Rabu, 09 November 2016

BUDAYA MERAPI DAN RESTORASI

Tanggal 4 - 7 November 2016 saya memperoleh undangan konferensi tahunan Beijing Forum di ibukota Tiongkok, Beijing. Beijing Forum merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh Peking University (universitas terbaik di Tiongkok), untuk memfasilitasi forum akademik internasional yang bertujuan untuk mendorong perkembangan sosial dan harmoni antar peradaban serta meningkatkan kesejahteraan ummat manusia.

Di dalam Beijing Forum tahun ini ada forum yang bernama SCCS (Student Conference on Conservation Science) dan mengusung tema “Developing Sustainable and Practicable Approaches to Conservation for the 21st Century.” Forum ini diharapkan dapat berbagi informasi dan ilmu pengetahuan dalam pengelolaan kawasan konservasi untuk kelangsungan hidup manusia.

Kebetulan abstrak tentang budaya masyarakat merapi yang mendorong restorasi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dapat diseminarkan dalam Beijing Forum ini. Apalagi saat ini sudah memasuki tahun ke-6 setelah erupsi Merapi tahun 2010 yang membawa dampak kerusakan kawasan TNGM.
Opini SKH Kedaulatan Rakyat, tanggal 3 November 2016

Erupsi dan Restorasi Merapi
Erupsi tahun 2010 (Oktober – Nopember) melanda sebagian besar kawasan TNGM. Kerugian yang diakibatkan bencana alam erupsi Gunung Merapi sangat besar. Erupsi Gunung Merapi secara periodik membawa konsekuensi perubahan ekosistem secara dinamis. Perubahan ekosistem ini mencakup komponen abiotik, biotik dan sosial budaya.
Perubahan ekosistem yang disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya vegetasi perlu direstorasi dengan melakukan penanaman jenis-jenis vegetasi asli yang pernah ada dalam ekosistem tersebut. Sebenarnya secara alami, ekosistem yang terganggu akan dapat memulihkan dirinya sendiri melalui proses suksesi alam, namun mengingat kerusakan ekosistem hutan di TNGM akibat erupsi maka proses suksesinya akan memerlukan waktu yang sangat lama.
Sementara itu, pemulihan ekosistem perlu segera dilakukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi hutan yang hilang seperti fungsi habitat satwa, fungsi lindung hidrologi dan fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Untuk itu diperlukan campur tangan manusia dalam rangka membantu mempercepat proses recovery (pemulihan) ekosistem yang terdegradasi.
Salah satu cara yang efektif program restorasi TNGM adalah dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat untuk terlibat aktif. Diyakini bahwa kegiatan-kegiatan skala kecil berbasis budaya lokal yang dilakukan oleh masyarakat dapat memberikan dampat positif yang lebih dahsyat dibandingkan mega proyek berteknologi tinggi yang mengandung resiko ekonomi-sosial-politik dan lingkungan yang tidak kecil.
Kearifan adalah seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat setempat yang terhimpun dari pengalaman panjang menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis (Habibudin, 2006). Nilai kearifan dan budaya yang dipegang erat masyarakat Merapi sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa dari Kraton Mataram dan Yogyakarta.
Masyarakat masih memegang kepercayaan bahwa antara Gunung Merapi, Kraton dan Pantai Selatan saling terhubung erat satu sama lain. Mereka meyakini gunung, sungai, dan pohon bukanlah ‘benda mati’ sehingga manusia wajib menjaga kelestariannya, sejalan dengan prinsip “Hamemayu Hayuning Bawono, Ambrasta dur Hangkara dalam pelestarian alam yang diaplikasikan dalam beberapa tradisi budaya. Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Wujud nyata kearifan lokal masyarakat sekitar kawasan TNGM yang terkenal adalah upacara Labuhan. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat di dusun Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan Sleman (Merapi lereng Selatan) serta Kecamatan Selo, Boyolali (Merapi lereng Utara) adalah praktik penjagaan kelestarian alam melalui upacara adat. Kedua kawasan tersebut relatif terjaga kelestariannya.
Bahkan masyarakat ikut terlibat aktif dalam kegiatan restorasi yang dilakukan oleh TNGM. Selain itu, mayoritas desa sekitar TNGM juga memiliki budaya ‘merti desa atau merti bumi’, yakni ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME atas nikmat rezeki berupa alam Merapi yang memberikan kehidupan. Merti bumi di Desa Tunggularum, Kecamatan Turi, Sleman contohnya, saat merti bumi juga dilakukan kegiatan penanaman.
Demikian pula dengan di Deles, Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten juga ada kegiatan budaya ‘wayang kulit’ yang dilaksanakan di dalam hutan ‘Saluman’ saat malam hari. Paginya dilakukan penanaman di daerah ‘gundul’ akibat terdampak erupsi. Dengan falsafah Hamemayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara berarti sistem pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal juga berorientasi pada nilai ekonomi, namun tanpa mengabaikan nilai ekologinya yang sangat besar artinya bagi nilai konservasi dan pelestarian.

Dengan falsafah tersebut masyarakat Merapi memandang bahwa lingkungan alam sekitar sebagai bagian integral dari kebudayaan, mereka mempunyai kepercayaan penuh bahwa lingkungan alam sekitar adalah penyedia sumber penghidupan bagi mereka, oleh karena itu harus dijaga, dimanfaatkan dan dikelola secara arif. Falsafah masyarakat Merapi ini sangat mendukung program restorasi atau pemulihan ekosistem di kawasan TNGM dan sekitarnya.

@Tangerang, 1 November 2016 pukul 20.30 WIB

Selasa, 08 November 2016

FIGHT CLIMATE CHANGE

Climate change issues has undergone a transformation of global issues into the national strategic issues, and move on to the issue of the regional level. All areas are already feeling the impact of climate change, the rise in temperature and drought. If this condition is not overcomed along with the concept of sustainable development in Indonesia can be certained to fail.

Failed because sustainability indicators not achieved, such as the increasing number, frequency and widespread disaster in Indonesia (Sudibyakto, 2014). To reduce the impact of climate change, the Directorate General of Climate Change Control, Ministry of Forestry of Indonesia together the Association of Experts on Climate Change and Forestry (APIK) Indonesia seeks to synergize the role of academics, environmental practitioners, and local governments in a real work plan.

APIK-Indonesia is a forum set up in 2014 to establish communication and synergy between academics, researchers and practitioners climate change and the environment in Indonesia. The role of APIK Indonesia is thinker and actor that can synergize with all stakeholders in boosting the mitigation efforts, as well as information liaison to the research results and the availability of expertise associated with climate change and forest management (Masripatin, 2014).

At the local level such as Java which has problems of population explosion and the decrease in support of the environment, being very vulnerable to the impacts of climate change. This realization led to the mitigation of climate change is an important thing to be mainstreamed in the development plan (Karuniasa, 2014). The number of environmental issues that affect their social, economic and ecological provide opportunities for APIK to do more to create a breakthrough in contributing to the solution options.

Role of Community Forests

Population density and dynamics of economic growth has eroded the natural resources on the island of Java up to the current conditions, led to the development of the threat to life and sustainable development. One effective way to maintain the carrying capacity of the natural environment in the midst of the insistence of population and climate change is to take benefit of the large number of population to do something to repair and improve environmental quality.

It is believed that small-scale activities carried out by a large number of community can give positive impact more powerful than high-tech big projects which bring the risk of economic-social-political and  environments. Community-based activities can also have bring a direct impact on improving welfare.

Delay Cutting

Very interesting when NGOs Arupa did in study of climate change on society Terong village, Dlingo subdistrict, Bantul regency, Yogyakarta Province that they have the culture to harvest and sell trees were not yet ready to harvest, because it demands urgent needs. The impact of "Tebang Butuh' (Cutting/Harvesting Needed) these are the decline in value of the timber, the threat of forest conservation, and climate change in the long term.

Therefore, the village formed a cooperative 'Tunda Tebang' (Delay Cutting) to address these problems (Arupa, 2014). The name of cooperative is KTT Jasema. Members can borrow with a maximum loan of IDR 5 million. Uniquely, members can ensure a tree as collateral for loans. Trees that can be used as collateral is a tree with a circumference of 60 cm and some types of trees found at the rules of KTT Jasema (Arupa, 2014).

Expected climate change mitigation community - based models of micro-finance or cooperative institutions  'Delay Cutting' can be widespread, so it can play an active role in reducing the impact of climate change

*) Arif Sulfiantono (secretary of APIK-Indonesia chapter Yogyakarta Province)
@Peking University, November 8, 2016, 22.00 pm

Sabtu, 15 Oktober 2016

URGENSI SYURO

Aktivis dakwah pasti akrab dengan istilah syuro, rapat, briefing, meeting, dll. Syuro yang sering kita sebut dengan “musyawarah” berasal dari kata sya-wa-ra dengan makna dasar “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Secara lebih mudah, arti dari syuro adalah: memilih mana baik seperti madu, dan meninggalkan yang jelek.
Syuro adalah proses yang dilakukan oleh sekumpulan individu dalam suatu kelompok/organisasi untuk menelaah kemashlahatan dan kemudharatan dari suatu hal, yang nantinya hasil mufakat tersebut  akan dijadikan sikap kolektif kelompok/organisasi.

Syuro berkaitan erat dengan organisasi.  Untuk bisa menjalankan visi  dan misi, para aktivisnya haruslah bergerak bersama. Menyatukan tekad, merumuskan tujuan dan menyusun langkah-langkah  yang akan diambil.
Hadirnya personil syuro menjadi sangat penting dalam pengambilan keputusan bahkan keberlangsungan organisasi. Bagi organisasi dakwah, syuro adalah suatu alat untuk membentuk ta’liful qulub (ikatan hati) para pengurus/aktivisnya.

Sayangnya fenomena sekarang banyak aktivis enggan untuk hadir dalam syuro. Berbagai macam alasan dihadirkan, seperti “ada rapat RT”, “hujan”, “ngantar anak ke toko”, “keluar kota”, bahkan sampai alasan yang paling menyebalkan: “lupa” atau “ketiduran”. Pernah ada murid ngaji yang mengemukakan dua alasan terakhir tersebut akhirnya dikenai sanksi iqab/hukuman, terutama istighfar sebanyak-banyaknya.

Tentu suatu saat ada halangan tidak hadir syuro, tapi lebih bagus jika alasannya diterima secara syar’i. Lebih elegan lagi jika tidak hadirnya syuro diimbangi dengan komitmen untuk menggantinya dengan yang sama ukurannya atau bahkan lebih baik, seperti:
“Saya akan bantu pendanaan kegiatan ini’
“Undangan atau publikasi wilayan kecamatan Kraton biar saya saja yang menyampaikannya.”
“Beri saya 5 proposal untuk saya carikan sponsor kegiatan”

Terus terang saya rindu dengan suasana keberlangsungan organiasi dakwah zaman dulu, seperti tahun-tahun awal FSRMY. Tiap biro ada syuro rutin per pekan. Biro PPRM di masjid Al Huda Harnas, Biro Inkov di masjid Baiturahman, biro Dakwah di masjid Jogokaryan. Tiap 2 pekan sekali syuro sambil kajian FSRMY. Bahkan jika ada kegiatan akbar seperti Ramadhan Malioboro hampir tiap hari syuro. Semua dilakukan dengan kesadaran dan penuh semangat.

kenapa syuro sambil makan lebih menarik??


Sekarang jarang saya temukan di organisasi dakwah. Malah saya temukan 2 bulan lalu saat rapat koordinasi kegiatan Merapi Birdwatching Competition 2016 bersama teman-teman  Paguyuban Pengamat Burung Jogjakarta (PPBJ). Hampir tiap malam koordinasi di taman kuliner condong catur. Semua semangat untuk hadir, bahkan ada yang rumahnya Brosot, Kulon Progo juga hadir.

Ya, menghadiri syuro adalah salah satu bentuk komitmen dan konsistensi dari para kader dakwah untuk keberlangsungan.

Media sosial memang sarana bagus untuk syuro, tapi kekuatannya dan semangat dakwahnya beda jauh dengan bertemu dan bersyuro langsung. Usul kegiatan dakwah di media sosial sangat mudah, tapi menjalaninya melalui syuro dan aksi riilnya membutuhkan komitmen kuat. Mungkin bisa salah satu menjadi ukuran keimanan.


Jika ada meme di medsos yang berbunyi, “jangan bicara Islam tinggi-tinggi, kalau subuhmu belum di masjid”; maka saya akan buat meme, “Jangan bicara Islam tinggi-tinggi, kalau jarang hadir syuro.”

Jumat, 16 September 2016

KOPI DAN KONSERVASI

Tanggal 1 – 10 September 2016 kemarin di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat, badan internasional konservasi alam (International Union for the Conservation of Nature/IUCN) menyelenggarakan kongres konservasi dunia (World Conservation Congress/WCC). Kegiatan 4 tahunan sekali yang dimulai sejak tahun 1948 ini bertujuan untuk menyusun inisiatif-inisiatif konservasi dan pembangunan berkelanjutan di masa mendatang.

WCC tahun ini mengusung tema ‘Planet at a crossroad’. Tema tersebut merefleksikan perdebatan tentang pembangunan berkelanjutan di tengah pesatnya pertumbuhan penduduk global. Kongres ini diharapkan dapat meningkatkan kerjasama pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam untuk kebaikan manusia, serta menjamin keberlangsungan pembangunan sosial dan ekonomi.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 16 September 2016

Disaat kongres IUCN itulah, penggemar kopi dan pemerhati konservasi membentuk grup Whatsapp guna berbagi informasi dan jalin kerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa meninggalkan nilai konservasi. Ada beberapa cerita menarik dari anggota grup tentang peran kopi yang menunjang konservasi.
Selama ini perkebunan kopi identik dengan “suka cahaya sinar matahari” (kebun kopi monokultur atau sun coffee), yakni pembangunan kebun kopi dengan membuka hutan alam (kawasan konservasi dan hutan lindung). Hasil yang diperoleh adalah serangan hama dan penyakit meningkat, yang semuanya berakibat terhadap turunnya nilai jual kopi.

Sedikit diketahui bahwa tanaman kopi aslinya tumbuh di bawah tajuk pohon dalam hutan tropis, tidak di kawasan terbuka bergelimang cahaya matahari. Petani kopi skala kecil sebenarnya telah mengambil manfaat dari sistem kebun kopi bernaungan jenis-jenis pohon (shaded grown coffee).

Tanaman kopi ini mempunyai banyak keunggulan, seperti sedikit perawatan, tutupan tajuk kebun mirip hutan yang meningkatkan keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa liar; berperan sebagai tempat pengungsian satwa liar yang hidup di hutan alam, sepert satwa mamalia dan  burung, melindungi keberadaan jenis musang untuk penyebar biji kopi dan menghasilkan jenis kopi spesial yang  termahal harganya di dunia; tanaman kopi dapat berdampingan dengan pohon yang bermanfaat ekonomi, sehingga meningkatkan keragaman sumber pendapatan bagi petani.

Kopi Sulingan Menoreh
Belajar dari konsep shaded grown coffee diatas dan bird-friendly coffee dari Amerika Selatan, Imam Taufiqurrahman (Direktur Yasan Kutilang yang bergerak pada konservasi burung) mendirikan Kopi Sulingan, produk kopi robusta ramah lingkungan yang berasal dari Desa Jatimulyo Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo. Biji kopi diperoleh dari tanaman kopi yang tumbuh liar di bawah teduhan hutan perkebunan rakyat (shaded grown).
Melalui sistem tersebut masyarakat dapat memperoleh keuntungan dari biji kopi tanpa harus merusak habitat burung di hutan. Di sisi lain, diharapkan timbul kesadaran masyarakat untuk melindungi burung yang menjadi branding produk kopi di kawasan ini.Desa Jatimulyo merupakan daerah yang kaya akan keanekaragaman burung.
Terdapat sekitar 80 jenis burung di kawasan ini, beberapa diantaranya merupakan jenis yang cukup sulit ditemukan di daerah lain, seperti Sikatan Cacing (Cyornis banyumas) dan Serak Bukit (Pholidus badius). Keberadaan burung-burung ini dilindungi oleh Peraturan Desa (Perdes) yang melarang kegiatan perburuan di seluruh kawasan.
Ide tentang Kopi Sulingan sendiri muncul ketika dalam sebuah forum yang dihadiri oleh Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ) serta Kepala Desa Jatimulyo beberapa tahun yang lalu, berfokus pada tentang tingginya potensi desa tersebut. Dari diskusi tersebut, tercetuslah ide untuk memberdayakan potensi tanaman kopi yang kurang termanfaatkan. Kata “sulingan” sendiri berasal dari nama lokal burung Sikatan Cacing, sejenis burung pemakan serangga yang cantik dan bersuara merdu.
Kopi Merapi
Selain dikenal dengan gunung berapi paling aktif, Merapi ternyata juga mempunyai kopi yang khas rasanya. Di Turgo, Kecamatan Pakem, Sleman, yang berketinggian 900 m dpl menghasilkan produk kopi robusta dan arabika. Bapak Musimin warga Turgo dibantu oleh Sulistyono (konservasionis) memproduksi kopi Turgo yang berasal dari lahan pekarangan warga.
Bapak Musimin dan Sulistyono membentuk kelompok tani hutan yang bergerak membina warga Turgo dalam memelihara tanaman kopi hingga proses panen. Pemeliharaan kopi tetap dibiarkan di bawah naungan pohon di lahan pekarangan warga. Produksi kopi juga dilakukan bersamaan dengan usaha konservasi tanaman asli Merapi, seperti Anggrek jenis ‘Vanda tricolor’ yang menjadi tanaman khas Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Secara kuantitas memang tidak banyak yang dihasilkan, tapi mempunyai rasa khas. Sangat sering dukuh Turgo ini dikunjungi mahasiswa, peneliti dari dalam dan luar negeri untuk belajar konservasi Merapi pada masyarakat Turgo.
Kopdar grup whatsapp Kopi & Konservasi

Selain Turgo, juga ada kopi Deles, Kecamatan Kemalang, Klaten. Kopi Deles (robusta dan arabika) yang berada di ketinggian 1200 m dpl oleh Bapak Sukiman (aktivis radio komunitas Lintas Merapi) diberi merek Kopi Petruk. Kopi ini juga berasal dari tanaman warga sisi Tenggara Merapi di lahan pekarangannya. 
Warga Deles dan sekitarnya juga turut akif melestarikan satwa liar burung dan mamalia jenis Monyer ekor panjang (Maccaca fascicularis). Pemburu yang ditangkap warga akan dijatuhi hukuman sosial, seperti makan ulat bulu yang ada di lahan/kebun warga. Keterlibatan petani kopi dalam konservasi sudah sesuai dengan hasil kongres IUCN tahun 2016, yakni mencapai tata kelola lingkungan yang lebih baik, dengan melibatkan semua komponen masyarakat untuk berbagi secara adil tanggung jawab dan  manfaat dari konservasi lingkungan

Rabu, 07 September 2016

PARA SHOHIBUL QURBAN

Pagi hari setelah Subuh, seorang teman cerita kalau tahun 2016 ini pesantrennya baru dapat 5 sapi untuk Idul Qurban. Sepertiganya tahun lalu, 2015. Padahal daerah binaan dakwahnya semakin meluas, Idul Qurban tinggal 4 hari lagi. Dalam perjalanan menuju kantor di lereng Merapi saya teringat kisah tentang Shohibul Qurban dari teman Ustadz.

Dia pernah mengunjungi sebuah dusun di daerah Dieng, Jawa Tengah. Mayoritas warga dusun adalah petani sayur. Yang luar biasa adalah peran serta warga dusun tersebut menjadi Shohibul Qurban. Ada sekitar 90% warga menjadi Shohibul Qurban, padahal tingkat ekonominya kelas menengah ke bawah.

Qurban untuk Merapi di Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu tahun 2015

Bahkan yang kelas menengah mempunyai cara jitu untuk tetap menjadi Shohibul Qurban. Yakni dengan menabung melalui hewan qurban. Caranya tahun ini membeli 2 anak kambing, kemudian tahun berikutnya 1 ekor untuk Idul Qurban, 1 ekor dijual untuk dibelikan 2 anak kambing. Ini berlangsung terus menerus.

Tak heran dusun tersebut tanahnya menjadi subur, hasil panen sayur melimpah. Betapa Allah memenuhi janjinya.

Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi …” (QS Al-A’raaf: 96).

Seyogianya seseorang yang mempunyai penghasilan karena bekerja (maisyah) menjadi shohibul qurban. Jika suami-istri dua-duanya bekerja jatah qurbannya menjadi dua. Sedekah qurban adalah bentuk perwujudan dari keimanan kita yang hanya semata-mata untuk-Nya, bukan menuhankan harta.

“dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 20)

Perlu diingat ibadah, sedekah dlsb adalah untuk kita sendiri, bukan untuk Allah. Hakikatnya Allah tidak membutuhkan ibadah atau sedekah manusia. Ibadah itu diperintahkan sebagai kewajiban adalah dalam rangka untuk kemaslahatan manusia itu sendiri secara keseluruhan meliputi kehidupan dunia dan akhirat.

Ibadah manusia tidak sedikit pun akan menambah keagungan Allah. Demikian pula sebaliknya, pembangkangan manusia juga tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan Allah Ta’ala. Allahu’alam.

Kamis, 11 Agustus 2016

KONSERVASI UNTUK MASYARAKAT

Semakin maraknya pembangunan infrastruktur seiring dengan pesatnya pembangunan dan pemekaran wilayah menjadi ancaman utama penurunan integritas nilai-nilai konservasi di Indonesia. Dampaknya adalah pada terfragmentasinya habitat alami dari tumbuhan dan satwa liar; peningkatan eksploitasi sumber daya alam melalui aktivitas pertambangan dan penebangan hutan; serta penurunan kualitas habitat alami akibat introduksi tanaman maupun satwa invasif; serta dampak dari pembuangan aktivitas pertambangan di sekitar kawasan.
Pelaksanaan kegiatan konservasi dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, haruslah menjadi komitmen  dan tanggung jawab seluruh masyarakat secara luas. Kebijakan nasional maupun internasional tidak akan berarti tanpa dukungan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, tema Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) tahun 2016 ini adalah ‘Konservasi untuk Masyarakat’. Peringatan HKAN berlangsung pada 10 Agustus 2016 yang dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan dipusatkan di Taman Nasional Bali Barat, Bali.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 10 Agustus 2016 halaman 12
HKAN ditetapkan oleh Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 Agustus 2009 melalui Keppres No. 22 tahun 2009. HKAN tahun ini bertempat di TN Bali Barat, karena keberhasilan masyarakat sekitar kawasan konservasi dalam menangkarkan satwa dilindungi yang menjadi ikon Bali, yakni Jalak Bali (Leucopsar rothchildi).
Menurut Dr. Tachrir Fathoni (Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK), KLHK akan memberikan burung Jalak Bali ke masyarakat untuk ditangkarkan, sebagai bentuk apresiasi masyarakat yang peduli dengan konservasi. Langkah ini diambil untuk mengajak masyarakat melakukan konservasi terhadap satwa liar dilindungi sekaligus membuka peluang sumber pendapatan lainnya.
Saat ini hanya ada 64 ekor jalak Bali di habitat aslinya di TN Bali Barat. Namun demikian sudah ada 3700 ekor hasil penangkaran yang sukses dilakukan oleh masyarakat (Ditjen KSDAE KLHK, 2016).
Keberhasilan masyarakat penyangga kawasan konservasi TN Bali Barat dalam menangkarkan Jalak Bali menambah daftar keberhasilan masyarakat dalam mengelola kawasan lindung. Warga Dayak Wehea di Kalimantan Timur berhasil mengelola kawasan hutan adat seluas 38.000 hektar. Kawasan lindung Wehea yang terletak di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur ini masih terjaga keasliannya ditengah kepungan perkebunan sawit, HPH dan pertambangan.
"Kelompok Pelindung Hutan" yang dibentuk oleh warga Dayak Wehea bertugas mengamankan kawasan hutan dari berbagai kerusakan baik dari akfitas illegal logging maupun bencana kebakaran hutan dan lahan. Kearifan lokal masyarakat dalam menjaga kelestarian itu ternyata mendapat sorotan internasional, terbukti merebut juara III (tiga) dalam penghargaan "Schooner Prize Award 2008" di Vancouver, Kanada.
Bahkan Kepala Adat Dayak Wehea ‘Bapak Ledjie’ diajak oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk berbicara tentang keberhasilan mengelola kawasan lindung pada konvensi Perubahan Iklim Dunia di Paris, Perancis, pada Desember tahun 2015. Kawasan konservasi di Indonesia (Taman Nasional, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) sendiri sejak lama telah bekerjasama dengan masyarakat sekitar kawasan dalam menjaga kawasan konservasi.
Kelompok Masyarakat Mitra Polhut (MMP), Masyarakat Peduli Api (MPA) maupun Kelompok Tani, Kelompok Pemanfaatan Air, Kelompok Sadar Wisata Alam merupakan contoh dari sinergitas Pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kawasan konservasi. Contoh lain adalah peran aktif masyarakat Desa Girikerto, Turi, Sleman dalam melestarikan burung sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Dipelopori oleh pemudanya, warga Desa Girikerto sejak tahun 2013 aktif melepasliarkan burung endemik Merapi seperti Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus), Bentet kelabu (Lanius schach), dan Kacamata (Zosterops palpebrosus). Tujuan melepasliarkan kembali ke alam adalah untuk memberi contoh model menjaga ekosistem alam di Merapi.
Bagi anggapan warga Girikerto, burung-burung liar adalah teman dalam berinteraksi dengan hutan Merapi seperti saat mencari rumput, selain sebagai penanda atau peringatan menjelang erupsi Merapi. Kearifan lokal ini berkembang dan dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat.
Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi,kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan, sesuai tema HKAN 2016, Konservasi untuk Masyarakat.

@Patangpuluhan, 8 Agustus 2016 pukul 20.30 WIB

Sabtu, 30 April 2016

MENGGAGAS MAJELIS ASH-SHUFFAH

Beberapa tahun ke belakang ini aktivitas kegiatan pemuda-remaja masjid relatif menurun. Masjid-masjid walaupun jumlahnya bertambah tapi sepi dari kegiatan pemuda-remaja, terutama kegiatan keilmuan. Di Jogja sendiri, organisasi kemasjidan seperti FSRMY, BKPRMI, Pemuda Muhammadiyah, dll kegiatannya sudah tidak meriah lagi. Apalagi jika dibandingkan akhir tahun 70an sangat jauh. Menurut cerita Ust. HM Jazir Asp saat acara Nasional BKPRMI di Jakarta, kontingen DIY mengirimkan utusan sebanyak 2 gerbong kereta api.

Tahun 2002 – 2004 saat menjadi pengurus FSRMY sebagai Koordinator Bidang Pembinaan dan Pengembangan Remaja Masjid (PPRM), bersama teman-teman Saya merintis Kelompok Studi Remaja Masjid (KSRM). Ide  pendirian KSRM berasal dari booming buku dan video dari Harun Yahya. Prestasi terbesar KSRM adalah menyelenggarakan Seminar Ilmiah di Hotel Inna Garuda dalam event Ramadhan di Malioboro tahun 2002. Kegiatan KSRM seperti diskusi ilmiah tiap 2 – 4 pekan sekali akhirnya hilang setelah pengurusnya sibuk di FSRMY Trainer maupun studinya.

Kegiatan KSRM yang berbasis masjid mengingatkan akan perkembangan tradisi keilmuan muslim yang mencapai puncaknya pada Dinasti Abbasiyah sampai Turki Usmani ternyata diawali dari Masjid. Al-Suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Rasulullah Saw di Madinah. Shuffah adalah ‘emperan’ masjid Nabawi. Mahasiswanya disebut Ashab al-Shuffah, atau Ahl al-Shuffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Rasulullah Saw.


Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Produk Ilmuwan Muslim Ash-Shuffah diantaranya adalah Sahabat Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghiffari; Salman al-Farisi, dan Abdullah Ibnu Mas’ud.

Bahkan Rasulullah Saw menunjuk Ubaidah bin Shamit menjadi guru di madrasah Al-Shuffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu.

Dalam riwayat menurut Wadiyah Ibn Atha: “di Madinah terdapat 3 orang guru yang mengajar anak-anak, Khalifah Umar ra memberikan nafkah kepada tiap-tiap mereka 15 dinar setiap bulan (cat.: saat ini 1 dinar= ± Rp 2 juta).” Dana diambil dari baitul Mal/kas negara. Demikianlah bukti perhatian para Sahabat terhadap ilmu pengetahuan. (Nadaa, 2005)

Tradisi intelektual Ash-Shuffah berlanjut hingga masa Dinasti Umayyah, dengan tetap berpusat di Masjid. Pada masa ini semakin banyak intelektual muslim muncul, seperti pakar bidang Hadist ‘Hasan al Basri, pakar Kedokteran al-Harits ibn Kaladah’, pakar Kimia, Optik, Astrologi, ‘Khalid’ (putra khalifah Umayyah kedua).

Pada masa Dinasti Abbasiyah tradisi keilmuan Muslim semakin meningkat dan berkembang. Berawal dari masjid dan halaqah-halaqah berkembang menjadi Pusat2 Studi Dar al-Kutub/ Darul Ilmi; dan Pusat Terjemahan Baytul al-Hikmah. Aktifitas yang dilakukan keilmuan yang dilaksanakan adalah 1) Mengkaji Islam dan menterjemah karya-karya asing (catatan: gaji penerjemah sekitar Rp 3.750.000/bulan dan emas seberat buku); 2) Mentransformasi konsep asing ke dalam Islam; dan 3) Mengembangkan Sains Islam.

Ilmuwan muslim terkenal dari Dinasti Abbasiyah adalah pakar matematika dan astronomi Al-Khawarizmi/Algorizm; pakar falsafah, fisika dan optik Al-Kindi; pakar filsafat dan Kedokteran Ibnu Rush, Ibnu Sina, Pakar bedah dan kedokteran Ibnu Zuhr; dll.

Abad ke-18 dalam sejarah Islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi umat Islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban Islam secara universal. Seperti yang diungkapkan oleh Lothrop Stoddard, bahwa menjelang abad ke-18, ummat Islam telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering-kerontang berupa ritual tanpa jiwa dan takhayul yang merendahkan martabat umatnya. Ia, menyatakan seandainya Muhammad Saw bisa kembali hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya: sebagai kaum murtad dan, musyrik. (CA. Qadir, 1989)  Peryataan Stoddard ini menggambarkan begitu dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan Islam yang kemudian menjadikan umat Islam sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa-bangsa Barat.

Menurut cendekiawan muslim Aljazair ‘Malik bin Nabi’, problem setiap bangsa sesungguhnya adalah problem peradabannya. Tidak mungkin suatu bangsa bisa memahami atau memecahkan kesulitan-kesulitannya sepanjang ia tidak naik bersama pemikirannya ke peristiwa-peristiwa yang manusiawi dan tidak memahami secara mendalam faktor-faktor yang membangun atau meruntuhkan peradabannya. Menurut cendekiawan muslim Indonesia ‘Hamid Fahmy Zarkasyi’,  masalah peradaban atau civilization ummat Islam hanya dapat diselesaikan jika ummat Islam kembali pada worlview Islam dan tradisi keilmuan.

Belajar dari Majelis Ash-Shuffah perlu untuk menghidupkan kembali tradisi keilmuan di masjid-masjid dengan diskusi-diskusi ilmiah yang mencerdaskan. Bukankah kata ‘ilm’ dalam Al-Qur’an disebut 750 kali (17%) setelah kata ‘Allah’ (2800 kali, 62%)??

Ahh .. tiba-tiba merindu hadirnya Majelis Ash-Shuffah di serambi-serambi masjid ..


#Patangpuluhan, 30 April 2016, pukul 22.13.

Minggu, 24 April 2016

Tradisi Keilmuan

Pada tahun 2006 Saya pernah menulis untuk sebuah website remaja masjid kota Yogyakarta. Tema tulisan tersebut tentang keprihatinan generasi muda Islam terutama aktivis masjid pada salah satu tradisi keilmuan, yakni membaca atau menulis. Tidak berapa lama website tersebut akhirnya hilang karena tidak ada pengurusnya yang ‘ngopeni’ website dengan artikel-artikel yang menarik dan mencerdaskan.



Ternyata kejadian tersebut berulang kembali. Pada tahun 2014 saya diminta membuat tulisan lagi untuk sebuah website PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Muslim di Beijing, Tiongkok. Tidak sampai satu tahun website tersebut vakum. Kalah dengan jejaring sosial media yang semakin marak.
Saya jadi teringat pada tulisan lama penyair Nasional, Taufik Ismail. Beliau pernah menulis di koran, kalau budaya membaca pelajar Indonesia sangat lemah. Untuk pelajar SMP-SMU di negara kita, ternyata sangat jarang yang menyisihkan waktu untuk membaca buku non pelajaran (selain komik) pada tiap bulannya. Tetangga kita Malaysia, pelajar SMP-SMU mampu membaca sekitar 5 buku non pelajaran tiap bulannya. Negara maju, seperti Jepang, Amerika, Canada, Eropa mampu membaca 10-15 buku. Apalagi sekarang sudah tertandingi sosial media menjadikan buku semakin tersisih. Tradisi keilmuan semakin memudar.
Saat ini pemuda lebih suka membaca bacaan-bacaan sampah di sosial media, daripada buku-buku pemikiran tokoh-tokoh Islam kita, seperti dari zaman Islam klasik. Akibatnya mereka sangat mudah digiring opininya maupun dicuci otaknya oleh media massa sekuler atau liberal.
Harusnya kita mulai dari awal lagi belajar Islam. Kita perdalam aqidah, kita amati, pelajari asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat AL-Qur’an), asbabul wurud (sebab-sebab turunnya hadis), tafsir, sejarah, tokoh dan karya-karyanya (seperti muqaddimah-nya ibnu Khaldun, Tahafut Falasafiyah-nya Al-Ghazali dan balasannya ibnu Rusyd, Tahafut Tahafut). Sudah kita ketahui bersama kalau ayat Al-Qur’an yang turun pertama kali adalah tentang membaca. Sudahkah kita pelajari dengan seksama makna dan kandungannya??

Tidak ada alasan bagi orang yang mendalami ilmu seperti eksakta untuk mengkesampingkan ilmu Islam ini. Karena belajar Islam adalah fardhu ’ain. Cendekiawan muslim seperti Malik bin Nabi dari Aljazair adalah salah satu contoh ahli eksak di bidang Elektro dan ahli pemikiran Islam. Buya HAMKA, sastrawan yang mengeluarkan tafsir Al-Azhar.
Pada tahun 90an Stephen R Covey, dalam bukunya, “The 7 Habits of Highly Effective People, mengatakan: ”Orang yang tidak pernah membaca tidak lebih baik daripada orang yang tidak dapat membaca.”Anthony Robbins, pakar psycho-cybernetics (otak bawah sadar) dalam bukunya Unlimited Power; mengatakan bahwa buku adalah sumber informasi dan barang dagangan raja-raja (yang menguasai dunia) zaman sekarang.

Berkaitan dengan menulis, Al-Qur’an dalam surat AL-Baqarah ayat 282 mengharuskan kita untuk menulis. Napoleon Bonaparte (Jendral Perancis) mengatakan, ”Tulisan lebih saya takuti daripada senapan.”
Para founding fathers bangsa ini juga seorang penulis handal. Seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, HOS Cokroaminoto, dlsb berjuang untuk kemerdekaan melalui tulisan-tulisan yang menggugah. Yang menarik adalah beberapa tulisan Muhammad Natsir dalam menandingi tulisannya Soekarno yang terpengaruh oleh pemikiran sekuler dari Mustapha Kemal Attaturk. Perdebatan yang mencerahkan dari Politikus, sangat jauh dibandingkan dengan zaman sekarang.

“Agama adalah penerang hati, sedangkan ilmu pengetahuan peradaban adalah penerang akal,” begitu kata seorang Ulama.

Ahh .. tiba-tiba merindu munculnya Muhammad Natsir, Buya Hamka muda dari Masjid, Mushola, Surau ..

Patangpuluhan, 19 April 2016, pukul 20.30 saat kejar tayang bahan ikut kuliah Islamic Studies 'Intellectual Youth Summit 2016

Kamis, 07 Januari 2016

Kampung Terpencil Merapi: Dusun Girpasang


“Monggo Pinarak Mas.” Silakan masuk-bertamu Mas, begitu kata seorang Ibu paruh baya di depan rumahnya, saat kami memasuki sebuah Dukuh atau Kampung terpencil di lereng Gunung Merapi. Sungguh keramahan yang mulai jarang ditemui di zaman sekarang.

Jalan menuju kampung eksotis yang seperti jalan 'kuil shaolin'

Apalagi saat kami menemui warga sedang ‘sambatan’ atau gotong royong memindah sebuah rumah ‘gebyok’, atau rumah khas Jawa yang tiang dan dindingnya berbahan baku kayu. Begitu kami menjumpai mereka sedang istirahat, langsung kami ‘disuguhi’ atau diberi segelas teh hangat dan makanan tradisional jajan pasar. Suatu keramahan dan kebaikan yang tidak mungkin kami tolak.

keramahan & kebaikan dari warga Girpasang, tiap tamu diajak masuk ke rumahnya dan dijamu

Ditemani Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, kami Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) mengunjungi kampung terisolir yang berada di pojok Tenggara Merapi, berbatasan dengan Kabupaten Boyolali. Kampung tersebut bernama Gir Pasang.

Cikal Bakal Gir Pasang
Gir Pasang berasal dari nama Gligir Pasang. Ada beberapa versi asal-usul namanya. Pertama, Gligir yang berarti pinggiran atau pinggir jurang; dan Pasang yang berarti sepasang. Jadi Gir Pasang adalah kampung yang terletak ditengah-tengah sepasang jurang. Memang diantara kampung yang berketinggian 1.185 m dpl ini terdapat jurang yang sangat dalam, berkedalaman 150 meter..

Kedua, menurut sesepuh/tetua dukuh Gir Pasang, Patmo (66 tahun), “Gligir Pasang ini ibarat seperti wujud buah belimbing. Dari rangkaian kerucut-kerucut, yang mana di kanan kirinya tebal, lalu tengahnya tipis.”

Ketiga, menurut Subur (50 tahun), ketua Pokdarwis dan Dukuh III Desa Tegalmulyo, Gir Pasang berasal dari kata Gligir yang berarti pinggir, dan Pasang yang berarti pohon Pasang. “Dulu di pinggir atau sekitar kampung ini banyak pohon Pasang,” ujar Pak Subur.

kondisi rumah warga Girpasang dengan solarcell

Di Merapi terutama kawasan TNGM, pohon Pasang (Quercus sundaica) termasuk jenis asli Merapi. Jenis ini sudah beradaptasi dan tahan terhadap erupsi. 6 bulan setelah erupsi tahun 2010, batang utama pohon Pasang yang roboh dikira mati, ternyata mulai muncul tunas-tunas baru. Di blok hutan gunung Ijo kawasan TNGM, samping dukuh Gir Pasang, pohon Pasang bersama jenis Dadap ri (Erythrina lithosperma) menjadi habitat raptor jenis Elang dan primata Lutung Jawa (Trachypithecus auratus).

Untuk cikal bakal Gir Pasang, Patmo menceritakan, dirinya adalah keturunan keempat dari Ki Trunosono yang dahulu tinggal di lembah Kapuan dekat Gua Jepang, Sapuangin Merapi. Kemudian, Ki Trunosono yang bergelar Kyai Pacul Kuoso dari Panembahan Paku Buwono VI yang memilik 9 anak laki-laki itu mendapat titah untuk menempati dukuh terpencil ‘Gir Pasang’ ini.

"Jumlah anak Ki Trunosono ada 9 dengan sebutan pandawa Sembilan; salah satunya, Ki Truno Pawiro, yang merupakan kakek saya, anak ketiga dari Ki Trunosono. Patmo melanjutkan ceritanya, “Selain Ki Truno Pawiro, Gir Pasang dihuni dua anak lainnya, Truno Rejo dan Rajiyo; sedangkan keenam putra Ki Trunosono yang lain pindah ke desa lain.

Jadi dusun ini berawal dari tiga KK atau pekarangan dan semuanya masih satu trah," sambungnya. Lebih lanjut Patmo mengisahkan, setelah Ki Trunosono meninggal, "tongkat kepemimpinan" Gir Pasang diwariskan kepada kakeknya, Truno Prawiro, dilanjutkan ke ayahnya yang bernama Ki Pawiro Tani, baru kemudian ke dirinya.

silaturrahmi dengan Ketua RT Girpasang, Bapak Yosorejo yang ramah

Sekarang Dukuh Gir Pasang didiami 12 KK (35 jiwa) yang menempati 7 rumah (masih sama dengan awal-mulanya). Semua rumah khas Jawa, menggunakan tiang kayu dan berdinding kayu atau anyaman bambu. Listrik dari PLN belum ada, sehingga tiap rumah menggunakan solar cell pemberian Pemda Klaten.

Keindahan Alam
Keindahan alam berupa panorama bukit, lembah dan jurang lereng Merapi dapat dinikmati sejak berjalan dari lokasi parkir kendaraan. Lokasi Gir Pasang memang terisolir, kendaraan harus diparkir atau dititipkan pada kampung sebelah, kampung Ringin. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki meniti tangga yang berkelok dan naik turun selama sekitar 30 menit sampai 1 jam.

kebun samping rumah warga Girpasang yang dimanfaatkan tiap hari


Menurut cerita Subur, tangga tersebut mulai dibangun pada tahun 2006, setelah akses jalan terkena longsor akibat gempa Jogja tahun 2006. Awalnya hanya jalan setapak sempit selebar setengah meter, kemudian dilebarkan menjadi 1,5 meter dan dibuat tangga. Jalur sepanjang sekitar 1 kilometer ini memang tidak semuanya dibangun tangga, ada yang masih berupa jalan tanah.


Jalan berkelok yang asri dan menyehatkan

Jalur bertangga dan berkelok ini sangat indah dilihat dari atas. Jadi ingat pada jalur tangga berkelok menuju kuil di Tiongkok, kuil Shaolin di Gunung Songshan, Propinsi Henan. Burung-burung Merapi tak henti-hentinya berkicau, jika beruntung juga dapat menemui burung Elang yang terbang soaring sekitar pukul 08.00 sampai 13.00 saat langit cerah. Udara segar khas pegunungan menambah semangat menikmati perjalanan.

Kearifan Lokal
Selain keindahan alam dan keunikan lokasi yang terisolir, potensi lain yang masih terjaga di Gir Pasang adalah kearifan lokal warganya. Keramahan, kebaikan hati dan semangat gotong-royong masih kental mewarnai kampung tertinggi di Klaten ini.

Keunikan lain adalah di kampung ini tidak ditemui makanan instan seperti mie instand maupun snack atau makanan ringan. Sejak dini anak-anak dilatih tidak makan makanan berbungkus plastik. Warga akan khawatir anak-anaknya mempunyai kebiasaan makan makanan instan akan menyusahkan mereka, karena jauh dari warung dan perbelanjaan.

ruang publik kampung Girpasang yang asri dan teduh

Untuk menuju lokasi kampung surga Gir Pasang dapat dicapai melalui Obyek Wisata Deles Indah, dari Yogyakarta paling mudah melalui Pabrik Gula Gondang, Klaten. Dari Deles Indah cukup melalui jalan yang sudah di-cor ke arah Timur, atau Desa Tegalmulyo. Jika belum tahu, dapat menuju Basecamp Sapuangin Merapi, dukuh Pajegan, Tegalmulyo untuk minta dipandu menuju Gir Pasang.
Dari basecamp Sapuangin kemudian menuju dukuh Ringin sekitar 500 meter untuk parkir kendaraan. Kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki meniti tangga berkelok dan naik turun sejauh 1 kilometer sambil menikmati panorama dan kesegaran udara pegunungan. Saat pagi atau sore hari dapat menjumpai etos kerja warga yakni yang membawa rumput seberat 25-40 Kg di atas kepala menyusuri anak tangga.

Mencari rumput merupakan kegiatan harian warga, dari usia muda sampai tua usia 70-an tahun. Saya menjadi teringat sebuah teori dari Charles Darwin, ‘The Survival of The Fittest’, hanya mereka yang mampu beradaptasi yang dapat hidup. Warga Gir Pasang dapat bertahan hidup turun-temurun mempertahankan kearifan lokalnya dari godaan zaman. Wallaahu’alam.


Rubrik PARIWISATA koran Kedaulatan Rakyat, tanggal 26 Desember 2015