Selasa, 22 Februari 2011

Tentang Fatwa HARAM Rokok

TULISAN Bapak Drs H Sahlan, tentang Fatwa Haram Rokok di Pikiran Pembaca (KR, 20/3/2010), menarik untuk ditanggapi. 

Muhammadiyah selaku organisasi besar Islam tentunya mempunyai asar yang kuat dalam mengeluarkan fatwa. Sudah menjadi konsekuensi ulama saat mengeluarkan fatwa yang ‘berseberangan’ akan banyak ditentang. Ulama-ulama zaman dahulu juga mengalaminya, seperti Ibnu Taimiyah yang pernah sampai dipenjara, Imam Hanafi, bahkan Buya Hamka sendiri.


Sebab rokok diharamkan orang awam pun akan memahaminya, karena ada beberapa alasan yang mudah diterima akal sehat, yakni:
  1. Kandungan racun dalam rokok. Ada 4.000 bahan kimia dan gas dalam rokok, dan  yang paling berbahaya adalah nikotin. Peran nikotin dapat menyebabkan ketagihan, sama dengan heroin dan kokain. Racun lainnya yaitu amonia (bahan pembersih lantai), naftalen (zat kapur barus), hidrogen sianida (racun yang digunakan untuk pelaksanaan hukuman mati), aseton (penghapus cat kuku), toluen (pelarut), metanol (bahan bakar roket), arsenik (racun semut), butan (bahan bakar korek api), kadmium (bahan aki mobil), DDT (racun serangga), vinil klorida (bahan plastik) dan lain-lain. Sampai-sampai Taufik Ismail menulis dalam sebuah sajaknya, ‘Tuhan Sembilan Senti’, yang isinya a.l: 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 Penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?”
  2. Bagi yang bukan perokok tetapi menghirup asap rokok (perokok pasif) bahayanya lebih besar daripada si pengisap rokok/perokok aktif. Sebab tubuh perokok pasif tidak memiliki antibodi (penangkal) zat racun rokok. Akibatnya, racun dari asap rokok akan langsung terserap dalam tubuh. Berbeda dengan perokok aktif. Karena telah mengisap rokok bertahun-tahun, tubuh perokok aktif membentuk antibodi yang dapat mengurangi penyerapan racun dalam tubuh. Ini sama dengan berlaku dzolim pada orang lain. Wahai perokok, di mana empatimu? Bagaimana jika perokok pasif ini anak-anak balita yang tubuhnya belum kuat?
  3. Alasan lain yang menolak fatwa rokok haram adalah dapat menyebabkan kerugian negara karena cukai rokok yang besar. Data Depkes menyebutkan tahun 2004, total penerimaan negara dari cukai tembakau adalah Rp 16,5 triliun, padahal biaya yang dikeluarkan negara akibat sisi negatif tembakau Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termasuk biaya kesehatan, pengobatan dan kematian akibat tembakau.
  4. Rokok adalah pintu gerbang menuju kemaksiatan, penurunan moral dan lost generation. Tidak ada orang yang minum alkohol, terkena HIV atau memakai narkoba tanpa merokok terlebih dahulu,” demikian kata Prof Farid A Moeloek, mantan Menkes. Dalam UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. “Jadi rokok harusnya juga diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya kalau narkotik tidak diiklankan, merokok juga seharusnya tidak boleh. Masalah rokok juga harus ditangani secara spesial,” lanjut Prof Farid. Dalam hal ini pemerintah harus menunjukkan komitmen dan ketegasannya menjalankan UU.
Melihat banyaknya efek negatif rokok, sudah benar ulama Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram. Hanya saja Muhammadiyah juga harus membuat strategi mengatasi efek pengangguran pekerja petani tembakau. Hal ini dapat ditangani oleh banyaknya institusi pendidikan Muhammadiyah, seperti Fakultas Pertanian di berbagai PTM yang mempersiapkan alih profesi pekerja dan petani tembakau. Semoga NU juga mengeluarkan hal serupa dalam Muktamar (23/3) lalu. Semoga pula rakyat Indonesia semakin sehat dan makmur tanpa tembakau. Wallahu’alam

Koran Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2010

Senin, 21 Februari 2011

MASJID LABA-LABA

Alkisah ada seorang yang sangat ingin dikenal sebagai Kyai yang dihormati di kampungnya.  Bermacam usaha dia lakukan, salah satunya menjadi imam sholat jama’ah di masjid dan memimpin dzikir/pengajian. Padahal dari sisi kefasihan bacaan Al-Qur’an sangat kurang, bahkan cukup banyak bacaan yang salah.
    Sayangnya pula tidak ada jama’ah yang mempunyai keberanian untuk mengingatkan kesalahannya, karena makmum mayoritas orang tua yang bersikap lebih memilih mendiamkan daripada menimbulkan konflik. Budaya ‘ewuh-pekewuh’ masih sangat membudaya di kampung itu. Alhasil tiap shalat fardhu, Kyai tersebut dengan penuh percaya diri maju menjadi imam, dan tidak ada yang berani mencegahnya.
    Lambat laun jama’ah masjid tersebut semakin  berkurang karena semakin banyak orang tua yang meninggal dunia, padahal tidak ada regenarasi pemuda masjid. Kyai itu pun menyusul meninggal dunia. Masjid semakin sepi dan tidak terawat. Satu demi satu mulai digantikan jama’ah dari golongan satwa seperti laba-laba, kecoa, tokek, sampai menjadi sarang burung sriti.
 
Bermakmum Dengan Imam Yang Tidak Baik Bacaannya

    Diantara persyaratan seorang bisa menjadi imam dalam shalat adalah memiliki kemampuan untuk membaca Al Qur’an dengan benar dan memiliki sejumlah hafalan tertentu menjadi sebab sahnya shalat. Persyaratan itu bisa dianggap jika orang-orang yang bermakmum kepadanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam membaca Al Qur’an.
    Tidaklah sah imamnya seorang yang ummi (tidak bisa baca Al Qur’an) terhadap orang yang bisa membacanya, tidaklah sah imamnya seorang yang bisu terhadap orang yang bisa membaca Al Qur’an atau terhadap orang yang ummi karena membaca adalah salah satu rukun didalam shalat. Tidaklah sah makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an dibelakang orang yang tidak pandai membacanya karena imam adalah penjamin dan yang bertanggungjawab terhadap bacaan makmumnya dan ini tidaklah mungkin terdapat didalam diri orang yang ummi.
    Adapun imamnya seorang yang ummi untuk orang yang ummi juga atau bisu maka diperbolehkan, ini merupakan kesepakatan para fuqaha. Kemudian imamnya seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang melantunkan dengan suatu lantunan yang tidak merubah arti maka ia makruh menurut para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut para ulama Hanafi bahwa seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang mengucapkan huruf siin menjadi tsa atau ro’ menjadi ghoin atau sejenisnya maka ia dilarang untuk menjadi imam. Menurut para ulama Maliki keimaman mereka dibolehkan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2149).
    Jumhur ulama (para ulama Hanafi, Maliki dan Hambali) mengatakan bahwa janganlah seorang makmum lebih kuat (mampu) keadaannya dalam membaca Al Qur’an daripada imamnya. Tidak diperbolehkan seorang pandai membaca Al Qur’an bermakmum dengan seorang yang ummi tidak dalam shalat wajib maupun sunnah. Tidak diperbolehkan seorang yang sudah baligh bermakmum dengan anak kecil, tidak diperbolehkan seorang yang mampu melakukan ruku’ dan sujud bermakmum dengan orang yang tidak mampu melakukan keduanya.
    Demikian pula tidak sah makmumnya seorang yang sehat dibelakang orang yang sakit seperti penderita enuresis. Tidak sah makmumnya seorang yang menutup aurat dibelakang orang yang tampak auratnya sebagaimana pendapat para ulama Hanafi dan Hambali sementara hal itu dimakruhkan oleh Maliki,
    Para ulama Hanafi menyebutkan sebuah kaidah dalam permasalahan ini,”Pada dasarnya keadaan imam walaupun seperti keadaan makmumnya atau lebih diatasnya maka shalat mereka semua dibolehkan. Akan tetapi jika imamnya dibawah kualitas makmum maka shalatnya imam sah dan shalat makmumnya tidaklah sah.” Dan jika imamnya ummi sementara makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an atau imamnya bisu maka shalat imamnya juga tidak sah.
    Para ulama Hanafi telah memperluas penerapan prinsip ini pada banyak permasalahan. Kaidah ini diikuti oleh para ulama Maliki dan Hambali sementara para ulama Syafi’i menentang mereka dibanyak permasalahan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal II 1899).
    Ibnu Qudamah mengatakan bahwa barangsiapa yang meninggalkan satu huruf dari huruf-huruf dalam surat al Fathihah dikarenakan kelemahan membacanya atau merubahnya dengan huruf yang lain, seperti orang yang al altsagh (merubah huruf ro’ menjadi ghoin), al arotti (orang yang mengidghomkan satu huruf ke huruf lainnya) atau melagukan dengan dengan lagu yang merubah makna seperti orang yang mengkasrohkan huruf kaf pada iyyaka atau orang yang mendhommahkan huruf ta’ pada an’amta dan tidak mampu memperbaikinya maka orang itu adalah seperti seorang yang ummi dan tidak diperbolehkan bagi seorang yang pandai membaca al Qur’an bermakmum kepadanya.
    Dan diperbolehkan bagi setiap mereka menjadi imam bagi orang yang memiliki bacaan seperti dirinya karena keduanya adalah orang yang ummi, diperbolehkan bagi salah seorang dari mereka berdua menjadi imam bagi seorang lainnya seperti dua orang yang tidak bisa memperbaiki bacaannya sedikit pun..
    Sedangkan apabila seorang yang mampu memperbaiki bacaannya namun ia tidak melakukannya maka shalatnya tidak sah begitu juga dengan shalat orang yang bermakmum dengannya. (al Mughni juz II hal 411).
    Dengan demikian tidak seharusnya seorang imam memiliki kualitas bacaan yang buruk atau tidak benar didalam pengucapan huruf-huruf al Qur’an baik ketika membaca Al Fatihah yang merupakan salah satu rukun shalat atau surat-surat lainnya sementara dibelakangnya terdapat orang yang pandai membaca Al Qur’an..
    Hal itu dikarenakan akan mempengaruhi kesahan shalat dirinya atau shalat makmum yang lebih pandai darinya sebagaimana penjelasan diatas.
Kewajiban Memberikan Peringatan
    Sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk berdakwah memberikan peringatan, meluruskan yang salah. Inti dakwah adalah untuk dirinya sendiri -bukan hanya untuk orang lain-, yakni menuju selamat dunia-akherat, seperti ungkapan: “Jalan Dakwah mengajarkan bahwa kami memang membutuhkan dakwah. Kebersamaan dengan saudara-saudara di jalan ini semakin menegaskan bahwa kami harus hidup bersama mereka di jalan ini agar berhasil dalam hidup di dunia dan di akhirat”.
    Kisah  Masjid Laba-laba dapat dicegah jika semua jama’ah satu tujuan memakmurkan masjid sesuai syariat yang dibawa Rasulullah Saw. Patut diingat bahwa Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) menjadi budaya di negara ini karena awalnya didiamkan saja. Bahkan sampai sekarang tidak ada yang berani dengan tegas memberikan hukuman bagi pelakunya. Tak heran negara ini masih terseok-seok untuk maju menjadi Negara Madani.
    "Perumpamaan orang-orang yang mencegah berbuat maksiat dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari mereka berada di bagian atas dan yang lain berada di bagian bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: 'Andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami'. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki), akan binasalah seluruhnya. Dan jika dikehendaki dari tangan mereka keselamatan, maka akan selamatlah semuanya". (HR. Bukhari).

@kaliurang, 17 Februari 2011, untuk bulletin Arbain, Patangpuluhan, Yogyakarta

referensi:
Sigit Pranowo,Lc. Imam Shalat Kurang Fasih.http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/imam-sholat-kurang-fasih.htm

Minggu, 20 Februari 2011

UPAYA PENYELAMATAN SATWA LIAR GUNUNG MERAPI

Saat Merapi meletus, pemerintah dan pelbagai organisasi sibuk bekerja untuk menyelamatkan manusia yang tinggal di Merapi dan sekitarnya. Sedangkan nasib satwa liar penghuni Gunung Merapi nyaris belum terpikirkan orang, padahal informasi terbaru (tanggal 2 November 2010) monyet ekor panjang (Maccaca fascicularis) turun ke pemukiman warga Kaliurang dan merusak tanaman (TNGM, 2010). Selama ini monyet ekor panjang sebagian besar makanannya tergantung dari pengunjung wisata Plawangan-Turgo. Alhasil selama Kaliurang ditutup mereka susah memperoleh makanan, apalagi ditunjang dengan erupsi Merapi. Bagaimana cara mengevakuasi dan menyelamatkan satwa liar Merapi?
 Sebagai Khalifah fil Ardh ‘Pemimpin di Bumi’  manusia harus melindungi makhluk-makhluk lain atau binatang secara bijak karena mereka bermanfaat bagi keseimbangan sistem kehidupan di muka bumi. Makhluk hidup apa pun merupakan mata rantai ekosistem kehidupan yang satu sama lain saling membutuhkan. Peter H. Raven mengatakan bahwa “hilangnya satu jenis pohon akan diikuti hilangnya 10 sampai 30 jenis satwa seperti insekta (serangga), hewan besar dan juga jenis lainnya.” 
Berangkat dari perspektif inilah, di samping manusia di Merapi dan sekitarnya, kita juga perlu memperhatikan dan menyelamatkan satwa liar di wilayah itu. Terutama, perhatian itu diberikan kepada satwa langka seperti Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), macan kumbang (Panthera sp.) dan macan tutul (Panthera pardus). Ketiga satwa ini populasinya sudah sangat sedikit sehingga jika manusia tidak melindunginya, bisa musnah. Jika mereka musnah, lantas siapa yang bisa menciptakannya? 

Potensi Satwa Liar TNGM

         Dengan luasan wilayah ±6.410 Hektar, kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) menyimpan potensi kehati (keanekaragaman hayati) yang besar. Ada ratusan jenis tumbuhan di TNGM, diantaranya adalah kantung semar, cokro geni, pakis, dan anggrek langka Vanda tricolor. Untuk satwa liar mencakup mamalia, reptilia, dan aves. Beberapa jenis mamalia diantaranya adalah: macan kumbang, macan tutul, babi hutan (Sus scrofavittatus), kijang (Muntiatjus muntjak), monyet ekor panjang, lutung kelabu (Presbytis fredericae), kucing besar (Felis sp.), musang (Paradoxurus hermaprodus).

Jenis reptil yang ditemui adalah ular sowo (Dytas coros), ular gadung (Trimeresurus albobabris), bunglon (Goneocephalus sp.). Selain itu di TNGM hidup 159 jenis burung, 32 jenis diantaranya adalah endemik Merapi. Jenis burung yang terkenal adalah Elang Jawa yang jumlahnya hanya 4 ekor di lereng Selatan (data TNGM, 2010)

Lereng Selatan Merapi, yakni kawasan hutan dari Deles, Klaten; Kinahrejo, Cangkringan dan Plawangan-Turgo, Pakem mempunyai tingkat kehati paling tinggi; disusul lereng Barat: kawasan hutan Ngargomulyo, Dukun, Magelang. Mereka menjadikan kawasan Merapi dan sekitarnya sebagai tempat berlindung dari berbagai gangguan, berkembang biak dan membesarkan anak-anaknya, serta mencari makanan dan minuman untuk kelangsungan hidupnya. 


Upaya Penyelamatan dan Rehabilitasi

Saat gunung Merapi akan meletus, melalui naluri alamnya yang tajam, banyak satwa liar yang turun gunung untuk menyelamatkan diri. Mereka mencari daerah aman untuk berlindung. Tapi sayangnya, sulit bagi mereka untuk mencari tempat perlindungan tersebut. Sebab daerah-daerah lereng dan dataran tinggi di sekitar Merapi sudah dihuni manusia. Mereka sulit menemukan daerah penyangga dan jalur-jalur koridor pengaman yang dapat melindungi mereka.

Daerah yang seharusnya menjadi penyangga dan koridor pengaman satwa-satwa tersebut kini sudah menjadi wilayah permukiman, perkebunan, dan ladang-ladang penduduk. Satwa-satwa Merapi akan sulit mencari perlindungan guna menyelamatkan diri saat Merapi meletus. Mereka mungkin bisa lari dari lereng Merapi, tapi apakah akan selamat jika mereka datang ke permukiman dan perkebunan warga?

Sebagai contoh, ketika ada bencana alam di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, banyak satwa liar seperti harimau loreng Jawa, banteng, rusa, babi hutan, kerbau liar, bermigrasi menyelamatkan diri menuju Taman Nasional Baluran (Alikodra, 2007). Di sepanjang perjalanan itu itu banyak pemburu liar dan pembantai satwa tak bertanggungjawab. Akibatnya, harimau loreng Jawa kini sudah tidak ada lagi. Dia telah punah dari muka bumi.

Berdasarkan gambaran itulah, perlu dipikirkan bagaimana cara menyelamatkan satwa-satwa tersebut. Balai TNGM bersama Pemerintah Daerah perlu membuat daerah penyangga di sekitar Merapi dan membuat jalur khusus atau jalur hijau sebagai koridor untuk migrasi satwa-satwa tersebut ke daerah penyangga.

Untuk saat ini yang perlu segera dilakukan adalah pembentukan tim penyelamatan satwa Merapi. Balai TNGM dapat bekerja sama dengan rumah sakit hewan, Perguruan Tinggi (Fakultas Kehutanan dan Kedokteran Hewan), Dinas Kehutanan, Balai KSDA serta organisasi peduli satwa seperti Pro-Fauna. Relawan-relawan dari tim penyelamatan satwa ini melakukan penyisiran untuk menyelamatkan satwa serta melakukan perawatan dan penanganan kesehatan satwa-satwa yang luka dan sakit. Tak kalah pentingnya, perlu didirikan posko-posko penyelamatan satwa di jalur-jalur pengungsian serta menetapkan rumah sakit hewan untuk merawat hewan yang luka dan mengalami kecelakaan.

Disamping itu juga dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana sikap mereka untuk mengamankan dirinya bila berhadapaan dengan satwa liar yang berbahaya dan bagaimana membantu mengamankan satwa liar tersebut. Untuk jangka panjang perlu dipikirkan jalur migrasi satwa Merapi jika terjadi letusan serta proses rehabilitasi kawasan hutan TNGM pasca erupsi, apakah perlu dilakukan penanaman atau dibiarkan terjadi suksesi alami? Wallahu’alam bi showab.

KONSERVASI ALAM NASIONAL: Melindungi Kawasan Penyangga Hidup Manusia

Tanggal 10 Agustus 2009 merupakan hari bersejarah bagi para conservationist, karena pada saat itu Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan sebagai Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) melalui Keppres No. 22 tahun 2009. Jajaran rimbawan yang bertugas di kawasan konservasi menyadari tugas dihadapi semakin hari semakin menantang, yaitu berupa ancaman, tekanan dan gangguan terhadap hutan yang diakibatkan oleh perambahan kawasan; illegal logging; perdagangan/penyelundupan TSL (Tumbuhan dan Satwa Liar) illegal; kebakaran hutan dan lahan; perburuan/pencurian TSL; dan berkurang dan terfragmentasinya habitat satwa liar. Mayoritas disebabkan oleh tekanan masyarakat yang semakin kuat.
Perubahan sosial dalam peradaban manusia dari masyarakat primitif menjadi masyarakat agraris dan kemudian menjadi masyarakat industrialis, telah memaksa eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) secara besar-besaran diseluruh belahan bumi. (Naim, 2008).  Eksploitasi SDA yang terjadi tersebut banyak mengorbankan hutan tropis dunia yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Berbagai dampak negatif seperti banjir, longsor, dll harus ditanggung oleh manusia akibat tindakan eksploitatif yang berlebihan, akhirnya baru disadari ketika semuanya telah terjadi.
Kesadaran akan dampak buruk dari tindakan eksploitatif ini akhirnya memunculkan gerakan perlawanan berupa perlindungan yang mengarah pada pengawetan (preservation) terhadap sisa-sisa hutan alam. Di satu sisi, pemanfaatan SDA hayati dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup (ekonomis) manusia, namun di sisi lain diperlukan eksistensi sumber daya tersebut demi keberlanjutan hidup (ekologis) dan pemanfaatannya, sehingga terjadi tarik-menarik antara kepentingan pengawetan dan pemanfaatan sumber daya alam. Hal inilah yang kemudian memunculkan gerakan konservasi di seluruh belahan bumi.
Sejarah gerakan konservasi di Indonesia dimulai pada Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1889 dalam bentuk penyisihan kawasan yang dilakukan oleh Direktur Kebun Raya Bogor yang saat itu mengesahkan cagar alam pertama di Cibodas, Jawa Barat.(Ditjen PHKA, 2009). Cagar ini untuk melindungi hutan pegu­nungan yang masih perawan di daerah itu. Taman nasional yang merupakan salah satu kawasan konservasi di Indonesia baru benar-benar diben­tuk pada 6 Maret 1980, saat Menteri Pertanian men­gumumkan lahirnya lima taman nasional. Menyusul pada 1982, bertepatan dengan Konggres Taman Na­sional Internasional III, di Bali, jumlah taman nasion­al bertambah menjadi 10 kawasan. Sampai dengan 2010 ini,Indonesia telah memiliki 50 unit taman nasional (darat dan laut), dengan luasan 16.380.491,64 Ha, dari luasan kawasan konservasi sebesar 28.166.580,30 Ha.
Konservasi merupakan pengelolaan kehidupan alam yang dilakukan oleh manusia guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Konservasi bernilai sangat positif jika mampu diterapkan dalam pengelolaan alam dan lingkungan hidup. Konservasi mencakup kegiatan pengawetan, perlindungan, pemanfaatan yang berkelanjutan, pemulihan dan peningkatan kualitas alam dan lingkungan hidup.
Indonesia mendeklarasikan strategi konservasinya berdasarkan pada strategi konservasi dunia yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources  (IUCN) tahun 1980. Strategi tersebut tertuang dalam UU. No. 5 Tahun 1990. Pokok-pokok strategi konservasi Indonesia tersebut adalah: Perlindungan sistem penyangga kehidupan; Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan konservasi terdiri atas kawasan Suaka Alam yang terbagi menjadi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dan kawasan Pelestarian Alam yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Kawasan Konservasi ini penting bagi bangsa Indonesia agar dapat menjamin:
1)    Terpeliharanya terus-menerus contoh hutan alami penting yang dapat dianggap mewakili.
2)    Terjaganya keanekaragaman biologi dan fisik.
3)    Tetap lestarinya keanekaragaman hayati.
Melihat sangat banyaknya kegunaan dari sedikit kawasan konservasi yang tersisa, maka tidak ada alasan yang mengharuskan kita sebagai mahluk yang memiliki derajat paling tinggi di mata Tuhan untuk mengabaikan dan bahkan mencoba menghancurkan sisa-sisa kawasan hutan Indonesia. Peran serta kita sebagai masyarakat harus kita pupuk untuk menjamin keutuhan ciptaan Tuhan yang akan berpangkal pada kelestarian alam dan lingkungan hidup di bumi yang kita cintai ini.

Menyambut Hari Bumi 22 April: SELAMATKAN KAWASAN KONSERVASI UNTUK MASA DEPAN


Berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, tsunami, kekeringan, dan kebakaran hutan semakin mewarnai hari bumi pada tanggal 22 April. Fenomena bencana ala mini merupakan dampak dari degradasi dan kerusakan hutan, dimana saat ini mulai merambah kawasan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam). Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TN BBS), misalnya, perambahan lebih dari 50.000 hektar untuk perkebunan kopi rakyat, sementara di Gunung Leuser (TNGL), seluas 20.000 hektar kawasan rusak, 4.000 hektar sudah ditanami sawit yang diorganisir kelompok elite (Wiratno, 2009). Di Pantai Timur Sumatera Utara, Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading dibongkar menjadi tambak dan hutan bakaunya ditebang untuk industri arang; SM Bentayan dan SM Dangku dirambah untuk penambangan emas tanpa ijin (PETI). 
Di Kalimantan Timur, Taman Nasional Kutai yang kaya akan kandungan batubara, terancam dilepas kawasannya seluas 23.000 hektar atas permintaan Bupati Kutai Timur, dengan mengatasnamakan kepentingan legalisasi tujuh desa di dua kecamatan. Masih berderet panjang kasus-kasus serupa di seluruh Indonesia. Padahal fungsi penting kawasan konservasi hutan sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan yang tidak tergantikan, seperti penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis, penyerap dan penjerap polutan, pemelihara keseimbangan siklus hidrologi dan stabilitas iklim. Kawasan konservasipun dilindungi oleh UU RI No 41 Tahun1999 tentang Kehutanan dan UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Konservasinya.
Perambahan di Kawasan Konservasi
Dalam rentang waktu 38 tahun, pembangunan nasional Indonesia telah merubah wajah ruang dan lahan di hampir seluruh pulau. Perubahan tutupan lahan di Sumatera yang didominasi oleh perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan kawasan terbuka, akan berdampak langsung pada pola tekanan terhadap kawasan konservasi.
Perubahan politik menuju otonomi daerah sejak 1998, melahirkan banyak provinsi dan kabupaten/kota baru. Semua itu memerlukan kawasan hutan. Banyak kabupaten baru yang seluruh arealnya masuk dalam kawasan konservasi, seperti Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Raja Ampat. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam membengkak menjadi 23 kabupaten/kota atau hampir 200 persen; Provinsi Kalimantan Tengah dari 6 menjadi 13 kabupaten, dan seterusnya (Wiratno, 2009). Lahirnya kabupaten/provinsi baru jelas memerlukan ruang, dan kawasan hutan menjadi sasaran pertama.
Perubahan-perubahan terhadap sumber daya alam di hutan lainnya adalah berkurangnya jenis maupun jumlah, bahkan kemungkinan terjadi kepunahan akibat pemanfaatan yang berlebihan serta akibat berkembangnya jenis baru, bencana alam dan sebagainya. Lebih dari itu Peter H. Raven telah mengamati bahwa “hilangnya satu jenis pohon akan diikuti hilangnya 10 sampai 30 jenis satwa seperti insekta (serangga), hewan besar dan juga jenis lainnya” (Anonim, 2008).
Manfaat Kawasan Konservasi
Sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia, Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Index) tinggi. Walaupun kepulauan Indonesia hanya mewakili 1,3% luas daratan dunia, tetapi memiliki 25 species ikan dunia, 17% spesies burung, 16% reptil dan amphibi, 12% mamalia, 10% tumbuhan dan sejumlah invertebrata, fungi, dan mikroorganisme (Gautam, 2000).  Hutan tropis Indonesia merupakan 10% dari hutan tropis dunia dan 40-50% hutan tropis Asia.  Oleh karena itu konservasi sumberdaya hutan merupakan hal yang sangat penting.
Munasinghe (1994) mengemukakan tiga alasan yang memperkuat pentingnya konservasi sumberdaya hutan, yaitu sumberdaya hutan: 1) merupakan penyedia bahan baku bagi kehidupan manusia, 2) berfungsi sebagai “sink” yang menyerap dan menurunkan polusi serta berperanan dalam siklus unsur hara, dan 3) berfungsi sebagai penunjang kehidupan yang tidak tergantikan, sehingga tanpa sistem tersebut kehidupan di bumi akan berubah atau rusak.  Berbagai kebutuhan hidup manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung berasal dari flora dan fauna.  Tanpa keberadaan flora dan fauna siklus unsur hara dan aliran energi tidak akan berlangsung sehingga kehidupan manusia di atas permukaan bumi akan punah (Setiawan, 2001). 
Berdasarkan keadaan tersebut maka sumber daya alam flora fauna dan ekosistemnya perlu dikelola dengan baik dan lestari untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan hidup manusia pada masa kini dan mendatang, yaitu upaya-upaya perlindungan, pelestarian, pemanfaatan yang seimbang serta studi dan penelitian-penelitian. Oleh karena itu, tindakan yang paling penting untuk menghindari terjadinya kepunahan flora-fauna dan mikroorganisme sesuai dengan Convention on Conservation of Biodiversity adalah “save it, study it, and use it” (Suwelo 2000; Alikodra 1996).
          Sebagai negara yang memiliki memiliki kawasan hutan seluas 126,8 juta Ha dengan pembagian fungsi yang berbeda yakni 23,2 juta Ha sebagai kawasan konservasi, 32,4 juta Ha sebagai kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas sebesar 21,6 juta Ha serta 35,6 juta Ha sebagai hutan produksi dengan mendukung 14,0 juta Ha sebagai hutan produksi konservasi, Indonesia memikul tanggung jawab moral untuk melindungi kawasan penuh sumberdaya tersebut bagi kepentingan kesejahteraan manusia generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, baik lokal, regional, nasional maupun global (Suwarno, 2007).  Kawasan konservasi masih banyak mengalami kerusakan akibat berbagai gangguan. Adanya berbagai gangguan merupakan indikasi banyaknya masalah yang dihadapi, antara lain adalah pandangan bahwa konservasi semata-mata merupakan kegiatan Kementrian Kehutanan. Padahal perlindungan kawasan konservasi merupakan tanggungjawab kita bersama, seperti ungkapan “No forest means no future, Hutan lenyap kiamat makin dekat”.

16 MARET, HARI BAKTI RIMBAWAN KE-27: Banjir, Longsor, Tantangan Rimbawan Makin Berat


Kondisi alam semakin hari semakin memprihatinkan, berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan (krisis air), tsunami dan sebagainya melanda Indonesia.  Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 151.277 orang tewas akibat bencana alam yang melanda wilayah Indonesia dalam 13 tahun terakhir (1997 hingga 2009). Korban tewas itu akibat terjadinya sebanyak 6.632 kali bencana alam dalam 13 tahun.  
Jenis bencana yang melanda wilayah Indonesia didominasi banjir yang mencapai 35% dari total 6.632 kali bencana, disusul kekeringan (18%), tanah longsor, angin topan dan kebakaran, masing-masing 11%, dan tanah longsor (3%). Menurut laporan Federasi Palang Merah Internasional (IFRC) sebagian besar bencana alam yang terjadi di dunia merupakan dampak dari pemanasan global (global warming). Berbagai bencana alam sebagai fenomena pemanasan global tersebut menurut peneliti yang juga dosen senior dari Fakultas Kehutanan UGM Prof. San Afri Awang M.Sc (2008) merupakan dampak dari degradasi hutan. Bahkan dikawatirkan jika degradasi dan deforestasi hutan terus berlanjut sekiranya 20% pulau di wilayah Indonesia akan tenggelam seiring dengan naiknya suhu dan cuaca sekitar dua derajat celcius.

TUGAS DAN TANTANGAN RIMBAWAN
Tanggal 16 Maret merupakan hari bersejarah bagi para rimbawan, karena pada tanggal 16 Maret 1983 merupakan awal pembentukan Departemen Kehutanan yang selanjutnya menjadi cikal bakal Hari Bhakti Rimbawan. Semakin hari Rimbawan (Forester) menghadapi masalah kerusakan alam yang semakin meningkat. Bertambahnya penduduk dunia dan semakin meningkatnya standar kehidupan manusia diduga menjadi penyebab utama.
Rimbawan-pun berada pada kondisi dilematis, masalah hutan makin lama makin berkembang sebagai objek yang kontroversial. Di satu sisi, hutan harus dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan, dan disisi yang lain harus diselamatkan demi kelestariannya. Rimbawan harus bisa memilih, antara menitik-beratkan pengelolaan hutan pada hasil/bidang usaha yang dapat menciptakan lapangan kerja dengan konsekuensi hutan akan rusak dan akan semakin banyak timbul bencana alam, atau pengelolaan hutan yang menitikberatkan pada kelestarian dan penyelamatan serta perlindungan kawasan yang meliputi tumbuhan dan satwa liar, ekosistem, dan perlindungan terhadap plasma nutfah dengan konsekuensi lapangan pekerjaan akan semakin sempit karena sedikitnya usaha yang bergerak di bidang kehutanan.
Program kerja Kementerian Kehutanan (perubahan dari Departemen Kehutanan) periode tahun 2010-2014 yang mengambil visi: Hutan Lestari Untuk Kesejahteraan Masyarakat Yang Berkeadilan”,  lebih menekankan pada sektor ekonomi. Visi ini diambil berdasarkan arahan Presiden RI yang menekankan pada Triple Track Strategy. Strategi tersebut adalah :
  1. Pro growth, stabilitas ekonomi mikro yang mendukung pertumbuhan ekonomi,
  2. Pro job, pembenahan sektor riil untuk peningkatan dan penyerapan lapangan kerja,
  3. Pro poor, semua aktivitas harus dapat memberikan kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan.
Dengan Triple Track Strategy, Pemerintahan KIB II bertekad mewujudkan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 7% atau lebih, penurunan angka pengangguran sampai 6%, serta penurunan angka kemiskinan hingga 10%. Strategi ini harus dilakukan di semua sektor pembangunan, khususnya sektor kehutanan.
Berdasarkan program kerja kehutanan di atas, rimbawan dituntut untuk dapat memanfaatkan hasil hutan sebanyak-banyaknya, tetapi tetap menjaga hutan dengan sebaik-baiknya. Hal ini disebut dengan konsep kelestarian (Sustainable Yield) sehingga dapat diperoleh Multiple Use Concept, yakni manfaat ganda hutan yang dapat diperoleh secara langsung, baik secara ekonomi berupa hasil hutan kayu ataupun non kayu, serta secara tidak langsung, berupa pengaturan tata air, ekowisata, penghasil keanekaragaman tumbuhan dan satwa liar yang sangat tinggi, dan lain-lain.
Rimbawan harus siap untuk dihujat dan dicaci-maki ketika bencana alam terjadi meskipun itu bukan hasil pekerjaannya. Sebaliknya, rimbawan siap pula ditentang atau berhadapan dengan berbagai pihak/komponen masyarakat termasuk kalangan pejabat baik sipil maupun militer manakala melarang upaya pengrusakan kawasan hutan. Contoh kasus adalah pelarangan penambangan pasir di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) beberapa waktu lalu mengakibatkan aparat TNGM menghadapi demonstrasi masyarakat penambang pasir serta ancaman beberapa oknum dengan alasan kehilangan mata pencaharian pokok. Padahal fungsi utama kawasan TNGM adalah pelindung utama fungsi hidrologi (air) bagi DIY dan Jawa Tengah.
SAATNYA MENANAM UNTUK MASA DEPAN
Untuk menekan dampak deforestasi, pemerintah mesti mengembangkan upaya pelestarian sumberdaya air secara berkelanjutan melalui kegiatan konservasi. Yaitu dimulai dengan konservasi tanah serta rehabilitasi lahan dan hutan, dengan model yang dibuat berdasarkan kondisi awal dari kawasan tersebut. Penegakan hukum terhadap pelaku penebangan ilegal ((illegal logging) untuk mencegah perusakan hutan lebih lanjut harus dilakukan dengan tegas, tidak pandang itu masyarakat kecil, aparat atau pejabat. Maraknya penebangan ilegal  telah memperparah degradasi dan deforestasi hutan yang sekarang sudah mencapai 59 juta ha dengan laju degradasi tahun 2000-2007 seluas 1,18 juta ha/tahun.
          Salah satu cara konservasi tanah serta rehabilitasi lahan dan hutan dilakukan melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pohon. Pada tahun 2009 telah dilakukan gerakan penanaman pohon “One Man One Tree” dengan target 230 juta pohon. Pada tahun  ini ditingkatkan menjadi 1 Milyar pohon, sesuai dengan tema peringatan Hari Bakti Rimbawan tahun 2010, yaitu ”Perkuat Jiwa Korsa Guna Penguatan Bakti dan Kesejahteraan Rimbawan Demi Suksesnya Gerakan Tanam 1 Milyar Pohon”. Semoga kegiatan ini dapat menjadi solusi mengatasi pemanasan global di Indonesia yang terkena dampak paling parah, karena berada di Khatulistiwa. Selamat bertugas Rimbawan Indonesia!!

TNGM DILARANG DITAMBANG

Belum lama ini –dari tanggal 7-22 Desember 2009- Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) melakukan operasi penambangan pasir di wilayah TNGM. 50 Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) dibantu aparat polisi dari Polres Magelang, Jawa Tengah, TNI 0705 Kodim Magelang dan Satpol PP merazia penambang liar di kawasan TNGM, sekitar 4 Km dari arah puncak Gunung Merapi. Kepala Balai TNGM Tri Prasetyo mengatakan, operasi ini untuk menindak tegas para penambang pasir karena kegiatan penambangan liar itu merusak sedikitnya 250 hektar kawasan hutan, menumbangkan lebih dari 100 pohon pinus, mengganggu ekosistem hutan yang dikhawatirkan akan menyusutkan cadangan air, serta merusak kesuburan tanah.
Aksi serupa sebelumnya juga dilakukan masyarakat sekitar karena mereka merasa dirugikan dan menolak penambangan tersebut. Penolakan ini antara lain dilakukan oleh warga Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung, dengan memutus akses jalan menuju areal penambangan pasir beberapa waktu lalu. Aksi lain oleh warga Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, yang mengusir penambang pasir pada September 2009 lalu. Menurut masyarakat, aktivitas penambangan pasir di kawasan Gunung Merapi yang berlangsung selama puluhan tahun, telah merusak kawasan hutan dan mematikan 15 sumber air yang ada di dalamnya. Akibatnya, setiap musim kemarau, lahan pertanian di Kecamatan Srumbung, selalu kesulitan air. berbagai desa yang kekurangan air antara lain cabe kidul, ngepos, pandanretno dan sebagian besar wilayah kecamatan Srumbung.

SEJARAH BERDIRINYA TNGM
          Rencana perubahan status kawasan konservasi Merapi menjadi TNGM diawali adanya inisiatig Gubernur DIY dan Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X pada saat kunjungan kerja Menteri Kehutanan ke Yogyakarta, membicarakan masalah pembangunan kehutanan di Propivinsi DIY pada tanggal 11 Juni 2001 (Dinas Kehutanan & Perkebunan DIY, 2004). Sri Sultan HB X menyatakan pentingnya konservasi kawasan Merapi, karena kawasan ini merupakan kawasan penyangga kehidupan bagi kawasan sekitarnya (wilayah Sleman, Boyolali, Klaten dan Magelang). Namun, pengelolaan kawasan Merapi menghadapi kendala berupa dana dan kurangnya koordinasi dari institusi terkait (Pemda DIY dan Jateng, 2002). Kawasan Merapi baik dari segi biofisik, geohidrologi, maupun sosial budaya selama ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di sekitarnya ataupun para wisatawan.
          Dalam pertemuan tersebut Menteri Kehutanan menawarkan usulan peningkatan status kawasan konservasi Gunung Merapi menjadi Taman Nasional. Usulan ini diterima dan dipelajari oleh Gubernur DIY yang kemudia melakukan langkah-langkah pembentukan TNGM. Akhirnya tanggal 4 Mei 2004 turun SK Menteri Kehutanan No.134/Kpts-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi seluas ±6410 Ha yang terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten, Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman, Provinsi DIY menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).

MENGAPA HARUS TAMAN NASIONAL?
Ada berbagai alasan mengapa kawasan Gunung Merapi perlu dijaga kelestariaannya, yakni fungsi Gunung Merapi sebagai berikut:
1.    Fungsi Hidro-orologi
Jika Magelang, Klaten, Boyolai, Sleman dan Kota Yogya diibaratkan rumah, maka Gunung Merapi adalah sumurnya. Merapi adalah tandon air kota Yogya. Ada jutaan orang yang tinggal di sekitar kawasan Gunung Merapi, baik di DIY maupun Jawa Tengah. Dapat dibayangkan jika tandon air tersebut kering, seperti menghilangnya 15 sumber air di Srumbung, Magelang.
2.    Potensi Keanekaragaman Hayati
Hutan Gunung Merapi merupakan hutan tropis pegunungan yang khas karena terletak pada gunung berapi yang masih aktif, sehingga terbentuk ekosistem yang khas pula. Tercatat ada lebih dari 1000 jenis tumbuhan, termasuk anggrek langka Vanda tricolor dan satwa liar macan tutul, kijang, monyet ekor panjang, babi hutan serta 159 jenis burung, dengan 32 jenis diantaranya endemik. Potensi ini merupakan laboratorium alam yang sangat berguna bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan serta sangat mendukung fungsi kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar.
3.    Wisata Alam dan Budaya
Kawasan Gunung Merapi yang masih alami cocok untuk wisata alam dan pendidikan, seperti kemah, tracking, outbond, pendakian dan lain-lain. Demikian pula dengan upacara tradisional Labuhan Merapi oleh Mbah Maridjan, Merti Bumi, dan Sedekah Gunung dapat sebagai wisata budaya yang menarik minat wisatawan sehingga dapat meningkatkan PAD Daerah.
      Segala bentuk jenis penambangan di dalam kawasan konservasi dilarang, karena dapat mengubah bentang alam dan merusak ekosistem; seperti hilangnya sumber mata air di Srumbung. UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur larangan penambangan di kawasan hutan lindung. Operasi razia penambangan di kawasan TNGM juga didasarkan pada Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor:540/29/2009 tanggal 18 Juni 2009 tentang Pembentukan Tim Terpadu Penertiban Penambangan Pasir di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan sekitarnya khususnya di Wilayah Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Adanya operasi perlindungan dan pengamanan hutan di TNGM ini untuk menjaga kelestarian TNGM untuk kepentingan sekarang dan masa depan. Semoga dapat terwujud.