Sabtu, 20 Januari 2018

PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim akhir-akhir ini nyata terjadi di berbagai belahan dunia. Kota Sydney, Australia pecan lalu dilanda suhu terpanas dalam hampir 80 tahun terakhir, yakni mencapai 47,3 derajat celcius. Sementara di Amerika dan Kanada mengalami suhu dingin ekstrim hingga mencapai minus 50 derajat celcius. Bahkan sejumlah turis di pegunungan Alpen, Swiss harus dievakuasi dari badai salju (KR, 9/1).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 20 Januari 2018

Kasus-kasus perubahan iklim tersebut juga dialami Indonesia, terutama wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada Desember lalu dengan adanya badai tropis Cempaka dan Dahlia. Dampak perubahan iklim atau kejadian ekstrim dari perubahan iklim itu nyata dimana anomali-anomali tersebut terjadi. Untuk mengatasi dampak tersebut, 197 negara bergabung dalam pengendalian perubahan iklim melalui konvensi UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).

Konvensi UNFCC menghasilkan Paris Agreement pada pertemuan COP-21 di Paris, Perancis pada akhir tahun 2015. Dalam perjanjian ini, isu perubahan iklim yang terkait dengan mitigasi,  adaptasi dan pelaksanaannya (dalam bentuk pendanaan iklim,  alih teknologi dan peningkatan kapasitas) dijangkau secara seimbang Indonesia telah menindaklanjuti hasil Perjanjian Paris dengan  meratifikasi perjanjian ini dengan UU No 16 Tahun 2016. 

Dalam waktu yang hampir bersamaan Indonesia juga telah menyampaian komitment nasional dalam Indonesia NDC (Nationally Determined Contribution) untuk mengurangi emisi sebesar 29% dari BAU (Business As Usual) dengan upaya sendiri dan  sampai 41% dengan bantuan internasional.  Lima Kementerian sector terkait dengan mitigasi perubahan iklim, yaitu Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian telah berproses menuju pencapaian target NDC.

Demikian juga untuk aspek adaptasi perubahan iklim Kementerian/Lembaga terkait juga sudah menyiapkan dirinya masing-masing mencapai target NDC yang ditetapkan. Kementerian LHK (melalui Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim/PPI) sebagai National Focal Point (NFP) sudah menyusun 9 Strategi Implementasi NDC dan menyiapkan berbagai perangkatnya.
Untuk membumikan Perjanjian Paris diperlukan modalitas, prosedur dan pedoman pelaksanaannya yang sedang dipersiapkan oleh Negara.  Oleh karena itu Ditjen PPI Kementerian LHK menyelenggarakan Festival Iklim 2018 tanggal 16-17 Januari 2018 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Festival Iklim ini mengangkat tema Tiga Tahun Capaian Pengendalian Perubahan Iklim.

Festival ini bertujuan penyampaian informasi progres implementasi Perjanjian Paris dan NDC ke masyarakat umum. Selain itu juga sebagai sarana untuk bertukar pikiran tentang rencana, agenda dan aksi pengendalian perubahan iklim oleh dan untuk berbagai stakeholders. Progres ini perlu diketahui oleh publik dan memerlukan pelaksanaan/tindak lanjut oleh Kementerian/Lembaga sesuai mandat masing-masing secara sinergis dengan K/L terkait, serta upaya peningkatan pelibatan Peran Non-Party stakeholders (Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota, swasta, dan civil societies serta masyarakat).

Perubahan iklim merupakan ancaman global namun, kunci keberhasilan aksi pengendaliannya harus dilakukan di tingkat lokal. Emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar berasal dari aktivitas perkotaan sehingga kepala daerah harus berdiri di depan memimpin aksi pengendalian perubahan iklim. Data Bank Dunia bahwa kota-kota di seluruh dunia hanya terdiri atas tiga persen daratan di bumi, tetapi mengonsumsi 60 sampai dengan 80 persen energi dan memproduksi 75 persen GRK (Witoelar, 2017).

Diperkirakan pada tahun 20020 akan tumbuh 20 metropolitan, 50 kota sedang dan lebih dari 100 kota kecil yang baru. Kota-kota baru ini berpotensi menyerap karbon, namun akan mengemisikan karbon yang sangat tinggi mengingat teknologi dan sumber daya yang terbatas dan perencanaan yang kurang terintegrasi. Sangat penting sekali untuk melibatkan walikota dan bupati dalam perjuangan melawan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan karena kebanyakan aktivitas ekonomi, aset negara, infrastruktur, dan fasilitas pemerintahan ada di kabupaten dan kota (Witoelar, 2017).

Aksi lokal dalam pengendalian perubahan iklim dicontohkan oleh warga Dukuh, Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta dalam mengelola kampung ramah lingkungan. Warga sejak November 2017 merintis budidaya perikanan di saluran irigasi yang melewati kampungnya di pinggir Sungai Winongo. Sebelumnya warga membersihkan saluran irigasi dan pinggir sungai serta menanami dengan pohon.

Kampung Dukuh ini aman dari badai tropis Cempaka, bebas dari banjir saat hujan intensitas tinggi. Warga benar-benar menjaga sungai dan kampungnya dengan asri dan nyaman. Tiap sore anak-anak bercengkerama di pinggir saluran irigasi yang teduh sambil memberi makan ikan.
Benar yang dikatakan Skakespeare dalam salah satu bukunya mengemukakan What is a city but its people? Apakah artinya kota tanpa kiprah yang dinamis dari warga atau penduduknya.

Kaliurang,  16 Januari 2018, pukul 09.30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar