Jumat, 23 April 2021

PLANET SAMPAH

Puncak krisis iklim ternyata akan tiba 15 tahun lagi. Lebih cepat dari prediksi para ahli yang diperkirakan terjadi di tahun 2050 atau 2100. Menurut rekaman Laboratorium Penelitian Sistem Bumi (ESRL-NOAA) di Hawai, pada 21 Maret 2021 konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer mencapai rekor baru sebesar 417,72 part per million (The Guardian, 2/4).

 

Ini adalah angka tertinggi jumlah konsentrasi gas rumah kaca sejak Revolusi Industri tahun 1850. Meskipun krisis iklim disebabkan oleh banyak faktor, ada beberapa yang membutuhkan perhatian lebih dari yang lain. Ada 10 masalah lingkungan dan perubahan iklim di dunia.




Analisis koran 'Kedaulatan Rakyat' tanggal 23 Maret 2021 dalam rangka Hari Bumi 22 Maret


Sepertiga makanan yang dikonsumsi manusia di dunia, yakni sekitar 1,3 miliar ton terbuang atau hilang. Jumlah ini cukup untuk memberi makan 3 miliar orang. Limbah dan kerugian makanan menyumbang 4,4 giga ton emisi gas rumah kaca setiap tahun.


Pada tahun 1950, dunia memproduksi lebih dari 2 juta ton plastik per tahun. Pada 2015, produksi membengkak menjadi 419 juta ton. Laporan jurnal Nature menyebutkan sekitar 11 juta ton sampah plastik masuk ke lautan setiap tahun, merusak habitat satwa liar yang hidup di dalamnya.


Para ahli menyebutkan bahwa 91% dari semua plastik yang pernah dibuat tidak didaur ulang. Hal ini  menyebabkan menjadi masalah lingkungan terbesar. Plastik membutuhkan waktu 400 tahun untuk terurai, maka dibutuhkan beberapa generasi hingga sampah plastik tersebut menyatu dengan alam.

 

Di dalam negeri, sampah menempati nomor satu dalam 10 masalah besar Lingkungan di Indonesia, yakni sebesar 40%. Berikutnya adalah masalah banjir (20%); sungai tercemar (11%); pemanasan global (10%); pencemaran udara (6%); rusaknya ekosistem laut (4%); sulitnya air bersih (3%); kerusakan hutan (2%); abrasi (2%); dan pencemaran tanah (2%).

 

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2020) jenis sampah di Indonesia terbanyak nomor satu adalah sampah sisa makanan  (30,8%); plastik (18,5%); kayu, ranting, daun (12%); kertas (11,2%) dll. Tingkat rumah tangga memegang porsi terbesar dalam sampah; yakn sebesar 32,4%. Berikutnya disusul oleh pasar tradisional (21,7%); pusat perniagaan (13,9%); fasilitas publik (11%); dll.


Penanganan sampah di Indonesia selama ini juga masih primitif dan cenderung merusak lingkungan, karena sebagian masih dibuang dan ditimbun di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sebesar 69%. Berikutnya adalah dikubur (10%); dibuat kompos dan daur ulang (7%); tidak terkelola (7%); dan dibakar (5%).


Semua penanganan di atas merusak alam, kecuali dibuat kompos dan didaur ulang. Cara terakhir penanganan sampah ini sesuai dengan tema hari Bumi pada tanggal 22 April. Tahun ini tema hari bumi adalah adalah "Restore Our Earth" atau Pulihkan Bumi Kita.


Tema Hari Bumi tahun ini berfokus pada proses alam, teknologi hijau yang sedang berkembang, dan pemikiran inovatif yang dapat memulihkan ekosistem dunia. Sejak tahun 2017 warga Dusun Ngunan-unan, Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Bantul sudah mengelola sampah organik dan non organik secara mandiri. Sampah tidak dibuang ke TPA. Sampah organik berupa sisa makanan, sampah pepohonan, dll diolah menjadi kompos dan POC (pupuk cair). Semua hasilnya dimanfaatkan oleh warga untuk berkebun di lahan pekarangan rumah maupun pertaniannya. Bahkan juga diterapkan di sektor perikanan.

 

Selain itu warga Ngunan-unan juga sudah mulai mengolah sampah keramik dan sampah plastik untuk didaur ulang. Walaupun belum lama berjalan tapi Dusun Ngunan-unan sudah mulai ramai dikunjungi warga luar bahkan mahasiswa untuk belajar pengelolaan sampah secara mandiri. Belajar agar Bumi tidak menjadi Planet Sampah.

Semangat warga Ngunan-unan ini sesuai inti tema hari Bumi tahun ini. "Memulihkan Bumi kita bukan hanya karena kita peduli dengan alam, tetapi karena kita hidup diatasnya. Kita semua membutuhkan Bumi yang sehat untuk mendukung pekerjaan, mata pencaharian, kesehatan dan kelangsungan hidup, dan kebahagiaan kita. Planet yang sehat bukanlah pilihan; tapi adalah kebutuhan," demikian ditulis dari laman earthday.


Yogyakarta, 19 April 2021

Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Ahli Perubahan Iklim Kehutanan (APIK) Indonesia Region Jawa & pegiat Ecotourism

Tidak ada komentar:

Posting Komentar