Sabtu, 04 Oktober 2025

Paradoks K3 Wisata

Pariwisata petualangan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berkembang pesat sebagai sektor yang menawarkan pengalaman ekstrem - dari arung jeram di Kalibawang, trekking-outbound di lereng Merapi hingga Paralayang di Watugupit. Namun, di balik pesona adrenalin dan lanskap eksotis, tersembunyi satu paradoks keselamatan yang menarik, yakni semakin berpengalaman pekerja wisata, semakin rendah persepsi mereka terhadap risiko.

 

Terbit di Opini Koran "Kedaulatan Rakyat" tanggal 4 Oktober 2025 halaman 7

Penelitian yang dilaksanakan oleh Tim dari Stikes ‘YKY’ Yogyakarta bersama Dinas Pariwisata DIY tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Pekerja Wisata Petualangan memperoleh hasil yang mengejutkan. Hasil sementara terhadap 114 responden dari total 297 pekerja wisata petualangan DIY mengungkapkan profil demografis yang unik, yakni mayoritas laki-laki (82,5%), berpendidikan tinggi (59,6% lulusan perguruan tinggi), dan berpengalaman (rata-rata 11,8 tahun). Sebagian besar responden pemandu wisata alam dan budaya ini bekerja langsung di lapangan (85,1%), terpapar risiko operasional setiap hari. Namun, justru kelompok ini menunjukkan kecenderungan meremehkan risiko K3.


Analisis statistik menunjukkan korelasi negatif antara tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan pengetahuan K3 dengan persepsi risiko. Sebaliknya, stres kerja dan pengalaman cedera sebelumnya menunjukkan korelasi positif. Artinya, semakin ahli seseorang, semakin rendah kewaspadaannya terhadap bahaya - sebuah paradoks yang menantang asumsi konvensional dalam manajemen keselamatan.


Fenomena ini tidak disebabkan oleh ketidaktahuan pemandu wisata petualangan. Justru, pengalaman panjang tanpa insiden serius membuat pekerja menjadi terbiasa dan terlalu percaya diri. Dalam psikologi kognitif, kondisi ini disebut habituasi dan “complacency” - rasa aman palsu yang muncul karena sering menghadapi bahaya tanpa konsekuensi. Paparan berulang terhadap bahaya tanpa konsekuensi nyata menumpulkan sensitivitas terhadap risiko.

Selain itu, “overconfidence” dan “familiarity trap” berperan penting. Kepercayaan diri berlebih membuat pekerja merasa “kebal” terhadap insiden. Lingkungan kerja yang sudah sangat dikenal mendorong pengambilan keputusan intuitif, bukan analitis. Dalam analisis bahaya, para pekerja menilai sebagian besar risiko berada pada level 'Sedang'. Namun, beberapa risiko spesifik - seperti cuaca ekstrem, wisatawan tidak berpengalaman, dan kegagalan peralatan - konsisten dinilai 'Tinggi'. Temuan penting lainnya adalah risiko tertinggi sering muncul dari kegagalan internal sistem manajemen, bukan faktor alam. Artinya, ada celah nyata antara kebijakan K3 yang tertulis dengan praktik di lapangan.


Paradoks ini mengindikasikan bahwa pelatihan K3 yang hanya fokus pada transfer pengetahuan teknis tidak cukup. Pelatihan perlu beralih ke pendekatan metakognitif yakni melatih pekerja berpengalaman untuk menyadari dan mengelola bias kognitif mereka. Hasil sementara penelitian ini membawa implikasi mendalam bagi desain pelatihan K3 di sektor wisata petualangan.

Dalam konteks DIY, pendekatan ini harus berakar pada nilai-nilai budaya lokal. Konsep “eling lan waspada” (kesadaran dan kewaspadaan); “sangkan paraning dumadi” (kesadaran asal dan tujuan hidup), “ngajeni alam” (etika profesionalisme menghormati alam sekitar); serta semangat gotong royong dapat menjadi fondasi pelatihan keselamatan yang lebih bermakna dan berkelanjutan.

Ada 3 solusi kebijakan (policy brief) yang dapat diterapkan untuk pekerja pariwisata DIY terutama di sektor wisata petualangan. (1.) Pelatihan K3 berbasis budaya dan refleksi metakognitif, yakni menggunakan modul pelatihan yang mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan studi kasus insiden nyata, serta mendorong diskusi terbuka tentang kesalahan dan hampir kecelakaan (near-misses). (2.) Pemberdayaan komunitas wisata sebagai agen keselamatan, dengan melibatkan tokoh adat, komunitas lokal, dan pelaku wisata dalam penyusunan SOP keselamatan yang kontekstual dan partisipatif. (3.) Audit sistem manajemen K3 berbasis persepsi lapangan, menggunakan data persepsi risiko dari pekerja sebagai indikator awal untuk mengevaluasi efektivitas sistem manajemen keselamatan.

Pelaksanaan kebijakan ini dapat difokuskan dahulu pada wilayah yang menjadi pusat wisata petualangan, yakni Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul. Integrasi nilai budaya lokal seperti Eling lan Waspada dan gotong royong dalam SOP dan pelatihan akan memperkuat budaya kewaspadaan. Dengan demikian, sektor wisata petualangan DIY dapat menjadi pelopor destinasi wisata yang aman, berbudaya, dan berdaya saing. 

Yogyakarta, 1 Oktober 2025
Ttd


Arif Sulfiantono, M.Agr., M.S.I.
Tim Peneliti K3 Wisata Petualangan DIY 2025 & Dosen Praktisi Prodi Bisnis Perjalanan Wisata Sekolah Vokasi UGM