.
“Catatan kami ada 6 ekor Elang Jawa (Elja) di TNGM. 2 pasang di wilayah Sleman, 1 ekor di Magelang, dan 1 ekor di Klaten,” kata Irwan Yuniatmoko, PEH TNGM yang bertanggungjawab data satwa burung. “Sebelum erupsi 2010 kami hanya menemukan 3 ekor Elja, sepasang di Sleman, 1 ekor di Klaten. Elja adalah satwa yang unik, dia hanya kawin satu kali untuk seumur hidup. Perannya sangat penting sebagai indikator kawasan hutan yang sehat,” jelas Irwan.
Selain Elja, di dalam kawasan TNGM juga masih ada satwa mamalia yang dilindungi, yakni Macan Tutul (Panthera pardus), Kucing Hutan (Felix bengalensis), Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), Landak (Hystrix brachyura), dan Kijang (Muntiacus muntjak). Dokumentasi Macan Tutul masih terbatas pada jejak kaki, feses (kotoran), dan cakaran di pohon. Masih belum diperoleh hasil berupa foto atau video dari pemasangan beberapa kamera trap. 4 spesies lain ada dokumentasinya.
Potensi lain Gunung Merapi adalah adanya tumbuhan khas ekosistem pegunungan tropis sebanyak 301 jenis tumbuhan. Diantara jumlah tersebut ada 62 jenis Anggrek. “Jumlah Anggrek yang ditemukan di lereng Selatan Gunung Merapi relatif menurun, dibandingkan sebelum erupsi 2010 sebanyak 67 jenis,” papar Widya Kridaningsing, SP, PEH TNGM yang bertanggungjawab pada konservasi Anggrek TNGM.
Maskot Anggrek Merapi adalah Anggrek pandan jenis Vanda tricolor, yang termasuk jenis endemik Merapi. “Untuk mendukung konservasi Anggrek sekaligus wisata pendidikan kami melakukan Program Adopsi Anggrek Merapi. Adopsi anggrek dilaksanakan di area seluas ±5 ha oleh 22 adopter selama kurun waktu tahun 2015 - 2016. Anggrek yang ditanam sebanyak 6 jenis, yakni Vanda tricolor, Pholidota ventricosa, Macropodanthus teysmanni, Eria hyacinthoides, Bulbophyllum flavesces, dan Dendrobium mutabile yang ditanam pada 12 pohon inang jenis Puspa (Schima wallichii). Hasil evaluasi pada akhir tahun 2016, 22 jenis anggrek tersebut tumbuh dengan baik,” jelas Widya.
Keanekaragaman hayati Merapi baik berupa tumbuhan maupun satwa dapat mudah ditemukan wisatawan saat berkunjung di obyek wisata alam Nirmolo, Kaliurang, Sleman maupun Sapuangin, Kemalang, Klaten. Kegiatan mengintip burung ‘birdwatching’ di Plawangan masih menjadi wisata minat khusus yang semakin menarik pengunjung. Wisata minat khusus lain adalah wisata sepeda gunung jenis enduro di Jalur Sapuangin, Kemalang, Klaten.
Bagi wisatawan yang ingin memperoleh informasi tentang wisata alam maupun potensi tumbuhan dan satwa liar, bahkan ingin melakukan penelitian dapat mengunjungi kantor Balai TNGM yang ada di Jalan Kaliurang Km. 22,6, Pakem, Sleman, DIY.  Keunikan lain yang hanya ditemukan di TNGM adalah adanya lokasi pembelajaran ilmu alam, yakni pelajaran tentang seleksi alam dan suksesi. Ada jenis tumbuhan yang tahan terhadap erupsi Merapi, ada yang mati terkubur untuk kemudian tumbuh kembali.
Setelah 7 tahun erupsi Merapi ada kawasan hutan yang sengaja dibiarkan secara alami (suksesi alami), juga ada ada kawasan lain yang dilakukan kegiatan restorasi (suksesi buatan). Pelajaran ini sangat jarang diperoleh di tempat lain. Sangat merugi jika berkunjung ke Yogyakarta melewatkan untuk Berguru pada Merapi.

Yogyakarta, 8 Agustus 2017
Ttd

Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Sc,M.S.I.

Fungsional PEH & Kepala Resort Kemalang TNGM

Kamis, 10 Agustus 2017

KONSERVASI ALAM KONSERVASI KITA

Negara Indonesia pernah dikenal sebagai megabiodiversity country karena dikaruniai dengan keanekaragaman hayati (kehati) tertinggi di dunia, yakni 10-20%  kehati dunia. Sayangnya, predikat tersebut telah mengalami pergeseran menjadi hotspot country, yakni Negara dengan laju kepunahan tertinggi di dunia (KLHK, 2017).

Kepunahan kehati tersebut disebabkan oleh invasi spesies asing (eksotik), fragmentasi dan hilangnya habitat, eksploitasi tumbuhan dan satwa liar, pencemaran, dan perubahan iklim. Melalui Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) yang diperingati setiap tanggal 10 Agustus berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 dapat menjadi momentum keteladanan dan aksi nyata yang melibatkan dan menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk berkomitmen melawan ancaman tersebut.

Peringatan HKAN tahun 2017 dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)  dipusatkan di Taman Nasional Bali Baluran, Jawa Timur, dengan tema “Konservasi Alam Konservasi Kita.” Salah satu isu yang diangkat pada HKAN 2017 ini adalah permasalahan krusial pada ekosistem savana TN Baluran, yakni invasi spesies eksoktik Acacia nilotica yang mencapai luasan 5.592 Hektar pada berbagai tipe habitat (dari total luas kawasan 25.000 Hektar) (KLHK, 2017).

Partisipasi Masyarakat dalam Konservasi Alam
Secara umum masyarakat Indonesia memiliki kepedulian yang tinggi terhadap konservasi alam, seperti kelestarian hutan. Berbagai bentuk kegiatan konservasi hutan, penanaman jutaan pohon, penyelamatan satwa serta konstruksi kearifan lokal masyarakat sekitar hutan menjadi bukti konkrit dari hal tersebut. Contoh riil adalah partisipasi masyarakat pecinta Capung atau Indonesia Dragonfly Society (IDS).

IDS adalah sebuah komunitas yang berusaha mengupayakan terciptanya kelangsungan keanekaragaman hayati Capung (Kinjeng dalam Bahasa Jawa) sebagai pusaka alam Indonesia. Komunitas ini terbentuk atas dasar rasa ingin tahu, cinta dan kepedulian anggotanya akan kelangsungan hidup Capung yang kian lama semakin langka. Capung adalah serangga yang berperan penting bagi terwujudnya lingkungan yang sehat.

Capung juga merupakan indikator perairan yang masih terjaga. Keberadaan Capung tentu bisa menjadi sahabat dunia pertanian karena ia memiliki peran sebagai pemangsa dan penyeimbang alami hama tanaman. Capung juga membantu mengendalikan nyamuk berikut jentik-jentiknya, dengan cara memangsanya.

Namun ternyata, peran dan manfaatnya itu masih belum banyak kita ketahui dan sadari, terutama oleh generasi muda sekarang. Hal ini salah satu sebab populasi dan keberagaman Capung banyak berkurang seturut dengan kondisi lingkungan yang semakin lama semakin rusak, padahal Capung akan selalu membutuhkan perairan dan lingkungan yang baik agar terus berlangsung kehidupannya.

Jambore Capung Indonesia 2017
Dalam rangka menyambut HKAN 2017 sekaligus Jambore Capung Indonesia 2017, IDS menyelenggarakan serangkaian kegiatan ‘Kumpul Bareng Pengamat Capung Nusantara.’ Kegiatan Jambore Capung Indonesia yang Kedua ini dilaksanakan di Kulonprogo, tepatnya Obyek Wisata Alam Kembang Soka, dusun Gunung Kelir, Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo.

Lokasi ini dipilih sebagai tempat temu data pengamat Capung Indonesia, karena Desa Jatimulyo telah terbukti mampu menjaga kelestarian alam wilayahnya. Hutan rakyat dengan berbagai jenis spesies tumbuhan masih terjaga secara lestari, sehingga bebas dari serangan spesies eksotik. 30 jenis Capung ditemukan di Desa Jatimulyo, yang berhabitat di sungai dan air terjun yang masih jernih dan terjaga sejak dari hulu.

Selain Capung, Jatimulyo juga kaya akan keanekaragaman burung. Terdapat 94 jenis burung di kawasan ini (24 persen total jenis burung di DIY), keberadaannya dilindungi oleh Peraturan Desa (Perdes) yang melarang kegiatan perburuan. Kegiatan selain kumpul bareng pengamat capung nusantara, adalah mengamati Capung ‘Mengapung’ bersama, seminar oleh para Pakar Entomologi (serangga), dan berbagi data Capung Nusantara selama tanggal 11 – 12 Agustus 2017.

Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 10 Agustus 2017 halaman 12

Sejatinya Indonesia memiliki keragaman capung yang sangat tinggi, yaitu 15% dari total sekitar 5680 spesies di seluruh dunia, namun pengetahuan mengenai capung masih sangat kurang. Selain itu mayoritas publikasi mengenai Capung ditulis oleh peneliti asing. Selama beberapa dekade terakhir, para ahli Capung dunia melakukan penelitian tentang peran Capung sebagai alat memantau perubahan iklim dan menilai kualitas lingkungan.

Kegiatan konservasi yang dilaksanakan oleh komunitas IDS sangat sesuai dengan prinsip HKAN. Salah satu pertimbangan ditetapkannya HKAN adalah konservasi alam merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan yang harus terus dilaksanakan dan dipertahankan pada setiap kegiatan dalam upaya perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai sistem penyangga kehidupan.


Jambore Capung Indonesia 2017 merupakan wujud aksi nyata HKAN yang melibatkan Pemerintah Desa, akademisi, peneliti, birokrasi dan masyarakat umum, sesuai tema ‘Konservasi Alam Konservasi Kita.’ Sugeng Rawuh Para Pecinta Capung Nusantara di kota Yogyakarta!

Sabtu, 15 Juli 2017

JADILAH PENDAKI BIJAK

Kegiatan outdoor/di alam seperti pendakian gunung saat ini menjadi ajang eksistensi bagi remaja atau pemuda. Tanpa persiapan dan bekal yang matang, mereka nekat melakukan pendakian dan justru membahayakan diri sendiri. Tak jarang jalur pendakian ilegal alias belum dibuka secara resmi diterobos demi eksistensi diri.

Hari Selasa (4/7) Tim SATLINMAS RESCUE ISTIMEWA DIY Wilayah Operasi VII mengevakuasi 2 pendaki Gunung Merapi yang naik melalui jalur ilegal, yakni jalur Kinahrejo, Cangkringan, Sleman. Padahal masih segar dalam ingatan, 11 pendaki yang tersambar petir saat melakukan pendakian Gunung Prau. Beruntung 2 pendaki Merapi tersebut ditemukan dalam kondisi sehat dan selamat setelah 2 hari hilang kontak.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 15 Juli 2017

Jika kita cek mesin pencarian di dunia maya, mayoritas korban kecelakaan di gunung adalah pendaki pemula dan berstatus mahasiswa atau pelajar. Walaupun ada juga beberapa pendaki kawakan yang meninggal di gunung karena mengabaikan aturan dan tidak mampu mengalahkan ego. Alam tidak mengenal pendaki pemula maupun yang berpengalaman.

Dia juga tidak peduli apakah kita siap atau tergeletak menyerah kalah ketika dia sedang menunjukkan sikap tidak bersahabat. Kewajiban kita adalah memahaminya, bukan sebaliknya. Mbah Asih, juru kunci Gunung Merapi pada acara doa bersama untuk korban Ery yang jatuh di kawah Merapi tahun 2015 mengatakan, bahwa secara legalitas hukum Gunung Merapi dikuasai oleh Balai TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi), tetapi secara kasat mata ada juga penunggunya, yakni makhluk ghoib.

Ada kearifan lokal yang harus dijaga saat mendaki Gunung Merapi, misalnya saat lelah naik Gunung Merapi hindari mengeluh dengan mengucapkan capek dan sebagainya. Saat terasa lelah cukup istirahat, tidak usah mengeluh. Selain itu tentu saja persiapan dan bekal yang cukup, termasuk jika terjadi force majeur atau musibah alam.

Membiarkan seseorang yang sembrono tanpa pengetahuan dan persiapan sama saja dengan membiarkannya mengantar nyawa. Apalagi tren sekarang menganggap, bahwa dengan mendaki gunung, ia dapat dicap sebagai pemberani. Alhasil, faktor-faktor lain pun terabaikan.  Pemahaman terdapap gunung misalnya, tentu bukan hanya sekadar mengerti jalur pendakian serta mengurus perizinan.

Terlebih dengan dibentuknya Taman Nasional disebagian besar gunung di Indonesia, sangat mudah bagi pendaki untuk menunaikan hasrat keberaniannya, tinggal bayar sekitar 10 -30 ribu dapat langsung melaksanakan niatnya. Namun, bagaimana pandangan masyarakat lokal di sekitar gunung terhadap pendaki, serta akibat pendakian bagi tumbuhan dan satwa liar di gunung bukanlah menjadi pegangan yang harus diperhatikan, misal masih ada yang membuat sampah sembarangan di hutan, mengambil bunga edelweis dan lainnya.

Selain itu, pendaki yang bijak juga tidak akan mendaki melalui jalur ilegal, karena jalur tidak resmi dapat dipastikan tidak aman dan berbahaya. Balai TNGM menetapkan dua jalur pendakian resmi Gunung Merapi, yakni melalui jalur Selo, Boyolali dan jalur Sapuangin, Klaten. Jalur Selo merupakan jalur pendakian lama yang tidak terdampak erupsi tahun 2010. Selain itu adalah jalur ilegal atau terlarang.

Jalur Sapuangin yang berada di wilayah administrasi Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Klaten pada tanggal 12 Mei 2017 dibuka resmi sebagai jalur pendakian Gunung Merapi. Penetapan jalur pendakian, seperti Sapuangin, melalui kajian dan proses yang cukup panjang. Kajian juga melibatkan institusi yang berkompenten seperti Taman Nasional dari tinjauan potensi tumbuhan-satwa liar; keamanan jalur pendakian dari SAR (Search And Rescue); aktivitas vulkanik dari Badan Vulkanologi; dan lain sebagainya.

Sayangnya masih ada pendaki yang nekad naik gunung melalui jalur terlarang. Dalam filosofi Jawa disebut sebagai sikap Nggugu karepe dhewe, yakni sikap mementingkan diri demi sebuah eksistensi yang dapat mengorbankan diri bahkan orang lain. Pendaki yang bijak tentu memegang teguh prinsip, Desa mawa cara, Negara mawa tata, yakni mematuhi kearifan lokal atau adat istiadat setempat dan peraturan hukum. Tentu semua ini tidak hanya demi keselamatan pendaki, tapi juga wujudnya kelestarian alam secara berkelanjutan. Allaahu alam.

Patangpuluhan, 9 Juli 2017

Senin, 05 Juni 2017

ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

Setiap tanggal 5 Juni diperingati Hari Lingkungan Hidup sedunia. Untuk tahun 2017 ini United Nations Environment Programme (UNEP) mengangkat tema “Connecting People to Nature”, yang arti bebasnya adalah hubungan manusia dan alam. Sebuah upaya pelestarian lingkungan melalui pendekatan spiritualitas atau agama.

Upaya menumbuhkan semangat memelihara planet bumi yang hanya satu-satunya ini, pandangan agama dianggap merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi atas sikap manusia terhadap alam dan lingkungan. Ribuan tahun agama sudah dijadikan sebagai standar kode etik yang shahih dan merupakan warisan tertua kemanusiaan. Kearifan pandangan, kepekaan moral dan sikap religiusitas manusialah yang mungkin dapat menjadi garda penting dan paling akhir yang dapat diharapkan untuk mengingatkan tentang hubungan manusia dalam memelihara alam dan kearifan dalam mengelola bumi (Mangunjaya & Heriyanto, 2007).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 5 Juni 2017 

Dalam Islam ada ajaran untuk hidup berharmoni dengan alam, seperti Al Quran menyatakan bahwa seluruh alam semesta adalah milik Tuhan (Q.S. Al Baqarah, 2:284). Manusia diberi izin tinggal di dalamnya unutk sementara dalam rangka memenuhi tujuan yang telah direncanakan dan ditetapkan Tuhan (Q.S. Al Ahqaf, 46: 3). Dengan begitu alam bukanlah milik hakiki manusia.

Kepemilikan manusia hanyalah amanat, titipan atas pinjaman yang pada saatnya harus dikembalikan dalam keadaannya seperti semula. Bahkan manusia yang baik justru akan mengembalikan titipan tersebut dalam keadaan yang lebih baik dari ketika dia menerimanya. Nabi mengatakan: “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam mengembalikan utangnya.” Titipan yang dikembalikan tersebut selanjutnya akan didistribusikan kembali bagi orang atau generasi sesudahnya sampai hari kiamat.

Dalam ayat lain Tuhan juga mengecam manusia yang merusak alam. Dia sangat tidak menyukai orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi (Q.S. Al Baqarah, 2:60, 205; Al A’raf, 7:56, 85; Al Qashash, 28: 88; Al Syu’ara, 26: 183 dll)(Muhammad, 2005). Tindakan merusak alam merupakan bentuk kedzaliman dan kebodohan manusia.

Al Quran juga menggambarkan kebinasaan ummat terdahulu akibat tindakan merusak alam. Semua perbuatan manusia yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan kemungkaran. Siapa saja yang menyaksikan tindakan tersebut berkewajiban menghentikannya. Negara sebagai pengawas alam berkewajiban menyeret pelakunya ke pengadilan agar dia mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Untuk mencegah bahaya kebakaran hutan dalam rangka mendorong kelestarian lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia mengajak Majelis Ulama Indonesia (MUI) merumuskan fatwa tentang kebakaran hutan. Akhirnya keluar Fatwa MUI nomor 30 tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan serta Pengendaliannya. Fatwa ini diharapkan dapat mendorong munculnya kesadaran ummat bahwa pembakaran hutan dan lahan adalah kejahatan.

Penggalian khasanah Islam dalam bidang lingkungan juga diwujudkan dalam budaya dan dipraktekkan oleh masyarakat. Sebagai pendiri Kraton Yogyakarta yang juga seorang muslim, Sri Sultan Hamengku Buwono I mencetuskan konsep pelestarian lingkungan melalui filosofi “Hamemayu Hayuning Bawana”. Filosofi ini memiliki dimensi universal dan kondusif bagi upaya-upaya pelestarian lingkungan.  (Anshoriy, 2008).

Dalam wacana masa kini, konsep tersebut diartikan sebagai nilai-nilai yang menjamin keselamatan lestari yang berkelanjutan, yang bertumpu pada keputusan generasi sekarang. Hamemayu Hayuning Bawono tidak bisa terwujud begitu saja tanpa adanya Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso atau kelestarian alam tidak akan terwujud tanpa adanya kewaspadaan manusia. Kewaspadaan yang dimaksud adalah kewaspadaan terhadap kerusakan lingkungan yang akan terjadi apabila manusia mulai serakah.

Kisah lain Almarhum Kyai Basid, Pimpinan Pondok Pesantren An Nuqayah di Sumenep, Madura, mendorong santri-santrinya menanam pohon, membangun hutan rindang, untuk menghasilkan sumber mata air menjadi sungai jernih mengalir di Pondok Pesantren bagi kesempurnaan salat ibadah agama. Berkatalah Kyai Basid, “Untuk kesempurnaan ajaran Islamlah, saya didik santri agar senantiasa bersih dalam melaksanakan salat. Untuk ini dibutuhkan air jernih yang lahir berkat terlestarikannya lingkungan hidup.” (Salim, 2007). Semoga peringatan hari Lingkungan Hidup saat bulan Ramadhan ini dapat membangun sikap dan pola hidup Muslim yang berpegang teguh pada Rahmatan lil’alamin.

Patangpuluhan, 3 Juni 2017, pukul 11.05 WIB

Minggu, 04 Juni 2017

PELAJARAN PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL 29 MEI 1453

Hari ini, tanggal 29 Mei adalah hari bersejarah bagi ummat Islam, karena 600 tahun yang lalu peradaban Islam mengalami perubahan besar. Tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan al-Ghazi Muhammad Al-Fatih bersama pasukan muslim berhasil memasuki jantung Romawi Timur, kota Konstantinopel. Kota ini merupakan salah satu kota terpenting di dunia yang dibangun pada tahun 330 M oleh Kaisar Theodosius, dan memiliki benteng pertahanan yang sangat sulit untuk ditembus.

Brigade Masjid BKPRMI semoga menjadi pasukan terbaik

Sejak didirikan Konstantinopel, pemerintah Byzantium (Romawi Timur) menjadikannya sebagai ibukota pemerintahan. Kota ini merupakan kota terbesar yang dilindungi benteng terkuat di dunia, dikelilingi lautan dari tiga sisi sekaligus, yaitu selat Bosphorus, laut Marmara, dan Selat Tanduk Emas (Golden Horn Straits). Laut di depan benteng Konstatinopel juga dijaga dengan rantai yang sangat besar, hingga tidak memungkinkan kapal musuh masuk ke dalamnya. Napoleon sendiri menggambarkan Konstatinopel sebagai berikut, “ … kalaulah dinia ini sebuah Negara, maka Konstatinopel inilah yang paling layak menjadi ibukota negaranya.”

Bisyarah atau kabar gembira jatuhnya Konstantinopel ke ummat Islam sudah disampaikan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata, “bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah Saw untuk menulis, tiba-tiba Beliau Saw ditanya tentang kota manakah yang akan difutuh (dibebaskan) terlebih dahulu, apakah kota Konstantinopel atau Roma. Rasulullah Saw menjawab, kota Heraklius terlebih dahulu (maksudnya Konstatinopel).” [HR. Ahmad]. Dalam hadist lain Rasulullah Saw mengatakan, “Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat Pemimpin Perang adalah Pemimpinnya, dan sekuat-kuatnya pasukan perang adalah pasukannya.” [HR Ahmad].

Kota Konstantinopel sendiri bukanlah kota yang mudah ditaklukkan. Kota ini dapat menahan serangan dari berbagai penjuru dan berhasil menetralkan ancaman yang datang kepadanya karena memiliki system pertahanan yang sangat maju pada zamannya. Kota ini dikelilingi tembok yang luar biasa tebal dan tinggi, yakni tinggi sekitar 18 meter dan tebal 3 lapis, tidak ada satupun teknologi yang dapat menembus tembok ini. Sultan Muhammad Al- Fatih sampai harus menyiapkan dengan membuat meriam raksasa yang dapat melontarkan peluru seberat 680 Kg.

Awal penyerangan Konstantinopel dilakukan pada tanggal 6 April 1953  dan terkenal dengan nama ‘The Siege of Constantinople’. Pasukan muslim Al Fatih sebanyak 250.000 orang dibagi menjadi tiga, yaitu pasukan laut dengan 400 kapal perang menyerang melalui laut Marmara, kapal-kapal kecil menembus selat Tanduk Emas, dan sisanya melalui jalan darat menyerang dari sebelah Barat Konstantinopel. Serangan pasukan Al-Fatih dapat digagalkan oleh pasukan Konstantinopel yang bertahan di bentengnya, belum lagi serangan bantuan dari negeri Kristen lewat laut menambah berat pertempuran pasukan muslim.

Sampai tanggal 21 April 1453 tidak sedikitpun tanda-tanda kemenangan akan dicapai pasukan Al-Fatih, sehingga mereka mencoba suatu cara yang tidak terbayangkan kecuali oleh orang yang beriman. Dalam waktu semalam pasukan Al-Fatih dapat memindahkan 70 kapal dari selat Bosphorus menuju selat Tanduk Emas. Pengepungan ini terus berlanjut sampai dengan tanggal 27 Mei 1453. Sultan Muhammad Al-Fatih melihat kemenangan semakin dekat, sehingga mengumpulkan para pasukannya dan berkhutbah:
“Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah Saw telah menjadi nyata dan salah satu mukjizatnya telah terbukti, maka kita akan memperoleh bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadist ini, yang merupakan kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu wajib bagi setiap pasukan menjadikan syariat selalu di depan matanya dan jangan sampai ada diantara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaklah mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaklah mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran.”

Muhammad Al-Fatih sangat paham bahwa kemenangan hanya akan tercapai dengan ijin dan pertolongan Allah SWT, bukan karena kecerdasan, strategi perang maupun kekuatan pasukannya. Maka ia meminta seluruh pasukan muslim untuk bermunajat pada Allah, menjauhkan diri dari maksiat, dan bertahajud pada malam harinya. Tanggal 29 mei 1453 serangan terakhir diluncurkan, dan sebelum ashar Sultan Al-Fatih sudah menginjakkan kakinya di gerbang masuk Konstantinopel. Berakhirlah pengepungan selama 52 hari dan penantian panjang akan janji Allah selama 800an tahun lamanya. Konstantinopel terbebaskan oleh pemimpin dan pasukan terbaik.

Peristiwa jatuhnya Konstantinopel memberi 3 pelajaran berharga bagi ummat Islam, yakni:
Pertama, penaklukan Konstantinopel merupakan proses panjang sejak Rasulullah Saw bersabda, bukan secara instan dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih. Penaklukan Konstantinopel sudah dirintis sejak zaman Muawiyah. Sahabat Abu Ayyub al-Anshari (44 H) pada masa Khalifah Yazid bin Muawiyah pada saat ikut ekspedisi jihad pasukan muslim minta agar jenazahnya dikubur di bawah kaki pasukan muslim terdepan. Lokasi makam Abu Ayyub tidak jauh dengan Konstantinopel.
Tanda makam sahabat ini menjadi milestone bagi mujahid berikutnya. Tercatat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (98 H) pada masa Bani Umayyah, Khalifah Harun Al-Rasyid (190 H) pada masa Bani Abasiyah, Sultan Beyazid I (796 H) dari Kesultanan Ustmani, Sultan Murad II (824 H) dari Kesultanan Ustmani berusaha menaklukan Konstantinopel. Tapi Allah belum mengizinkannya.

Kedua, jatuhnya Konstantinopel adalah usaha pemimpin dan pasukan terbaik Islam yang merupakan keberhasilan kaderisasi. Oleh ayahnya ‘Sultan Murad II’, Muhammad II atau Muhammad Al-Fatih sejak belia dididik oleh ulama-ulama besar seperti Syaikh Ahmad Al-Kurani yang mengajarkan Al-Quran dan menanamkan ilmu Islam. Pada usia 16 tahun Al-Fatih telah menguasai 8 bahasa, pelajaran astronomi, matematika, dan sejarah. Sebagian besar hidupnya Al-Fatih berada di atas kuda, dan beliau tidak pernah meninggalkan sholat rawatib berikut jamaah, dan tahajudnya untuk menjaga kedekatannya dengan Allah.
Muhammad Al-Fatih juga membentuk pasukan elit yang diilatih ilmu agama, fisik dan taktik. Sejak dini pasukan elit ini dilatih untuk loyal kepada Allah dan Rasul-Nya, termasuk terjaga sholat berjamaahnya di masjid dan badah qiyamul lail. Total ada 7000 pasukan elit yang diberi nama Yeniseri (Royal Janissaries).

Ketiga, Muhammad Al-Fatih sadar bahwa hanya dengan ijin dan pertolongan Allah-lah dapat menaklukkan Konstantinopel. Ini yang Al-Fatih sangat dijaga hingga Konstantinopel dapat dikuasai Islam. Sikap sombong, takabur yang mengagung-agungkan besar dan kuatnya pasukan dibuang jauh-jauh.

Ketiga ibroh atau pelajaran sangat sesuai diterapkan dalam dakwah. Bahwa dakwah itu perlu proses yang dijalankan oleh rijalul dakwah (aktivis dakwah) dengan keilmuan yang mumpuni dan dijalani dengan ikhlas penuh harap akan pertolongan Allah. Allahu ‘alam.


*) lereng Tenggara Gunung Merapi, 29 Mei 2017 pukul 09.28 WIB untuk website DPW BKPRMI DIY http://jogjakemasjid.com/bkprmi-138/29-mei-1453-m.html

Rabu, 26 April 2017

MENGGAGAS SEKOLAH GUNUNG: Berbasis Konservasi Menopang Mitigasi

Tidak bisa dipungkiri, kita hidup di negara yang tidak lepas dari bencana alam. Kenyataan ini harus kita terima, ketahui dan waspadai dampaknya, terutama potensi korban jiwa. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2017 telah terjadi bencana alam sejumlah 884 kejadian di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bencana alam yang terjadi dalam rentang 3 bulan sudah membawa korban meninggal dunia sebanyak 120 orang dan mengakibatkan 961.440 orang menderita dan mengungsi (data BNPB sampai Maret 2017).

Fakta ini menandakan masyarakat masih minim pengetahuannya dalam mitigasi bencana alam, akibatnya masih ada korban jiwa dan kerugian lainnya. Mitigasi bencana adalah rangkaian upaya mengurangi risiko bencana, yakni melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Belajar dari peristiwa erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang membawa korban jiwa sebanyak 347 jiwa; desa-desa berada pada Area Terdampak Langsung (ATL) erupsi atau pada Kawasan Rawan Bencana (KRB) III berbenah diri.

Mereka sadar bahwa upaya mitigasi bencana jauh lebih baik dibanding tindakan penanggulangan. Pasalnya tindakan penanggulangan seringkali tidak dilaksanakan atau memperhatikan terhadap bencana yang mengakibatkan kepunahan spesies tumbuhan atau satwa liar. Padahal kepunahan satu spesies dapat menyebabkan terganggunya suatu ekosistem. Bahkan akhir-akhir ini bencana yang terjadi merupakan ulah manusia seperti terjadinya perubahan iklim yang berawal dari deforestasi.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 April 2017

Gagasan Desa Balerante, Desa Mitigasi dan Konservasi
Desa Balerante yang berada di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten merupakan salah satu desa yang berada pada ATL dan KRB III. Kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang berada di wilayah administrasi Desa Balerante terkena dampak parah tersapu  awan panas erupsi 2010. Meskipun semua rumah hancur tersapu awan panas, warga Balerante masih bersyukur karena peristiwa tersebut membawa korban jiwa 1 orang, padahal jarak dari Puncak Merapi sekitar 4 Km.

Hal ini tidak lepas dari peran tokoh masyarakat yang sigap turut membantu kelancaran proses evakuasi dengan menyediakan sarana transportasi secara swadaya. Selain itu Pemdes Balerante juga sudah mempunyai Sistem Informasi Desa (SID) yang sangat membantu dalam mitigasi bencana. Dalam SID tidak hanya berisi data monografi desa, tapi juga jumlah sarana transportasi tiap rumah yang dapat digunakan untuk evakuasi.

Data dan informasi dalam SID ini tidak hanya membantu desa dalam memetakan situasi dan pengambilan keputusan pada kondisi normal, tapi juga saat kondisi darurat. Meskipun rumah dan harta benda hilang akibat erupsi, namun hal itu tidak mematahkan semangat warga Balerante untuk bangkit menata hidup kembali. Bermodalkan kekuatan sendiri dan gotong royong, serta ditambah dengan dukungan berbagai pihak, kehidupan social ekonomi warga Balerante mulai tertata kembali.

Semangat serta proses untuk bangkit kembali ini yang menjadikan BNPB menggagas Desa Balerante sebagai Sekolah Gunung, yakni lokasi untuk belajar pengelolaan mitigasi bencana alam. Bahkan atas inisiatif Pemdes Balerante pada tanggal 14 April 2017 mengumpulkan stake holder seperti BPBD, TNGM, LSM, pegiat wisata alam, dan lain-lain untuk menggagas Balerante sebagai Sekolah Gunung yang berbasis mitigasi dan konservasi.

Tujuan gagasan ini adalah untuk mengubah pola pikir pariwisata destruktif menjadi pariwisata hijau, setelah meningkatnya kunjungan wisata di Desa Balerante (Puguh, 2017). Selain itu juga bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam di Balerante secara berkelanjutan. Tentu gagasan ini dilandaskan pada Perpres Nomor 70 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan TNGM.

Kawasan TNGM di Desa Balerante sendiri sebagian besar adalah zona rehabilitasi yang sudah ditanami dengan jenis tumbuhan asli Merapi, dan telah membentuk ekosistem hutan. Area ini diharapkan dapat menjadi benteng atau tembok hijau penahan luncuran awan panas dan sistem peringatan dini alami. Selain itu zona rehabilitasi juga dapat menjadi lokasi penelitian dan pembelajaran tentang suksesi maupun konservasi alam.

Gagasan Sekolah Gunung merupakan salah satu upaya menjadikan kawasan rawan bencana menjadi pusat pembelajaran konservasi yang menopang mitigasi bencana. Apalagi BNPB mencanangkan Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional (HKBN) pada 26 April 2017, yang bertujuan untuk membudayakan latihan secara terpadu, terencana dan berkesinambungan guna meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menuju Indonesia Tangguh Bencana. Allaahu ‘alam.

Patangpuluhan, 24 April 2017 pukul 06.00 WIB