Selasa, 07 November 2017

7 TAHUN ERUPSI GUNUNG MERAPI

7 tahun sudah erupsi Merapi telah berlangsung, yakni 26 Oktober sampai 6 November 2010. Perubahan paling nyata adalah mulai tumbuhnya vegetasi tutupan lahan yang terdampak langsung erupsi dan munculnya spot wisata alam merapi. Selain itu perubahan yang menarik adalah perubahan masyarakat dari subsisten menuju masyarakat konsumsi.
Menurut catatan Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) kerusakan ekosistem di kawasan TNGM akibat erupsi tahun 2010, yakni rusak berat seluas ± 1242,16 hektar (20,21%);  rusak sedang seluas ± 1207,91 hektar  (19,66%); dan rusak ringan seluas ± 2543,94 hektar (41,40%). Tentu besarnya kerusakan ini membawa konsekuensi untuk melakukan kegiatan pemulihan ekosistem. Balai TNGM bersama mitra (pemda, masyarakat, Perguruan Tinggi, swasta, dan lain-lain) telah melakukan penanaman (restorasi) seluas 604.85 hektar, dari sesudah erupsi hingga saat ini (Statistik TNGM tahun 2016).
Opini KR tanggal 7 November 2017
Kegiatan restorasi selain untuk pemulihan ekosistem akibat erupsi tahun 2010, juga merupakan sub agenda pertama RPJMN Pemerintahan Presiden Jokowi. Agenda ini masuk dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2015 – 2019, seluas 100.000 hektar lahan degradasi seluruh kawasan konservasi di Indonesia.
Balai TNGM pada tahun 2017 ini telah menyusun Rencana Pemulihan Ekosistem (RPE), yakni kegiatan mengembalikan ekosistem, baik sumberdaya alam hayati maupun kondisi fisik lingkungannya sehingga secara bertahap terwujud keseimbangan dinamis dan kembalinya fungsi-fungsi ekosistem. Ada tipologi kawasan yang akan menjadi sasaran RPE dengan jumlah total luasan 3.488,85 ha.
Tujuan dari RPE adalah mengembalikan sepenuhnya integritas ekosistem, kembali kepada kondisi aslinya atau kepada kondisi masa depan tertentu sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan. Balai TNGM juga menyiapkan habitat references untuk mendukung pemulihan ekosistem, yakni lokasi-lokasi sebagai ekosistem referensi dengan asumsi jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati didalamnya belum berubah sejak 100 tahun yang lalu berdasarkan data sejarah erupsi. Habitat references adalah ekosistem tak terganggu yang berada di sekitar areal yang akan dipulihkan atau deskripsi ekologis berupa laporan survei, jurnal, foto udara atau citra satelit, suatu ekosistem yang memiliki kemiripan ekologis dengan ekosistem yang akan dipulihkan dan merupakan referensi sementara untuk mencapai tujuan pemulihan, dimana unsur-unsur ekosistem referensi dapat menjadi contoh (template) bagi kegiatan pemulihan (P.48/Menhut-II/2014, BAB I, pasal 1, nomor 20).
Vegetasi yang dipilih dari habitat references adalah jenis asli Merapi yang terbukti mampu bertahan terhadap erupsi Merapi, sumber pakan satwa liar, dan mendukung fungsi penyimpan air. Jenis vegetasi tersebut adalah Puspa (Schima walichii), Pasang (Lithocarpus sundaicus), Manisrejo (Vaccinium Varingiaufolium), Sarangan (Castanopsis argentea), Klewer (Engelhardtia spicata Lechen ex Blume). Wilodo Banyu (Ficus lepicarpa Blume.), Wilodo Jowo (Ficus fulva Elmer.), Dadap (Erythrina variegata), Krembi daun lebar (Homalanthus giganteus Zoll. & Moritzi), Krembi daun sempit (Homalanthus populneus Geiseler Pax.), Anggrung (Trema orientalis), Anggring (Trema cannabina Lour), Tesek (Dodonaea viscosa Jaeq).
            Perubahan lainnya adalah sesudah 7 tahun erupsi adalah jumlah lokasi wisata alam -di dalam maupun luar kawasan TNGM- semakin meningkat seiring dengan naiknya tren wisata alam secara global. Apalagi ditunjang dengan fenomena foto selfie dan dukungan media sosial menjadi media promosi ampuh untuk menarik wisatawan berkunjung ke Merapi. Ada 15 Desa penyangga kawasan TNGM (dari total 30 Desa) yang mempunyai lokasi wisata alam. Tercatat ada 860.543 pengunjung yang berwisata di dalam kawasan TNGM selama kurun waktu tahun 2012 sampai 2016 (Statistik TNGM tahun 2016).
           Tentu angka tersebut adalah potensi yang perlu digarap serius dengan melibatkan warga merapi melaui pemberdayaan masyarakat. Secara umum, pola kehidupan sosial pada daerah penyangga TNGM masih didominasi oleh ciri-ciri masyarakat tradisional. Ciri yang masih cukup kuat adalah pola proses produksi subsisten dimana sebagian besar produk yang dihasilkan dipergunakan untuk keperluan keluarga atau pasar skala kecil (TNGM, 2017). Meskipun demikian, ciri ini terus bergerak ke arah masyarakat madya dan modern.
            Masyarakat Merapi masih memiliki ketergantungan mata pencaharian pada sektor pertanian dan peternakan. Di bidang pertanian, pola budidaya yang dikembangkan pada dusun-dusun penyangga TNGM adalah pertanian lahan kering dengan dominasi kebun dan sayur. Survei yang dilaksanakan Balai TNGM (2017) mencatat ada 3.631 peternak sapi (8.416 ekor sapi), 956 peternak kambing (6.535 ekor kambing), 54 peternak kelinci (540 ekor kelinci), dan 1.247 pemilik unggas.
Agar kelestarian kawasan Merapi tetap terjaga dan masyarakat sejahtera, Balai TNGM pada tahun 2017 menyusun master plan pemberdayaan masyarakat daerah penyangga selama periode 10 tahun. Ditargetkan, kegiatan pemberdayaan masyarakat daerah penyangga TNGM dapat meningkatkan pendapatan keluarga sasaran sebesar 20% dalam 10 tahun ke depan. Tentu untuk mewujudkan visi “Merapi lestari, Masyarakat sejahtera’ TNGM menggandeng mitra kerja (pemda, PT, LSM dll), guyub rukun mbangun Merapi.
Yogyakarta, 6 November 2017