‘Tunggu gunung kudu wareg’, artinya dalam bahasa Indonesia adalah orang-orang yang tinggal di gunung, pegunungan atau desa harus terpenuhi kebutuhannya atau terjamin kesejahteraannya. Konsep ini dikembangkan dalam pembangunan desa wisata. Ada perbedaan antara desa wisata dan wisata desa.
Pengertian desa wisata menurut Pergub DIY Nomor 40 tahun 2022 adalah kelompok masyarakat yang berusaha di bidang pariwisata yang mencakup atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung di dalam wilayah Desa/Kalurahan dengan prinsip pariwisata berbasis masyarakat. Sedangkan wisata desa adalah kegiatan wisata yang mengambil pilihan lokasi desa, dan jenis kegiatannya tidak harus berbasis pada sumber daya perdesaan (keaslian benteng alam, serta budaya dan kearifan lokal).
Keterlibatan dalam pengelolaan suatu desa wisata adalah semua unsur desa dari kepala desa, perangkat desa, struktural RT dan warga masyarakat setempat memiliki andil didalamnya. Berbeda dengan wisata desa yang keterlibatan masyarakat terbatas dan dibatasi, hanya beberapa orang tertentu saja yang terlibat. Oleh karena itu, desa wisata harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah desa, terutama partisipasi masyarakat.
Masyarakat
dilibatkan secara komprehensif, diberi kewenangan dan tugas sesuai dengan
potensi yang ada di desanya agar tercapai tujuannya, yakni meningkatkan
perekonomian desa dan pengentasan kemiskinan. Adanya program desa wisata berbasis
menetap bersama warga, masyarakat diharapkan mendapatkan pemasukan atas
penyediaan tempat tinggal, pelayanan dan paket wisata lainnya. Selain itu
program ini dapat memperkenalkan ragam budaya, kearifan lokal dan sumber daya
alam desa.
Salah satu program desa wisata yang mampu meningkatkan perekonomian desa adalah penyelenggaraan event. Dalam kunjungan ke salah satu desa wisata di Gunungkidul, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) -Sandiaga Uno- meminta kepada pemerintah daerah memperbanyak event di desa wisata (www.kemenparekraf.go.id, 31/8). Hal ini bertujuan agar terjadi peningkatan jumlah kunjungan, sehingga mampu menggerakkan roda perekonomian lebih banyak lagi.
Menurut hasil penelitian Dampak Penyelenggaraan Festival di Yogyakarta oleh Lembaga Demografi UI tahun 2019 yang didukung oleh Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) Indonesia, kontribusi terbesar pengunjung festival dari luar Yogyakarta adalah pada penginapan dan transportasi. Kontribusi festival di Yogyakarta senilai Rp 114,2 Milyar pada tahun 2019, dengan rincian Rp 12 Milyar dari Yogyakarta, dan Rp 102,2 Milyar dari luar Yogyakarta.
Kuliner mendominasi ragam usaha di sekitar lokasi festival/event. Keragaman kuliner di Yogyakarta juga merupakan daya tarik wisata, yang bisnisnya cenderung stabil (Wuryanto, 2022). Selain itu jasa transportasi merupakan aspek penting dalam perekonomian Yogyakarta yang tumbuh melalui wisata.
Festival atau Event juga membuka peluang entrepreneurship dan mengekspansi bisnis masyarakat. Dalam destival ada 20% merupakan pedagang ‘tiban’ atau dadakan; dan 17% merupakan gerai tambahan (Lembaga Demografi UI, 2019). Festival berkontribusi terhadap pendapatan pelaku usaha hingga Rp 800 ribu per hari bagi pedagang regular, Rp 350 ribu per hari bagi pedagang yang ekspansi, dan Rp 750 ribu per hari bagi pedagang tiban.
Konsep Event ini dilaksanakan oleh Desa Wisata Jatimulyo, Kapanewon Girimulyo, Kulon Progo yang pada tanggal 28-29 Oktober 2022 bersama Dinas Pariwisata Kulon Progo menyelenggarakan event ‘Rally Foto Konservasi’. Desa Ramah Burung adalah Unique Selling Point (USP) yang dimiliki oleh Jatimulyo dan menjadi kekuatan desa wisata, sehingga cukup berhasil dalam penyelenggaraan event dengan tema konservasi.
Total ada 94 orang
peserta yang terlibat dalam event
foto Jatimulyo, dan berasal dari Jakarta, Bandung, Pekalongan, Magelang,
Batang, Solo, Surabaya, Malang, Bali, Lombok, Sorong, Banjarmasin, selain dari
Yogyakarta. Ada 23 homestay dan rumah
warga yang dipakai untuk menginap peserta selama penyelenggaraan event selama 2 hari ini.
Menurut tenaga ahli
Dinas Pariwisata DIY –Ike Janita Dewi- (2022) dalam pengembangan destinasi yang
modern, DIY
sulit bersaing dengan daerah lain. DIY harus
mengambil strategi diferensiasi, yaitu dengan membangun kepariwisataan berbasis
tradisi, seni, dan budaya. Salah satu caranya adalah dengan penyelenggaraan event daerah. Event yang mengambil keunikan dari seni dan budaya daerah (event uniqueness) dapat digunakan untuk
mempromosikan wisata, seperti di Jatimulyo.
Yogyakarta,
30 Oktober 2022
ttd
Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.
Pendamping Desa Mandiri Budaya DIY & Pengurus
ICMI Kota Yogyakarta bidang Wisata dan Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar