Dalam peta kompetisi pariwisata ramah Muslim nasional, posisi DIY pada Indonesia Muslim Travel Index (IMTI) 2025 mengalami penurunan menjadi nomor ke-10 dari 15 provinsi. Hasil ini diumumkan saat launching hasil kajian IMTI 2025 di Jakarta (9/10), sebelumnya DIY menempati posisi ke-5 (tahun 2018), ke-7 (tahun 2019) dan ke-7 (tahun 2023). Angka ini menandakan bukan keterpurukan, melainkan peluang untuk berbenah. Tim Pariwisata Ramah Muslim (PRM) DIY bersama KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah) dan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) mencoba ‘mengulik’ 6 besar IMTI 2025, persiapan menuju IMTI 2027.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 8 November 2025 halaman 7
Banten menempati posisi ke-6 karena memiliki Bandara Soekarno Hatta. NTB di posisi ke-3 karena punya event dunia yakni balapan di sirkuit Mandalika. Sedangkan Jawa Barat menmpati posisi pertama IMTI 2025 karena memiliki branding di sosial media yang bagus, padahal sebelumnya di posisi nomor 6 (tahun 2023, 2019, 2018). Selain itu juga ada pendampingan intens dari Pusat Halal National Hotel Institute (NHI) sehingga dapat mengeluarkan Pedoman Pariwisata Halal Jawa Barat.
DIY harus mengembangkan aspek-aspek seperti itu di luar aspek regulasi. Dan DIY memiliki kekuatan fundamental selain industri yang sudah siap, yakni warisan budaya Islam-Jawa, daya tarik spiritualitas, serta karakter pelayanan masyarakat yang ramah. Sebagai pusat kebudayaan dan pendidikan, DIY memiliki keunikan yang tak dimiliki provinsi lain. Pengakuan UNESCO terhadap Cosmological Axis of Yogyakarta pada 2023 menjadi momentum emas untuk menegaskan narasi “Living Islamic Heritage City” — sebuah konsep yang menggabungkan spiritualitas, budaya, dan keberlanjutan. Warisan Mataram Islam, keberadaan Masjid Gedhe Kauman, jaringan Masjid Pathok Negoro, serta dinamika komunitas pesantren dan desa/kampung wisata religius, menjadi fondasi autentik bagi PRM yang berakar pada nilai dan budaya lokal.
Namun, di tengah kekayaan itu, DIY masih menghadapi sejumlah tantangan. Belum adanya regulasi formal dan panduan teknis PRM membuat banyak pelaku wisata bergerak secara parsial. Skor komunikasi yang relatif rendah dalam IMTI 2025 (peringkat 10 nasional dengan skor 51,3) mencerminkan kurangnya integrasi dalam promosi dan digitalisasi informasi halal. Sementara itu, kualitas pengelolaan situs warisan, penyediaan fasilitas ibadah, serta ketersediaan restoran halal masih belum merata. Tanpa sinergi lintas sektor — antara pemerintah, akademisi, industri, dan komunitas — keunggulan kultural Yogyakarta bisa tergerus oleh provinsi lain seperti Jawa Barat dan NTB yang telah lebih dulu melangkah dengan regulasi dan strategi komunikasi yang kuat.
Di sinilah peran riset menjadi krusial. Langkah yang telah dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata DIY adalah pemutakhiran data hotel-resto tersertifikasi halal, serta bersama MES DIY melakukan pendampingan terhadap desa wisata Widosari yang bertransformasi menjadi Desa Wisata Ramah Muslim. Upaya ini menegaskan bahwa PRM bukan sekadar label halal, melainkan ekosistem yang menyatukan ekonomi syariah, UMKM, kuliner, hingga industri kreatif Islami. Pendekatan berbasis data dan riset memungkinkan pemerintah daerah untuk tidak lagi bergantung pada kegiatan seremonial, melainkan membangun kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) yang relevan dan berkelanjutan.
Ke depan, ada empat fokus riset yang akan menentukan arah penguatan IMTI DIY, yakni integrasi nilai Islam-Jawa dalam story telling untuk narasi destinasi, digitalisasi komunikasi PRM, penguatan ekosistem ekonomi halal, serta peningkatan standar layanan dan aksesibilitas wisata. Dengan riset yang kolaboratif, adaptif, dan partisipatif, Yogyakarta berpotensi menjadi laboratorium hidup pengembangan wisata Islam di Indonesia. Universitas atau Perguruan Tinggi Islam seperti UIN, UII, UNU maupun dari Muhammadiyah dapat ‘digandeng’ untuk berkolaborasi dalam riset maupun pengembangan PRM di DIY.
Catatan dari kajian IMTI 2025 untuk DIY adalah menjadi destinasi wisata ramah Muslim bukan sekadar ambisi statistik dalam indeks IMTI, melainkan refleksi nilai-nilai luhur yang telah mengakar di bumi Mataram. Spirit “hamemayu hayuning bawana” — memuliakan kehidupan dan alam semesta — sejalan dengan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin yang menjadi ruh pelayanan wisata di Yogyakarta. Dengan kolaborasi lintas sektor, komunikasi digital yang kuat, dan keberpihakan pada riset, Yogyakarta siap melangkah menjadi “Living Islamic Heritage City”, pusat pembelajaran pariwisata Islam yang ramah, inklusif, dan berdaya saing global.
Yogyakarta, 30 Oktober 2025
Ttd
Arif Sulfiantono, M.Agr., M.S.I.
Peserta launching hasil kajian IMTI 2025, Tim PRM DIY & Dosen Praktisi Prodi Bisnis Perjalanan Wisata Sekolah Vokasi UGM
