Kamis, 09 Juli 2020

PEMBURU BURUNG


Infeksi virus korona covid-19 membuat dunia menghadapi dilema. Di satu sisi virus yang membuat pandemi global ini memicu pengurangan emisi karbon akibat kebijakan karantina wilayah di banyak negara untuk mencegah penyebarannya, di sisi lain membuat ekonomi mandek. Dampaknya perburuan satwa liar marak kembali, terutama burung.


ANALISIS KR, koran Kedaulatan Rakyat hari Kamis, tanggal 9 Juli 2020

Grup wasap Animal Keeper Jogja (AKJ) pekan lalu ramai dengan pemberitaan pemburu burung yang marak di desa-desa, bahkan kawasan hutan Negara seperti Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Petugas Resort Cangkringan TNGM bersama masyarakat mitra polhut (MMP) dalam 2 pekan terakhir menangkap 3 orang pemburu (Info Merapi, 3/7).

Pemburu tersebut memanfaatkan kondisi saat wisata TNGM lockdown, saat sepi dari pengunjung wisata. Sepinya aktivitas seperti wisata jeep mengakibatkan hutan ramai dengan aktivitras satwa liar, terutama burung. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pemburu untuk memikat burung dengan pulut dan jaring.

Kawasan Resort Cangkringan sendiri adalah mayoritas zona rehabilitasi dan restorasi, yakni zona pemulihan dari erupsi Merapi tahun 2010. Pemulihan ekosistem tidak hanya dengan penanaman pohon endemik Merapi, tapi juga ditunjang dengan aktivitas satwa liar. Terutama satwa burung yang sangat membantu dalam pemulihan ekosistem.

Hal lain yang dikhawatirkan adalah penularan penyakit dari satwa liar kepada manusia, atau yang disebut zoonosis. Burung yang sakit akan memudahkan penularan virus karena mereka bermigrasi ketika berkembang biak atau mencari pakan. Burung juga akan berinteraksi dengan kelelawar, satwa yang memiliki kemampuan sebagai sarang virus paling banyak dibanding satwa lain.

Larangan perburuan satwa liar sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Terhadap Perlindungan Satwa. Pemerintah Daerah Provinsi DIY juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Habitat Alami.

Dalam Pasal 8 kawasan Gunung Merapi masuk dalam habitat alami kawasan ekosistem vulkan. Demikian pula dengan kawasan ekosistem lain, seperti karst, dataran tinggi, dataran rendah, pantai berbatu dan/atau berpasir, perairan tawar, mangrove, dan gumuk pasir. Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten Kota, dan Pemerintah Desa berkewajiban atas pelestarian Habitat Alami; dan dilakukan secara sistematis, terpadu, terarah, dan berkelanjutan (Pasal 22).

Pelestarian Habitat Alami dilaksanakan secara terkoordinasi melalui upaya konservasi dan rehabilitasi (Pasar 24). Larangan perusakan habitat alami disebutkan dalam pasal 46, yakni menangkap dan/atau membunuh satwa yang dilestarikan di dalam Habitat Alami. Disini diperlukan peran aktif masyarakat dalam menjaga habitat alami.

Salah satu peran aktif masyarakat adalah dengan adanya aturan yang tegas melarang, seperti Peraturan Desa (Perdes). Peraturan Daerah (Perda) yang ada diperkuat dengan Perdes agar masyarakat dapat ikut mengawal kelestarian ekosistem di desanya. Kesuksesan pelaksanaan Perdes larangan berburu dicontohkan oleh Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo.

Desa yang terletak di pegunungan Menoreh ini membuat sebuah peraturan untuk menjaga lingkungan, yakni Perdes No.8 Tahun 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Perdes ini mengatur langkah-langkah desa dalam pelestarian tumbuhan dan satwa liar di Desa Jatimulyo. Salah satu bagiannya adalah mengatur pelestarian burung.

Bagi pemburu burung yang tertangkap di Desa Jatimulyo akan dikenakan denda minimal Rp 5 juta. Perdes ini berhasil mengendalikan para pemburu burung, yang dulu jumlahnya banyak seperti orang mancing. Tahun 2020 ini jumlah burung di Desa Jatimulyo ada 105 jenis, dengan 19 jenis merupakan burung endemik (Suparno, 2020). Pengamatan burung menjadi wisata andalan di Desa Wisata Jatimulyo ini.

Kesuksesan Desa Jatimulyo diikuti oleh Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo yang mengeluarkan Perdes Nomor 4 tahun 2017 tentang Pelestarian Lingkugan Hidup. Pemerintah Desa Pagerharjo memasang papan larangan berburu/memikat burung di beberapa tempat termasuk dengan sanksi dan denda.

Sudah saatnya Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Desa bersama masyarakat menyiapkan kondisi “normal baru” setelah pandemi. Kondisi tersebut adalah membangun sistem penopang kehidupan dengan rambu-rambu pembangunan lingkungan dengan memakai prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs). Urusan pelestarian alam dan kearifan lokal semestinya tak sekadar tema peringatan Hari Lingkungan Hidup, Bumi atau Konservasi, namun menjadi komitmen kita bersama dalam pemulihan pandemi dan setelahnya.

Yogyakarta, 6 Juli 2020 pukul 09.07 WIB
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pegiat Forkom Desa-Kampung Wisata DIY

Rabu, 10 Juni 2020

DESA WISATA SIAP!


Pariwisata menjadi salah satu sektor usaha yang terkena pukulan telak wabah virus korona. Tidak hanya tempat wisata, hotel, dan restoran; desa wisata juga terkena imbas pandemi Korona/Covid-19. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi ada potensi kehilangan devisa dari sektor pariwisata senilai USD 530 juta (sekitar Rp 7,4 triliun) akibat pandemi Korona ini.


Analisis Kedaulatan Rakyat tanggal 10 Juni 2020 halaman depan (headline)

Kerugian tersebut belum dihitung berdasarkan supply chain baik untuk perhotelan maupun restoran atau kuliner. Kerugian ini akan terus berlanjut bila masyarakat tidak melakukan aktivitas. Untuk wilayah DIY sendiri, menurut Dinas Pariwisata DIY kerugian di sektor Pariwisata sekitar 81 milyar.

Akhirnya Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjuk Provinsi DIY, Bali dan Kepulauan Riau menjadi proyek percontohan pertama penerapan protokol ‘new normal’ dalam rangka pemulihan ekonomi di sektor pariwisata yang terpuruk akibat pandemi virus Korona.

Diharapkan pemulihan ekonomi melalui sektor pariwisata masih terbuka lebar, diantaranya adalah sektor wisata alam (ekowisata) dan desa wisata. Sektor ini diprediksi mampu cepat bangkit kembali paska pandemi Korona. Hasil survei Desa Wisata Institute (2020) sehubungan dengan pandemi Korona diperoleh temuan menarik.

Diperoleh fakta hanya 11,3% desa wisata mengalami keprihatinan yang mendalam, sedangkan sisanya sebanyak 88,7% merasa biasa saja walaupun ada dampak yang dirasakan, Mereka merasa tidak kehilangan pendapatan utama mereka yang memiliki eksistensi sosio kultural.

Desa Wisata Mangir yang masuk wilayah Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul telah mempersiapkan diri dalam menghadapi pandemi Korona. Dibawah duet Pak Lurah Irwan Susanto dan Sekdes Zuchri Saren Satrio yang masih muda-muda telah menyiapkan warga desanya menghadapi wabah virus ini.

Awal tahun 2020 ini Pemerintah Desa Sendangsari memberikan bantuan 12 koloni lebah klanceng jenis Trigona itama ke kelompok pembudidaya madu klanceng Dusun Mangir. 5 bulan berikutnya berkembang menjadi 20 koloni lebah. Harga madu klanceng cukup tinggi, yakni Rp 500 ribu/liter.

Budidaya madu klanceng merupakan alternatif selain wisata desa dan ternyata mampu menopang ekonomi warga di saat pandemi Korona. Tujuan besar lainnya adalah dengan budidaya madu klanceng otomatis masyarakat dapat menjaga kelestarian hutan pekarangan yang menjadikan Desa Sendangsari ‘ijo royo-royo’. Di sekiling rumah masih banyak hutan pekarangan yang terjaga dengan baik.

Sejatinya masyarakat banyak memetik pelajaran dari adanya wabah pageblug ini. Selain kreativitas masyarakat dalam menyambung hidup, juga semangat untuk bangkit dari pandemi Korona. Untuk menyambut dibukanya pariwisata kedepan, desa wisata perlu mempersiapkan protokol yang disusun oleh Pemerintah. Dinas Pariwisata DIY menjelaskan waktu dibukanya destinasi wisata di Provinsi DIY; yakni saat pandemi sudah berakhir atau tren Covid-19 sudah melandai dengan jeda waktu sekitar 3 bulan; atau direkomendasikan oleh Gugus Tugas Covid-19 DIY dan kabupaten/kota.

Selain itu juga ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh area wisata; yakni adanya fasilitas kebersihan cuci tangan dengan jumlah cukup; standar operasional prosedur (SOP) protokol CHS (Cleanlines, Health, Safety) atau kebersihan, kesehatan, dan keamanan yang dilaksanakan secara konsisten; serta pembatasan pengunjung/wisatawan agar tidak menimbulkan kerumumnan. Setelah penyiapan destinasi yang sudah ada fasilitas kebersihan, kesehatan dan keamanan, serta penyusunan protokol Covid-19 sektor wisata, kemudian dilakukan ujicoba ada simulasi protokol pada destinasi yang sudah siap.

Terakhir baru sosialisasi dan publikasi ke masyarakat umum. Selama masa tanggap darurat Korona sampai tanggal 30 Juni 2020, desa wisata diharapkan dapat mempersiapkan dan berbenah diri. Pemerintah tentu akan memilih paket wisata yang aman terlebih dahulu seperti kelompok kecil, personal atau keluarga. Kegiatan wisata minat khusus seperti petualangan, ecotourism, agrotourism, wellness memiliki peluang besar dikunjungi wisatawan.

Sistem kepariwisataan yang mengacu pada harmonisasi ekologi dan ekonomi menjadi potensi untuk dikembangkan di desa wisata. Mampukah desa wisata di wilayah DIY mampu untuk melaksanakan new normal pariwisata? Melihat sejarah bangkitnya masyarakat DIY dari bencana gempa bumi tahun 2006 tentu mampu dan optimis!

Yogyakarta, 4 Juni 2020 pukul 09.00 WIB
Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pegiat Forkom Desa-Kampung Wisata DIY

Kamis, 02 April 2020

DESA MELAWAN COVID-19

Di saat banyak desa melakukan penyemprotan hingga lockdown di wilayahnya dalam menyikapi penyebaran wabah Covid-19, beberapa desa bertindak lebih maju lagi. Setelah Pemerintah mengumumkan masa tanggap darurat Covid-19 hingga 29 Mei 2020, Pemerintah Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul langsung membentuk tim tanggap darurat untuk antisipasi kemungkinan terburuk.

Opini Koran KEDAULATAN RAKYAT tanggal 2 April 2020 halaman 11

Lurah Panggungharjo Wahyudi Anggoro Hadi langsung membentuk tim khusus Panggungharjo Tanggap Covid-19 (PTC). PTC adalah gerakan bersama warga desa Panggungharjo dalam penanggulangan bencana Covid-19 melalui upaya pencegahan, penanganan, maupun penanggulangan dampak virus dalam aspek kesehatan, sosial, maupun ekonomi.

PTC yang disusun Pak Lurah bersama tim terdiri dari satu modul utama serta empat modul pendukung. Modul utama adalah modul PTC-19, sedangkan modul pendukung meliputi Modul Lapor yang digunakan untuk menghimpun data kondisi warga baik kondisi klinis maupun non klinis khususnya ekonomi. Kemudian Modul Dukung untuk menghimpun potensi sumber daya sosial yang mungkin diberdayakan guna memitigasi baik pencegahan, penanganan maupun penanggulangan dampak baik klinis maupun non klinis. 

Modul ketiga adalah Modul Mitigasi Klinis berbasis web aplikasi untuk memonitoring dan asistensi harian kepada warga yang beresiko terdampak secara klinis. Terakhir modul keempat adalah Modul Mitigasi Ekonomi yang digunakan untuk identifikasi kelompok terdampak sehingga bisa digunakan sebagai dasar dalam melakukan upaya pencegahan berupa pemberikan pekerjaan yang kehilangan pekerjaan melalui program PKTD dan Program Sejengkal Tanah Seluas Harapan maupun upaya penanganan dan penanggulangan melalui program jarring pengaman dengan mengoptimalkan peran lembaga desa Bapel JPS.

Hasilnya dalam rilis tanggal 29/3 dari 3.495 warga Panggungharjo melaporkan kondisi kesehatannya melalui web aplikasi, dengan rincian 12 orang dalam pantauan; 11 kontak erat resiko tinggi, 159 kontak erat resiko rendah, 435 orang dengan gejala, 2.157 orang tanpa gejala. Dari data ini Pemdes Panggungharjo dapat melakukan kegiatan strategis dari aspek klinis.

Pemdes Panggungharjo telah melaksanakan Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat (PPBM), yakni upaya meningkatkan kapasitas masyarakat atau mengurangi kerentanan masyarakat, agar mampu menolong diri sendiri dan kelompoknya dalam menghadapi ancaman bahaya yang berpotensi menjadi bencana di sekitar kehidupannya (Sudibyakto dkk, 2012). Manajemen kebencanaan berbasis masyarakat ini meliputi keseluruhan tahap, yaitu pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan. PBBM pada intinya merupakan sebuah pendekatan penanggulangan bencana yang berbasis pada komunitas lokal. 

Dalam praktiknya, manajemen ini mengakomodasi potensi dan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat sebagai sumber daya dalam melaksanakan program penanggulangan bencana. Sehingga, diharapkan masyarakat akan tanggap dan sadar bahwa mereka mempunyai kapasitas yang memadai dalam penanggulangan bencana. Proses pemberdayaan ini menghendaki adanya kemauan politik (politic will) dari pemerintah untuk berperan sebagai fasilitator dalam rangka mendorong berkembangnya Kelompok Masyarakat Sadar dan Tanggap Bencana (Sudibyakto dkk, 2012)

Pemimpin masyarakat lokal sudah seharusnya menjadi agen pembelajaran dan perubahan untuk inisiatif masyarakat lokal (Tyler, 2006 dalam Indiyanto 2012). Oleh karena itu, ia harus mampu menjembatani dan berbicara dengan dua bahasa (bahasa sains dan bahasa pengetahuan lokal). Ia harus merupakan sosok yang terpelajar sekaligus memiliki charisma dan mendapat pengakuan (recognition)

Ia juga mempunyai kekuatan mengompakkan (consolidation) oleh dua sisi: kultural (tradition) dan struktural (rational legal authority). Atau dengan kata lain, adanya pmimpin kharismatik didukung oleh birokrasi struktral yang dikontrol oleh otoritas yang berdiri secara rasional atau sebuah kombinasi tradisional dan otoritas birokrasi (Weber, 1947 dalam Indiyanto, 2012). Karena bagaimanapun, masyarakat membutuhkan legitimasi di tengah ketidakpastian dan kecemasan. Apalagi ditengah gempuran berita Covid-19 baik di media massa maupun media sosial saat ini.

Yogyakarta, 30 Maret 2020

Kamis, 27 Februari 2020

DESA WISATA TANGGUH BENCANA

Paska peristiwa susur sungai yang membawa korban 10 orang meninggal,  Forum Komunikasi Desa Wisata Kabupaten Sleman mengeluarkan press release bahwa kegiatan tersebut dilakukan secara mandiri, tanpa koordinasi ataupun diketahui pengelola desa wisata (deswita) setempat.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 27 Februari 2020

Walaupun sudah ada press release, ditengarai desa wisata setempat akan mendapat dampak dari kejadian kecelakaan sungai tersebut, berupa penurunan jumlah wisatawan. Diakui perkembangan desa wisata saat ini marak, terutama dengan mengangkat potensi wisata alam. Karateristik wisata alam memiliki keunggulan dibandingkan wisata lain.

Wisata alam tidak dapat melalui perantara untuk pengunjungnya, oleh karenanya untuk menikmati wisata alam pengunjung harus datang langsung ke lokasi. Nuansa alam dengan udara yang masih segar dengan berbagai spot selfie menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Namun begitu wisata alam juga harus mampu menghadirkan ketangguhan dalam pengelolaannya (Suparlan, 2019).

Pengelolaan pariwisata khususnya wisata alam harus mampu mengidentifikasi dampak dari 12 jenis ancaman bencana di wilayah DIY, yakni Banjir, Banjir Bandang, Gempa Bumi, Tanah Longsor, Kekeringan, Cuaca Ekstrim, Kebakaran Hutan dan Lahan, Letusan Gunung Api, Tsunami, Gelombang Pasang, Kegagalan Teknologi, Epidemi dan Wabah Penyakit (BPBD DIY, 2019). Ancaman bencana yang ada telah nyata memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan industri pariwisata yang ada.

Contohnya adalah bencana badai cempaka karena cuaca ekstrim pada akhir 2017 lalu menyebabkan banjir sungai Oya Gunungkidul, lokasi yang sebelumnya tidak pernah terjadi sejarah banjir. Dampak ini kemudian menyebabkan kerusakan di sejumlah obyek wisata seperti Air Terjun Sri Getuk  dengan kerugian diperkirakan mencapai 500 juta (Suparlan, 2019).

Imbas gempa bumi di Lombok menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya berdampak pada kunjungan wisatawan mancanegara, dan negara berpotensi kehilangan Rp1,4 triliun (Fahrurozy, 2018). Padahal, sebelumnya, Kementerian Pariwisata menargetkan kunjungan Wisman sebanyak 17 Juta Wisman pada 2018.

Dalam sebuah penelitian, Prideaux dan Laws mendefinisikan krisis dalam industri pariwisata sebagai segala peristiwa yang mengganggu dan menghambat jalannya industri pariwisata (Fahrurozy, 2018). Integrasi pengelolaan pariwisata terutama di desa wisata dengan konsep pengurangan risiko bencana sangat diperlukan mengingat perkembangan industri pariwisata alam yang sangat rentan terhadap 12 jenis ancaman bencana yang ada.

Gerakan membangun pengelolaan pariwisata berperspektif pengurangan risiko bencana sebenarnya telah di-inisiasi oleh beberapa desa wisata di propinsi DIY. Krisis akibat bencana alam atau kecelakaan, baik yang dapat diprediksi maupun tidak, dapat menggoyang fondasi kegiatan pariwisata, menghambat sebuah daerah dalam membangun sektor pariwisatanya.

Pelajaran dari krisis di masa lalu, dapat dijadikan acuan membangun fondasi manajemen krisis yang lebih baik (Fahrurozy, 2018). Pendekatan holistik untuk mengelola krisis pada destinasi pariwisata harus hadir sebagai prasyarat agar kegiatan ekonomi pariwisata terus berlangsung.

Dalam pengelolaan Desa Wisata harus memiliki prespektif Pengurangan Risiko Bencana agar memberikan keamanan, kenyamanan dan keberlanjutan bagi pengelola dan pengunjung. Oleh karena itu, pengetahuan dan ketrampilan pengelola desa wisata harus terus menerus ditingkatkan, sehingga terwujud Deswita Tangguh Bencana. 

Yogyakarta, 24 Februari 2020

Selasa, 11 Februari 2020

SIAPA NIAT AKAN BEROLEH HASIL

“Man Jadda Wa Jada”. Pepatah bahasa Arab ini popular saat booming novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, yang kemudian disusul dengan penayangan film bioskop. Pepatah yang berarti “Siapa yang bersungguh-sungguh dia akan mendapatkan”, sedang arti bebasnya adalah “Siapa yang bersungguh-sungguh, ia pasti berhasil.”

Membaca pepatah ini jadi ingat jamaah KUM (Komunitas Umroh Mandiri) yang luar biasa. Seorang bapak usia 50an yang berniat umroh, dan dalam 3 pekan dapat terwujud. Tanggal 10 Desember 2019 beliau nelpon untuk konsultasi umroh. 4 hari berikutnya langsung mulai proses pembuatan paspor, yang disusul transfer untuk booking seat umroh. Tanggal 17 Desember 2019 langsung pelunasan biaya umroh, disusul persiapan lainnya terutama ruhiyah dan ibadah. Padahal saya tahu kondisi ekonomi beliau baru ‘kurang sehat’. Alhamdulillah tanggal 1 Januari 2020 beliau berangkat umroh selama 12 hari!!

Sebagian chatting di whatsapp dengan bapak jamaah KUM

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Amal itu bergantung niat.” Beliau juga bersabda, “Hal yang paling aku takutkan atas kalian adalah syahwat yang tersembunyi.” Menurut Ibnu Taimiyah (w. 728 H), kata “niat” (niyyah) dalam istilah orang Arab hampir sinonim dengan “kehendak” (qasd) dan “keinginan” (iradah).

Niat adakalanya dipahami sebagai salah satu macam keinginan, atau semakna dengan keinginan. Padahal niat itu lebih spesifik daripada keinginan, karena keinginan itu berkaitan dengan perbuatan sendiri ataupun perbuatan orang lain, sedangkan niat hanya berkaitan dengan perbuatan sendiri. Anda bisa mengatakan, “Aku ingin orang itu berangkat umroh,” tapi tak bisa mengatakan, “Aku niat orang itu berangkat umroh.”

Menurut Ibnu Taimiyah, NIAT itu mengikuti PENGETAHUAN. Siapa mengetahui apa yang mau dia kerjakan, tentulah ia sudah meniatkannya secara otomatis. Niat itu otomatis terwujud begitu orang mengetahui perbuatan yang ingin ia lakukan.

Sedangkan menurut Imam al-Ghazali (w. 505 H), Niat adalah terdorong dan condongnya diri kepada tujuan yang diinginkannya dan penting baginya. Bila kecondongan itu tidak berada dalam batin, maka tak mungkin ia dihasilkan dan diwujudkan dengan usaha dan memaksa diri, itu sebatas perpindahan pikiran dari sesuatu ke yang lain.

Syekh al-Harits al-Muhasibi (w. 243 H) mengajarkan tentang evaluasi niat.
Siapa yang paling sejati niatnya?
Orang yang paling sejati niat

Siapa yang paling jauh dari niat sejati?
Orang yang paling jauh dari niat adalah orang yang melupakan niat, itu adalah orang yang paling tidak tahu tentang niat.

Percayakah bahwa yang mampu melaksanakan ibadah umroh atau haji itu tidak mesti orang kaya atau berkecukupan? Tidak! Tapi orang yang niat kuat dan tulus iklhlas-lah yang mampu! Banyak orang yang berkecukupan bahkan berkelebihan tapi belum pernah dia beribadah ke Baitullah. Puluhan Negara ia kunjungi, tapi rumah Allah ia lupakan.

Maka dalam melakukan setiap aktivitas, niatkan semua itu untuk menunaikan hak Allah di hadapan-Nya. Jangan sibukkan hatimu dengan harta yang kaumiliki.

“Orang-orang yang mengikuti petunjuk pasti diberi Allah tambahan petunnuk dan diberi sifat takwa.” (QS. Muhammad: 17)
Ibnu Umar menceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Perbuatan itu tergantung niat. Bagi setiap orang balasan dari apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari)

Wallaahu’alam bi shawab.

Selalu bekali dengan ilmu agar niat senantiasa terjaga

Yogyakarta, 11 Februari 2020, pukul 20.53 WIB
Tour Leader Komunitas Umroh Mandiri

Rabu, 29 Januari 2020

CORONA DAN PERAN SATWA LIAR


Sedikitnya 106 orang dilaporkan tewas dan lebih dari 4 ribu kasus virus corona sedang ditangani di berbagai wilayah Tiongkok (Detik. 28/1). Hari Jumat (24/1) Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok Cabang Wuhan mengeluarkan Press Release tentang kondisi pelajar WNI sebanyak 93 orang di Wuhan, Tiongkok bagian Tengah. Semua dalam kondisi sehat serta dalam pantauan kampus dan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia).


ANALISIS koran Kedaulatan Rakyat (KR) tanggal 29 Januari 2020

Mereka menjadi bagian dari sekitar 11 juta yang masuk karantina massal kota Wuhan. Semua akses transportasi ditutup, baik kereta, pesawat, dan bus dari Wuhan maupun menuju Wuhan untuk mengurangi risiko penyebaran wabah Corona. Virus dengan nama 2019 Novel Coronavirus atau 2019-nCoV ini diduga berasal dari pasar makanan yang “melakukan transaksi ilegal satwa liar” (BBC, 24/1). Peneliti mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sugiyono Saputra, mencatat bahwa tiga jenis virus corona yang bersifat mematikan terhadap manusia berasal dari jenis satwa yang sama sebagai perantara alaminya, yakni kelelawar (Tempo, 25/1).

Material genetik dari 2019-nCoV ini merupakan rekombinasi dari material genetik virus yang berasal dari kelelawar dan ular. Sugiyono menjelaskan hipotesis tersebut berasal dari kode-kode protein atau material genetik 2019-nCoV yang diambil dari sampel korban meninggal yang ternyata memiliki kesamaan dengan material genetik dari ular (Tempo, 25/1). Data tersebut diketahui setelah membandingkan sampel virus itu dengan lebih dari 200 jenis virus Corona dari berbagai satwa yang diketahui dijual di sebuah pasar di Wuhan--di mana sejumlah korban infeksi pertama diketahui pernah mendatanginya.

Menurut Taufiq P. Nugraha, peneliti satwa liar dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, para ilmuwan menduga kemunculan zoonosis (penyakit pada manusia yang ditularkan hewan) baru seperti kasus Corona dampak tingginya frekuensi interaksi antara satwa liar dengan manusia (Tempo, 25/1). Kasus wabah Ebola di Afrika Barat pada 2014, deforestasi untuk pertanian dapat berperan dalam ekspansi kelelawar di luar habitatnya dan ekspansi manusia ke dalam habitat kelelawar, sehingga keduanya dapat saling berinteraksi bebas dan berisiko tinggi dalam penyebaran penyakit baru.

Pada penyakit Ebola dapat dikaitkan dengan kebiasaan manusia, terutama di daerah Afrika yang memiliki kebiasaan mengonsumsi daging satwa liar. Daging satwa liar yang terkontaminasi akan menjadi media efektif penularan Ebola pada manusia (Jayanegara dalam Jurnal Continuing Mediacal Education, CDK-243/vol.43 no.8 th. 2016). Upaya perlindungan individu adalah cara efektif untuk mengurangi penularan manusia, antara lain dengan mengurangi kontak dengan kelelawar, monyet atau kera, dan konsumsi daging mentah (Jayanegara, 2016).

Sejatinya satwa liar mempunyai peranan sebagai penyeimbang ekosistem alam, manjadi salah satu bagian rantai makanan. Kehadiran satwa liar mempunyai fungsi dan peranan penting bagi ekosistem alami serta bagi kehidupan manusia. Di alam, setiap individu satwa liar ikut dalam siklus perputaran makanan di habitatnya (hutan), sehingga pohon-pohon di hutan tetap bisa tumbuh berkembang biak dan menjadikan hutan tetap ada.
Dengan begitu fungsi hutan sebagai pemasok oksigen dan air, juga pengontrol suhu udara dan pengendali musim akan tetap berlangsung. Maka manusia dan seluruh mahluk hidup di Bumi akan dapat merasakan manfaat ini. Agar dapat berperan sebagai penyeimbang ekosistemnya, satwa liar harus dapat hidup nyaman di habitat alaminya.
Contoh adalah keberadaan kelelawar di alam adalah sebagai penjaga keseimbangan populasi serangga dan membantu dalam penyerbukan bunga. Gangguan pada satwa nocturnal (aktivitas malam hari) ini akan berdampak besar pada dunia tumbuhan, dan secara tidak langsung juga akan mengancam kehidupan manusia.
Sebagian manusia menerjemahkan kesadaran menjaga satwa liar dari kepunahan dengan memeliharanya di rumah atau di luar habitatnya. Padahal dengan memindahkan satwa liar dari habitat aslinya, akan menyebabkan fungsi hutan terganggu. Resiko yang kita hadapi jika memelihara satwa liar terlebih satwa liar dilindungi, adalah terganggunya fungsi hutan  kepunahan satwa, hingga penularan penyakit dari dan ke satwa seperti pada kasus Corona, Ebola, SARS, dll.
Peristiwa wabah penyakit akibat satwa liar harus menjadi pembelajaran yang berharga dalam memanfaatkan alam. Konsumsi alam yang ‘serakah’ akan berdampak merugikan bagi manusia sendiri. Pemanfaatan alam yang bijak sejalan dengan prinsip Hamemayu Hayuning Bawana atau prinsip harmoni dengan alam –bukan mengendalikannya- yang merupakan tujuan utama Taois (Tucker, 1994).
Yogyakarta, 28 Januari 2020
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa, alumnus Beijing Forestry University, Tiongkok (China Scholarship Council)

Selasa, 17 Desember 2019

TEROR ULAR


Akhir-akhir ini di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan wilayah lain resah karena adanya serangan ular. Belasan ular kobra memasuki pemukiman warga di wilayah Gunung Kidul, bahkan meneror seisi rumah dengan memasuki kamar bayi, hingga pemilik rumah memilih mengungsi. Berita terbaru adalah ular hijau Trimeresurus albolabris yang menyerang relawan Seyegan Rescue (KR, 16/12).

Ada hampir 3000 jenis ular di Dunia, sepuluh persennya ada di Indonesia yakni, 348 jenis ular. Dan 76 jenis diantaranya adalah ular berbisa. Sebenarnya ini merupakan kekayaan hayati yang luar biasa. Sungguh sayang potensi ini belum dimanfaatkan dengan optimal.


Analisis Koran Kedaulatan Rakyat 17 Desember 2019, halaman depan/head line

Salah satu contohnya adalah serum anti bisa ular atau yang disebut SABU hanya tersedia untuk gigitan dari 3 jenis ular berbisa, yakni Ular Kobra (Naja sputatrix), Ular Weling/Welang (Bungarus candidus/Bungarus fasciatus), dan Ular Tanah (Calloselasma/Agkistrodon rhodostoma). Masih kurang 73 jenis ular lagi. Selain itu, Indonesia juga baru memiliki satu orang dokter ahli bisa ular, yakni DR. dr Tri Maharani, M.Si, SpEM.

Menurut Maharani (2019) setiap tahun dilaporkan ada sekitar 1000-2000 laporan gigitan ular dari seluruh Indonesia. Meski belum ada angka yang pasti, jumlah korban gigitan ular di Indonesia diperkiraan jumlahnya sekitar 135.000 orang per tahun, merujuk jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 256 juta jiwa.

Jumlah tersebut dapat lebih besar lagi, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Untuk wilayah DIY sendiri menurut Ketua relawan Animal Keeper Jogja (AKJ) ‘Saliyo’ tahun 2019 ada 18 kasus korban gigitan ular berbisa. 2 diantaranya meninggal dunia, yang disebabkan karena belum tahunya tentang penanganan gigitan ular.

Penanganan pertama gigitan ular (first aid) sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) adalah dengan imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang digigit ular itu tidak bergerak (Maharani, 2018). Banyak Rumah Sakit, Puskesmas hingga komunitas reptil telah memperoleh pelatihan penanganan gigitan ular.

Untuk wilayah DIY sendiri tiap korban gigitan ular akan dipandu penanganannya oleh relawan AKJ sampai sembuh. Jika korban sudah mengalami fase sistemik seperti sesak nafas hingga gagal jantung baru diberika serum atau anti bisa ular. Untuk Rumah Sakit rujukan korban gigitan ular berbisa di wilayah DIY ada di RS Wirosaban Kota Yogya, RS Panembahan Senopati Bantul, PKU Gamping, PKU Bantul, dan Bethesda (Saliyo, 2019).

Dalam menangani ular, perlu mengenal karakteristik hidup satwa melata ini. Mayoritas ular menetas pada awal musim hujan, dan ular menyukai lokasi yang lembab dan hangat. Beberapa anak ular kobra yang ditemukan warga di Godean, Sleman dan Wonosari, Gunung Kidul adalah salah satu contohnya. Apalagi jika sarangnya terendam air akibat hujan, ular akan keluar mencari lokasi nyaman.

Kebersihan rumah dan lingkungan perlu dijaga. Jangan ada tumpukan kain, kardus, daun yang menyebabkan kondisi lembab. Rumah harus dibersihkan dengan pewangi, karena ular menghindari bau wangi. Pemberian garam tidak berpengaruh, tidak membuat ular takut atau menghindar.

Selain itu perlu diperhatikan juga penyebab adanya ular yang masuk pemukiman warga. Hilangnya predator ular seperti Musang, Kucing hutan, burung Elang, burung Hantu dan satwa liar lain turut meningkatkan jumlah populasi ular. Keseimbangan ekologi terganggu akan menyebabkan komponen lain terganggu sehingga dapat menyebabkan bencana ekologi.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah edukasi kepada masyarakat dalam penanganan ular berbisa. Aksi free handling atau penanganan ular berbisa tanpa alat bantu harus dihindari. Apalagi jika dilakukan oleh orang awam. Lebih baik mengundang pawang ular atau ahli penangkap ular.

Untuk jangka panjang perlu diperhatikan keseimbangan ekologi di alam yang mulai terganggu oleh pembangunan dan pertumbuhan penduduk. Kasus serangan tawon (Vespa affinis) dan disusul ular merupakan contoh dari keseimbangan ekologi yang terganggu. Pemerintah harus memperhatikan manfaat dan peran ekologi, tidak hanya kepentingan ekonomi saja. Pembangunan hijau sudah harus diseriusi oleh pemerintah demi manfaat jangka panjang.



Yogyakarta, 16 Desember 2019
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa, anggota relawan AKJ.