“Kupu-kupu yang lucu, kemana engkau terbang, hilir mudik mencari,
kupu-kupu yang kembang.” Lagu anak-anak ciptaan Ibu Sud ini sangat familiar bagi orang
Indonesia. Lirik lagu ini sangat cocok untuk dinyanyikan di Kawasan Bantimurung
yang dikenal sebagai Kerajaan Kupu-kupu.
Redaksi Pariwisata Koran Kedaulatan Rakyat, Ahad 2 September 2018
Bantimurung
yang dijuluki sebagai ‘The Kingdom of
Butterfly’ oleh Alfred Russel Wallace (1857) karena tingginya
keanekaragaman kupu-kupu. Area yang masuk Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
(TN Babul) ini telah menjadi destinasi favorit wisata alam. Menurut Kepala Sub
Bagian Tata Usaha TN Babul ‘Bapak Abdul Aziz Bakry’ perolehan Penghasilan
Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2017 dari tiket yang terjual mencapai 2,7
Milyar, melebihi dari target yang ditetapkan sebesar 1,6 Milyar. Hal inilah
yang menjadi salah satu alasan bagi Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)
untuk melakukan studi banding ke TN Babul pada tanggal 27 – 28 Juli 2018,
belajar pengelolaan wisata alam.
Taman Nasional Bantimurung sendiri
terletak di Kabupaten Maros dan berjarak kurang lebih 42 km dari kota Makassar,
provinsi Sulawesi Selatan. Saat berwisata di Bantimurung, pengunjung akan
disuguhi pemandangan alam pegunungan karst yang indah dengan kesejukan udara di
sekitarnya. Ditambah lagi dengan adanya Air Terjun yang mengalir deras dengan
aliran sungai yang berbatuan diapit oleh kokohnya tebing-tebing terjal,
menjadikannya semakin lengkap sebagai tempat wisata yang menyegarkan tubuh dan
pikiran.
Tulisan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di dinding karst terbesar
Pegunungan Karst di Bantimurung yang memiliki
luas sekitar 47.000 hektar ini merupakan pegunugan karst yang terbesar di dunia
setelah Tiongkok yang memiliki luas 100 ribu hektar (Ambaratih, 2012). Pada
tahun 1856, Alfred Russel Wallace seorang peneliti berkebangsaan Inggris menemukan
256 jenis kupu-kupu di daerah tersebut. Diantara sekian banyak jenis kupu-kupu,
18 diantaranya adalah jenis kupu-kupu endemik yang hanya ditemukan di daerah
Bantimurung.
Sejarah dan asal usul kata
Bantimurung dimulai sejak masa Perjanjian Bungaya I dan II (1667-1669) saat
Maros ditetapkan sebagai daerah yang dikuasai langsung oleh Belanda (Asnawin,
2018). Ketika itu, wilayah kerajaan Maros diformulasikan dalam bentuk Regentschaap yang dipimpin oleh penguasa
bangsawan lokal bergelar Regent
(setingkat Bupati).
Setelah itu, Maros berubah
menjadi Distrik adat Gemeschaap yang
dipimpin oleh seorang kepala distrik yang dipilih oleh bangsawan lokal dengan
gelar Karaeng Arung atau Gallarang. Kerajaan Simbang merupakan salah satu
distrik adat Gemenschaap yang berada
dalam wilayah kerajaan Maros. Distrik ini dipimpin oleh seorang bangsawan lokal
bergelar ‘Karaeng.’
Pada sekitar tahun 1923,
Patahoeddin Daeng Paroempa, diangkat menjadi Karaeng Simbang. Dia mulai
mengukuhkah kehadiran kembali Kerajaan Simbang dengan melakukan penataan dan
pembangunan di wilayahnya. Salah satu program yang dijalankannya ialah dengan
melaksanakan pembuatan jalan melintas Kerajaan Simbang agar mobilitas dari dan
ke daerah-daerah sekitarnya menjadi lancar.
Pembuatan jalan ini, rencananya
akan membelah daerah hutan belantara. Sayangnya, pekerjaan tersebut terhambat
akibat terdengarnya bunyi menderu dari dalam hutan yang menjadi jalur pembuatan
jalan tersebut.
Saat itu, para pekerja tidak berani melanjutkan
pekerjaan pembuatan jalan, karena suara gemuruh tersebut begitu keras. Karaeng
Simbang yang memimpin langsung proyek ini lalu memerintahkan seorang pegawai
kerajaan untuk memeriksa ke dalam hutan belantara dan mencari tahu dari mana
suara bergemuruh itu berasal.
Setelah melakukan perjalanan
singkat ke dalam kawasan hutan untuk mencari tahu dari mana suara bergemuruh
berasal, pegawai kerajaan langsung kembali melapor kepada Karaeng Simbang.
Namun sebelum melapor, Karaeng Simbang terlebih dahulu bertanya. “Aga ro merrung?,” tanyanya. (Bahasa Bugis; yang
berarti: "apa itu yang bergemuruh?")
“Benti, puang (air,
tuanku)," jawab sang pegawai kerajaan (Benti
adalah bahasa Bugis halus untuk air). Merasa penasaran, Karaeng Simbang
mengajak seluruh anggota rombongan untuk melihat langsung air bergemuruh
tersebut. Sesampainya di tempat asal suara, Karaeng Simbang langsung terpana
dan takjub menyaksikan luapan air begitu besar merambah batu cadas yang
mengalir jatuh dari atas gunung.
“Makessingi kapang narekko iyae
onroangnge' diasengi benti merrung! (mungkin ada baiknya jika
tempat ini dinamakan air yang bergemuruh)," ujar Karaeng Simbang,
Patahoeddin Daeng Paroempa. Berawal dari kata benti merrung itulah kemudian berubah bunyi
menjadi Bantimurung.
TN Babul sendiri ditunjuk menjadi Kawasan
Taman Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 dengan luas 43.750 hektar. Kawasan
TN Babul merupakan gabungan dari Kawasan konservasi, yakni Cagar Alam
(Bantimurung, Karaenta, Bulusaraung); Taman Wisata Alam (Bantimurung dan Gua
Pattunuang); serta Kawasan Hutan Lainnya (Hutan Lindung, Hutan Produksi
Terbatas, dan Hutan Produksi Tetap) (TN Babul, 2018). Mandat penunjukan menjadi
Taman Nasional adalah Pertama Potensi
Karst, yakni potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi serta keunikan dan kekhasan gejala alam
dengan fenomena alam yang indah.
Kedua Potensi Tumbuhan dan Satwa Liar yang endemik dan khas,
seperti tumbuhan
Nyato (Palaquium obtusifolium), Kayu hitam (Diospyros celebica), Satwa Kuskus Sulawesi (Strigocuscus
celebensis), Musang Sulawesi (Macrogolidia mussenbraecki), serta
Kupu-kupu (Cethosia myrina, Troides haliphron, Troides helena dan Troides
hypolitus). Ketiga adanya lanskap
unik, goa alam dan nilai historis yang menjadi wahana pendidikan konservasi,
laboratorium alam, ekowisata dan daerah tangkapan air (TN Babul, 2018).
Kawasan wisata Bantimurung yang merupakan
salah satu dari 7 destinasi wisata (The
Seven Wonders) memiliki luasan 48,60 hektar. Lokasi favorit wisatawan
adalah Taman Kupu-Kupu (show window)
dan ruang display. Taman Kupu-kupu
memiliki luas 7.000 m2 yang diberi tutup berupa jaring raksasa,
sehingga nampak seperti Kerajaan Kupu-kupu.
Di dalam Kerajaan Kupu-kupu ini ada jembatan
langit Helena (Helena Sky Bridge),
yang merupakan lokasi favorit untuk foto selfie pengunjung. Helena berasal dari
nama spesies Kupu-kupu asli dan dilindungi, yakni Troides helena. Jembatan yang
dibangun pada Januari 2017 dapat dijangkau dengan berjalan kaki naik bukit atau
trekking dari loket ke sejauh sekitar 200 meter. Hampir semua rombongan studi
banding TNGM naik jembatan fenomenal ini.
Untuk naik dan menyeberang
jembatan, pengunjung diharuskan antre, karena jembatan dengan panjang 50 meter
ini memiliki batas maksimal bobot. Petugas membatasi hanya lima orang sekali
naik jembatan ini. Begitu naik ke menaranya sebelum
menyeberang, muncul perasaan was-was, karena berada pada ketinggian 100 meter.
Namun wisatawan dilengkapi dengan perlengkapan keamanan yang sesuai standar, yakni
helm dan webbing. Dari atas jembatan
ini pengunjung dapat melihat indahnya kerajaan kupu-kupu Bantimurung. Tak jauh
dari sana pun terlihat 'kubah raksasa' penangkaran kupu-kupu yang menjadi ikon
Bantimurung. Keberadaan gunung karst menambah indah latar foto di atasnya. Saya
sendiri berkali-kali mengucap Subhanallah
karena melihat kebesaran Tuhan dari atas jembatan.
Bagi pengunjung yang phobia pada ketinggian
juga dapat menikmati keindahan Kerajaan Kupu-kupu Bantimurung di dalam kubah
raksasan tempat penangkaran Kupu-kupu. Penangkaran yang dibangun pada tahun
2007 ini awalnya berisi 4 jenis Kupu-kupu, kemudian pada tahun 2015 meningkat
menjadi 20 jenis (TN Babul, 2018). Selain itu, pengunjung juga dapat belajar
identifikasi jenis Kupu-kupu di dalam ruang display.
Di dalam ruangan ini berisi ratusan awetan
kupu-kupu Bantimurung. Total ada 240 jenis kupu-kupu (Papilionoidea) di dalam
TN Babul yang telah teridentifikasi sampai tingkat spesies. Di dalam ruang display juga tersedia peralatan untuk
pengawetan Kupu-kupu sebagai wahana Pendidikan, selain sebagai koleksi ilmu
pengetahuan.
Dengan tiket masuk pengunjung sebesar Rp
25.000,- dan tiket Helena Sky Bridge
sebesar Rp 15.000,- dapat meng-eksplorasi kerajaan kupu-kupu Bantimurung. Untuk
obat kangen saat meninggalkan kerajaan kupu-kupu saya membeli gantungan kunci
kupu-kupu yang dijual oleh pedagang asongan seharga Rp 5.000,- hingga Rp
10.000,-. Sungguh destinasi wisata negeri Daeng yang sangat sayang untuk
dilewatkan.
Yogyakarta, 7 Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar