Senin, 05 November 2018

MERAJUT KEDAULATAN BANGSA MELALUI AVITURISME

Ditengah semangat peringatan kebangkitan pemuda 90 tahun yang lalu, sekelompok muda asyik dan serius bekerja untuk bangsa. Mirip dengan pendahulunya, mereka juga berjuang untuk kedaulatan dan masa depan bangsa. Perjuangan utama mereka adalah agar bangsa ini memiliki kedaulatan dalam bidang sains ornithology (burung) serta konservasi burung Indonesia.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 5 Nopember 2018

Sebuah fakta kekayaan jenis burung Indonesia luar biasa, ada 1700 jenis. Urutan ke empat di dunia, sedangkan dari segi endemisitas (jenis asli) menempati urutan pertama. Bertentangan dengan kekayaan jenis, kondisi ahli burung Indonesia masih menyedihkan. Jumlah ahli taksonomi burung masih sangat minim, dari 1700 jenis burung hanya dua orang Indonesia yang jadi pendeskripsi utamanya.

Satu-satunya jurnal ilmiah ornitologi Indonesia yang bernama Njawani, yakni Kukila; dan berlogo burung endemik Sulawesi -Maleo-, editornya tidak ada dari Indonesia. Oleh karena itu, sekelompok pemuda tiap tahun getol menyelenggarakan pertemuan nasional untuk merajut kedaulatan bangsa melalui Pertemuan Pengamat Burung Indonesia atau PPBI.

Tahun 2018 ini adalah PPBI ke VIII diselenggarakan pada tanggal 2 sampai 4 November 2018 di Yogyakarta, tepatnya di Universitas Ahmad Dahlan dan Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Tema yang dipilih adalah Merajut Aviturisme Indonesia. Tema ini terinspirasi kisah sukses Ibu Shita selama 20 tahun mengelola wisata alam aviturisme di Papua yang berhasil merajut kedaulatan bangsa melalui pelibatan masyarakat lokal.

Program penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam kegiatan wisata alam aviturisme di Papua mampu meningkatkan ekonomi desa, sekaligus melindungi kekayaan alamnya. Warga dididik dan dilatih mengenal potensi keanekaragaman hayatinya terutama potensi burung surga cenderawasih (Paradise Bird), sehingga menjadi pemandu wisata alam yang handal. Papua kini menjadi salah satu aviturisme favorit para birder (pengamat burung) tingkat dunia.

Aviturisme adalah perjalanan wisata alam untuk melihat dan mengamati burung di habitatnya (Nicolaides, 2013). Aviturisme merupakan gabungan dari wisata alam (ecotourism) dan pengamatan burung (bird watching/birding). Ekowisata sendiri adalah aktivitas wisata berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, pendidikan/pembelajaran, serta pemberdayaan masyarakat lokal.
Sedangkan pengamatan burung adalah kegiatan mengamati segala tingkah laku burung di habitat alam dengan menggunakan peralatan seperti binokuler (teropong) atau kamera. Birder (pengamat burung) biasanya tidak hanya melakukan kegiatan birding, tapi juga aktif dalam kegiatan konservasi alam lainnya, seperti penanaman pohon, aksi kebersihan lingkungan dan lainnya. Tiongkok dan Afrika Selatan adalah salah satu dari negara yang giat mempromosikan aviturisme untuk meningkatkan kunjungan pariwisata.

Alasan utama dipilihnya Desa Jatimulyo sebagai tempat PPBI VIII karena sudah bertransformasi menjadi Desa Ramah Burung melalui Perdes No. 6 tahun 2014. Desa ini  memiliki 95 jenis burung, 18 diantaranya berstatus dilindungi Negara. Jatimulyo juga memiliki produk unik ‘Kopi Sulingan’, dimana  kata sulingan berasal dari nama lokal burung Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), sejenis burung pemakan serangga yang cantik dan bersuara merdu, yang sulit ditemukan di daerah lain.

Daerah lain yang sering dikunjungi untuk aviturisme lingkup Propinsi DIY adalah Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), pantai Trisik Kulonprogo, Kawasan Candi Prambanan, dan Pantai Ngongap Gunung Kidul (Taufiqurrahman, 2018). Bahkan tiap 2 tahun sekali Balai TNGM menyelenggarakan lomba pengamatan burung tingkat nasional.

Selain itu sebenarnya aviturisme dapat menjadi wahana pendidikan dan pembelajaran. Hal ini dipraktekkan oleh Bapak Lim Wen Sin yang meng-edukasi warga Dusun Cacahan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman melalui burung pemangsa burung hantu jenis Serak Jawa (Tyto alba javanica). Warga desa dilatih untuk memanfaatkan burung hantu sebagai pengendali hama pertanian jenis tikus.

Hasil dari pemanfaatan burung hantu dapat meningkatkan hasil pertanian sebanyak 15 hingga 20 persen. Pengamatan Lim Wen Sin (2017) sepasang burung hantu yang menyuapi 2 anaknya dalam 2,5 bulan dapat memakan 1.080 ekor tikus. Kini Dusun Cacahan menjadi salah satu lokasi aviturisme sekaligus belajar pertanian ramah lingkungan.

Aviturisme tentu menimbulkan multi efek bagi ekonomi masyarakat lokal, karena birder tentu juga akan membutuhkan makanan, jasa pemandu, transportasi, penginapan, dan lain sebagainya. Sugeng rawuh birders peserta PPBI VIII di Yogyakarta, selamat bekerja untuk Merajut Kedaulatan Bangsa!

Yogyakarta, 31 Oktober 2018 pukul 07.01 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar