Minggu, 20 Februari 2011

MENYAMBUT FESTIVAL MERAPI 2009 Kearifan Lokal Masyarakat Merapi dalam Menyikapi Bencana Merapi

Gunung Merapi tercatat sebagai salah satu gunung yang sangat aktif di dunia. Keberadaannya memberikan banyak berkah dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya, namun juga mempunyai potensi bencana yang berakibat negatif. Letusan-letusan pada waktu-waktu lalu menunjukkan kewaspadaan masyarakat sangat penting untuk selalu dijaga sehingga usaha dan upaya mitigasi bencana mempunyai nilai keberlanjutan yang nyata. Kini, saat kawasan hutan Gunung Merapi berada dalam pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Merapi, tentunya upaya mitigasi bencana menjadi bagian yang mesti diupayakan selalu. Upaya mitigasi bencana tersebut seharusnya melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat lokal.
Masyarakat lokal umumnya memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya. Pengetahuan lokal tersebut biasanya diperoleh dari pengalaman empiris yang kaya akibat berinteraksi dengan ekosistemnya. Contoh kasus adalah peristiwa erupsi G. Merapi pada tahun 2006; dimana terjadi peningkatan aktivitas sampai level AWAS dengan konsekuensi masyarakat yang bermukim di kawasan gunung merapi harus diungsikan. Pengungsian dimulai dengan bantuan aparat dan relawan.  Adalah Mbah Maridjan dan kerabatnya tidak menunjukkan kegelisahan dan kegugupan, masih tetap tenang-tenang saja. Kenapa Mbah kok tidak ikut mengungsi? Mbah Marijan menjawab dengan tenang, “Memang ada apa?, G Merapi saat ini belum mau meletus, masih batuk-batuk saja dan kenalpotnya tidak mengarah kesini. Jadi kenapa saya harus ribut, dan saya belum dapat wangsit dari eyang merapi.”
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MERAPI
Indonesia merupakan salah satu wilayah yang berada dalam ”Ring of Fire” gunung berapi. Ada 129 gunung berapi aktif yang memanjang dari kepulauan Sumatra, Jawa, hingga Indonesia bagian timur. Jalur inilah yang oleh para ahli kemudian disebut ring of fire. Perlu disadari bahwa dibalik keindahan puncak-puncak gunung, keasrian hutan yang hijau, kawasan-kawasan yang subur, pegunungan yang sejuk; sesungguhnya terdapat ancaman dahsyat yang harus selalu diwaspadai.
Kewaspadaan akan bencana letusan gunung berapi ditunjukkan oleh masyarakat Merapi berupa kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Mbah Maridjan dan kerabatnya menolak mengungsi karena belum memperoleh tanda-tanda alam Gunung Merapi akan meletus, seperti (1) turunnya hewan-hewan liar dari puncak di luar kebiasaan dalam kondisi lingkungan normal, (2) burung-burung atau hewan lainnya masih berbunyi, (3) pohon-pohon di dekat puncak Merai belum ada yang mati layu/kering.
Secara etik, penggunaan indikator alam tersebut cukup rasional mengingat berbagai jenis binatang dengan instingnya memiliki kepekaan tinggi dalam merasakan kian meningkatnya suhu tanah akibat meningkatnya tingkat aktivitas Gunung Merapi sehingga mereka pindah tempat (Triyoga: 1991).Selain itu dalam menghindari risiko bencana Gunung Merapi meletus, warga lokal di lereng Gunung Merapi juga mempunyai kearifan lokal dalam membangun permukiman di lingkungan yang penuh risiko bencana alam letusan gunung api. Permukiman tersebut bisanya berkelompok di lahan datar dengan dikelilingi tegalan.
Rumah-rumah senantiasa didirikan menghadap ke arah yang berlawanan dengan Gunung Merapi. Maksudnya, berdasakan pandangan mereka, agar rumah-rumah tersebut tidak dimasuki makhluk halus pengganggu yang menghuni Gunung Merapi. Namun, secara etik dapat ditafsirkan bahwa rumah-rumah tempat tinggal tersebut dibangun menghadap ke arah jalan utama desa yang membujur ke arah utara-selatan atau selatan-utara agar sekiranya terjadi letusan, mereka dapat dengan segera melarikan diri menuju jalan utama desa.
ILMU NITENI, NIROAKE, NAMBAHI
          Tantangan bagi kita semua adalah bagaimana kita dengan sepenuhnya dapat menikmati dan mensyukuri kekayaan alam dan secara simultan dapat menyikapi dan menghindarkan dampak negatif dari kejadian alam yang kita sebut bencana alam itu? Ki Hadjar Dewantara mewariskanpada kita ilmu dan dan pengetahuan pamungkas, yaitu N3: Niteni, Niroake, dan Nambahake. (Kadiman, 2006).  Niteni (dengan kata dasar titen) adalah perilaku yang menjadi ciri kaum terdidik yang dapat diperoleh melalui bangku sekolah atau melalui pengetahuan turun-temurun untuk selalu ingin tahu dan  mengenali alam. Dengan bekal niteni ini, dapat diketahui bahwa tanah menjadi subur akibat meletusnya gunung api yang memuntahkan berbagai unsur alam yang lengkap dan setelah beberapa lama akan melengkapi unsur hara dalam tanah.
Jika niteni fokus pada upaya mengetahui dan mengenali berbagai kejadian alam. Niroake atau menirukan adalah langkah selanjutnya dari hasil niteni, yaitu berupaya menirukan kejadian alam yang telah diketahui dan dipahami untuk tujuan memenuhi kebutuhan manusia. Sedangkan nambahake adalah upaya memberi nilai tambah dari kejadian alam yang telah di kuasai dan bisa ditirukan tersebut.
Getaran-getaran seismik akibat aktivitas gunung api, turun-naiknya temperatur, tekanan udara,  pergeseran pola magnetik, perubahan perilaku binatang, adalah  beberapa contoh dari tanda-tanda alam yang boleh jadi disebabkan oleh gesekan dan tubrukan lempengan bumi. Dengan mengenali perilaku alam ini, kemudian kita bisa menirukannya, tentu tidak dengan sempurna karena berbagai keterbatasan yang ada. Dalam ilmu logis, upaya niroake (menirukan) ini kemudian dikenal dengan istilah simulasi yang banyak digunakan sebagai upaya memenuhi kebutuhan kita. Melalui simulasi ini kita bisa memberi peringatan dini letusan gunung  api. Titen yang dipraktikkan Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi, adalah pendekatan holistik yang sebetulnya merupakan N3 yang  komplementer dari iptek logis: geologi, geofisik, dan biofisik.
Maka dari itu, kehadiran even Festival Merapi 2009 di Gedung Kusnadi Hardjasumantri (Purna Budaya) UGM, 15 November 2009 dengan mengusung tema “Hidup Harmonis bersama Bencana Merapi” harapannya dapat diapresiasi positif. Sebab acara ini mempunyai tujuan utama menyampaikan informasi mengenai fungsi ekologis dan juga mitigasi bencana di kawasan Gunung Merapi kepada masyarakat. Terlebih lagi dalam even ini ada beberapa kegiatan: 1. Pameran (video/movie, poster, maket sabo, serta modul pendidikan bencana); 2. Demonstrasi Bousai Duck & Dance (tarian dan permainan anak dari Jepang terkait bencana); 3. Perlombaan (menggambar, mewarnai, maket merapi dari bahan makanan tradisional, fotografi, karikatur); 4. Pertunjukan komedi lokal ”Obrolan Angkring”, tentang pengelolaan bencana Merapi dan aktivitas penambangan sedimen. Harapan akhir dari even ini adalah dapat tercapai Merapi yang Lestari; Masyarakat Sejahtera. Semoga. 

WELCOME MERAPI FESTIVAL 2009
Local Wisdom Supporting Disaster Mitigation

Mount Merapi listed as one of the most active volcano in the world. Its existence gives many blessings and benefits to the surrounding community, but also has the potential disasters that have negative consequences. Eruptions at the times and show the public awareness is very important to always be maintained so that mitigation efforts and have a real value of sustainability. Now, when the forest is in the management of Merapi Volcano National Park (MVNP), of course, be a part of disaster mitigation efforts that should always be pursued. Mitigation efforts should involve various stakeholders, including local communities.


Local people generally have local knowledge and ecological wisdom in predicting and mitigating natural disasters in the region. Local knowledge is usually obtained from the rich empirical experience from interacting with its ecosystem. An example is the eruption event Merapi Volcano in 2006; where there is an increase in activity until the ‘CAUTION’ level with the consequences of people living in the area of  Merapi Volcano have been evacuated. Displacement began with the help of officials and volunteers. Mbah Maridjan (care taker of Merapi Volcano) and relatives are not showing anxiety and nervousness, still remain calm. “Why not take refuge Mbah? Mbah Marijan replied calmly, "There's what? G Merapi would not erupt at this time, still coughing and exhaust it does not lead here. So why do I need to fuss, and I have yet to be news of the 'Lord of Merapi'.”

Opini of Kedaulatan Rakyat News 19 November 2009

LOCAL WISDOM OF MERAPI COMMUNITIES
Indonesia is one area that is in the "Ring of Fire" volcanoes. There are 129 active volcanoes that extends from the islands of Sumatra, Java, Indonesia to the east. This is the path which experts later called ring of fire. Be aware that behind the beauty of mountain peaks, the beauty of green forests, fertile regions, the cool mountains of fact there is a tremendous threat that must always be wary of.


Awareness of the catastrophic eruption of the Merapi Volcano in the form shown by the ability to predict the likelihood of an eruption. Mbah Maridjan and his relatives refused to evacuate because they have not obtained the natural signs of Merapi Volcano will erupt, such as (1) the decline of wild animals out of the ordinary summit in normal environmental conditions, (2) birds or other animals are still read, (3) the trees near the summit Merai no one has died withered / dry.


In ethics, the use of natural indicators are quite reasonable considering the different types of animals with instincts have high sensitivity to perceive the ever increasing levels of soil temperature due to increased volcanic activity, so they change places (Triyoga; 1991). In addition, in avoiding the risk of catastrophic eruption of Merapi Volcano, local residents on the slopes of Merapi Volcano, also have local knowledge in building settlements in an environment full of natural disaster risk volcanic eruptions. Settlements are usually clustered on flat land surrounded by fields.


The houses are always set up facing the opposite direction of Merapi Volcano. That is, based on the views of those, so that these houses are not entered into the spirits who inhabit the Merapi Volcano bullies. However, the conduct can be interpreted that the dwelling houses were built facing the main road that ran north-south or south-north to had the eruption occurred, they can quickly escape to the main street of the village.


SCIENCE OF ‘NITENI, NIROAKE, AND NAMBAHI’
The challenge for us all is how we can fully enjoy and appreciate the natural wealth and simultaneously to address and avoid the negative impact of natural events that we call the natural disaster. Ki Hajar Dewantara and pass on our knowledge and ultimate knowledge, namely 3N: Niteni, Niroake, and Nambahake (Kadiman, 2006).


Niteni (‘titen’ basic words) are the behaviors that characterize the educated can be obtained through school or through knowledge passed down through generations to always want to know and recognize the nature. With the provision of this niteni, it is known that the soil became infertile due to the eruption of a volcano that spewed various elements of a comprehensive nature and after a while it will complement the nutrients in the soil.


If niteni focus on efforts to find and recognize a variety of natural events. Niroake or imitation is the next step of the niteni, which is trying to mimic the natural events that have been known and understood for the purpose of meeting human needs. While nambahake is an effort to add value from a natural occurrence that has been in control and can be imitated them.


Seismic vibrations caused by volcanic activity, down-rising temperature, air pressure, a shift in the magnetic patterns, changes in animal behavior, are some examples of the signs of nature that may be caused by friction and collision of earth plates. By recognizing the nature of this behavior, then we can imitate, certainly not perfect due to various limitations. In the science of logic, niroake effort (mimicking) is then known as the simulation is widely used as an effort to meet our needs. Through these simulations we can give early warning of volcanic eruptions. Mbah Maridjan Titen practiced, caretaker of Merapi Volcano, which is actually a holistic approach that is complementary 3N of logical science: geology, geophysics, and biophysics.


Therefore, the presence of Merapi Festival 2009 event at Kusnadi Hardjasumantri Building UGM, 15 November 2009 with the theme "Living in Harmony with Merapi Disaster" can be appreciated positive expectations. Because this event has the primary purpose of conveying information about the ecological functions and disaster mitigation in the region of Mount Merapi to the public. Even more so in the event there are several activities: 1. Exhibition (video/movie, posters, mockups sabo, and disaster education modules) 2. Demonstration Bousai Duck & Dance (dance and children's games from Japan-related disasters); 3. Race (drawing, painting, trim mockups of traditional food, photography, caricature); 4. Local comedy show "Chat Angkring", about the management of the eruptions and sediment mining activities. Hope this is the end of the event can be achieved Sustainable Merapi; Prosperous Communities. Hope.

Yogyakarta, 9 November 2009
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.S.I.
Controlling forest ecosystems of Merapi Volcano National Park

PENDAKI MERAPI PERLU SIMAKSI


ENAM mahasiswa Fakultas Teknik UGM selama dua hari tersesat di Gunung Merapi. Saat ditemukan, dalam keadaan lemas akibat kelaparan, bahkan satu di antaranya mengalami patah tulang tangan (KR, 4 Februari 2009). 
Kawasan Konservasi Alam 
Tahun 2004 wilayah Gunung Merapi ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Merapi (TN G Merapi) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 dengan luas 6.410 Ha yang terletak di empat kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Klaten, dan Boyolali Propinsi Jawa Tengah. Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi merupakan alih fungsi dari hutan Taman Wisata Alam/Cagar Alam Plawangan Turgo, Hutan Lindung Kaliurang dan sebagian hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani. 
Taman Nasional sendiri adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Sedangkan kawasan konservasi sendiri adalah bagian dari wilayah daratan atau lautan yang perlu dan secara sengaja disisihkan dari segala bentuk eksploitasi untuk dilindungi dan dimanfaatkan secara bijaksana sesuai dengan fungsinya, sehingga terjamin keberadaannya bagi generasi saat ini dan masa yang akan datang. 
Penetapan sebagai TN G Merapi didasarkan oleh kawasan TN G Merapi mempunyai nilai penting sebagai daerah perlindungan sistem penyangga kehidupan, khususnya fungsi perlindungan hidro-orologis dan iklim bagi masyarakat di Propinsi DIY dan kabupaten yang berada di sekitar kawasan, yaitu Kabupaten Magelang dan Kabupaten Boyolali. Seain itu, perannya sebagai pengawetan keanekaragaman hayati dapat dijadikan sebagai sumber plasma nutfah bagi kehidupan manusia. Manfaat lain, baik langsung maupun tidak langsung yang dapat diperoleh dari kawasan ini. Peran lainnya adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, penunjang budidaya dan pariwisata. 
Jalur Pendakian Gunung Merapi 
Pendaki Gunung Merapi dapat memilih salah satu dari empat jalur pendakian, yakni jalur Babadan, Magelang, jalur Kinahrejo, Sleman, jalur Deles, Klaten, dan jalur Selo, Boyolali. Jalur Selo adalah jalur paling mudah untuk pendakian, dibandingkan jalur lain. Untuk jalur Babadan dan Kinahrejo masih ditutup untuk jalur pendakian, dikarenakan jalur rusak akibat erupsi Merapi tahun 2006. 
Pendaki Gunung Merapi sebelum melakukan pendakian diwajibkan untuk membawa Simaksi dan melapor ke pos terdekat di jalur pendakian. Berdasarkan berita di KR, 4 Februari 2009, enam mahasiswa pendaki dari UGM itu menggunakan jalur Selo untuk menuju puncak Merapi. Penulis mengecek ke Polisi Kehutanan (Polhut) Balai TN G Merapi resort Selo, ternyata dalam daftar pendaki Gunung Merapi yang ada di pos Selo tidak terancam daftar nama keenam mahasiswa pendaki tersebut. 
Simaksi untuk Pendaki Merapi 
Balai TN G Merapi sebagai pengelola TN G Merapi mengeluarkan aturan dan tata tertib bagi pengunjung TN G Merapi, termasuk pendaki puncak Gunung Merapi. Hal ini didasarkan untuk menjaga dan melindungi kawasan TN G Merapi dari berbagai macam gangguan terhadap ekosistem Gunung Merapi. Tata tertib dan aturan tersebut dikenal dengan SIMAKSI, yakni Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi. SIMAKSI dibuat berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Nomor: SK.192/IV-Set/HO/2006 tentang Izin Masuk Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru. 
Berikut adalah Tata Tertib memaski TN G Merapi untuk pengunjung maupun pendaki Gunung Merapi: 1. Pengunjung hanya diperbolehkan berada di jalur yang telah disediakan. 2. Pengunjung tidak boleh merusak, menebang pohon maupun memindahkan benda-benda yang ada dalam kawasan Tn G Merapi. 3. Pengunjung tidak boleh membawa tumbuhan maupun satwa liar dari dalam maupun ke luar kawasan TN G Merapi. 4. Pengunjung tidak diperbolehkan membawa alat/bahan yang dapat mencemarkan kawasan seperti alat bunyi-bunyian, sabun, pasta gigi, spidol, phylox, cat, pestisida dan sebagainya. 5. Semua sampah diharap dibawa ke luar kawasan TN G Merapi. 6. Pengunjung yang akan berkemah/menjelajah alam/hingking diharuskan membawa makanan/ minuman secukupnya, jaket, jas hujan, lampu senter/lampu penerangan, baju ganti dan P3K. 7. Pengunjung tidak diperkenankan membawa senjata tajam (kecuali yang digunakan untuk berkemah), dan atau minuman beralkohol serta obat-obatan terlarang. 8. Pengunjung diharapkan menghindari membuat api unggun kecil untuk kegiatan berkemah dapat dilaksanakan di tempat yang telah disediakan menggunakan kayu bakar yang dibawa dari luar kawasan TNGM. 9. Petugas akan memeriksa barang bawaan dan surat izin (Simaksi) sebelum dan sesudah memasuki kawasan. 
Adapun untuk Tata Cara Pengajuan Izin Kegiatan di Kawasan TN G Merapi atau Pengajuan Simaksi (Pengumuman No PG. 04/IV-T.43/Um/2008) sebagai berikut: 1. Simaksi diberlakukan terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan di dalam Taman Nasional Gunung Merapi dan pelayanan perizinan (Simaksi ) ini terpusat di kantor Balai TN G Merapi, berupa: penelitian, survei, pengambilan data, pengambilan/snapshoot film komersial, video komersial, handycam dan foto, praktik lapangan, kampanye/sosialisasi/pameran, rehabilitasi kawasan, penanaman, berkemah, mendaki gunung, out bond, hiking, diklat-diklat dengan lokasi praktik di dalam kawasan TN G Merapi. 2. Pemohon mengajukan surat permohonan dengan ketentuan mengajukan permohonan secara tertulis/resmi yang ditujukan kepada Kepala Balai TN G Merapi minimal seminggu sebelum pelaksanaan kegiatan dilengkapi dengan proposal kegiatan, dua buah materai Rp 6.000 dan membayar pungutan masuk/pungutan kegiatan lain-lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3. Pemegang Simaksi harus mematuhi segala peraturan dan prosedur yang termuat dalam Simaksi. 4. Pemegang Simaksi wajib didampingi oleh petugas dari Balai TNGM dalam melaksanakan kegiatan di dalam kawasan. 5. Pemegang Simaksi wajib menyerahkan copy dokumentasinya dan laporan kegiatannya kepada Balai TN G Merapi. 6. Untuk melaksanakan kegiatan di kawasan TN G Merapi, dikenakan beberapa pungutan/tiket masuk (berdasarkan PP No 59 tahun 1998). 
Pengunjung maupun pendaki Gunung Merapi dapat memperoleh Simaksi di kantor Balai TN G Merapi di Jl Argulobang No 17 Baciro, Yogyakarta, telepon 560669. Simaksi merupakan salah satu alat untuk menjaga dan melindungi kawasan TN G Merapi, sehingga terjaga kelestariannya. Di samping itu, SIMAKSI juga dapat berperan sebagai kontrol bagi pengunjung maupun pendaki yang akan melakukan kegiatan di Gunung Merapi. Diharapkan dengan adanya Simaksi, kecelakaan akibat faktor alam yang buruk dapat dihindari. Polhut Balai TN G Merapi pun akan siap dan sigap melakukan evakuasi jika pendaki yang membawa Simaksi berada dalam kesulitan saat melakukan pendakian.
Koran Kedaulatan Rakyat, 12 Februari 2009

POTENSI PEMBELAJARAN EKOSISTEM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI

 
TAMPAK sekumpulan anak-anak usia sekolah antusias menyaksikan sebuah film dokumenter tentang Elang Hitam yang hidup di kawasan Gunung Merapi. Anak-anak lain serius mengamati burung di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) lewat teropong (binocular), sedangkan anak-anak didampingi orangtuanya asyik mengikuti lomba mewarnai burung. 
Kegiatan 'Mersi (Mersani Peksi) Expo' atau bird watching (pengamatan burung) yang diselenggarakan oleh Bionic UNY bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Gunung Merapi menjadi salah satu metode pembelajaran ekosistem di alam yang mengasyikkan bagi anak usia sekolah (KR, 29/4/2008). Kehidupan burung di kawasan Gunung Merapi, seperti Elang Jawa dan Elang Hitam yang langka dapat diamati melalui teropong di gardu pandang Plawangan, Kaliurang. Pembelajaran tentang Aves (burung) dalam ilmu Biologi secara langsung di alam terbuka semakin menambah daya tarik siswa. 

Metode Pembelajaran di Alam 
Saat ini metode pembelajaran di alam banyak digemari dan diyakini lebih berhasil dari metode ceramah. Alam sebagai media belajar merupakan solusi ketika terjadinya kejenuhan terhadap metodologi pembelajaran di dalam ruangan (konvensional) yang selama ini dilakukan secara masif dan cenderung lebih berorientasi pada nilai-nilai kuantitatif. 
Menurut Wurdinger (1995), pembelajaran di alam akan dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh setiap individu berdasarkan kemampuan yang ia miliki. Penelitian yang dilakukan oleh Kraft (1985) terhadap generasi muda di Amerika menyatakan metodologi pembelajaran yang sangat efektif manfaatnya adalah menggunakan alam sebagai media untuk pengetahuan. Pembelajaran di alam adalah metodologi pendidikan di masa akan datang, yang akan menggantikan metode tradisional. 
Selama ini pemahaman siswa tentang biologi sebagai ilmu, diasumsikan sebagai ilmu hafalan dan tidak ada manfaatnya dalam kehidupan keseharian. Suatu realitas yang tidak dapat diingkari bahwa banyak siswa SMA yang tidak mengenal aneka jenis tanaman hias yang ada di halaman sekolah. Perilaku perusakan lingkungan alam seperti vandalisme atau mencoret-coret pohon memakai pisau kebanyakan juga dilakukan siswa SMA. 
Persoalan di atas merupakan persoalan klise yang selalu muncul, karena orientasi pembelajaran yang dilakukan guru tidak pernah mendekatkan siswa dengan lingkungan secara langsung. Suatu pola pembelajaran yang didominasi guru tanpa mempertimbangkan latar belakang, pengalaman dan lingkungan sekitar siswa. (Raharja, 2006). Siswa hanya berfungsi sebagai objek, tanpa mampu mengembangkan diri dan lingkungan sebagai sumber belajar tidak dimanfaatkan secara optimal. 

Potensi Pembelajaran Ekosistem di TNGM 
Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli berupa perpaduan ekosistem Gunung Merapi dengan hutan dataran tinggi. TNGM dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. 
Keanekaragaman flora dan fauna di kawasan TNGM tergolong tinggi. Berdasarkan data yang ada, tercatat sekitar 1.000 jenis tumbuhan, termasuk 75 jenis anggrek langka dan beberapa jenis bunga, rotan, jamur dan rerumputan. Satwa liar meliputi jenis mamalia, burung, reptilia, amfibia, ikan air tawar, mollusca dan serangga. Untuk mamalia terdapat rusa, kera ekor panjang, kucing besar, musang, macan kumbang, lutung kelabu, bajing, tikus dan babi hutan. Untuk burung, terdapat 90 jenis burung menetap dan 57 jenis burung tak menetap. 
Kawasan TNGM dapat dipakai untuk pembelajaran ekosistem seperti pembelajaran prinsip dasar ekologi dan konservasi alam; pengamatan ekosistem hutan dataran tinggi; pengamatan burung; pengamatan satwa liar dan studi jejak; serta pengamatan Daerah Aliran Sungai (DAS). Kawasan ini secara hidrologis merupakan daerah tangkapan air, sehingga memegang peranan penting bagi kelangsungan pasokan air di daerah hilir. 
Sungai-sungai yang mengalir dari Gunung Merapi, seperti Sungai Opak, Serayu, Progo, Code, Winongo, Krasak, Sempor, Nyoho, Senowo, Woro, Pabelan, Gendol, Kuning dan Boyong dapat menjadi pembelajaran ekosistem perairan yang menarik, terutama kehidupan flora dan faunanya. 
Kegiatan Mersi Expo yang dilaksanakan pada tanggal 27 April; 4, 11 dan 18 Mei 2008 dapat menumbuhkan rasa cinta lingkungan pada anak usia sekolah secara langsung. Anak-anak sekarang adalah pewaris alam lingkungan di masa depan, di mana kebijakan pelestarian alam lingkungan kelak sangat ditentukan di usia dini, yakni sejak sekarang.

koran Kedaulatan Rakyat, 7 Mei 2008

AMANAH DAN PROAKTIF


Baru kemarin sore istri ditelpon temannya –dulunya aktivis dakwah kampus- yang mengabarkan kalau belum bisa melunasi hutangnya. Pinjam uang ke kami kurang dari sebulan yang lalu karena untuk membantu biaya pengobatan saudaranya di RS. Tidak banyak memang, hanya 500 ribu rupiah.
Tapi amanahnya yang luar biasa, cukup langka di jaman sekarang. Sederhana memang, tapi sedikit yang melakukannya. Awal bulan lalu dia berjanji untuk melunasi di awal bulan depan. Kemarin sore, yang berarti 20 hari setelah meminjam uang, dia menelpon kalau belum bisa melunasi awal bulan depan.

Dua hari yang lalu dia melakukan kesalahan dalam bisnisnya sehingga mengalami kerugian hampir 500 ribu. Sedianya uang itu untuk melunasi hutangnya. Secara proaktif dia minta maaf ke istri kalau belum bisa melunasi hutang.

Inti dari peristiwa ini, dia tidak menunggu ditelpon atau di-sms istri tentang pelunasan hutangnya.
Peristiwa lain yang mirip, tapi beda ending adalah teman istri (kebetulan beliau tergolong ustadzah) juga yang pinjam uang sebesar 500 ribu untuk pengobatan saudaranya. Sudah lama memang, hampir satu tahun yang lalu.

Saat minta untuk pinjam uang, beliau berjanji akan melunasi dalam waktu 6 bulan. Setelah lewat 6 bulan kemudian ditanyakan oleh istri tentang janjinya itu. Beliau jawab dengan pernyataan maaf, afwan jiddan, uang tersebut dipakai dahulu oleh keluarga beliau untuk memenuhi kebutuhan.
Sekali lagi tentang PROAKTIF dan AMANAH teman .. dapat menjadikan beda ending, satu happy ending, satu tidak.

Bagi saya dan istri, latar belakang kehidupan sangat mempengaruhi karakter seseorang. Teman istri yang pertama tadi kebetulan sejak kecil tergolong pekerja keras dan wirausahawan tangguh. Dia rela meninggalkan bangku kuliah di UGM untuk mencari kehidupan di Malaysia. Sekembali dari Malaysia dia dengan suaminya buka usaha bisnis dengan modal hasil keringat dari negeri seberang.

Teman yang kedua adalah istri seorang ustadz dan ibu rumah tangga, yang mungkin masih kurang pengalaman dalam bermuamalah.
Sama-sama akhwat, perempuan memang .. tapi kami anggap beda pengalaman hidup ..
Peristiwa ini menjadikan kami sadar bahwa pelajaran tentang finansal dan kehidupan bermuamalah menjadi sangat penting.

Cukup sering kami mengalami bisnis atau bermuamalah yang kurang baik dengan teman sesama aktivis dakwah.
Cukup sering pula kami mengalami bisnis yang amanah dengan teman yang tergolong awam dalam agama.
Kelihatan sepele, tapi dapat mempengaruhi Rekening Bank Hubungan orang lain. Begitu kata Pak Covey dalam 7 habits.
Semoga kisah ini dapat menyadarkan kita akan arti penting sebuah AMANAH dan PROAKTIF.
Wallahu’alam

Patangpuluhan, 20 februari 2011, pukul 14.05