Sabtu, 14 September 2019

KARHUTLA DAN OZON


Sampai tanggal 6 September 2019 data kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejumlah 1.233 titik panas. Total sebanyak 9.072 personel dengan 37 heli dikerahkan untuk pemadaman titik api yang ada di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa (BNPNB, 2019). Bahkan hutan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) tahun ini tidak lupat dari kebakaran hutan.

Analisis KR hari Sabtu, 14 September 2019

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia sendiri bukanlah hal yang baru. Sejak beberapa dekade sangat sering terjadi karhutla, salah satunya hutan yang berada di lahan gambut. Tahun 2015 merupakan periode terburuk karhutla di Indonesia, kurang lebih 2.6 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Para ahli mengungkapkan jika penyebab kebakaran hutan dan lahan karena faktor alam dan kesalahan manusia.

Faktor alam diwakili oleh kondisi cuaca yang turut melatabelakangi karhuta, karena tahun 2015 merupakan fase cuaca kering dampak dari El-Nino. Untuk faktor manusia berupa kelalaian manusia, baik secara individu ataupun disengaja. Dampak karhutla, khususnya di lahan gambut mengakibatkan peningkatan suhu.

Peningkatan suhu, pada dasarnya diakibatkan oleh gas efek rumah kaca yang membuat lapisan ozon rusak. Gas rumah kaca ini diakibatkan oleh berkurangnya kawasan hutan, serta masifnya eksploitasi alam. Peningkatan suhu di bumi salah satu implikasi logisnya ialah mengakibatkan perubahan iklim (climate change) (Setyawan, 2019). Menurut riset NASA (The National Aeronautics and Space Administration) maupun NOAA (The National Oceanic and Atmospheric Administration) yang merupakan badan independen pemerintah Amerika Serikat, mengatakan jika ada tren kenaikan suhu sejak tahun 2010 sebesar 1 derajat celcius.

koran KR halaman 7

Hal tersebut juga sama dengan hasil riset dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang menyatakan sejak era revolusi industri pertama hingga saat ini, telah terjadi peningkatan suhu sebesar 1-1.5 derajat celcius (Setyawan, 2019). Hal inilah yang mengilhami beberapa negara-negara yang tergabung di IPCC untuk sepakat menjaga suhu di bumi dengan berbagai pendekatan, salah satunya melawan deforestasi dan menerapkan aturan ketat terhadap korporasi. Bahkan untuuk mempercepat upaya aksi iklim di wilayah Asia pada tanggal 3-4 September 2019 telah dibentuk Asian Climate Experts (ACE). Kegiatan yang diselenggarakan oleh UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bangkok, Thailand ini dihadiri oleh Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIKI) mewakili negara Indonesia.

Menurut Peneliti Lingkungan Potensi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) -Eko Cahyono- karhutla sangat mempengaruhi perubahan iklim (2016). Saat terjadi pembakaran biomassa berupa karhutla, maka dihasilkanlah karbon monoksida (CO) yang menjadi pembentuk ozon. Tingkat ozon yang tinggi di atmosfer lapisan atas, yakni stratosfer memang baik. Ozon di lapisan itu akan melindungi makhluk bumi dari radiasi tinggi sinar matahari.
Namun, jika terjadi di atmosfer lapisan bawah, dampaknya ialah sebaliknya. Konsentrasi ozon di permukaan seharusnya rendah, tidak melebihi 100 ppbv (part per billion volume). Jika lebih dari batas, akan membahayakan kesehatan manusia (Cahyono, 2016). Sirkulasi angin juga akan memengaruhi tersebarnya ozon hingga mencapai bagian troposfer atas. Jika demikian, akan membentuk gas rumah kaca yang menjadi penyebab perubahan iklim.
Perubahan iklim lebih besar disebabkan oleh aerosol yang terlepas ke udara akibat kebakaran biomassa. Radiasi matahari sulit masuk ke bumi, penguapan air menjadi rendah, akibatnya tidak terjadi hujan (Cahyono, 2016). Mengingat pentingnya fungsi laposan ozon ini pada tanggal 16 September 1987, lahirlah kesepakatan Protokol Montreal, yang kemudian ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Ozon Internasional.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Montreal dan Konvensi Wina melalui Keppres No 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Konvensi Wina dan Protokol Montreal. Ini upaya Indonesia dalam perlindungan terhadap keberadaan lapisan ozon. Untuk mencegah perubahan iklim yang berakibat pada penipisan  lapisan ozon, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mengampanyekan kelestarian lingkungan melalui penghijauan kembali melalui program penanaman kayu atau penghutanan kembali lahan-lahan yang sudah gundul.
Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK -Ruandha Agung -KLHK berkomitmen untuk melakukan penanaman pohon di atas lahan 800.000 hektar per tahun (2018). Tentu dampak perubahan iklim ini bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja, tapi merupakan tanggungjawab kita semua selaku penghuni planet bumi.
Lereng Tenggara Merapi, 12 September 2019, pukul 09.04 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar