Rabu, 24 Januari 2018

MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Seminar nasional jejaring Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia di Jakarta (29-30/11) diwarnai dengan kejadian bencana alam. Setelah utusan region Bali-Nusa Tenggara terhambat karena erupsi Gunung Agung di Bali, utusan dari Yogyakarta juga terkendala karena siklon tropis Cempaka. 2 hari dihantam siklon Cempaka (28 -29/11) membawa kerugian yang tidak sedikit.
Hampir seluruh wilayah propinsi DIY terdampak bencana hidrometereologi ini. Pemda DIY merespon kejadian bencana alam tersebut dengan mengeluarkan status siaga darurat bencana.. Status siaga darurat dapat dinaikkan menjadi tanggap darurat bencana jika jumlah kejadian bencana alam bertambah.
Analisis Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 2 Desember 2017

Bencana Hidrometereologi
Banjir, tanah longsor, badai, kekeringan, kebakaran hutan, El Nino, La Nina, angin topan/puting beliung, angin fohn (angin bohorok, gending, brubu, kumbang) adalah beberapa jenis bencana hidrometereologi. Bencana tersebut disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor metereologi (perubahan iklim), seperti curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin.
Sejatinya perubahan iklim hanya pemicu bencana hidrometereologi saja. Penyebab utama terjadinya bencana alam yang menimbulkan kerugian adalah kerusakan alam/lingkungan yang masif sehingga daya dukung dan tampung lingkungan menurun. Frekuensi curah hujan yang tinggi tidak serta-merta menimbulkan banjir dan tanah longsor jika daya dukung lingkungan cukup.
Akan tetapi kerusakan ekologi pada bagian hulu dengan berkurangnya area hutan sebagai water catchment area (daerah tangkapan air) serta infrastruktur sungai dan drainase yang buruk menjadikan rawan bencana banjir. Satu hari saja wilayah DIY diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi sudah menimbulkan banjir.
Adaptasi dan Mitigasi
Peristiwa bencana alam akibat cuaca di Indonesia menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan lagi sebuah isu. Perubahan iklim adalah fakta yang harus dihadapi oleh kita semua, karena terjadinya juga berkaitan erat dengan kondisi iklim sekaligus perilaku manusia itu sendiri.
Kerentanan-kerentanan yang terjadi telah mengancam kelangsungan hajat hidup bersama. Dikhawatirkan jika tidak segera diantisipasi akan mengganggu keberlangsungan kehidupan masyarakat sekaligus pencapaian pembangunan. Adaptasi serta mitigasi terhadap perubahan iklim adalah tindakan bijaksana agar dapat menyesuaikan diri dan memperkuat ketahanan dalam kehidupan.
Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan upaya dalam menghadapi perubahan iklim, yakni dengan mitigasi dan adaptasi. Bahkan keduanya sudah masuk menjadi bagian dari Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia. Mitigasi sendiri adalah sebuah usaha penanggulangan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan pernurusan emisi atau penyerapan gas rumah kaca (GRK).
Lebih singkatnya mitigasi adalah usaha untuk mengurangi penyebab perubahan iklim. Sedangkan adaptasi adalah proses memperkuat dan membangun strategi antisipasi dampak perubahan iklim serta melaksanakannya, sehingga mampu mengurangi dampak negatif perubahan iklim. Pemerintah menyusun aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat dikembangkan dan dilaksanakan di tingkat lokal atau langsung oleh masyarakat.
Aksi lokal tersebut adalah (1) pengendalian banjir, longsor atau kekeringan; (2) peningkatan ketahanan pangan; (3) penanganan kenaikan muka air laut; (4) pengendalian penyakit terkait iklim; (5) pengelolaan dan pemanfaatan sampah/limbah; (6) pengggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi; (7) budidaya pertanian rendah emisi GRK; (8) peningkatan tutupan vegetasi (penghijauan); dan (9) pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Hampir aksi lokal tersebut sudah dilaksanakan oleh Pemda DIY, seperti inisiasi Kampung Hijau di kota Yogyakarta; manajemen infrastruktur sungai M3K (Madhep, Mundur, Munggah Kali); bank sampah pada tingkat RT, RW hingga Desa; pembuatan biogas sebagai energi ramah lingkungan; penghijauan pada kawasan hulu/daerah tangkapan air; dan lainnya. Hanya saja aksi lokal tersebut masih kurang dijalankan dengan serius.
Kejadian bencana alam siklon tropis Cempaka kali ini semoga menyadarkan kita semua bahwa bencana alam hanya dapat diatasi secara bersama. Slogan SEGORO AMARTO (Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta atau semangat gotong royong menuju kemajuan Yogyakarta) adalah modal awal untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai kota ramah lingkungan. Dan warga Yogyakarta sudah ada pengalaman bangkit kembali setelah bencana alam gempa bumi tahun 2006 dan erupsi Merapi 2010. Pasti BISA!!

#LatePost

Tidak ada komentar:

Posting Komentar