Selasa, 05 Januari 2021

WISATA KREATIF MASA PANDEMI

Pandemi Covid-19 jelas mengakibatkan dampak buruk bagi pariwisata, contohnya saat liburan Tahun Baru 2021 jumlah kunjungan wisata di Gunung Kidul mengalami penurunan 50 persen (KR/ 2/1). Akan tetapi tidak boleh diam menerima nasib saja. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) yang baru Sandiaga Uno- menyiapkan 3 gagasan untuk pariwisata Indonesia.

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 5 Januari 2021 halaman 11

Pertama adalah Inovasi, yakni inovasi pariwisata baik dalam bidang kuliner, fashion, serta kesenian dan budaya yang mencakup beragam tarian di Indonesia. Inovasi juga melibatkan infrastruktur yang berkaitan dengan interkoneksi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Destinasi wisata Puncak Becici di Desa Mangunan, Bantul berinovasi dengan atraksi Gejog Lesung untuk menarik minat wisatawan. 

Kedua Adaptasi, yaitu perlunya penerapan standar protokol kesehatan CHSE (Cleanliness/Kebersihan), (Health/Kesehatan), (Safety/Keselamatan), dan (Environment/Kelestarian Lingkungan) untuk setiap destinasi wisata, yang merupakan adaptasi destinasi wisata di tengah wabah. Saat ini perlu adaptasi dengan target pasar wisata dan ekonomi kreatif pada wisatawan nusantara (wisnus), mengingat ditemukannya kasus varian Covid-19 di luar negeri seperti di Inggris. Hampir semua destinasi wisata di DIY sudah menerapkan protokol kesehatan.

Ketiga Kolaborasi, yakni pariwisata mengedepankan komunikasi terbuka dan kerja sama antarpihak yang makin bersinergi. Saatnya berkolaborasi, tidak hanya diskusi. Jangan ada ego sektoral. Bersinergi saling menguatkan untuk pulihkan sektor andalan. Khusus di DIY sudah ada program Desa Mandiri Budaya yang men-sinergikan stakeholder dan mengurangi ego sektoral  (Sulfiantono, 2020).

Kolaborasi pemangku kepentingan antara Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk industri perbankan, dan sektor swasta dibutuhkan untuk mendukung bangkitnya sektor pariwisata dari dampak pandemi Covid-19. Bank BPD DIY sudah terlibat dalam pembuatan QRIS untuk mempermudah pembayaran tiket sehingga mencegah terjadinya antrian pengunjung di depan loket destinasi wisata.

Sektor pariwisata sangat kompleks dan mata rantainya terhubung dari hulu ke hilir, dan merupakan sektor padat karya. Tahun 2021 ada potensi cerah pariwisata daerah, terutama adanya dana desa yang relevan untuk dikembangkan di sektor pariwisata (Saputro, 2021). Desa wisata yang mempunyai potensi keindahan alam, budaya dan konten kreatif berpotensi tumbuh di tahun 2021.

Desa wisata Nglanggeran, di Kecamatan Patuk, Gunung Kidul adalah desa wisata yang mengemas ide kreatif untuk menggerakkan potensi desa wisata. Desa Nglanggeran yang awalnya (tahun 2012) menggantungkan pada wisata masal/umum pada destinasi wisata Gunung Api Purba, sudah sejak 2015 fokus pada wisata kreatif atau minat khusus. 

Jumlah wisatawan desa wisata Nglanggeran pada tahun 2014 mencapai puncak sebanyak 325.303 orang dengan pemasukan sebesar Rp 1.422.915.000,- (Handoko, 2020). Tahun 2015 mengalami penurunan sebesar 255.917 orang, tapi pemasukan bertambah menjadi Rp 1.541.990.000,-. Tahun 2019 jumlah wisatawan sebesar 103.107 orang dengan pemasukan sebesar Rp 3.272.593.400,-. Peningkatan pemasukan ini diperoleh dari kunjungan wisata minat khusus edukasi seperti pengolahan kakao/coklat; kuliner ceriping; kerajinan topeng; hingga ternak kambing yang menginap di homestay milik warga desa.

Tahun 2021 ini Desa Wisata Nglanggeran akan launching Griya Batik dan Griya Spa (Handoko, 2020). Tenaga kerja kedua wisata minat khusus ini berasal dari warga lulusan SMA/SMK. Contoh lainnya adalah Desa Wisata Jatimulyo, di Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo. Selain menggarap wisata umum  atau massal seperti di destinasi wisata Gua Kiskendo, Sungai Mudal, Air Terjung Kembang Soka, Kedung Pedut, dll; juga fokus pada wisata kreatif avitourism atau wisata pengamatan burung (birdwatching). Walaupun belum ada catatan besaran nilai rupiah yang diperoleh dari seluruh avitourism, tetapi nilai yang dikeluarkan (tourist spending) lebih besar dari wisatawan biasa. 

Wisatawan Birdwatcher bahkan akan menginap di homestay untuk memperpanjang kunjungannya jika target bidikan burung tidak tercapai. Sudah saatnya desa wisata tahun 2021 ini untuk berinovasi; beradaptasi terhadap perubahan; dan berkolaborasi agar dapat bertahan dari wabah. Dan ini sesuai teori Charles Darwin yang mengatakan, yang mampu bertahan hidup adalah yang responsif dan berinovasi terhadap perubahan.

Yogyakarta, 3 Januari 2021, pukul 14.45 WIB


Senin, 04 Januari 2021

RESOLUSI TAHUN BARU?

Tiap tahun baru seringkali membaca status di media sosial tentang resolusi hidup. Sebuah harapan yang ingin dicapai pada tahun tersebut. Bisa juga sebuah cita-cita.

Sekitar 1,5 tahun yang lalu pernah ditanya salah seorang ustadz tentang cita-cita atau keinginan. Saya jawab adanya keinginan, bukan cita-cita atau resolusi.

Karena saya pernah kecewa. Ya, kecewa berat.

Tepatnya tahun 2018 saat cita-cita untuk studi doctoral ke luar negeri hampir tercapai dengan diterimanya beasiswa doctoral di Tiongkok. Jelang keberangkatan ke Wuhan University of Technology tiba-tiba surat tugas belajar tidak dapat turun, gara-gara belum ikut psikotes tugas belajar. Padahal sebelumnya ijin sudah turun untuk ikut seleksi beasiswa dari Kemenristek DIKTI ini.

Pimpinan dari tingkat bawah hingga atas dimintai bantuan nihil hasilnya. Seolah acuh. Padahal juga via jalur alumni kampus. Pimpinan dulu yang mendorong untuk studi juga lepas tangan, sibuk dengan pekerjaan barunya.

Terakhir saya katakan ke ustadz bahwa saya akan memulai hidup seperti air saja. Filosofi air mengalir.

“Hidup adalah serangkaian perubahan yang alami dan spontan. Jangan tolak mereka karena itu hanya membuat penyesalan dan duka. Biarkan realita menjadi realita. Biarkan sesuatu mengalir dengan alami kemanapun mereka suka.” (Lao Tzu)

Alhamdulillah keluarga terutama istri yang senantiasa mensupport. Inilah yang menjadi pilihan untuk selalu dekat dengan keluarga. Mereka-lah supporter sejati. Bukan dari kantor apalagi kampus!

Cukup nikmati hidup, isi dengan ibadah baik madhah dan ghairu madhah, sabar dengan ujian dan ikhlas dengan ketetapan-Nya. 



Jumat, 20 November 2020

DESA MANDIRI BUDAYA


Akhirnya Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 93 Tahun 2020 tentang Desa/Kalurahan Mandiri Budaya. Pergub yang ditandatangani tanggal 9 November 2020 ini merupakan pedoman pelaksanaan Desa/Kalurahan Mandiri Budaya di Provinsi DIY.

Menurut hasil kajian Dinas Kebudayaan DIY tahun 2018, Desa Mandiri Budaya adalah desa otonom yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri melalui pendayagunaan dan pemanfaatan segenap sumberdaya internal desa dan eksternal (supra-desa) untuk mengaktualisasikan, mengembangkan, dan mengkonservasi kekayaan potensi budaya (benda dan/atau tak benda) yang dimilikinya melalui pelibatan partisipasi aktif warga dalam melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.


Opini Koran KEDAULATAN RAKYAT 20 November 2020 halaman 11

Pembentukan Desa Mandiri Budaya dilatarbelakangi akibat pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 yang ternyata belum seperti yang diharapkan (Paniradya Keistimewaan DIY, 2020). Ego sektoral masih terjadi sehingga membuat perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya menjadi tidak sehat, tidak adil, dan tidak efisien dari sudut pandang kawasan. Kajian dari tim penyusun Grand Design Desa Mandiri Budaya DIY tahun 2020 menyebutkan dampak dari ego sektoral adalah salah satunya pemanfaatan anggaran menjadi boros (tidak efisien dan tidak efektif).

Penyerapan dana penanggulangan kemiskinan kurang sampai kepada masyarakat, dan lebih banyak dimanfaatkan oleh birokrasi, dan proses pembangunan serta pendampingan desa tidak mengalami kohesi yang baik antar SKPD dan desa-desa sebagai subjek dan objek pembangunan. Hal ini disebabkan pada SKPD belum seluruhnya memiliki frame work yang jelas dalam mendorong pembangunan desa yang holistic, komprehensif dan terukur.

Idealitas desa masih dilihat dari perspektif masing-msaing SKPD, sehingga tidak ada bentuk ideal atau mendekati paripurna pembangunan desa yang ingin diruju. Persoalan sektoral ini akhirnya terjebak pada program dan penilaian kinerja. Untuk itu dalam konteks pelaksanaan desa mandiri budaya diperlukan harmonisasi pelaksanaan kebijakan pembangunan desa dengan pembangunan ekonomi, budaya, wisata, pangan, pengarusutamaan gender, entrepreneurship, kesehatan mental, teknologi serta penanggulangan kemiskinan (Paniradya Keistimewaan DIY, 2020).

Upaya pengembangan desa mandiri budaya didasarkan pada prinsip bahwa “Desa Mandiri Budaya sebagai Tujuan Pembangunan di DIY”. Dalam hal ini terdapat inisiasi dari pemerintah daerah DIY untuk menggagas pilot project pembangunan desa secara lintas OPD diantaranya, Desa Budaya (Dinas Kebudayaan), Desa Wisata (Dinas Pariwisata), Desa Prima (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk), Desa Preneur (Dinas Koperasi & UMKM).

Tantangan terbesar dalam implementasi Desa Mandiri Budaya terletak pada bagaimana membalikkan basis paradigma pembangunan yang bersifat “dari atas ke bawah” (top down) menjadi paradigm pembangunan yang memposisikan inisiatif pembangunan desa berasal dari “bawah ke atas” (bottom up). Pembalikan paradigma pembangunan itu juga harus terjadi dari jargon/retorika “membangun desa’ menuju praksis “desa membangun”, dari slogan “membangun masyarakat” menjadi “masyarakat membangun”.

Tujuan pembangunan Desa Mandiri Budaya adalah pertama, mewujudkan kemandirian desa dalam menyejahterakan masyarakat desa melalui pengembangan budaya, wisata, partisipasi secara inklusif terhadap perempuan, pengembangan wirausaha desa, dan ketahanan pangan (Paniradya Keistimewaan DIY, 2020). Kedua, memperkuat potensi desa sebagai banteng pelestarian budaya dalam menghadapi arus global. Ketiga, memperkuat sistem kelembagaan desa untuk mengurangi tingkat kemiskinan melalui ketahanan pangan, kewirausahaan, dan wisata.

Keempat, memperkuat sistem informasi desa sebagai ruang sosialisasi, promosi, dan pemasaran desa. Kelima, memperkuat kapasitas pengelola desa dan organisasi-organisasi di ringkat desa dari sisi intelektual mamupun keterampilan dalam pengelolaan desa. Keenam, memperkuat tata nilai dan kehidupan masyarakat dalam mewujudkan keamanan dan ketentraman.

Untuk mencapai target RPJMD 2017-2022 bahwa pada tahun 2022 terwujud 20 Desa Mandiri Budaya, tahun 2020 ini Pemda DIY melakukan pelatihan dan pendampingan 10 Desa Mandiri Budaya. Tentu Pemda DIY butuh kerja keras untuk mewujudkannya, karena baru sedikit Desa yang sudah komplit mempunyai 4 kategori Desa (Wisata, Budaya, Preneur, Prima).

Salah satu desa yang sudah komplit adalah Desa Putat, Kapanewon Patuk dan Desa Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul. Untuk itu pelatihan dan pendampingan kelembagaan senantiasa intens dilaksanakan. Melalui Kelembagaan Desa Mandiri Budaya, diharapkan desa dapat menjadi lumbung ekonomi desa (aspek perekonomian), lingkar budaya desa (aspek kelestarian budaya desa), jaring wira desa (kemandirian masyarakat).

 

Yogyakarta, 18 November 2020

Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pegiat Forkom Desa Wisata DIY

Rabu, 14 Oktober 2020

KOPI PERUBAHAN IKLIM

 

Perubahan iklim akibat pemanasan global menjadi masalah krusial saat ini. Dampaknya dapat ke berbagai bidang seperti krisis pangan, air, energi; dan munculnya wabah penyakit baru. Dampak tersebut dapat dirasakan dari kehidupan sehari-hari, seperti secangkir kopi yang dapat merekam dampak perubahan iklim.

Penyebab utama pemanasan global adalah polusi dan emisi yang membuat atmosfer tidak dapat menyerap panas matahari dan bumi akibat aktivitas manusia. Sedangkan pohon-pohon yang bertugas menyerap panas kian berkurang akibat lahannya yang diokupasi untuk industri dan permukiman. Di Indonesia, kekeringan ekstrem akibat El Niño membuat produksi kopi turun 10%. Sementara musim hujan panjang akibat La Niña menurunkan produksi kopi hingga 80% (Syakir dan Surmaini, 2017).

Opini Koran KEDAULATAN RAKYAT Yogyakarta, tanggal 14 Oktober 2020 halaman 11

Musim yang ekstrem juga memicu hama yang membuat kopi Arabika kian rentan. Penelitian baru-baru ini oleh Kath dkk (2020) juga menemukan kopi Robusta yang sebelumnya lebih tahan hama juga terganggu pertumbuhannya akibat perubahan iklim. Dalam beberapa dekade terakhir, kopi di Amerika Selatan dan Tengah dilanda wabah rust daun kopi, sejenis jamur yang membuat daun hijau kopi menjadi kuning kecokelatan (Andriyana, 2020). Hama juga menyebar dengan cepat.

Di wilayah penghasil kopi di Ethiopia dan Kenya, penggerek biji, sejenis serangga kecil yang bersembunyi di dalam biji kopi, juga mengancam keberlanjutan tanaman ini. Di Indonesia, hama penggerek dan penyakit karat daun juga makin sering terlihat dan menurunkan produksi hingga 50% (Syakir dan Surmaini, 2017).

Dampak iklim telah memberikan perhatian global yang lebih besar terhadap para petani kopi. Pola tanam sistem shaded grown (agroforestry/wanatani/tumpang sari) dipilih menjadi sistem tanam yang dihandalkan petani untuk menghadapi perubahan iklim. Pola tanam wanatani  memungkinkan kopi tak hanya bersahabat dengan tanah dan simpanan air, juga menaikkan keragaman hayati dan menyediakan diversifikasi produk karena pelbagai tanaman diatasnya.

Menurut penelitian Mulyoutami dkk (2004) wanatani pada kopi memberikan fungsi konservasi, yakni: (1) Memberikan naungan. Wanatani kopi dengan naungan kompleks, ada lapisan tajuk menyerupai hutan yang berfungsi memberikan naungan terhadap kopi dan melindungi permukaan tanah dari terpaan air hujan. (2) Menjaga suhu, kelembaban udara dan kelembaban tanah di sekitar kebun.  Lapisan tajuk dari pohon pelindung dan serasah yang jatuh dapat mengurangi masuknya cahaya matahari ke dalam kebun dan tanah sehingga suhu, kelembaban udara dan kelembaban tanah di sekitar kebun tetap terjaga. 

Akar-akar pohon naungan juga dapat menyimpan air sehingga dapat menjaga kelembaban tanah dan ketersediaan air tanah. (3) Menambah kandungan hara dalam tanah. Jika pemilihan tanaman naungan tepat, misalnya jenis tanaman yang dapat hidup bersama dengan kopi, maka tanaman naungan dapat menambah kandungan hara dalam tanah melalui serasah daun-daunnya. (4) Mengurangi kemungkinan terjadinya erosi dan tanah longsor. Akar pohon-pohon naungan/pelindung dapat mengikat tanah sehingga tidak terjadi erosi ataupun tanah longsor.

(5) Memberikan penghasilan tambahan. Tanaman naungan juga menghasilkan nilai ekonomi yang cukup tinggi, seperti hasil kayu, tanaman obat, pangan dan lainnya. Kopi dari wanatani yang berasal dari biji kopi yang diolah dengan cara seminimal mungkin merusak lingkungan dapat meningkatkan taraf hidup petani kopi, apalagi saat krisis akibat pandemi Covid-19 ini.

Kegiatan wanatani kopi yang mulai rintis sejak tahun 2017 oleh relawan basecamp pendakian jalur Sapuangin, Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Klaten sudah berbuah. Produk kopi dari kebun warga yang diberi nama ‘SAPUANGIN’ ini turut menjadi penyangga Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Fungsi ekologi dan ekonomi diperoleh warga dan hutan konservasi milik Negara melalui warung kopi Sapuangin di lereng Tenggara Gunung Merapi yang dibuka tanggal 10 Oktober 2020 kemarin.

Budidaya kopi dari wanatani lestari dapat mengurangi pemanasan global. Penikmat kopi punya hak sekaligus kewajiban dan bertanggung jawab menentukan standar kopi yang diminumnya. Tindakan kecil kita saat minum kopi itu, jika masif, akan mencegah dampak perubahan iklim lebih buruk dan luas.

Yogyakarta, 10 Oktober 2020

Ttd

Arif Sulfiantono,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pendiri WAG Kopi Konservasi


Kamis, 17 September 2020

PENJAGA OZON

       Pada tahun 1985 tim ilmuwan Inggris tidak sengaja menemukan sebuah lubang akibat kerusakan lapisan ozon di Kutub Selatan dan lubang ini bisa mengancam kehidupan di planet bumi. Lapisan ozon merupakan perisai pelindung bumi yang berada di laposan stratosfer (10-50 km di atas permukaan bumi) yang berfungsi menyerap radiasi ultraviolet yang dipancarkan dari matahari.

ANALISIS koran Kedaulatan Rakyat hari ini, 17 September 2020

Tanpa lapisan ozon, semua makhluk yang ada di bumi takkan bisa bertahan hidup. Menyikapi temuan ilmuwan Inggris tersebut, PBB untuk pertama kalinya pada 1985 menyusun sebuah konvensi di Wina untuk melindungi ozon. Pada 16 September 1987, sekitar 50 negara dunia meratifikasi Protokol Montreal di kota Montreal, Kanada.

Majelis Umum PBB menetapkan tanggal 16 September tersebut sebagai Hari Pelestarian Lapisan Ozon Sedunia dalam resolusi 49/114 pada 1987. Menipisnya lapisan ozon merupakan respon alami terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.

Pada tahun 80-90an penggunaan zat klorofluorokarbon (CFC) secara massif merusak lapisan ozon (Setiadi, 2020). CFC adalah sekelompok senyawa yang mengandung unsur klorin, fluor dan karbon. CFC dikenal karena sifatnya yang stabil, tidak reaktif, tidak beracun, tidak berasa, tidak berbau dan tidak mudah terbakar.

Lapisan ozon dapat diperbaiki dengan menekan laju perubahan iklim, pemanasan global dan menjauhi pemakaian zat-zat atau senyawa yang merusak ozon secara massif. Lama proses perbaikan atmosfer bumi sulit ditentukan dengan pasti mengingat semua proses yang terjadi di atmosfer adalah proses non linier yang melihatkan banyak faktor.

Untuk mencegah menipisnya lapisan ozon, Indonesia punya komitmen mengurangi laju perubahan iklim dan pemanasan global. Target yang dicapai adalah penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% tahun 2030, atau sebanyak 859 juta ton emisi setara karbon dioksida. Tekad yang diajukan dalam Perjanjian Paris 2015 itu akan dicapai melalui mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan global.

Menurut Ruandha Agung, -Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan- target tersebut dapat dicapai jika semua pihak berkolaborasi. Aksi perubahan iklim Indonesia ini disebut Indonesia Climate Action Network, yang disingkat ICAN dengan slogan Theres no Planet B. I CAN. Together we can.

Pandemi Covid-19 adalah salah satu dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global. Virus-virus ganas yang awalnya ‘sembunyi, akhirnya keluar karena gangguan keseimbangan ekologi dan membahayakan eksistensi manusia. Dampak dari pandemi memang bumi mampu melakukan perbaikan, karena aktivitas manusia berkurang, terutama aktivitas industri dan transportasi yang mengakibatkan polusi.

Masalahnya, pandemi sebagai solusi bukan pilihan. Pandemi sebagai sebab dan dampak adalah keniscayaan yang mesti dihadapi melalui kebijakan negara yang efektif dalam mencegah dampak menipisnya lapisan ozon (Hafsyah, 2020). Sebab, di luar pandemi, pelbagai bencana sudah mengintip akibat tidak seimbangnya ekologi di bumi.

Dampak ketidakseimbangan ekologi bumi lebih dahsyat daripada pandemi. Oleh karena itu, penting bagi kita dengan kesadaran untuk menjaga bumi dengan tidak hanya menekankan pada adaptasi namun mitigasi. Aksi nyata tingkat lokal yang dilakukan secara terus-menerus akan menular juga, seperti daur ulang sampah; penggunaan produk ramah lingkungan; penghijauan lahan kritis; dan lain-lain.

Demikian pula yang dilaksanakan oleh Forum Upcycle Indonesia (FUI) dalam memperingati Hari Lapisan Ozon melaksanakan kegiatan Artcycle Talk, yakni kegiatan pameran produk re/up-cycle di River house, Kasihan, Bantul. Produk ini menggunakan material limbah berbasis plastik, kertas, logam, kain, kayu, gelas/kaca dan minyak.

Kegiatan yang diinisasi oleh seniman Jogja ini juga melibatkan aktivis pengolah limbah sampah DIY sehingga dapat bernilai ekonomi kembali (economic circular). Harusnya tahun 2020 ini FUI menyelenggarakan seminar ilmiah, pameran produk; dll tentang Upcyle (pengolahan limbah sampah) dengan melibatkan narasumber tingkat dunia di Yogyakarta. 

Pandemi menyebabkan kegiatan dievaluasi kembali untuk dilaksanakan sesuai protokol. Kegiatan Artcycle Talk dipilih karena ada nilai ekonomi didalamnya yang diharapkan dapat menanggulangi dampak ekonomi pandemi. Pelajaran dari pandemi adalah bahwa penanganan menipisnya lapisan ozon, adalah pekerjaan rumah kita semua, yakni Penjaga Ozon.

Yogyakarta, 14 September 2020 pukul 15.15 WIB

Arif Sulfiantono,S.Hut.,M.Agr.,M.S.I.

Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & panitia seminar Upcycle Indonesia 2020


Selasa, 11 Agustus 2020

MITIGASI DI WISATA

Pariwisata Yogya kembali berduka. Tragedi yang menelan 7 wisatwan pantai Selatan saat berwisata di pantai Goa Cemara, Bantul, yang berasal dari satu keluarga sangat mengusik. Padahal awal tahun 2020 ini pariwisata DIY terpukul oleh kecelakaan siswa SMP Turi. Ketika 10 orang meninggal dunia saat outbond di Sungai Sempor.

Pandemi Covid-19 juga menjadi ujian lainnya. Krisis ini harus menjadi pembelajaran sangat berharga bagi pengelola wisata. Dalam adaptasi kebiasaan baru (AKB) sekarang, umumnya hanya fokus pada protokol Covid-19 saat melakukan pembukaan kembali destinasi wisata.


Rubrik ANALISIS koran KEDAULATAN RAKYAT, 11 Agustus 2020

Pasalnya selain Korona, masih ada 12 jenis ancaman bencana di wilayah DIY, yakni Banjir, Banjir Bandang, Gempa Bumi, Tanah Longsor, Kekeringan, Cuaca Ekstrim, Kebakaran Hutan dan Lahan, Letusan Gunung Api, Tsunami, Gelombang Pasang, Kegagalan Teknologi, Epidemi dan Wabah Penyakit (BPBD DIY, 2019). Belum lama DIY juga beberapa kali diguncang gempa bumi.

Ironisnya, mayoritas destinasi atau obyek wisata belum ada fasilitas jalur evakuasi menuju titik kumpul yang aman bagi pengunjung wisata. Pengelola destinasi-pun mayoritas jarang memperoleh latihan atau penyegaran penanganan bencana atau kecelakaan.

Kecelakaan tentu menjadi pembelajaran berharga. Dan itu bukan hanya ombak. Karena juga ada hewan yang berbahaya. Bulan Juni hingga Juli kemarin juga cukup banyak wisatawan yang menjadi korban ubur-ubur laut, terutama di pantai Selatan Gunungkidul. Ini perlu perlu perhatian khusus bagi pengelola wisata. Tahun 2018 lalu destinasi Nglanggeran juga dikagetkan dengan adanya serangan tawon.

Satwa liar lain yang harus diwaspadai adalah satwa berbisa seperti ular. Data dari Animal Keeper Jogja (AKJ) tahun 2019 di DIY ada sebanyak 18 orang menjadi korban, dengan 2 orang meninggal dunia (Saliyo, 2019). Sepanjang tahun 2020 ini ada 8 orang menjadi korban ular berbisa. Tidak ada yang meninggal dunia, seiring dengan meningkatnya edukasi penanganan korban ular berbisa dan jumlah RS rujukan yang bertambah.

Satwa berbisa yang hidup di destinasi wisata ini harus didata dan dipetakan agar mitigasi kecelakaan berjalan dengan baik. Bidang Kapasitas Kelembagaan Dinas Pariwisata DIY tahun ini menjadikan Desa Wisata Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo sebagai pilot project penerapan Desa Wisata Tangguh Bencana.

Pengelola Sungai Mudal yakni salah satu destinasi wisata di Desa Jatimulyo sudah melakukan pendataan dan pemetaan jenis ular berbisa, yakni ada 7 jenis (Tyo, 2020). Pengelola destinasi di Jatimulyo juga diminta untuk membuat plang jalur evakuasi dan titik kumpul sebagai mitigasi saat terjadi bencana seperti gempa bumi dan tanah longsor.

Selain itu pengelola juga diwajibkan untuk menjalankan SOP mitigasi bencana atau kecelakaan seperti gempa bumi, tanah longsor dan kecelakaan pengunjung (jatuh, terkilir, patah tulang, dll). Pengelolaan destinasi wisata harus memiliki perspektif Pengurangan Risiko Bencana/Kecelakaan agar memberikan keamanan, kenyamanan dan keberlanjutan bagi pengunjung.

Dengan perspektif ini akan dapat mendorong peningkatan wisatawan ke destinasi, karena pengunjung merasa aman dan tentram untuk berwisata di destinasi yang sudah menjalankan mitigasi wisata. Pengelola destinasi-pun tidak akan kesulitasn mencari investor atau sponsor karena destinasi wisatanya sudah menjalankan SOP mitigasi bencana/kecelakaan.

Memang membangun wisata itu mudah, tapi mempertahankannya sulit, dan mengembangkannya itu wajib. Sudahkah diterapkan SOP mitigasi wisata selain protokol Covid-19? Saat krisis ini adalah terbaik untuk evaluasi dan belajar bersama.

Patangpuluhan, 6 Agustus 2020, pukul 22.00 WIB

Kamis, 09 Juli 2020

PEMBURU BURUNG


Infeksi virus korona covid-19 membuat dunia menghadapi dilema. Di satu sisi virus yang membuat pandemi global ini memicu pengurangan emisi karbon akibat kebijakan karantina wilayah di banyak negara untuk mencegah penyebarannya, di sisi lain membuat ekonomi mandek. Dampaknya perburuan satwa liar marak kembali, terutama burung.


ANALISIS KR, koran Kedaulatan Rakyat hari Kamis, tanggal 9 Juli 2020

Grup wasap Animal Keeper Jogja (AKJ) pekan lalu ramai dengan pemberitaan pemburu burung yang marak di desa-desa, bahkan kawasan hutan Negara seperti Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Petugas Resort Cangkringan TNGM bersama masyarakat mitra polhut (MMP) dalam 2 pekan terakhir menangkap 3 orang pemburu (Info Merapi, 3/7).

Pemburu tersebut memanfaatkan kondisi saat wisata TNGM lockdown, saat sepi dari pengunjung wisata. Sepinya aktivitas seperti wisata jeep mengakibatkan hutan ramai dengan aktivitras satwa liar, terutama burung. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pemburu untuk memikat burung dengan pulut dan jaring.

Kawasan Resort Cangkringan sendiri adalah mayoritas zona rehabilitasi dan restorasi, yakni zona pemulihan dari erupsi Merapi tahun 2010. Pemulihan ekosistem tidak hanya dengan penanaman pohon endemik Merapi, tapi juga ditunjang dengan aktivitas satwa liar. Terutama satwa burung yang sangat membantu dalam pemulihan ekosistem.

Hal lain yang dikhawatirkan adalah penularan penyakit dari satwa liar kepada manusia, atau yang disebut zoonosis. Burung yang sakit akan memudahkan penularan virus karena mereka bermigrasi ketika berkembang biak atau mencari pakan. Burung juga akan berinteraksi dengan kelelawar, satwa yang memiliki kemampuan sebagai sarang virus paling banyak dibanding satwa lain.

Larangan perburuan satwa liar sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Terhadap Perlindungan Satwa. Pemerintah Daerah Provinsi DIY juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Habitat Alami.

Dalam Pasal 8 kawasan Gunung Merapi masuk dalam habitat alami kawasan ekosistem vulkan. Demikian pula dengan kawasan ekosistem lain, seperti karst, dataran tinggi, dataran rendah, pantai berbatu dan/atau berpasir, perairan tawar, mangrove, dan gumuk pasir. Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten Kota, dan Pemerintah Desa berkewajiban atas pelestarian Habitat Alami; dan dilakukan secara sistematis, terpadu, terarah, dan berkelanjutan (Pasal 22).

Pelestarian Habitat Alami dilaksanakan secara terkoordinasi melalui upaya konservasi dan rehabilitasi (Pasar 24). Larangan perusakan habitat alami disebutkan dalam pasal 46, yakni menangkap dan/atau membunuh satwa yang dilestarikan di dalam Habitat Alami. Disini diperlukan peran aktif masyarakat dalam menjaga habitat alami.

Salah satu peran aktif masyarakat adalah dengan adanya aturan yang tegas melarang, seperti Peraturan Desa (Perdes). Peraturan Daerah (Perda) yang ada diperkuat dengan Perdes agar masyarakat dapat ikut mengawal kelestarian ekosistem di desanya. Kesuksesan pelaksanaan Perdes larangan berburu dicontohkan oleh Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo.

Desa yang terletak di pegunungan Menoreh ini membuat sebuah peraturan untuk menjaga lingkungan, yakni Perdes No.8 Tahun 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Perdes ini mengatur langkah-langkah desa dalam pelestarian tumbuhan dan satwa liar di Desa Jatimulyo. Salah satu bagiannya adalah mengatur pelestarian burung.

Bagi pemburu burung yang tertangkap di Desa Jatimulyo akan dikenakan denda minimal Rp 5 juta. Perdes ini berhasil mengendalikan para pemburu burung, yang dulu jumlahnya banyak seperti orang mancing. Tahun 2020 ini jumlah burung di Desa Jatimulyo ada 105 jenis, dengan 19 jenis merupakan burung endemik (Suparno, 2020). Pengamatan burung menjadi wisata andalan di Desa Wisata Jatimulyo ini.

Kesuksesan Desa Jatimulyo diikuti oleh Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo yang mengeluarkan Perdes Nomor 4 tahun 2017 tentang Pelestarian Lingkugan Hidup. Pemerintah Desa Pagerharjo memasang papan larangan berburu/memikat burung di beberapa tempat termasuk dengan sanksi dan denda.

Sudah saatnya Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Desa bersama masyarakat menyiapkan kondisi “normal baru” setelah pandemi. Kondisi tersebut adalah membangun sistem penopang kehidupan dengan rambu-rambu pembangunan lingkungan dengan memakai prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs). Urusan pelestarian alam dan kearifan lokal semestinya tak sekadar tema peringatan Hari Lingkungan Hidup, Bumi atau Konservasi, namun menjadi komitmen kita bersama dalam pemulihan pandemi dan setelahnya.

Yogyakarta, 6 Juli 2020 pukul 09.07 WIB
Koordinator Jejaring Ahli Perubahan Iklim & Kehutanan (APIK) Indonesia Region Pulau Jawa & pegiat Forkom Desa-Kampung Wisata DIY