Jumat, 19 Januari 2018

MENCINTAI SATWA CIPTAAN ALLAH

Suatu hari, saat penduduk kota Madinah lebih memilih tinggal di dalam rumah karena siang hari yang panas, seorang lelaki mendatangi seorang anak laki-laki yang asyik bermain. “Nak, apa yang berada di tanganmu itu?” Anak kecil itu menjawab. “Paman, ini adalah seekor burung.” Pandangan lelaki ini meredup, ia jatuh iba melihat burung itu mencericit parau. Di dalam hatinya mengalun sebuah kesedihan, “Burung ini tentu sangat ingin terbang dan anak ini tidak mengerti jika makhluk kecil ini teraniaya.”

Rubrik Cahaya Jumat koran TRIBUN JOGJA tanggal 19 Januari 2018 halaman 4

“Bolehkah aku membelinya, nak? Aku sangat ingin memilikinya,” suaranya penuh harap. Si kecil memandang lelaki yang tak dikenalnya dengan seksama. Ada gurat kesungguhan dalam paras beningnya. Lelaki itu masih saja menatapnya lekat. Akhirnya dengan agak ragu ia berkata, “Baiklah paman,” maka anak kecil pun segera bangkit menyerahkan burung kepada lelaki yang baru pertama kali dijumpainya.

Tanpa menunggu, lelaki ini merogoh saku jubah sederhananya. Beberapa keping uang itu kini berpindah. Dalam genggamannya burung kecil itu dibawanya menjauh. Dengan hati-hati kini ia membuka genggamannya seraya bergumam senang, “Dengan menyebut asma Allah yang Maha Penyayang, engkau burung kecil, terbanglah.”

Ia menengadah hening memandang burung yang terbang jauh ke angkasa. Sungguh, langit Madinah menjadi saksi, ketika senyuman senang tersungging di bibirnya yang seringkali bertasbih. Sayup-sayup didengarnya sebuah suara lelaki dewasa yang membuatnya pergi dengan langkah tergesa. “Nak, tahukah engkau siapa yang membeli burungmu dan kemudian membebaskan ke angkasa? Dialah Khalifah Umar.”

Kisah tersebut menjelaskan bahwa pada hakikatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya. Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Jatsiyah ayat 13, Allah SWT menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu di dunia ini. Sayangnya anugerah ini belum dikelola dengan baik, hakikat konservasi alam yang diajarkan Islam belum menjiwai ummat Islam.

Akibatnya masih terjadi perburuan dan jual beli satwa liar yang dilindungi. Oleh karena itu, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI) bekerja sama dengan Pengkajian Islam Universitas Nasional dan WWF Indonesia meluncurkan buku berjudul “Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem’ dan “Khutbah Jumat Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem” di kantor MUI, Jakarta.
Buku yang sudah bisa didonlot ini berisi penjelasan rinci tentang Fatwa MUI No. 04 Tahun 2014 yang telah dikeluarkan MUI tentang pelestarian satwa langka untuk keseimbangan ekosistem. Sains dan teknologi memang diperlukan dalam aksi konservasi alam, tapi pendekatan berbasis agama juga turut dilibatkan. Menjaga kelestarian satwa liar adalah wujud kepatuhan terhadap syariat yang akan dinilai suatu catatan kebaikan atau pahala di sisi Allah SWT.  
Sebaliknya barang siapa yang mengabaikan kaidah atau nilai konservasi alam sehingga menyebabkan kerusakan dan bencana  di muka bumi dan menelan banyak korban, maka akan mendapat dosa dan siksa karena telah melakukan suatu kedzaliman terhadap lingkungan sekitar.  "Segala yang dimuka bumi ini diciptakan untuk kita, maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk : menjaga segala sesuatu dari kerusakan; memanfaatkannya dengan tetap menjaga martabatnya sebagai ciptaan-Nya; melestarikannya sebisa mungkin, yang dengan demikian, mensyukuri nikmat-Nya dalam bentuk perbuatan nyata."(M. Fazlur Rahman, 1973).
Patangpuluhan, 18 Januari 2019 pukul 20.47 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar