Selasa, 17 Desember 2019

TEROR ULAR


Akhir-akhir ini di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan wilayah lain resah karena adanya serangan ular. Belasan ular kobra memasuki pemukiman warga di wilayah Gunung Kidul, bahkan meneror seisi rumah dengan memasuki kamar bayi, hingga pemilik rumah memilih mengungsi. Berita terbaru adalah ular hijau Trimeresurus albolabris yang menyerang relawan Seyegan Rescue (KR, 16/12).

Ada hampir 3000 jenis ular di Dunia, sepuluh persennya ada di Indonesia yakni, 348 jenis ular. Dan 76 jenis diantaranya adalah ular berbisa. Sebenarnya ini merupakan kekayaan hayati yang luar biasa. Sungguh sayang potensi ini belum dimanfaatkan dengan optimal.


Analisis Koran Kedaulatan Rakyat 17 Desember 2019, halaman depan/head line

Salah satu contohnya adalah serum anti bisa ular atau yang disebut SABU hanya tersedia untuk gigitan dari 3 jenis ular berbisa, yakni Ular Kobra (Naja sputatrix), Ular Weling/Welang (Bungarus candidus/Bungarus fasciatus), dan Ular Tanah (Calloselasma/Agkistrodon rhodostoma). Masih kurang 73 jenis ular lagi. Selain itu, Indonesia juga baru memiliki satu orang dokter ahli bisa ular, yakni DR. dr Tri Maharani, M.Si, SpEM.

Menurut Maharani (2019) setiap tahun dilaporkan ada sekitar 1000-2000 laporan gigitan ular dari seluruh Indonesia. Meski belum ada angka yang pasti, jumlah korban gigitan ular di Indonesia diperkiraan jumlahnya sekitar 135.000 orang per tahun, merujuk jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 256 juta jiwa.

Jumlah tersebut dapat lebih besar lagi, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Untuk wilayah DIY sendiri menurut Ketua relawan Animal Keeper Jogja (AKJ) ‘Saliyo’ tahun 2019 ada 18 kasus korban gigitan ular berbisa. 2 diantaranya meninggal dunia, yang disebabkan karena belum tahunya tentang penanganan gigitan ular.

Penanganan pertama gigitan ular (first aid) sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) adalah dengan imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang digigit ular itu tidak bergerak (Maharani, 2018). Banyak Rumah Sakit, Puskesmas hingga komunitas reptil telah memperoleh pelatihan penanganan gigitan ular.

Untuk wilayah DIY sendiri tiap korban gigitan ular akan dipandu penanganannya oleh relawan AKJ sampai sembuh. Jika korban sudah mengalami fase sistemik seperti sesak nafas hingga gagal jantung baru diberika serum atau anti bisa ular. Untuk Rumah Sakit rujukan korban gigitan ular berbisa di wilayah DIY ada di RS Wirosaban Kota Yogya, RS Panembahan Senopati Bantul, PKU Gamping, PKU Bantul, dan Bethesda (Saliyo, 2019).

Dalam menangani ular, perlu mengenal karakteristik hidup satwa melata ini. Mayoritas ular menetas pada awal musim hujan, dan ular menyukai lokasi yang lembab dan hangat. Beberapa anak ular kobra yang ditemukan warga di Godean, Sleman dan Wonosari, Gunung Kidul adalah salah satu contohnya. Apalagi jika sarangnya terendam air akibat hujan, ular akan keluar mencari lokasi nyaman.

Kebersihan rumah dan lingkungan perlu dijaga. Jangan ada tumpukan kain, kardus, daun yang menyebabkan kondisi lembab. Rumah harus dibersihkan dengan pewangi, karena ular menghindari bau wangi. Pemberian garam tidak berpengaruh, tidak membuat ular takut atau menghindar.

Selain itu perlu diperhatikan juga penyebab adanya ular yang masuk pemukiman warga. Hilangnya predator ular seperti Musang, Kucing hutan, burung Elang, burung Hantu dan satwa liar lain turut meningkatkan jumlah populasi ular. Keseimbangan ekologi terganggu akan menyebabkan komponen lain terganggu sehingga dapat menyebabkan bencana ekologi.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah edukasi kepada masyarakat dalam penanganan ular berbisa. Aksi free handling atau penanganan ular berbisa tanpa alat bantu harus dihindari. Apalagi jika dilakukan oleh orang awam. Lebih baik mengundang pawang ular atau ahli penangkap ular.

Untuk jangka panjang perlu diperhatikan keseimbangan ekologi di alam yang mulai terganggu oleh pembangunan dan pertumbuhan penduduk. Kasus serangan tawon (Vespa affinis) dan disusul ular merupakan contoh dari keseimbangan ekologi yang terganggu. Pemerintah harus memperhatikan manfaat dan peran ekologi, tidak hanya kepentingan ekonomi saja. Pembangunan hijau sudah harus diseriusi oleh pemerintah demi manfaat jangka panjang.



Yogyakarta, 16 Desember 2019
Ttd
Arif Sulfiantono,S.Hut,M.Agr.,M.S.I.
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa, anggota relawan AKJ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar