Rabu, 30 Mei 2018

ISLAM, BUDAYA DAN BENCANA

Hari Jumat, 11 Mei 2018 masyarakat dikagetkan dengan erupsi freatik Gunung Merapi, karena menimbulkan gempa dan suara gemuruh selama 5 menit serta ketinggian kolom mencapai 5500 meter. Erupsi freatik berlanjut pada tanggal 23 Mei 2018, bahkan sampai 4 kali sehingga Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menaikkan tingkat aktivitas menjadi Waspada (Level II).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 30 Mei 2018

Erupsi Gunung Merapi menjadi bahasan yang menarik dan top trending topic di berbagai media. Kepala BPPTKG (Ibu DR. Hanik Humaidah) menyebutkan sebagai Gunung Selebritis. Apalagi momen erupsi terjadi saat bulan Ramadhan, waktu ummat Islam melakukan ibadah puasa. Piliang (2005) menyebutkan bahwa setiap bencana akan menyentak kesadaran humanistik, solidaritas, eksistensial, dan ketuhanan, sehingga orang-orang akan segera mencari rujukan pemahaman melalui ayat-ayat kitab suci, penjelasan ilmiah, mitos, kepercayaan, budaya setempat (local culture), maupun kearifan lokal (local wisdom).

Bencana mampu mengajak setiap orang untuk menjadi seorang perenung kehidupan yang mencoba mencari makna eksistensial paling dalam, bahwa ada makna di balik tiap bencana, bahwa ia berkait dengan keberadaan manusia lain, bahwa ada Tuhan di balik bencana (Basri dkk, 2012). Tingkat keyakinan beragama juga mempengaruhi seseorang atau komunitas mempersepsi, mengelola dan/atau memodifikasi keterlibatan dalam proses mitigasi bencana. Bagi yang dapat menerima dengan lapang dada terhadap suatu benca alam atau efek-efeknya akan lebih aktif dalam proses mitigasi bencana.
Pada abad klasik Islam, Jalal al-Din al-Suyuthi (w.911/1505) berupaya mengembangkan teologi bencana, khususnya gempa bumi. Dia menulis kitab Kasyf al-Salsalah an Wasf al-Zalzalah atau Mengungkap Keterkaitan tentang Karakter Gempa Bumi (Ambrasesys, 2008 dalam Nur Ichwan, 2012). Ini bukan buku geologi tentang gempa bumi, namum lebih merupakan buku teologi tentang gempa bumi. Sesuai kondisi abad klasik, buku ini lebih mengedepankan pendekatan tekstual yang kental, dengan mendeduksi pemikiran teologis dari Al-Quran, Sunnah, atsar (ketetapan hukum) sahabat, dan pendapat-pendapat ulama sebelumnya tentang gempa bumi.

Buku Jalal al-Din al-Suyuthi tersebut merupakan upaya rintisan yang luar biasa untuk dikembangkan lebih jauh. Beberapa intelektual muslim Indonesia yang mulai mengembangkan diantaranya adalah Ali Yafie dengan Fiqih Lingkungan; Teologi Lingkungan-nya Moelyono Abdillah; dan Fachruddin Mangunjaya dengan Konservasi Islam. Pada tahun 2004 pernah pertemuan ulama pesantren di Sukabumi untuk menggagas fiqih linkungan (fiqih al-biah), tapi tidak ada tindak lanjut sesudahnya, kecuali penerbitan laporan pertemuan.

Mayoritas masyarakat lereng Gunung Merapi adalah muslim. Hampir semuanya percaya bahwa Gunung Merapi memiliki penjaga. Bagi golongan tua menyebut penjaga Gunung Merapi dengan sebutan Mbah/Simbah, sehingga dikenal dengan adanya Mbah Petruk di lereng Utara Merapi (Selo dan Cepogo, Boyolali), dan Mbah Kyai Sapu Jagat di lereng Selatan Merapi (Sleman). Untuk golongan muda karena pengaruh pendidikan sudah menganggap penjaga Gunung Merapi adalah malaikat gunung, yang juga merupakan makhluk ciptaan Tuhan.

Kedua golongan masih menjaga kuat keyakinan tersebut, sehingga terwujud dalam perilaku terhadap Gunung Merapi. Seperti kepercayaan masyarakat lereng Utara Merapi terhadap Mbah Petruk. Menurut Susiyanto (2010) nama asli Mbah Petruk sebenarnya adalah Kyai Handoko Kusumo. Kyai Handoko ini merupakan penyebar Islam di Gunung Merapi pada era 1700-an.

Kyai Handoko Kusumo adalah seorang keturunan Arab. Bentuk hidungnya yang lebih mancung dari kebanyakan orang Jawa itulah yang membuat dirinya dikenal dengan nama Mbah Petruk oleh masyarakat setempat. Pada masa tuanya, Mbah Petruk diperkirakan meninggal di Gunung Bibi dan jasadnya tidak pernah diketahui. Hal inilah yang memunculkan anggapan spekulatif bahwa dirinya telah moksa.

Oleh karena itu, kawasan hutan Gunung Bibi yang merupakan Merapi Tua sangat terjaga kelestariannya. Masyarakat masih mempercayai Mbah Petruk, sehingga warga turut aktif menjaga kelestarian hutan di bawah bimbingan Kyai setempat, KH. Muhammad Solikhin. Saat erupsi tahun 2010 masyarakat lereng Gunung Bibi (dusun Wonopedut, Desa Wonodoyo, Cepogo) berlindung ke dalam masjid sambil melantunkan doa-doa.

Dalam menghadapi risiko bencana, masyarakat tidak hanya dituntut untuk beradaptasi secara fisik dengan alam, tetapi juga adaptasi sosial dan budaya yang dibingkai pemahaman agama. Proses adaptasi yang pernah dilakukan oleh masyarakat lokal sejak waktu yang cukup lama terbukti bertahan dalam kondisi bencana. Dalam proses ini akan dijumpai strategi budaya masyarakat berupa resistensi atau fleksibilitas dengan berbagai tindakan sosial dan budaya yang unik seperti ritual, mitos dan legenda; baik hal baru maupun lama tetapi diperbarui (Hoffman & Oliver-Smith 2002 dalam Malik, 2012). Allaahualam.

Kantor Resort Kemalang TNGM, 25 Mei 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar