Kamis, 10 Agustus 2017

KONSERVASI ALAM KONSERVASI KITA

Negara Indonesia pernah dikenal sebagai megabiodiversity country karena dikaruniai dengan keanekaragaman hayati (kehati) tertinggi di dunia, yakni 10-20%  kehati dunia. Sayangnya, predikat tersebut telah mengalami pergeseran menjadi hotspot country, yakni Negara dengan laju kepunahan tertinggi di dunia (KLHK, 2017).

Kepunahan kehati tersebut disebabkan oleh invasi spesies asing (eksotik), fragmentasi dan hilangnya habitat, eksploitasi tumbuhan dan satwa liar, pencemaran, dan perubahan iklim. Melalui Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) yang diperingati setiap tanggal 10 Agustus berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 dapat menjadi momentum keteladanan dan aksi nyata yang melibatkan dan menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk berkomitmen melawan ancaman tersebut.

Peringatan HKAN tahun 2017 dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)  dipusatkan di Taman Nasional Bali Baluran, Jawa Timur, dengan tema “Konservasi Alam Konservasi Kita.” Salah satu isu yang diangkat pada HKAN 2017 ini adalah permasalahan krusial pada ekosistem savana TN Baluran, yakni invasi spesies eksoktik Acacia nilotica yang mencapai luasan 5.592 Hektar pada berbagai tipe habitat (dari total luas kawasan 25.000 Hektar) (KLHK, 2017).

Partisipasi Masyarakat dalam Konservasi Alam
Secara umum masyarakat Indonesia memiliki kepedulian yang tinggi terhadap konservasi alam, seperti kelestarian hutan. Berbagai bentuk kegiatan konservasi hutan, penanaman jutaan pohon, penyelamatan satwa serta konstruksi kearifan lokal masyarakat sekitar hutan menjadi bukti konkrit dari hal tersebut. Contoh riil adalah partisipasi masyarakat pecinta Capung atau Indonesia Dragonfly Society (IDS).

IDS adalah sebuah komunitas yang berusaha mengupayakan terciptanya kelangsungan keanekaragaman hayati Capung (Kinjeng dalam Bahasa Jawa) sebagai pusaka alam Indonesia. Komunitas ini terbentuk atas dasar rasa ingin tahu, cinta dan kepedulian anggotanya akan kelangsungan hidup Capung yang kian lama semakin langka. Capung adalah serangga yang berperan penting bagi terwujudnya lingkungan yang sehat.

Capung juga merupakan indikator perairan yang masih terjaga. Keberadaan Capung tentu bisa menjadi sahabat dunia pertanian karena ia memiliki peran sebagai pemangsa dan penyeimbang alami hama tanaman. Capung juga membantu mengendalikan nyamuk berikut jentik-jentiknya, dengan cara memangsanya.

Namun ternyata, peran dan manfaatnya itu masih belum banyak kita ketahui dan sadari, terutama oleh generasi muda sekarang. Hal ini salah satu sebab populasi dan keberagaman Capung banyak berkurang seturut dengan kondisi lingkungan yang semakin lama semakin rusak, padahal Capung akan selalu membutuhkan perairan dan lingkungan yang baik agar terus berlangsung kehidupannya.

Jambore Capung Indonesia 2017
Dalam rangka menyambut HKAN 2017 sekaligus Jambore Capung Indonesia 2017, IDS menyelenggarakan serangkaian kegiatan ‘Kumpul Bareng Pengamat Capung Nusantara.’ Kegiatan Jambore Capung Indonesia yang Kedua ini dilaksanakan di Kulonprogo, tepatnya Obyek Wisata Alam Kembang Soka, dusun Gunung Kelir, Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo.

Lokasi ini dipilih sebagai tempat temu data pengamat Capung Indonesia, karena Desa Jatimulyo telah terbukti mampu menjaga kelestarian alam wilayahnya. Hutan rakyat dengan berbagai jenis spesies tumbuhan masih terjaga secara lestari, sehingga bebas dari serangan spesies eksotik. 30 jenis Capung ditemukan di Desa Jatimulyo, yang berhabitat di sungai dan air terjun yang masih jernih dan terjaga sejak dari hulu.

Selain Capung, Jatimulyo juga kaya akan keanekaragaman burung. Terdapat 94 jenis burung di kawasan ini (24 persen total jenis burung di DIY), keberadaannya dilindungi oleh Peraturan Desa (Perdes) yang melarang kegiatan perburuan. Kegiatan selain kumpul bareng pengamat capung nusantara, adalah mengamati Capung ‘Mengapung’ bersama, seminar oleh para Pakar Entomologi (serangga), dan berbagi data Capung Nusantara selama tanggal 11 – 12 Agustus 2017.

Opini Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 10 Agustus 2017 halaman 12

Sejatinya Indonesia memiliki keragaman capung yang sangat tinggi, yaitu 15% dari total sekitar 5680 spesies di seluruh dunia, namun pengetahuan mengenai capung masih sangat kurang. Selain itu mayoritas publikasi mengenai Capung ditulis oleh peneliti asing. Selama beberapa dekade terakhir, para ahli Capung dunia melakukan penelitian tentang peran Capung sebagai alat memantau perubahan iklim dan menilai kualitas lingkungan.

Kegiatan konservasi yang dilaksanakan oleh komunitas IDS sangat sesuai dengan prinsip HKAN. Salah satu pertimbangan ditetapkannya HKAN adalah konservasi alam merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan yang harus terus dilaksanakan dan dipertahankan pada setiap kegiatan dalam upaya perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai sistem penyangga kehidupan.


Jambore Capung Indonesia 2017 merupakan wujud aksi nyata HKAN yang melibatkan Pemerintah Desa, akademisi, peneliti, birokrasi dan masyarakat umum, sesuai tema ‘Konservasi Alam Konservasi Kita.’ Sugeng Rawuh Para Pecinta Capung Nusantara di kota Yogyakarta!

Sabtu, 15 Juli 2017

JADILAH PENDAKI BIJAK

Kegiatan outdoor/di alam seperti pendakian gunung saat ini menjadi ajang eksistensi bagi remaja atau pemuda. Tanpa persiapan dan bekal yang matang, mereka nekat melakukan pendakian dan justru membahayakan diri sendiri. Tak jarang jalur pendakian ilegal alias belum dibuka secara resmi diterobos demi eksistensi diri.

Hari Selasa (4/7) Tim SATLINMAS RESCUE ISTIMEWA DIY Wilayah Operasi VII mengevakuasi 2 pendaki Gunung Merapi yang naik melalui jalur ilegal, yakni jalur Kinahrejo, Cangkringan, Sleman. Padahal masih segar dalam ingatan, 11 pendaki yang tersambar petir saat melakukan pendakian Gunung Prau. Beruntung 2 pendaki Merapi tersebut ditemukan dalam kondisi sehat dan selamat setelah 2 hari hilang kontak.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 15 Juli 2017

Jika kita cek mesin pencarian di dunia maya, mayoritas korban kecelakaan di gunung adalah pendaki pemula dan berstatus mahasiswa atau pelajar. Walaupun ada juga beberapa pendaki kawakan yang meninggal di gunung karena mengabaikan aturan dan tidak mampu mengalahkan ego. Alam tidak mengenal pendaki pemula maupun yang berpengalaman.

Dia juga tidak peduli apakah kita siap atau tergeletak menyerah kalah ketika dia sedang menunjukkan sikap tidak bersahabat. Kewajiban kita adalah memahaminya, bukan sebaliknya. Mbah Asih, juru kunci Gunung Merapi pada acara doa bersama untuk korban Ery yang jatuh di kawah Merapi tahun 2015 mengatakan, bahwa secara legalitas hukum Gunung Merapi dikuasai oleh Balai TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi), tetapi secara kasat mata ada juga penunggunya, yakni makhluk ghoib.

Ada kearifan lokal yang harus dijaga saat mendaki Gunung Merapi, misalnya saat lelah naik Gunung Merapi hindari mengeluh dengan mengucapkan capek dan sebagainya. Saat terasa lelah cukup istirahat, tidak usah mengeluh. Selain itu tentu saja persiapan dan bekal yang cukup, termasuk jika terjadi force majeur atau musibah alam.

Membiarkan seseorang yang sembrono tanpa pengetahuan dan persiapan sama saja dengan membiarkannya mengantar nyawa. Apalagi tren sekarang menganggap, bahwa dengan mendaki gunung, ia dapat dicap sebagai pemberani. Alhasil, faktor-faktor lain pun terabaikan.  Pemahaman terdapap gunung misalnya, tentu bukan hanya sekadar mengerti jalur pendakian serta mengurus perizinan.

Terlebih dengan dibentuknya Taman Nasional disebagian besar gunung di Indonesia, sangat mudah bagi pendaki untuk menunaikan hasrat keberaniannya, tinggal bayar sekitar 10 -30 ribu dapat langsung melaksanakan niatnya. Namun, bagaimana pandangan masyarakat lokal di sekitar gunung terhadap pendaki, serta akibat pendakian bagi tumbuhan dan satwa liar di gunung bukanlah menjadi pegangan yang harus diperhatikan, misal masih ada yang membuat sampah sembarangan di hutan, mengambil bunga edelweis dan lainnya.

Selain itu, pendaki yang bijak juga tidak akan mendaki melalui jalur ilegal, karena jalur tidak resmi dapat dipastikan tidak aman dan berbahaya. Balai TNGM menetapkan dua jalur pendakian resmi Gunung Merapi, yakni melalui jalur Selo, Boyolali dan jalur Sapuangin, Klaten. Jalur Selo merupakan jalur pendakian lama yang tidak terdampak erupsi tahun 2010. Selain itu adalah jalur ilegal atau terlarang.

Jalur Sapuangin yang berada di wilayah administrasi Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Klaten pada tanggal 12 Mei 2017 dibuka resmi sebagai jalur pendakian Gunung Merapi. Penetapan jalur pendakian, seperti Sapuangin, melalui kajian dan proses yang cukup panjang. Kajian juga melibatkan institusi yang berkompenten seperti Taman Nasional dari tinjauan potensi tumbuhan-satwa liar; keamanan jalur pendakian dari SAR (Search And Rescue); aktivitas vulkanik dari Badan Vulkanologi; dan lain sebagainya.

Sayangnya masih ada pendaki yang nekad naik gunung melalui jalur terlarang. Dalam filosofi Jawa disebut sebagai sikap Nggugu karepe dhewe, yakni sikap mementingkan diri demi sebuah eksistensi yang dapat mengorbankan diri bahkan orang lain. Pendaki yang bijak tentu memegang teguh prinsip, Desa mawa cara, Negara mawa tata, yakni mematuhi kearifan lokal atau adat istiadat setempat dan peraturan hukum. Tentu semua ini tidak hanya demi keselamatan pendaki, tapi juga wujudnya kelestarian alam secara berkelanjutan. Allaahu alam.

Patangpuluhan, 9 Juli 2017

Senin, 05 Juni 2017

ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

Setiap tanggal 5 Juni diperingati Hari Lingkungan Hidup sedunia. Untuk tahun 2017 ini United Nations Environment Programme (UNEP) mengangkat tema “Connecting People to Nature”, yang arti bebasnya adalah hubungan manusia dan alam. Sebuah upaya pelestarian lingkungan melalui pendekatan spiritualitas atau agama.

Upaya menumbuhkan semangat memelihara planet bumi yang hanya satu-satunya ini, pandangan agama dianggap merupakan faktor penting yang memberikan kontribusi atas sikap manusia terhadap alam dan lingkungan. Ribuan tahun agama sudah dijadikan sebagai standar kode etik yang shahih dan merupakan warisan tertua kemanusiaan. Kearifan pandangan, kepekaan moral dan sikap religiusitas manusialah yang mungkin dapat menjadi garda penting dan paling akhir yang dapat diharapkan untuk mengingatkan tentang hubungan manusia dalam memelihara alam dan kearifan dalam mengelola bumi (Mangunjaya & Heriyanto, 2007).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 5 Juni 2017 

Dalam Islam ada ajaran untuk hidup berharmoni dengan alam, seperti Al Quran menyatakan bahwa seluruh alam semesta adalah milik Tuhan (Q.S. Al Baqarah, 2:284). Manusia diberi izin tinggal di dalamnya unutk sementara dalam rangka memenuhi tujuan yang telah direncanakan dan ditetapkan Tuhan (Q.S. Al Ahqaf, 46: 3). Dengan begitu alam bukanlah milik hakiki manusia.

Kepemilikan manusia hanyalah amanat, titipan atas pinjaman yang pada saatnya harus dikembalikan dalam keadaannya seperti semula. Bahkan manusia yang baik justru akan mengembalikan titipan tersebut dalam keadaan yang lebih baik dari ketika dia menerimanya. Nabi mengatakan: “Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam mengembalikan utangnya.” Titipan yang dikembalikan tersebut selanjutnya akan didistribusikan kembali bagi orang atau generasi sesudahnya sampai hari kiamat.

Dalam ayat lain Tuhan juga mengecam manusia yang merusak alam. Dia sangat tidak menyukai orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi (Q.S. Al Baqarah, 2:60, 205; Al A’raf, 7:56, 85; Al Qashash, 28: 88; Al Syu’ara, 26: 183 dll)(Muhammad, 2005). Tindakan merusak alam merupakan bentuk kedzaliman dan kebodohan manusia.

Al Quran juga menggambarkan kebinasaan ummat terdahulu akibat tindakan merusak alam. Semua perbuatan manusia yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan kemungkaran. Siapa saja yang menyaksikan tindakan tersebut berkewajiban menghentikannya. Negara sebagai pengawas alam berkewajiban menyeret pelakunya ke pengadilan agar dia mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Untuk mencegah bahaya kebakaran hutan dalam rangka mendorong kelestarian lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia mengajak Majelis Ulama Indonesia (MUI) merumuskan fatwa tentang kebakaran hutan. Akhirnya keluar Fatwa MUI nomor 30 tahun 2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan serta Pengendaliannya. Fatwa ini diharapkan dapat mendorong munculnya kesadaran ummat bahwa pembakaran hutan dan lahan adalah kejahatan.

Penggalian khasanah Islam dalam bidang lingkungan juga diwujudkan dalam budaya dan dipraktekkan oleh masyarakat. Sebagai pendiri Kraton Yogyakarta yang juga seorang muslim, Sri Sultan Hamengku Buwono I mencetuskan konsep pelestarian lingkungan melalui filosofi “Hamemayu Hayuning Bawana”. Filosofi ini memiliki dimensi universal dan kondusif bagi upaya-upaya pelestarian lingkungan.  (Anshoriy, 2008).

Dalam wacana masa kini, konsep tersebut diartikan sebagai nilai-nilai yang menjamin keselamatan lestari yang berkelanjutan, yang bertumpu pada keputusan generasi sekarang. Hamemayu Hayuning Bawono tidak bisa terwujud begitu saja tanpa adanya Rahayuning Bawono Kapurbo Waskithaning Manungso atau kelestarian alam tidak akan terwujud tanpa adanya kewaspadaan manusia. Kewaspadaan yang dimaksud adalah kewaspadaan terhadap kerusakan lingkungan yang akan terjadi apabila manusia mulai serakah.

Kisah lain Almarhum Kyai Basid, Pimpinan Pondok Pesantren An Nuqayah di Sumenep, Madura, mendorong santri-santrinya menanam pohon, membangun hutan rindang, untuk menghasilkan sumber mata air menjadi sungai jernih mengalir di Pondok Pesantren bagi kesempurnaan salat ibadah agama. Berkatalah Kyai Basid, “Untuk kesempurnaan ajaran Islamlah, saya didik santri agar senantiasa bersih dalam melaksanakan salat. Untuk ini dibutuhkan air jernih yang lahir berkat terlestarikannya lingkungan hidup.” (Salim, 2007). Semoga peringatan hari Lingkungan Hidup saat bulan Ramadhan ini dapat membangun sikap dan pola hidup Muslim yang berpegang teguh pada Rahmatan lil’alamin.

Patangpuluhan, 3 Juni 2017, pukul 11.05 WIB

Minggu, 04 Juni 2017

PELAJARAN PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL 29 MEI 1453

Hari ini, tanggal 29 Mei adalah hari bersejarah bagi ummat Islam, karena 600 tahun yang lalu peradaban Islam mengalami perubahan besar. Tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan al-Ghazi Muhammad Al-Fatih bersama pasukan muslim berhasil memasuki jantung Romawi Timur, kota Konstantinopel. Kota ini merupakan salah satu kota terpenting di dunia yang dibangun pada tahun 330 M oleh Kaisar Theodosius, dan memiliki benteng pertahanan yang sangat sulit untuk ditembus.


Menara mirip Masjid di selat Bosphorus, Istanbul, Turki (gambar dari Umroh + Turki
PT Labbaika Cipta Imani 22 April-7 Mei 2024)

Sejak didirikan Konstantinopel, pemerintah Byzantium (Romawi Timur) menjadikannya sebagai ibukota pemerintahan. Kota ini merupakan kota terbesar yang dilindungi benteng terkuat di dunia, dikelilingi lautan dari tiga sisi sekaligus, yaitu selat Bosphorus, laut Marmara, dan Selat Tanduk Emas (Golden Horn Straits). Laut di depan benteng Konstatinopel juga dijaga dengan rantai yang sangat besar, hingga tidak memungkinkan kapal musuh masuk ke dalamnya. Napoleon sendiri menggambarkan Konstatinopel sebagai berikut, “ … kalaulah dinia ini sebuah Negara, maka Konstatinopel inilah yang paling layak menjadi ibukota negaranya.”

Bisyarah atau kabar gembira jatuhnya Konstantinopel ke ummat Islam sudah disampaikan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata, “bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah Saw untuk menulis, tiba-tiba Beliau Saw ditanya tentang kota manakah yang akan difutuh (dibebaskan) terlebih dahulu, apakah kota Konstantinopel atau Roma. Rasulullah Saw menjawab, kota Heraklius terlebih dahulu (maksudnya Konstatinopel).” [HR. Ahmad]. Dalam hadist lain Rasulullah Saw mengatakan, “Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat Pemimpin Perang adalah Pemimpinnya, dan sekuat-kuatnya pasukan perang adalah pasukannya.” [HR Ahmad].

Kota Konstantinopel sendiri bukanlah kota yang mudah ditaklukkan. Kota ini dapat menahan serangan dari berbagai penjuru dan berhasil menetralkan ancaman yang datang kepadanya karena memiliki system pertahanan yang sangat maju pada zamannya. Kota ini dikelilingi tembok yang luar biasa tebal dan tinggi, yakni tinggi sekitar 18 meter dan tebal 3 lapis, tidak ada satupun teknologi yang dapat menembus tembok ini. Sultan Muhammad Al- Fatih sampai harus menyiapkan dengan membuat meriam raksasa yang dapat melontarkan peluru seberat 680 Kg.

Awal penyerangan Konstantinopel dilakukan pada tanggal 6 April 1953  dan terkenal dengan nama ‘The Siege of Constantinople’. Pasukan muslim Al Fatih sebanyak 250.000 orang dibagi menjadi tiga, yaitu pasukan laut dengan 400 kapal perang menyerang melalui laut Marmara, kapal-kapal kecil menembus selat Tanduk Emas, dan sisanya melalui jalan darat menyerang dari sebelah Barat Konstantinopel. Serangan pasukan Al-Fatih dapat digagalkan oleh pasukan Konstantinopel yang bertahan di bentengnya, belum lagi serangan bantuan dari negeri Kristen lewat laut menambah berat pertempuran pasukan muslim.

Sampai tanggal 21 April 1453 tidak sedikitpun tanda-tanda kemenangan akan dicapai pasukan Al-Fatih, sehingga mereka mencoba suatu cara yang tidak terbayangkan kecuali oleh orang yang beriman. Dalam waktu semalam pasukan Al-Fatih dapat memindahkan 70 kapal dari selat Bosphorus menuju selat Tanduk Emas. Pengepungan ini terus berlanjut sampai dengan tanggal 27 Mei 1453. Sultan Muhammad Al-Fatih melihat kemenangan semakin dekat, sehingga mengumpulkan para pasukannya dan berkhutbah:

“Jika penaklukan kota Konstantinopel sukses, maka sabda Rasulullah Saw telah menjadi nyata dan salah satu mukjizatnya telah terbukti, maka kita akan memperoleh bagian dari apa yang telah menjadi janji dari hadist ini, yang merupakan kemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, sampaikanlah pada para pasukan satu persatu, bahwa kemenangan besar yang akan kita capai ini akan menambah ketinggian dan kemuliaan Islam. Untuk itu wajib bagi setiap pasukan menjadikan syariat selalu di depan matanya dan jangan sampai ada diantara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaklah mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaklah mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran.”

Muhammad Al-Fatih sangat paham bahwa kemenangan hanya akan tercapai dengan ijin dan pertolongan Allah SWT, bukan karena kecerdasan, strategi perang maupun kekuatan pasukannya. Maka ia meminta seluruh pasukan muslim untuk bermunajat pada Allah, menjauhkan diri dari maksiat, dan bertahajud pada malam harinya. Tanggal 29 mei 1453 serangan terakhir diluncurkan, dan sebelum ashar Sultan Al-Fatih sudah menginjakkan kakinya di gerbang masuk Konstantinopel. Berakhirlah pengepungan selama 52 hari dan penantian panjang akan janji Allah selama 800an tahun lamanya. Konstantinopel terbebaskan oleh pemimpin dan pasukan terbaik.

Peristiwa jatuhnya Konstantinopel memberi 3 pelajaran berharga bagi ummat Islam, yakni:

Pertama, penaklukan Konstantinopel merupakan proses panjang sejak Rasulullah Saw bersabda, bukan secara instan dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih. Penaklukan Konstantinopel sudah dirintis sejak zaman Muawiyah. Sahabat Abu Ayyub al-Anshari (44 H) pada masa Khalifah Yazid bin Muawiyah pada saat ikut ekspedisi jihad pasukan muslim minta agar jenazahnya dikubur di bawah kaki pasukan muslim terdepan. Lokasi makam Abu Ayyub tidak jauh dengan Konstantinopel.
Tanda makam sahabat ini menjadi milestone bagi mujahid berikutnya. Tercatat Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik (98 H) pada masa Bani Umayyah, Khalifah Harun Al-Rasyid (190 H) pada masa Bani Abasiyah, Sultan Beyazid I (796 H) dari Kesultanan Ustmani, Sultan Murad II (824 H) dari Kesultanan Ustmani berusaha menaklukan Konstantinopel. Tapi Allah belum mengizinkannya.

Kedua, jatuhnya Konstantinopel adalah usaha pemimpin dan pasukan terbaik Islam yang merupakan keberhasilan kaderisasi. Oleh ayahnya ‘Sultan Murad II’, Muhammad II atau Muhammad Al-Fatih sejak belia dididik oleh ulama-ulama besar seperti Syaikh Ahmad Al-Kurani yang mengajarkan Al-Quran dan menanamkan ilmu Islam. Pada usia 16 tahun Al-Fatih telah menguasai 8 bahasa, pelajaran astronomi, matematika, dan sejarah. Sebagian besar hidupnya Al-Fatih berada di atas kuda, dan beliau tidak pernah meninggalkan sholat rawatib berikut jamaah, dan tahajudnya untuk menjaga kedekatannya dengan Allah.
Muhammad Al-Fatih juga membentuk pasukan elit yang diilatih ilmu agama, fisik dan taktik. Sejak dini pasukan elit ini dilatih untuk loyal kepada Allah dan Rasul-Nya, termasuk terjaga sholat berjamaahnya di masjid dan badah qiyamul lail. Total ada 7000 pasukan elit yang diberi nama Yeniseri (Royal Janissaries).

Ketiga, Muhammad Al-Fatih sadar bahwa hanya dengan ijin dan pertolongan Allah-lah dapat menaklukkan Konstantinopel. Ini yang Al-Fatih sangat dijaga hingga Konstantinopel dapat dikuasai Islam. Sikap sombong, takabur yang mengagung-agungkan besar dan kuatnya pasukan dibuang jauh-jauh.

Ketiga ibroh atau pelajaran sangat sesuai diterapkan dalam dakwah. Bahwa dakwah itu perlu proses yang dijalankan oleh rijalul dakwah (aktivis dakwah) dengan keilmuan yang mumpuni dan dijalani dengan ikhlas penuh harap akan pertolongan Allah. Allahu ‘alam.


*) lereng Tenggara Gunung Merapi, 29 Mei 2017 pukul 09.28 WIB untuk website DPW BKPRMI DIY http://jogjakemasjid.com/bkprmi-138/29-mei-1453-m.html


 
 Menikmati Penaklukan Konstatinopel dengan srumput kopi Sunan Gunung Merapi
(Umroh + Turki tahun 2023 & 2024)

Rabu, 26 April 2017

MENGGAGAS SEKOLAH GUNUNG: Berbasis Konservasi Menopang Mitigasi

Tidak bisa dipungkiri, kita hidup di negara yang tidak lepas dari bencana alam. Kenyataan ini harus kita terima, ketahui dan waspadai dampaknya, terutama potensi korban jiwa. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2017 telah terjadi bencana alam sejumlah 884 kejadian di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bencana alam yang terjadi dalam rentang 3 bulan sudah membawa korban meninggal dunia sebanyak 120 orang dan mengakibatkan 961.440 orang menderita dan mengungsi (data BNPB sampai Maret 2017).

Fakta ini menandakan masyarakat masih minim pengetahuannya dalam mitigasi bencana alam, akibatnya masih ada korban jiwa dan kerugian lainnya. Mitigasi bencana adalah rangkaian upaya mengurangi risiko bencana, yakni melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Belajar dari peristiwa erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang membawa korban jiwa sebanyak 347 jiwa; desa-desa berada pada Area Terdampak Langsung (ATL) erupsi atau pada Kawasan Rawan Bencana (KRB) III berbenah diri.

Mereka sadar bahwa upaya mitigasi bencana jauh lebih baik dibanding tindakan penanggulangan. Pasalnya tindakan penanggulangan seringkali tidak dilaksanakan atau memperhatikan terhadap bencana yang mengakibatkan kepunahan spesies tumbuhan atau satwa liar. Padahal kepunahan satu spesies dapat menyebabkan terganggunya suatu ekosistem. Bahkan akhir-akhir ini bencana yang terjadi merupakan ulah manusia seperti terjadinya perubahan iklim yang berawal dari deforestasi.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 26 April 2017

Gagasan Desa Balerante, Desa Mitigasi dan Konservasi
Desa Balerante yang berada di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten merupakan salah satu desa yang berada pada ATL dan KRB III. Kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang berada di wilayah administrasi Desa Balerante terkena dampak parah tersapu  awan panas erupsi 2010. Meskipun semua rumah hancur tersapu awan panas, warga Balerante masih bersyukur karena peristiwa tersebut membawa korban jiwa 1 orang, padahal jarak dari Puncak Merapi sekitar 4 Km.

Hal ini tidak lepas dari peran tokoh masyarakat yang sigap turut membantu kelancaran proses evakuasi dengan menyediakan sarana transportasi secara swadaya. Selain itu Pemdes Balerante juga sudah mempunyai Sistem Informasi Desa (SID) yang sangat membantu dalam mitigasi bencana. Dalam SID tidak hanya berisi data monografi desa, tapi juga jumlah sarana transportasi tiap rumah yang dapat digunakan untuk evakuasi.

Data dan informasi dalam SID ini tidak hanya membantu desa dalam memetakan situasi dan pengambilan keputusan pada kondisi normal, tapi juga saat kondisi darurat. Meskipun rumah dan harta benda hilang akibat erupsi, namun hal itu tidak mematahkan semangat warga Balerante untuk bangkit menata hidup kembali. Bermodalkan kekuatan sendiri dan gotong royong, serta ditambah dengan dukungan berbagai pihak, kehidupan social ekonomi warga Balerante mulai tertata kembali.

Semangat serta proses untuk bangkit kembali ini yang menjadikan BNPB menggagas Desa Balerante sebagai Sekolah Gunung, yakni lokasi untuk belajar pengelolaan mitigasi bencana alam. Bahkan atas inisiatif Pemdes Balerante pada tanggal 14 April 2017 mengumpulkan stake holder seperti BPBD, TNGM, LSM, pegiat wisata alam, dan lain-lain untuk menggagas Balerante sebagai Sekolah Gunung yang berbasis mitigasi dan konservasi.

Tujuan gagasan ini adalah untuk mengubah pola pikir pariwisata destruktif menjadi pariwisata hijau, setelah meningkatnya kunjungan wisata di Desa Balerante (Puguh, 2017). Selain itu juga bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam di Balerante secara berkelanjutan. Tentu gagasan ini dilandaskan pada Perpres Nomor 70 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan TNGM.

Kawasan TNGM di Desa Balerante sendiri sebagian besar adalah zona rehabilitasi yang sudah ditanami dengan jenis tumbuhan asli Merapi, dan telah membentuk ekosistem hutan. Area ini diharapkan dapat menjadi benteng atau tembok hijau penahan luncuran awan panas dan sistem peringatan dini alami. Selain itu zona rehabilitasi juga dapat menjadi lokasi penelitian dan pembelajaran tentang suksesi maupun konservasi alam.

Gagasan Sekolah Gunung merupakan salah satu upaya menjadikan kawasan rawan bencana menjadi pusat pembelajaran konservasi yang menopang mitigasi bencana. Apalagi BNPB mencanangkan Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional (HKBN) pada 26 April 2017, yang bertujuan untuk membudayakan latihan secara terpadu, terencana dan berkesinambungan guna meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menuju Indonesia Tangguh Bencana. Allaahu ‘alam.

Patangpuluhan, 24 April 2017 pukul 06.00 WIB

Rabu, 12 April 2017

RIMBAWAN DAN KEARIFAN LOKAL

Melalui Resolusi 67/200 tahun 2012, PBB menatapkan tanggal 21 Maret sebagai International Day of Forest atau Hari Hutan Internasional (HHI). Jauh sebelumnya, Indonesia sudah memiliki hari hutan, yakni Hari Bhakti Rimbawan. Hari hutan Indonesia bertepatan dengan lahirnya Departemen Kehutanan pada tanggal 16 Maret 1983.

Pada tahun 2017 ini Kementerian LHK akan merayakan Hari Bhakti Rimbawan ke-34. Tema yang diangkat adalah “Dengan Semangat Kerja Nyata, Rimbawan Indonesia Bertekad Menjaga Kelestarian Hutan untuk Meningkatkan Pembangunan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan.” Tantangan yang paling nyata rimbawan adalah bagaimana peran dan fungsi kehutanan dapat dioptimalkan kembali. Apalagi Presiden RI sekarang –Ir. JokoWidodo- adalah salah satu rimbawan, lulusan Fakultas Kehutanan UGM.

artikel di OPINI koran Kedaulatan Rakyat tanggal 21 Maret 2017


Kebijakan Nasional 2015 – 2019 seperti rehabilitasi lahan kritis 5,5 juta hektar, pemulihan 15 DAS prioritas dan 15 Danau prioritas, peningkatan populasi tumbuhan dan satwa dilindungi, pengelolaan kawasan konservasi, perhutanan sosial, pencegahan kebakaran hutan dan lahan merupakan ciri rekognisi dan sinsitifitas kita untuk senantiasa menjaga fungsi lahan seperti fungsi regulasi sistem penopang kehidupan, fungsi carrier dan produksi serta fungsi informasi agar tetap stabil memenuhi bagi kepentingan manusia (Nurbaya, 2017). Secara nyata, kebijakan dan langkah dalam bidang lingkungan hidup dan kehutanan itu untuk kesiagaan energi, air, pangan dan kesejahteraan masyarakat yang kita percaya bahwa di dalamnya ada peran hutan dan ekosistemnya yang sangat penting.

Salah satu program Nawa Cita Presiden Jokowi adalah membangun Indonesia dari pinggiran. Oleh Kementerian LHK program ini dijabarkan dalam kegiatan mengelola area seluas 12,7 juta hektar bersama masyarakat dalam bentuk hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. Bahkan dalam pengelolaan kawasan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margawasatwa, Hutan Lindung) sudah semakin melibatkan masyarakat setempat.

Pelibatan masyarakat ini didasarkan pada bukti bahwa masyarakat sejatinya lebih mampu dalam menjaga kelestarian hutan. Apalagi masyarakat yang masih memegang kearifan lokal setempat. Di beberapa daerah di Jawa yang kawasan hutannya masih terjaga, masyarakat setempat mempunyai kearifan lokal yang mendukung pelestarian alam.

Masyarakat setempat memiliki pedoman ngengehi anak putu ben komanan’ (Prasetyo, 2012). Maksud dari ungkapan ini adalah ketika memanfaatkan kekayaan alam mereka selalu teringat bahwa isi dan kekayaan alam lingkungannya tersebut tidak hanya untuk generasi mereka saja, tetapi juga untuk generasi anak-cucu mereka.

Mereka memegang teguh prinsip:“Manungsa, alam paringane Gusti. Mila manungsa kedah menfaataken kanthi dipunjagi ingkang sae. Awit kabetahanipun tiyang gesang: toya, siti lan sanesipun,  kawula menawi mboten dipunmekaraken mangkenipun badhe mboten cekap.” Maksudnya, bahwa manusia dan alam adalah ciptaan Tuhan, sehingga manusia harus memanfaatkandanmenjaganyadenganbaik.Kekayaanalamyang dimanfaatkan dan dijaga dengan baik tentu akan dapat mencukupi kebutuhan manusia sampai generasi yang akan datang.

Tetapi apabila tidak dimanfaatkan dengan baik pasti akan merugikan manusia sendiri. Pemanfaatan sumber daya alam dengan berlandaskan kearifan lokal yang sarat dengan pesan-pesan moral ini secara tidak langsung  menjadi mekanisme kultural untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya alam hutan agar tidak berlebihan sehingga bisa merusak keseimbangan ekosistem hutan.

Tradisi tersebut dapat dilihat di Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo. Desa yang terletak di kawasan karst Pegunungan Menoreh ini masih kental dalam memegang kearifan lokal dalam melestarikan kawasan hutan. Masyarakat masih teguh memegang tanahnya agar tidak dibeli orang luar.

Alhasil masyarakat Jatimulyo dapat menikmati air bersih yang mengalir dari 6 tuk (sumber air) dan kebutuhan hidupnya dari hasil pengelolaan hutan secara lestari. Inilah wujud nyata masyarakat dalam menjaga unsur utama sumber daya alam, yakni toya lan siti atau air dan tanah. Peran Rimbawan sekarang adalah menggali kearifan lokal masyarakat ini untuk diterapkan dalam pengelolaan hutan secara lestari. Selamat Hari Bhakti Rimbawan dan Hari Hutan Internasional!

Patangpuluhan, 17 Maret 2017