Sabtu, 30 April 2016

MENGGAGAS MAJELIS ASH-SHUFFAH

Beberapa tahun ke belakang ini aktivitas kegiatan pemuda-remaja masjid relatif menurun. Masjid-masjid walaupun jumlahnya bertambah tapi sepi dari kegiatan pemuda-remaja, terutama kegiatan keilmuan. Di Jogja sendiri, organisasi kemasjidan seperti FSRMY, BKPRMI, Pemuda Muhammadiyah, dll kegiatannya sudah tidak meriah lagi. Apalagi jika dibandingkan akhir tahun 70an sangat jauh. Menurut cerita Ust. HM Jazir Asp saat acara Nasional BKPRMI di Jakarta, kontingen DIY mengirimkan utusan sebanyak 2 gerbong kereta api.

Tahun 2002 – 2004 saat menjadi pengurus FSRMY sebagai Koordinator Bidang Pembinaan dan Pengembangan Remaja Masjid (PPRM), bersama teman-teman Saya merintis Kelompok Studi Remaja Masjid (KSRM). Ide  pendirian KSRM berasal dari booming buku dan video dari Harun Yahya. Prestasi terbesar KSRM adalah menyelenggarakan Seminar Ilmiah di Hotel Inna Garuda dalam event Ramadhan di Malioboro tahun 2002. Kegiatan KSRM seperti diskusi ilmiah tiap 2 – 4 pekan sekali akhirnya hilang setelah pengurusnya sibuk di FSRMY Trainer maupun studinya.

Kegiatan KSRM yang berbasis masjid mengingatkan akan perkembangan tradisi keilmuan muslim yang mencapai puncaknya pada Dinasti Abbasiyah sampai Turki Usmani ternyata diawali dari Masjid. Al-Suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Rasulullah Saw di Madinah. Shuffah adalah ‘emperan’ masjid Nabawi. Mahasiswanya disebut Ashab al-Shuffah, atau Ahl al-Shuffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Rasulullah Saw.


Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Produk Ilmuwan Muslim Ash-Shuffah diantaranya adalah Sahabat Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghiffari; Salman al-Farisi, dan Abdullah Ibnu Mas’ud.

Bahkan Rasulullah Saw menunjuk Ubaidah bin Shamit menjadi guru di madrasah Al-Shuffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu.

Dalam riwayat menurut Wadiyah Ibn Atha: “di Madinah terdapat 3 orang guru yang mengajar anak-anak, Khalifah Umar ra memberikan nafkah kepada tiap-tiap mereka 15 dinar setiap bulan (cat.: saat ini 1 dinar= ± Rp 2 juta).” Dana diambil dari baitul Mal/kas negara. Demikianlah bukti perhatian para Sahabat terhadap ilmu pengetahuan. (Nadaa, 2005)

Tradisi intelektual Ash-Shuffah berlanjut hingga masa Dinasti Umayyah, dengan tetap berpusat di Masjid. Pada masa ini semakin banyak intelektual muslim muncul, seperti pakar bidang Hadist ‘Hasan al Basri, pakar Kedokteran al-Harits ibn Kaladah’, pakar Kimia, Optik, Astrologi, ‘Khalid’ (putra khalifah Umayyah kedua).

Pada masa Dinasti Abbasiyah tradisi keilmuan Muslim semakin meningkat dan berkembang. Berawal dari masjid dan halaqah-halaqah berkembang menjadi Pusat2 Studi Dar al-Kutub/ Darul Ilmi; dan Pusat Terjemahan Baytul al-Hikmah. Aktifitas yang dilakukan keilmuan yang dilaksanakan adalah 1) Mengkaji Islam dan menterjemah karya-karya asing (catatan: gaji penerjemah sekitar Rp 3.750.000/bulan dan emas seberat buku); 2) Mentransformasi konsep asing ke dalam Islam; dan 3) Mengembangkan Sains Islam.

Ilmuwan muslim terkenal dari Dinasti Abbasiyah adalah pakar matematika dan astronomi Al-Khawarizmi/Algorizm; pakar falsafah, fisika dan optik Al-Kindi; pakar filsafat dan Kedokteran Ibnu Rush, Ibnu Sina, Pakar bedah dan kedokteran Ibnu Zuhr; dll.

Abad ke-18 dalam sejarah Islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi umat Islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban Islam secara universal. Seperti yang diungkapkan oleh Lothrop Stoddard, bahwa menjelang abad ke-18, ummat Islam telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering-kerontang berupa ritual tanpa jiwa dan takhayul yang merendahkan martabat umatnya. Ia, menyatakan seandainya Muhammad Saw bisa kembali hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya: sebagai kaum murtad dan, musyrik. (CA. Qadir, 1989)  Peryataan Stoddard ini menggambarkan begitu dahsyatnya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan Islam yang kemudian menjadikan umat Islam sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa-bangsa Barat.

Menurut cendekiawan muslim Aljazair ‘Malik bin Nabi’, problem setiap bangsa sesungguhnya adalah problem peradabannya. Tidak mungkin suatu bangsa bisa memahami atau memecahkan kesulitan-kesulitannya sepanjang ia tidak naik bersama pemikirannya ke peristiwa-peristiwa yang manusiawi dan tidak memahami secara mendalam faktor-faktor yang membangun atau meruntuhkan peradabannya. Menurut cendekiawan muslim Indonesia ‘Hamid Fahmy Zarkasyi’,  masalah peradaban atau civilization ummat Islam hanya dapat diselesaikan jika ummat Islam kembali pada worlview Islam dan tradisi keilmuan.

Belajar dari Majelis Ash-Shuffah perlu untuk menghidupkan kembali tradisi keilmuan di masjid-masjid dengan diskusi-diskusi ilmiah yang mencerdaskan. Bukankah kata ‘ilm’ dalam Al-Qur’an disebut 750 kali (17%) setelah kata ‘Allah’ (2800 kali, 62%)??

Ahh .. tiba-tiba merindu hadirnya Majelis Ash-Shuffah di serambi-serambi masjid ..


#Patangpuluhan, 30 April 2016, pukul 22.13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar