7 tahun sudah
erupsi Merapi telah berlangsung, yakni 26 Oktober sampai 6 November 2010.
Perubahan paling nyata adalah mulai tumbuhnya vegetasi tutupan lahan yang
terdampak langsung erupsi dan munculnya spot
wisata alam merapi. Selain itu perubahan yang menarik adalah perubahan masyarakat
dari subsisten menuju masyarakat konsumsi.
Menurut catatan
Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) kerusakan ekosistem di kawasan TNGM
akibat erupsi tahun 2010, yakni rusak berat seluas ± 1242,16 hektar (20,21%);
rusak sedang seluas ± 1207,91 hektar
(19,66%); dan rusak ringan seluas ± 2543,94 hektar (41,40%). Tentu
besarnya kerusakan ini membawa konsekuensi untuk melakukan kegiatan pemulihan
ekosistem. Balai TNGM bersama mitra (pemda, masyarakat, Perguruan Tinggi,
swasta, dan lain-lain) telah melakukan penanaman (restorasi) seluas 604.85
hektar, dari sesudah erupsi hingga saat ini (Statistik TNGM tahun 2016).
Opini KR tanggal 7 November 2017
Kegiatan restorasi selain untuk pemulihan
ekosistem akibat erupsi tahun 2010, juga merupakan sub agenda pertama RPJMN
Pemerintahan Presiden Jokowi. Agenda ini masuk dalam Rencana Strategis
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2015 – 2019, seluas
100.000 hektar lahan degradasi seluruh kawasan konservasi di Indonesia.
Balai TNGM pada
tahun 2017 ini telah menyusun Rencana Pemulihan Ekosistem (RPE), yakni kegiatan mengembalikan
ekosistem, baik sumberdaya alam hayati
maupun kondisi fisik lingkungannya
sehingga secara bertahap terwujud keseimbangan
dinamis dan kembalinya
fungsi-fungsi ekosistem. Ada tipologi
kawasan yang akan menjadi sasaran RPE dengan jumlah total luasan 3.488,85 ha.
Tujuan dari RPE adalah mengembalikan sepenuhnya integritas
ekosistem, kembali kepada kondisi
aslinya atau kepada kondisi
masa depan tertentu sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan. Balai TNGM juga menyiapkan habitat references untuk mendukung pemulihan ekosistem, yakni lokasi-lokasi sebagai ekosistem referensi dengan asumsi
jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati didalamnya belum berubah sejak 100
tahun yang lalu berdasarkan data sejarah erupsi. Habitat references adalah
ekosistem tak terganggu yang berada di sekitar areal yang akan dipulihkan atau
deskripsi ekologis berupa laporan survei, jurnal, foto udara atau citra
satelit, suatu ekosistem yang memiliki kemiripan ekologis dengan ekosistem yang
akan dipulihkan dan merupakan referensi sementara untuk mencapai tujuan
pemulihan, dimana unsur-unsur ekosistem referensi dapat menjadi contoh (template)
bagi kegiatan pemulihan (P.48/Menhut-II/2014, BAB I, pasal 1, nomor 20).
Vegetasi yang dipilih dari habitat references adalah jenis asli
Merapi yang terbukti mampu bertahan terhadap erupsi Merapi, sumber pakan satwa
liar, dan mendukung fungsi penyimpan air. Jenis vegetasi tersebut adalah Puspa (Schima walichii), Pasang (Lithocarpus
sundaicus), Manisrejo (Vaccinium Varingiaufolium), Sarangan (Castanopsis
argentea), Klewer (Engelhardtia spicata Lechen ex Blume). Wilodo
Banyu (Ficus lepicarpa Blume.), Wilodo Jowo (Ficus fulva Elmer.),
Dadap (Erythrina variegata), Krembi daun lebar (Homalanthus
giganteus Zoll. & Moritzi), Krembi daun sempit (Homalanthus
populneus Geiseler Pax.), Anggrung (Trema orientalis), Anggring (Trema
cannabina Lour), Tesek (Dodonaea
viscosa Jaeq).
Perubahan
lainnya adalah sesudah 7 tahun erupsi adalah jumlah lokasi wisata alam -di
dalam maupun luar kawasan TNGM- semakin meningkat seiring dengan naiknya tren
wisata alam secara global. Apalagi ditunjang dengan fenomena foto selfie dan dukungan media sosial menjadi
media promosi ampuh untuk menarik wisatawan berkunjung ke Merapi. Ada 15 Desa
penyangga kawasan TNGM (dari total 30 Desa) yang mempunyai lokasi wisata alam.
Tercatat ada 860.543 pengunjung yang berwisata di dalam kawasan TNGM selama
kurun waktu tahun 2012 sampai 2016 (Statistik TNGM tahun 2016).
Tentu
angka tersebut adalah potensi yang perlu digarap serius dengan melibatkan warga
merapi melaui pemberdayaan masyarakat. Secara umum, pola kehidupan sosial pada daerah penyangga TNGM masih
didominasi oleh ciri-ciri masyarakat tradisional. Ciri yang masih cukup kuat
adalah pola proses produksi subsisten dimana sebagian besar produk yang
dihasilkan dipergunakan untuk keperluan keluarga atau pasar skala kecil (TNGM,
2017). Meskipun demikian, ciri ini terus bergerak ke arah masyarakat madya dan
modern.
Masyarakat
Merapi masih memiliki ketergantungan mata pencaharian pada sektor pertanian dan
peternakan. Di bidang pertanian, pola budidaya yang dikembangkan pada dusun-dusun
penyangga TNGM adalah pertanian lahan kering dengan dominasi kebun dan sayur.
Survei yang dilaksanakan Balai TNGM (2017) mencatat ada 3.631 peternak sapi
(8.416 ekor sapi), 956 peternak kambing (6.535 ekor kambing), 54 peternak
kelinci (540 ekor kelinci), dan 1.247 pemilik unggas.
Agar
kelestarian kawasan Merapi tetap terjaga dan masyarakat sejahtera, Balai TNGM
pada tahun 2017 menyusun master plan
pemberdayaan masyarakat daerah penyangga selama periode 10 tahun. Ditargetkan, kegiatan pemberdayaan masyarakat daerah penyangga TNGM
dapat meningkatkan pendapatan keluarga sasaran sebesar 20% dalam 10 tahun ke
depan. Tentu untuk mewujudkan visi “Merapi lestari, Masyarakat sejahtera’ TNGM
menggandeng mitra kerja (pemda, PT, LSM dll), guyub rukun mbangun Merapi.
Yogyakarta, 6 November 2017