Jumat, 02 Desember 2011

MENGHIJAUKAN HUTAN KAWASAN TNGM

Presiden SBY pada awal pemerintahannya tahun 2009 telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan upaya sendiri, atau sampai 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020 dalam rangka mitigasi perubahan iklim global.  Salah satu upaya yang diperlukan adalah penanaman dan pemeliharaan pohon yang dilakukan secara masal oleh setiap komponen bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah telah menetapkan setiap tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2008.
Melalui momen tanggal 28 November 2011 ini, Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) memulai untuk melakukan kegiatan penghijauan hutan di kawasan TNGM. Kegiatan ini dilakukan setelah pihak Balai TNGM bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM melakukan kajian ekologi dan kondisi tanah setelah erupsi.
Restorasi Kawasan TNGM
Dampak erupsi Merapi -terutama awan panas dan lahar dingin- jelas merusak kawasan hutan TNGM. Kerusakan hutan yang sangat parah (hampir 100% kawasan rata tanah) terjadi di wilayah kecamatan Cangkringan, Sleman dan kecamatan Kemalang, Klaten.  Kerusakan parah (50-75% pohon tumbang) terjadi di Pronojiwo-Gandok, Kaliurang, Sleman. Kerusakan sedang (25-50% vegetasi rusak) terjadi di kecamatan Dukun dan Srumbung, Magelang.
Untuk pemulihan kawasan TNGM maka dilakukan kegiatan restorasi, yakni proses untuk membantu pemulihan kembali suatu ekosistem yang telah rusak dan terdegradasi. Manusia sebagai ‘Khalifah fil Ardh’ harus menjaga dan meningkatkan jasa ekosistem, dimana pengertian ekosistem disini bukan berupa komoditi tetapi sistem yang hidup. Upaya restorasi merupakan petunjuk dari sikap manusia yang menyatu dengan alam, bukan berkuasa terhadap alam.
Restorasi yang ideal dapat mengembalikan fungsi ekosistem dan memiliki nilai sosial dan ekonomi terhadap masyarakat. Keberhasilan restorasi pada tiap ekoregion akan dapat dilihat dengan jelas pada sikap masyarakat, yakni meningkatkan kesadaran lingkungan. Salah satu kegiatan restorasi TNGM adalah survei kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan TNGM. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk pemanfaatan kawasan TNGM oleh masyarakat; serta mengidentifikasi potensi dan kebutuhan masyarakat desa di sekitar kawasan TNGM. Kegiatan ini menjadi salah satu aspek dalam perancangan program restorasi kawasan dengan mempertimbangkan masyarakat sekitar sebagai salah satu stakeholder.
Penghijauan Hutan TNGM
Erupsi Merapi tahun 2010 memberikan pelajaran berharga tentang suksesi di alam. Hutan tanaman Pinus (Pinus merkusii) di Merapi yang ditanam Perhutani sebelum TNGM terbentuk (SK penunjukan tahun 2004), ternyata tidak kuat menahan dampak awan panas Merapi. Tegakan hutan Pinus di lereng Selatan, sebagian besar mati terkena efek erupsi, seperti pasir dan abu panas.
 Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 2 Desember 2011

Hal ini berbeda dengan tanaman asli Merapi seperti Puspa (Schima wallichi) dan Rasalama (Altingia excelsa) yang dapat bertahan (survive). Tegakan Puspa dan Rasamala masih berdiri tegak, walaupun ranting dan daunnya habis terkena abu panas. 3 bulan setelah erupsi, keluar trubus pada tegakan Puspa dan Rasamala.
Demikian juga dengan tanaman bambu asli Merapi jenis apus (Gigantochloa apus). Bambu apus menjadi pioner dalam suksesi Merapi, sebulan setelah erupsi ketinggiannya mencapai rata-rata satu meter.
Padahal waktu tersebut banyak masyarakat luar Merapi yang melakukan program penanaman di kawasan tersebut. Akibatnya banyak tanaman baru hasil penanaman yang mati, apalagi tidak adanya metode khusus penanaman dan pemeliharaan.
Oleh karena itu, Balai TNGM menyiapkan jenis-jenis asli Merapi untuk menghijaukan kembali kawasan hutan, seperti Puspa (Schima wallichii), Rasamala (Altingia excelsa), Pasang (Quercus turbinata), Kina (Chinchona ledgeriana), Dadap (erythrina-lithosperm), dan bambu (Gigantochloa apus). Balai TNGM bersama Fakultas Kehutanan UGM akan membangun demplot tanaman seluas 5 Hektar di Kalikuning, Cangkringan, Sleman dengan berbagai perlakuan (penanaman dan pemeliharaan).
Selain itu, LSM Jepang ‘JICA’ juga akan melakukan penanaman seluas 40 Hektar di Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung, Magelang dan Desa Mriyan, Kecamatan Musuk, Boyolali melalui kegiatan restorasi JICA. Tahun ini pula, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo (BP DAS SOP) Kementerian Kehutanan juga melakukan penghijauan di kawasan TNGM seluas 120 Hektar melalui kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL).
Semua kegiatan penghijauan kawasan TNGM melibatkan masyarakat lokal sekitar kawasan TNGM, yakni dari pembibitan, penanaman sampai pemeliharaan. Kegiatan ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan fungsi penting menjaga ekosistem Merapi, dimana Merapi sudah memberikan banyak manfaat terutama fungsi penyedia air. Tujuan akhir restorasi Merapi adalah menyadarkan manusia, bahwa manusia hanya dapat menyatu dengan alam, bukan berkuasa atas alam. Wallahu’alam.

PENGELOLAAN KAWASAN TNGM PASCA ERUPSI 2010

Tidak terasa, tepat satu tahun peristiwa letusan besar Merapi telah terlewatkan. 26 Oktober 2010 tepat pukul 17.23 WIB, gunung yang menjadi ciri khas kota Jogja itu menyemburkan awan panas yang menyambar lereng Selatan, menjangkau Kaliadem dan Kinahrejo. Raden Ngabehi Surakso Hargo atau Mbah Maridjan, juru kunci Merapi ikut menjadi korban.
Tanggal 5 November 2010 Merapi meletus lebih besar sehingga merenggut korban yang lebih banyak. Ratusan jiwa melayang. Korban ini bukan saja berupa manusia, atau harta benda, namun juga berupa hewan, baik ternak maupun satwa liar.
Kerusakan Kawasan TNGM
Kerugian tak ternilai lain adalah ekosistem dan keanekaragaman hayati di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Berdasarkan pengolahan data Citra IKONOS November 2010, 82%(5263 Hektar) dari 6.145,45 Hektar kawasan TNGM terdampak erupsi. Sekitar 2000-2500 Hektar (31-39%) dari luas kawasan yang berupa hutan pegunungan tropis telah rusak.
Erupsi Merapi kali ini membawa dampak hilangnya ekosistem hutan yang cukup luas. Adanya luncuran awan panas dan banjir lahar dingin ke arah selatan dan barat lereng Merapi mengakibatkan terjadi perubahan lingkungan di dalam kawasan. Perubahan lingkungan ini mencakup komponen abiotik, biotik dan sosial budaya. TNGM sebagaimana taman nasional yang lain, dikelola berdasarkan sistem zonasi. 
Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 Oktober 2011

Pengelolaan Taman Nasional
UU No. 5 tahun 1990 pasal 32 menjelaskan bahwa kawasan Taman Nasional (TN) dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Menurut Permenhut No 56 tahun 2006 tentang Pengelolaan Zonasi Taman Nasional, zonasi adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft rancangan rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.


Zonasi merupakan pengaturan tata ruang didalam kawasan TN menyesuaikan kondisi ekologi, sosial dan ekonomi yang ada.  Zonasi TNGM yang ada adalah hasil dari penyusunan Rencana Pengelolaan TNGM (2005) dan diperbaiki (di-review) zonasinya pada tahun 2008. 
 
Rencana Pengelolaan TNGM
Bencana alam erupsi Merapi tahun 2010 memberi pelajaran yang sangat berharga bagi pengelolaan TNGM dalam melakukan penataan kawasan (zoning). Balai TNGM saat ini masih melakukan kajian dalam penerapan zonasi yang dinamis, karena bencana merapi mempunyai kecenderungan bersifat siklik.
Konsep pengelolaan TN yang berbasis pada mitigasi bencana alam (pengurangan resiko bencana alam) masih dalam tahap penyusunan. Pengelolaan TN berbasis pada mitigasi bencana adalah model pengelolaan yang disesuaikan dengan kerawanan (hazard), kerentanan (vulnerability), dan komponen yang beresiko (elemen at risk) terhadap kepunahan.
Data kawasan terbaru pasca erupsi berikut potensi keanekaragaman hayati (kehati) dan sosial ekonomi masyarakat yang berbasis ilmiah sangat diperlukan dalam penyusunan rencana pengelolaan TNGM ke depan. Data potensi kehati TNGM menunjukkan penurunan kuantitas, seperti jumlah jenis burung yang diidentifikasi ada 97, padahal sebelum erupsi 2010 mencapai 159 jenis (TNGM, 2011).
Hancurnya tempat tinggal dan hilangnya mata pencaharian masyarakat sekitar Merapi (terutama lereng Selatan) membawa efek perubahan profesi masyarakat. Kondisi ini tentunya mempengaruhi strategi pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan TNGM.
Kawasan TNGM yang mengalami kerusakan parah, seperti lereng Selatan akan dilakukan penanaman jenis pohon yang cepat tumbuh. Ini dimaksudkan sebagai penghalang (barrier) laju awan panas yang cenderung mengarah ke Selatan. Pihak Balai TNGM bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM berupaya melakukan pemilihan jenis tumbuhan yang sesuai dengan kondisi ekosistem Merapi dan cepat tumbuh.
Jenis tumbuhan yang ditanam juga disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar kawasan TNGM, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat dari keberadaan TNGM. Untuk tahun 2011 ini, Balai TNGM melibatkan masyarakat dalam kegiatan penanaman; seperti RHL (Rehabilitasi Hutan dan Lahan) dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo; serta restorasi dari JICA.
Kegiatan penanaman kembali atau restorasi dilakukan dengan metode khusus. Peristiwa erupsi tahun 2006 memberi pelajaran berharga, Kali Gendol yang merupakan jalur awan panas, tanahnya masih panas pada kedalaman 2 meter selama 2 tahun.
Inilah salah satu sebab banyak bibit tanaman yang ditanam oleh masyarakat luar Merapi akhirnya cepat mati, karena tidak memakai metode khusus dan pemeliharaan. Oleh karena itu, pengelolaan TNGM ke depan diharapkan dapat mewujudkan keharmonisan hidup bersama Merapi, ‘Living Harmony With Merapi’. Semoga.