Jumat, 21 September 2018

MEMAHAMI SOAL KEBAKARAN GUNUNG


Hampir satu bulan ini beberapa Kawasan gunung dilanda kebakaran hutan. Gunung Lawu, Sumbing, Sindoro, bahkan Merapi tidak luput dari kebakaran pada tahun ini. Untuk penanggulangan kebakaran lahan di Gunung Sumbing dan Sindoro sendiri Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengerahkan helikopter yang dapat menjatuhkan bom air.

Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 21 September 2018

Medan yang sulit di lereng yang curam merupakan alasan utama pemadaman menggunakan bom air. Apalagi bulan Agustus dan September merupakan puncak musim kemarau. Cuaca kering dan panas ekstrem membuat api mudah tersulut dan cepat menyebar. Walaupun sejatinya penyebab utama kebakaran hutan bukan alam, tapi manusia.

Berita KR (18/9) menyebutkan bahwa Polres Temanggung sudah menangkap salah satu tersangka perambah dan pembakar hutan lindung Gunung Sindoro. Tersangka tersebut adalah seorang petani, warga desa yang tinggal di lereng Gunung Sindoro. Di Pulau Jawa warga desa memang terlibat dalam pengelolaan Kawasan hutan, baik hutan produksi, lindung maupun hutan negara (Kawasan konservasi).

Warga desa atau petani yang terlibat dalam pengelolaan hutan disebut ‘Pesanggem’. Pesanggem berasal dari kata dasar bahasa Jawa yakni ‘sanggem;, artinya andil garapan atau bagian lahan garapan (Wirawan, 2008) atau beban yang menjadi tanggungjawab seseorang (Simon dkk, 1999). Pesanggem baru muncul pada awal tahun 1970, sehubungan dengan proyek pembangunan Perum Perhutani.

Pesanggem berarti penggarap andil lahan hutan. Kata ini biasa digunakan oleh orang-orang Perhutani untuk menyebut masyarakat yang membuka lahan pertanian di hutan, atau orang yang bersedia atau sanggup memikul tanggungjawab menggarap lahan melalui kontrak dengan Perhutani. Pesanggem tak selalu harus tinggal di dalam kawasan hutan.

Mereka memanfaatkan lahan di bawah tegakan pohon utama (seperti Pinus, Jati, dll) untuk lahan pertanian seperti menanam kopi, Lombok, jagung, dll. Saat ini istilah pesanggem tidak hanya untuk petani yang terlibat kontrak dengan Perhutani. Siapapun yang memanfaatkan hutan, dan secara kultur berinteraksi dengan hutan, maka berhak disebut sebagai pesanggem.

Di Kawasan hutan negara seperti Taman Nasional, petani yang masih memanfaatkan Kawasan hutan yang berada di dalam Zona Tradisional juga disebut pesanggem. Umumnya pesanggem yang berinteraksi di dalam Zona Tradisional di Taman Nasional memanfaatkan lahan di bawah tegakan/pohon berupa rumput untuk pakan ternak. Saat musim hujan rumput melimpah jumlahnya, sedangkan saat musim kemarau menipis.

Saat musim kemarau inilah pesanggem mengolah lahan sanggeman-nya dengan menyingkirkan tumbuhan gulma yang mengganggu pertumbuhan rumput. Salah satu cara andalan yang digunakan pesanggem untuk membasmi tumbuhan gulma adalah dengan cara membakar. Kegiatan inilah yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan.

Apalagi jika lokasi sanggeman berada di kelerengan yang curam akan susah diatasi jika terjadi kebakaran. Hal ini yang terjadi di Gunung Sumbing dan Sindoro. Salah satu cara efektif untuk menangani kebakaran hutan adalah dengan penanganan represif dan preventif.

Penanganan kebakaran hutan yang represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan lain-lain.

Penanganan preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan (Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, 2002). Penanganan ini dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi.

Penanganan preventif adalah yang paling baik, terutama dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat. Kunci utama yang dilakukan pengelola Kawasan hutan produksi, lindung atau negara adalah dengan melakukan pendataan masyarakat yang terlibat atau menjadi pesanggem. Melalui pendataan ini akan diketahui Kawasan hutan yang terbakar  merupakan sanggeman seseorang.

Tanggungjawab pesanggem adalah menjaga sanggeman-nya agar aman dan memenuhi tujuan pengelola atau pemilik hutan. Oleh karena itu, hubungan antara pesanggem dan pemilih hutan harus senantiasa dijalankan dengan baik. Tiap periode tertentu perlu ditinjau ulang kesepakatan kontrak atau kerjasamanya, karena tidak jarang pesanggem menjual sanggeman-nya ke orang lain tanpa memberikan laporan. Wallaahu’alam.

Patangpuluhan, 20 September 2018, pukul 07.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar