Jumat, 10 Agustus 2018

GUNUNGAN DAN KONSERVASI ALAM


Selama ini indikator pembangunan hanya memperhitungkan pembangunan fisik dan peningkatan produktifitas serta perekonomian (PDRB, Pendapatan Perkapita, dll). Pandangan pembangunan konvensional ini mengakibatkan degradasi lingkungan akibat eksploitasi faktor produksi dan konsumsi yang berlebihan. Dampaknya adalah dapat dilihat dan dirasakan secara langsung seperti banjir, kebakaran hutan, tanah longsor dan meningkatnya suhu secara global.

Opini Koran Kedaulatan Rakyat (10/8/2018) tentang Hari Konservasi Alam Nasional 10 Agustus 2018 dengan tema 'Harmoni Budaya dan Alam: 1 Abad Konservasi Alam'

Kemajuan teknologi dalam pembangunan tersebut menyebabkan ditinggalkannya budaya lokal masyarakat dalam menjaga lingkungan. Padahal tujuan pembangunan sendiri sejatinya adalah untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan manusia secara lahir dan batin melalui pemanfaatan lingkungan. Faktor inilah salah satu yang mendasari Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) dalam mengelola Kawasan konservasi seluas 27 juta hektar dengan tidak meninggalkan budaya lokal masyarakat.

Sejarah konservasi di Indonesia sejak lama ada dengan ditemukannya Prasasti Talang Tuo di kerajaan Sriwijaya (686 M) yang mengajarkan masyarakat dalam konservasi hutan, terutama keseimbangan antara alam dan manusia dalam keberlangsungan hidupnya (Sinaga, 2017). Prasasti Malang dalam kerajaan Majapahit (1395 M) telah memberikan pengetahuan bagaimana hutan dan alam adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hutan, alam dan manusia adalah roh dalam keberlanjutan kehidupan.

Kearifan lingkungan (local wisdom) sudah ada di dalam kehidupan masyarakat sejak zaman pra-sejarah hingga saat ini. Kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun.

Dalam budaya Jawa pada pertunjukan wayang kulit digunakan replika gunung, yakni gunungan yang dipergunakan sebagai simbol kehidupan. Sebelum pertunjukan wayang kulit dimulai, gunungan ditancapkan di tengah-tengah kelir, untuk melambangkan awal mula dunia sebelum ada manusia, kecuali tetumbuhan dan binatang seperti yang tergambar dalam gunungan (Purwadi, 2015). Kemudian gunungan ditarik ke bawah dan berhenti tiga kali; melambangkan adanya cipta, rasa dan karsa, yang mempunyai arti akan ada kelahiran.

Kelahiran terjadi setelah dalang memisahkan dua gunungan di simpingan kiri dan kanan untuk melambangkan pecahnya lapisan plasenta. Gunungan beserta isinya merupakan lukisan kehidupan duniawi dan batiniah dimana Tuhan Yang Maha Esa menentukan segala kegiatan di alam semesta (Purwadi, 2015). Di dalam gunungan terdapat lukisan makhluk raksasa menjulurkan lidahnya yang merah panjang, monyet memanjat pohon bertarung dengan satwa lainnya, burung-burung beterbangan dan segala jenis hewan lainnya, pohon-pohon dan bunga-bungaan.

Kesemuanya itu melambangkan pohon kehidupan duniawi yang diciptakan Tuhan. Di tengah-tengah gunungan terdapat lukisan sebuah rumah Jawa dengan dua pintunya terkunci rapat dan masing-masing sisinya dijaga oleh seorang raksasa bersenjata gada. Ini melambangkan hukuman bagi orang yang berbuat salah satu jahat. Dua pintu yang terkunci rapat dalam lukisan itu melambangkan kedamaian batin yang tersembunyi di belakang kedua pintu itu (Triyoga, 1991).

Praktek harmonisasi alam dan budaya dijalankan oleh warga Dukuh Bangan, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, masyarakat penyangga Kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Seni pertunjukan wayang kulit dengan topik kelestarian alam rutin dilaksanakan warga, bahkan dilaksanakan di dalam hutan TNGM. Selain itu juga ada hukuman atau sanksi sosial/adat bagi perusak alam.

Pernah ada seorang pemburu burung liar yang tertangkap warga dikenakan hukuman adat, yakni makan ulat yang ada di kebun warga. Bagi warga Dukuh Bangan keberadaan burung liar sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Perannya dalam mengendalikan hama tanaman pertanian atau perkebunan sangat dirasakan oleh warga. Kearifan masyarakat Merapi dipengaruhi oleh nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang ini mendukung pembangunan berkelanjutan sesuai konsep Sustainable Development Goals (SDGs).


Kantor Balai Taman Nasional Gunung Merapi, 6 Agustus 2018, pukul 08.30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar