Wisata identik dengan kegiatan memberikan kesenangan dan kenikmatan, karena kegiatannya bertujuan memberikan beragam aktifitas secara santai dan menyenangkan. Namun, kegiatan yang seharusnya menyenangkan itu berubah menjadi tragedi yang mengerikan saat terjadi kecelakaan. Kasus atraksi wisata di destinasi wisata The Geong Limpawukus di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (25/10) yang menewaskan seorang wisatawan mengajarkan banyak hal tentang urgensi K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) wisata.
Dari hasil olah TKP ditemukan bahwa jenis kaca yang digunaka adalah tempered 1 lapis tebalnya 12 mm atau 1,2 cm (Detiknews, 20/10). Untuk sisi keamanan harusnya menggunakan kaca tempered laminated, sehingga ketika pecah tidak berhamburan. Polisi menambahkan bahwa tingkat keamanan kaca-pun seharusnya ada dua lapis, kalau lebih aman tiga lapis, sehingga tebalnya sekitar 3,6 cm, bukan hanya 1,2 cm.
Selain itu juga ditemukan terdapat perbedaan lebar dan jumlah pilar sebagai penahan jembatan. Hal ini menyebabkan tekanan yang dihasilkan tidak semuanya sama, sehingga penahan tidak optimal ini juga dapat menyebabkan salah satu kaca tersebut pecah (Detiknews, 20/10). Apalagi jembatan kaca setinggi 10 meter tersebut dinaiki 4 orang secara bersamaan.
Kecelakaan yang terjadi di destinasi wisata menimbulkan kerugian bersifat materi dan immaterial, baik bagi pengelola dan pengunjung yang menjadi korban. Pengelola mengalami dua kerugian sekaligus, yaitu mengganti kerugian kepada korban, dan kerugian bersifat immaterial, yaitu reputasi (Yudistira & Susanto, 2012). Kerugian immateril bersifat jangka panjang, yaitu kelangsungan destinasi untuk kembali memulihkan citra positif sehingga pengunjung melupakan kejadian tersebut.
Belajar dari kasus jembatan kaca tersebut, kunci sukses sebuah kegiatan pariwisata harus memperhatikan keamanan dan kenyamanan pengunjung. Maka dari itu pengelolaan risiko wisata merupakan hal yang penting dalam menjamin keselamatan wisatawan. Keselamatan merupakan faktor utama yang menjadi pertimbangan wisatawan untuk memutuskan memilih destinasi wisata yang akan dikunjungi (Hermawan, 2017).
Wisatawan juga memperoleh perlindungan sesuai Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menggantikan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 memberikan kepastian jaminan adanya keselamatan pengunjung wisata, misalnya saja pada pasal 20, wisatawan juga berhak memperoleh: a. informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata; b. pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar; c. perlindungan hukum dan keamanan; d. pelayanan kesehatan; e. perlindungan hak pribadi; dan f. perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.
Usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi meliputi, antara lain wisata selam, arung jeram, panjat tebing, permainan jet coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu, seperti melihat satwa liar di alam bebas. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keselamatan wisatawan dapat dilakukan dengan mengevaluasi setiap risiko bahaya melalui manajemen bahaya yang meliputi penerimaan atas kejadian yang dapat ditoleransi, meminimalisir risiko, dan mengalihkan risiko (Achjar, 2020).
Ancaman risiko keamanan wisatawan dapat dipengaruhi dan disebabkan oleh beragam faktor, seperti bencana alam, serangan satwa, konflik sosial, perilaku manusia dan lain-lain. Oleh karena itu, pengelola wisata dituntut melakukan estimasi risiko secara mendalam. Estimasi ini akan menghitung derajat risiko yang terbagai dalam tiga level yaitu tinggi, menengah dan rendah (Siahaan, 2007). Level ini dapat juga digunakan untuk menilai derajat risiko tempat wisata menggunakan pendekatan manajemen risiko.
Manajemen risiko menjadi alat untuk meminimalisir kerugian bagi semua pihak terkait, khususnya bagi pengelola. Salah satu cara penilaian risiko adalah melalui cara ‘walk trough survey’ di destinasi dengan melakukan penelusuran secara sistematik. Identifikasi yang dapat dilakukan oleh pengelola destinasi adalah dengan membuat daftar pertanyaan 5W1H. What, apa saja potensi hazard (bahaya) yang ada di destinasi tersebut?
Who, siapa saja yang mungkin akan terdampak oleh potensi bahaya tersebut? When, kapan dan seberapa lama risiko bahaya dapat terjadi? Where, dimana bahaya muncul dan dimana dampak akan terjadi? Why, mengapa dan apa sebabnya jika terjadi kecelakaan? How, bagaimana kemungkinan kecelakaan atas potensi bahaya dapat terjadi?
Saat ini memang pengelola destinasi sudah
mengunakan pendekatan manajemen risiko dalam menyelenggarakan kegiatan wisata
meski skala pengunaannya masih jauh dibandingkan dengan industri keuangan
perbankan dan asuransi. Apalagi jumlah destinasi tiap tahun naik, seperti di
DIY sudah ada 148 destinasi wisata (Dinas Pariwisata DIY, 2023). Semoga semua
destinasi tersebut melakukan estimasi risiko untuk meminimalisir kecelakaan.
Yogyakarta, 1 November 2023
Ttd
Arif Sulfiantono, M.Agr., M.S.I.
Pendamping Desa Mandiri Budaya DIY & Dosen Praktisi Prodi Bisnis Perjalanan Wisata Sekolah Vokasi UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar