TULISAN Bapak Drs H Sahlan, tentang Fatwa Haram Rokok di Pikiran Pembaca (KR, 20/3/2010), menarik untuk ditanggapi.
Muhammadiyah selaku organisasi besar Islam tentunya mempunyai asar yang kuat dalam mengeluarkan fatwa. Sudah menjadi konsekuensi ulama saat mengeluarkan fatwa yang ‘berseberangan’ akan banyak ditentang. Ulama-ulama zaman dahulu juga mengalaminya, seperti Ibnu Taimiyah yang pernah sampai dipenjara, Imam Hanafi, bahkan Buya Hamka sendiri.
Sebab rokok diharamkan orang awam pun akan memahaminya, karena ada beberapa alasan yang mudah diterima akal sehat, yakni:
- Kandungan racun dalam rokok. Ada 4.000 bahan kimia dan gas dalam rokok, dan yang paling berbahaya adalah nikotin. Peran nikotin dapat menyebabkan ketagihan, sama dengan heroin dan kokain. Racun lainnya yaitu amonia (bahan pembersih lantai), naftalen (zat kapur barus), hidrogen sianida (racun yang digunakan untuk pelaksanaan hukuman mati), aseton (penghapus cat kuku), toluen (pelarut), metanol (bahan bakar roket), arsenik (racun semut), butan (bahan bakar korek api), kadmium (bahan aki mobil), DDT (racun serangga), vinil klorida (bahan plastik) dan lain-lain. Sampai-sampai Taufik Ismail menulis dalam sebuah sajaknya, ‘Tuhan Sembilan Senti’, yang isinya a.l: 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 Penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?”
- Bagi yang bukan perokok tetapi menghirup asap rokok (perokok pasif) bahayanya lebih besar daripada si pengisap rokok/perokok aktif. Sebab tubuh perokok pasif tidak memiliki antibodi (penangkal) zat racun rokok. Akibatnya, racun dari asap rokok akan langsung terserap dalam tubuh. Berbeda dengan perokok aktif. Karena telah mengisap rokok bertahun-tahun, tubuh perokok aktif membentuk antibodi yang dapat mengurangi penyerapan racun dalam tubuh. Ini sama dengan berlaku dzolim pada orang lain. Wahai perokok, di mana empatimu? Bagaimana jika perokok pasif ini anak-anak balita yang tubuhnya belum kuat?
- Alasan lain yang menolak fatwa rokok haram adalah dapat menyebabkan kerugian negara karena cukai rokok yang besar. Data Depkes menyebutkan tahun 2004, total penerimaan negara dari cukai tembakau adalah Rp 16,5 triliun, padahal biaya yang dikeluarkan negara akibat sisi negatif tembakau Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termasuk biaya kesehatan, pengobatan dan kematian akibat tembakau.
- “Rokok adalah pintu gerbang menuju kemaksiatan, penurunan moral dan lost generation. Tidak ada orang yang minum alkohol, terkena HIV atau memakai narkoba tanpa merokok terlebih dahulu,” demikian kata Prof Farid A Moeloek, mantan Menkes. Dalam UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. “Jadi rokok harusnya juga diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya kalau narkotik tidak diiklankan, merokok juga seharusnya tidak boleh. Masalah rokok juga harus ditangani secara spesial,” lanjut Prof Farid. Dalam hal ini pemerintah harus menunjukkan komitmen dan ketegasannya menjalankan UU.
Melihat banyaknya efek negatif rokok, sudah benar ulama Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram. Hanya saja Muhammadiyah juga harus membuat strategi mengatasi efek pengangguran pekerja petani tembakau. Hal ini dapat ditangani oleh banyaknya institusi pendidikan Muhammadiyah, seperti Fakultas Pertanian di berbagai PTM yang mempersiapkan alih profesi pekerja dan petani tembakau. Semoga NU juga mengeluarkan hal serupa dalam Muktamar (23/3) lalu. Semoga pula rakyat Indonesia semakin sehat dan makmur tanpa tembakau. Wallahu’alam
Koran Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2010