Sabtu, 15 Juli 2017

JADILAH PENDAKI BIJAK

Kegiatan outdoor/di alam seperti pendakian gunung saat ini menjadi ajang eksistensi bagi remaja atau pemuda. Tanpa persiapan dan bekal yang matang, mereka nekat melakukan pendakian dan justru membahayakan diri sendiri. Tak jarang jalur pendakian ilegal alias belum dibuka secara resmi diterobos demi eksistensi diri.

Hari Selasa (4/7) Tim SATLINMAS RESCUE ISTIMEWA DIY Wilayah Operasi VII mengevakuasi 2 pendaki Gunung Merapi yang naik melalui jalur ilegal, yakni jalur Kinahrejo, Cangkringan, Sleman. Padahal masih segar dalam ingatan, 11 pendaki yang tersambar petir saat melakukan pendakian Gunung Prau. Beruntung 2 pendaki Merapi tersebut ditemukan dalam kondisi sehat dan selamat setelah 2 hari hilang kontak.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 15 Juli 2017

Jika kita cek mesin pencarian di dunia maya, mayoritas korban kecelakaan di gunung adalah pendaki pemula dan berstatus mahasiswa atau pelajar. Walaupun ada juga beberapa pendaki kawakan yang meninggal di gunung karena mengabaikan aturan dan tidak mampu mengalahkan ego. Alam tidak mengenal pendaki pemula maupun yang berpengalaman.

Dia juga tidak peduli apakah kita siap atau tergeletak menyerah kalah ketika dia sedang menunjukkan sikap tidak bersahabat. Kewajiban kita adalah memahaminya, bukan sebaliknya. Mbah Asih, juru kunci Gunung Merapi pada acara doa bersama untuk korban Ery yang jatuh di kawah Merapi tahun 2015 mengatakan, bahwa secara legalitas hukum Gunung Merapi dikuasai oleh Balai TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi), tetapi secara kasat mata ada juga penunggunya, yakni makhluk ghoib.

Ada kearifan lokal yang harus dijaga saat mendaki Gunung Merapi, misalnya saat lelah naik Gunung Merapi hindari mengeluh dengan mengucapkan capek dan sebagainya. Saat terasa lelah cukup istirahat, tidak usah mengeluh. Selain itu tentu saja persiapan dan bekal yang cukup, termasuk jika terjadi force majeur atau musibah alam.

Membiarkan seseorang yang sembrono tanpa pengetahuan dan persiapan sama saja dengan membiarkannya mengantar nyawa. Apalagi tren sekarang menganggap, bahwa dengan mendaki gunung, ia dapat dicap sebagai pemberani. Alhasil, faktor-faktor lain pun terabaikan.  Pemahaman terdapap gunung misalnya, tentu bukan hanya sekadar mengerti jalur pendakian serta mengurus perizinan.

Terlebih dengan dibentuknya Taman Nasional disebagian besar gunung di Indonesia, sangat mudah bagi pendaki untuk menunaikan hasrat keberaniannya, tinggal bayar sekitar 10 -30 ribu dapat langsung melaksanakan niatnya. Namun, bagaimana pandangan masyarakat lokal di sekitar gunung terhadap pendaki, serta akibat pendakian bagi tumbuhan dan satwa liar di gunung bukanlah menjadi pegangan yang harus diperhatikan, misal masih ada yang membuat sampah sembarangan di hutan, mengambil bunga edelweis dan lainnya.

Selain itu, pendaki yang bijak juga tidak akan mendaki melalui jalur ilegal, karena jalur tidak resmi dapat dipastikan tidak aman dan berbahaya. Balai TNGM menetapkan dua jalur pendakian resmi Gunung Merapi, yakni melalui jalur Selo, Boyolali dan jalur Sapuangin, Klaten. Jalur Selo merupakan jalur pendakian lama yang tidak terdampak erupsi tahun 2010. Selain itu adalah jalur ilegal atau terlarang.

Jalur Sapuangin yang berada di wilayah administrasi Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Klaten pada tanggal 12 Mei 2017 dibuka resmi sebagai jalur pendakian Gunung Merapi. Penetapan jalur pendakian, seperti Sapuangin, melalui kajian dan proses yang cukup panjang. Kajian juga melibatkan institusi yang berkompenten seperti Taman Nasional dari tinjauan potensi tumbuhan-satwa liar; keamanan jalur pendakian dari SAR (Search And Rescue); aktivitas vulkanik dari Badan Vulkanologi; dan lain sebagainya.

Sayangnya masih ada pendaki yang nekad naik gunung melalui jalur terlarang. Dalam filosofi Jawa disebut sebagai sikap Nggugu karepe dhewe, yakni sikap mementingkan diri demi sebuah eksistensi yang dapat mengorbankan diri bahkan orang lain. Pendaki yang bijak tentu memegang teguh prinsip, Desa mawa cara, Negara mawa tata, yakni mematuhi kearifan lokal atau adat istiadat setempat dan peraturan hukum. Tentu semua ini tidak hanya demi keselamatan pendaki, tapi juga wujudnya kelestarian alam secara berkelanjutan. Allaahu alam.

Patangpuluhan, 9 Juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar