Jumat, 16 September 2016

KOPI DAN KONSERVASI

Tanggal 1 – 10 September 2016 kemarin di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat, badan internasional konservasi alam (International Union for the Conservation of Nature/IUCN) menyelenggarakan kongres konservasi dunia (World Conservation Congress/WCC). Kegiatan 4 tahunan sekali yang dimulai sejak tahun 1948 ini bertujuan untuk menyusun inisiatif-inisiatif konservasi dan pembangunan berkelanjutan di masa mendatang.

WCC tahun ini mengusung tema ‘Planet at a crossroad’. Tema tersebut merefleksikan perdebatan tentang pembangunan berkelanjutan di tengah pesatnya pertumbuhan penduduk global. Kongres ini diharapkan dapat meningkatkan kerjasama pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam untuk kebaikan manusia, serta menjamin keberlangsungan pembangunan sosial dan ekonomi.
Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 16 September 2016

Disaat kongres IUCN itulah, penggemar kopi dan pemerhati konservasi membentuk grup Whatsapp guna berbagi informasi dan jalin kerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa meninggalkan nilai konservasi. Ada beberapa cerita menarik dari anggota grup tentang peran kopi yang menunjang konservasi.
Selama ini perkebunan kopi identik dengan “suka cahaya sinar matahari” (kebun kopi monokultur atau sun coffee), yakni pembangunan kebun kopi dengan membuka hutan alam (kawasan konservasi dan hutan lindung). Hasil yang diperoleh adalah serangan hama dan penyakit meningkat, yang semuanya berakibat terhadap turunnya nilai jual kopi.

Sedikit diketahui bahwa tanaman kopi aslinya tumbuh di bawah tajuk pohon dalam hutan tropis, tidak di kawasan terbuka bergelimang cahaya matahari. Petani kopi skala kecil sebenarnya telah mengambil manfaat dari sistem kebun kopi bernaungan jenis-jenis pohon (shaded grown coffee).

Tanaman kopi ini mempunyai banyak keunggulan, seperti sedikit perawatan, tutupan tajuk kebun mirip hutan yang meningkatkan keanekaragaman hayati tumbuhan dan satwa liar; berperan sebagai tempat pengungsian satwa liar yang hidup di hutan alam, sepert satwa mamalia dan  burung, melindungi keberadaan jenis musang untuk penyebar biji kopi dan menghasilkan jenis kopi spesial yang  termahal harganya di dunia; tanaman kopi dapat berdampingan dengan pohon yang bermanfaat ekonomi, sehingga meningkatkan keragaman sumber pendapatan bagi petani.

Kopi Sulingan Menoreh
Belajar dari konsep shaded grown coffee diatas dan bird-friendly coffee dari Amerika Selatan, Imam Taufiqurrahman (Direktur Yasan Kutilang yang bergerak pada konservasi burung) mendirikan Kopi Sulingan, produk kopi robusta ramah lingkungan yang berasal dari Desa Jatimulyo Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo. Biji kopi diperoleh dari tanaman kopi yang tumbuh liar di bawah teduhan hutan perkebunan rakyat (shaded grown).
Melalui sistem tersebut masyarakat dapat memperoleh keuntungan dari biji kopi tanpa harus merusak habitat burung di hutan. Di sisi lain, diharapkan timbul kesadaran masyarakat untuk melindungi burung yang menjadi branding produk kopi di kawasan ini.Desa Jatimulyo merupakan daerah yang kaya akan keanekaragaman burung.
Terdapat sekitar 80 jenis burung di kawasan ini, beberapa diantaranya merupakan jenis yang cukup sulit ditemukan di daerah lain, seperti Sikatan Cacing (Cyornis banyumas) dan Serak Bukit (Pholidus badius). Keberadaan burung-burung ini dilindungi oleh Peraturan Desa (Perdes) yang melarang kegiatan perburuan di seluruh kawasan.
Ide tentang Kopi Sulingan sendiri muncul ketika dalam sebuah forum yang dihadiri oleh Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ) serta Kepala Desa Jatimulyo beberapa tahun yang lalu, berfokus pada tentang tingginya potensi desa tersebut. Dari diskusi tersebut, tercetuslah ide untuk memberdayakan potensi tanaman kopi yang kurang termanfaatkan. Kata “sulingan” sendiri berasal dari nama lokal burung Sikatan Cacing, sejenis burung pemakan serangga yang cantik dan bersuara merdu.
Kopi Merapi
Selain dikenal dengan gunung berapi paling aktif, Merapi ternyata juga mempunyai kopi yang khas rasanya. Di Turgo, Kecamatan Pakem, Sleman, yang berketinggian 900 m dpl menghasilkan produk kopi robusta dan arabika. Bapak Musimin warga Turgo dibantu oleh Sulistyono (konservasionis) memproduksi kopi Turgo yang berasal dari lahan pekarangan warga.
Bapak Musimin dan Sulistyono membentuk kelompok tani hutan yang bergerak membina warga Turgo dalam memelihara tanaman kopi hingga proses panen. Pemeliharaan kopi tetap dibiarkan di bawah naungan pohon di lahan pekarangan warga. Produksi kopi juga dilakukan bersamaan dengan usaha konservasi tanaman asli Merapi, seperti Anggrek jenis ‘Vanda tricolor’ yang menjadi tanaman khas Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Secara kuantitas memang tidak banyak yang dihasilkan, tapi mempunyai rasa khas. Sangat sering dukuh Turgo ini dikunjungi mahasiswa, peneliti dari dalam dan luar negeri untuk belajar konservasi Merapi pada masyarakat Turgo.
Kopdar grup whatsapp Kopi & Konservasi

Selain Turgo, juga ada kopi Deles, Kecamatan Kemalang, Klaten. Kopi Deles (robusta dan arabika) yang berada di ketinggian 1200 m dpl oleh Bapak Sukiman (aktivis radio komunitas Lintas Merapi) diberi merek Kopi Petruk. Kopi ini juga berasal dari tanaman warga sisi Tenggara Merapi di lahan pekarangannya. 
Warga Deles dan sekitarnya juga turut akif melestarikan satwa liar burung dan mamalia jenis Monyer ekor panjang (Maccaca fascicularis). Pemburu yang ditangkap warga akan dijatuhi hukuman sosial, seperti makan ulat bulu yang ada di lahan/kebun warga. Keterlibatan petani kopi dalam konservasi sudah sesuai dengan hasil kongres IUCN tahun 2016, yakni mencapai tata kelola lingkungan yang lebih baik, dengan melibatkan semua komponen masyarakat untuk berbagi secara adil tanggung jawab dan  manfaat dari konservasi lingkungan

2 komentar: