Minggu, 24 April 2016

Tradisi Keilmuan

Pada tahun 2006 Saya pernah menulis untuk sebuah website remaja masjid kota Yogyakarta. Tema tulisan tersebut tentang keprihatinan generasi muda Islam terutama aktivis masjid pada salah satu tradisi keilmuan, yakni membaca atau menulis. Tidak berapa lama website tersebut akhirnya hilang karena tidak ada pengurusnya yang ‘ngopeni’ website dengan artikel-artikel yang menarik dan mencerdaskan.



Ternyata kejadian tersebut berulang kembali. Pada tahun 2014 saya diminta membuat tulisan lagi untuk sebuah website PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Muslim di Beijing, Tiongkok. Tidak sampai satu tahun website tersebut vakum. Kalah dengan jejaring sosial media yang semakin marak.
Saya jadi teringat pada tulisan lama penyair Nasional, Taufik Ismail. Beliau pernah menulis di koran, kalau budaya membaca pelajar Indonesia sangat lemah. Untuk pelajar SMP-SMU di negara kita, ternyata sangat jarang yang menyisihkan waktu untuk membaca buku non pelajaran (selain komik) pada tiap bulannya. Tetangga kita Malaysia, pelajar SMP-SMU mampu membaca sekitar 5 buku non pelajaran tiap bulannya. Negara maju, seperti Jepang, Amerika, Canada, Eropa mampu membaca 10-15 buku. Apalagi sekarang sudah tertandingi sosial media menjadikan buku semakin tersisih. Tradisi keilmuan semakin memudar.
Saat ini pemuda lebih suka membaca bacaan-bacaan sampah di sosial media, daripada buku-buku pemikiran tokoh-tokoh Islam kita, seperti dari zaman Islam klasik. Akibatnya mereka sangat mudah digiring opininya maupun dicuci otaknya oleh media massa sekuler atau liberal.
Harusnya kita mulai dari awal lagi belajar Islam. Kita perdalam aqidah, kita amati, pelajari asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat AL-Qur’an), asbabul wurud (sebab-sebab turunnya hadis), tafsir, sejarah, tokoh dan karya-karyanya (seperti muqaddimah-nya ibnu Khaldun, Tahafut Falasafiyah-nya Al-Ghazali dan balasannya ibnu Rusyd, Tahafut Tahafut). Sudah kita ketahui bersama kalau ayat Al-Qur’an yang turun pertama kali adalah tentang membaca. Sudahkah kita pelajari dengan seksama makna dan kandungannya??

Tidak ada alasan bagi orang yang mendalami ilmu seperti eksakta untuk mengkesampingkan ilmu Islam ini. Karena belajar Islam adalah fardhu ’ain. Cendekiawan muslim seperti Malik bin Nabi dari Aljazair adalah salah satu contoh ahli eksak di bidang Elektro dan ahli pemikiran Islam. Buya HAMKA, sastrawan yang mengeluarkan tafsir Al-Azhar.
Pada tahun 90an Stephen R Covey, dalam bukunya, “The 7 Habits of Highly Effective People, mengatakan: ”Orang yang tidak pernah membaca tidak lebih baik daripada orang yang tidak dapat membaca.”Anthony Robbins, pakar psycho-cybernetics (otak bawah sadar) dalam bukunya Unlimited Power; mengatakan bahwa buku adalah sumber informasi dan barang dagangan raja-raja (yang menguasai dunia) zaman sekarang.

Berkaitan dengan menulis, Al-Qur’an dalam surat AL-Baqarah ayat 282 mengharuskan kita untuk menulis. Napoleon Bonaparte (Jendral Perancis) mengatakan, ”Tulisan lebih saya takuti daripada senapan.”
Para founding fathers bangsa ini juga seorang penulis handal. Seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, HOS Cokroaminoto, dlsb berjuang untuk kemerdekaan melalui tulisan-tulisan yang menggugah. Yang menarik adalah beberapa tulisan Muhammad Natsir dalam menandingi tulisannya Soekarno yang terpengaruh oleh pemikiran sekuler dari Mustapha Kemal Attaturk. Perdebatan yang mencerahkan dari Politikus, sangat jauh dibandingkan dengan zaman sekarang.

“Agama adalah penerang hati, sedangkan ilmu pengetahuan peradaban adalah penerang akal,” begitu kata seorang Ulama.

Ahh .. tiba-tiba merindu munculnya Muhammad Natsir, Buya Hamka muda dari Masjid, Mushola, Surau ..

Patangpuluhan, 19 April 2016, pukul 20.30 saat kejar tayang bahan ikut kuliah Islamic Studies 'Intellectual Youth Summit 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar