Jumat, 09 Februari 2018

MENJAGA DARI BENCANA ALAM

Di beberapa wilayah Indonesia hujan dengan intensitas yang lebih lama menimbulkan beberapa banjir dan longsor. Padahal hujan harusnya membawa berkah dan manfaat, karena menyirami bumi dan membawa kesuburan bagi tumbuhan. Tentu ada yang salah dalam pengelolaan alam yang dilakukan manusia.

Cahaya Jumat Tribun Jogja tanggal 9 Februari 2018

Alam menjadi rusak di tangan manusia. Akibatnya tentu kembali kepada manusia. Al Quran telah menggambarkan kebinasaan ummat terdahulu akibat tindakan merusak alam. Semua perbuatan manusia yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan kemungkaran. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (surat Ar-Ruum: 41)

Contoh kerusakan alam lain adalah wabah Tawon Gung melanda Kabupaten Klaten.  Sudah 2 korban jiwa anak-anak akibat sengat tawon jenis Vespa affinis. Asal-muasal tawon booming dan menjadi ancaman manusia karena gangguan alam. Manusia mengambil pemangsa tawon, seperti burung-burung liar di alam hingga tokek rumah. Padahal satwa tersebut adalah musuh alami serangga. Perannya sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam.

Dalam ayat lain di Al-Quran, Allah juga mengecam manusia yang merusak alam. Dia sangat tidak menyukai orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi (Q.S. Al Baqarah, 2:60, 205; Al Araf, 7:56, 85; Al Qashash, 28: 88; Al Syuara, 26: 183 dll)(Muhammad, 2005). Tindakan merusak alam merupakan bentuk kedzaliman dan kebodohan manusia.

Siapa saja yang menyaksikan tindakan perusak alam berkewajiban menghentikannya. Negara sebagai pengawas dan pelindung kelestarian alam berkewajiban menyeret pelakunya ke pengadilan agar dia mempertanggungjawabkan perbuatannya. Manusia sebagai Khalifah fil Ardh (pemimpin di bumi) wajib menjaga kelestarian alam yang manfaatnya juga untuk manusia sendiri.  Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

Sudah saatnya manusia meng-evaluasi pengelolaan alam. Kerusakan alam harus cepat diperbaiki, karena sejatinya alam bukan milik manusia. alam semesta adalah milik Allah (QS Al-Baqarah, 2:284). Kepemilikan manusia hanyalah amanat, titipan atas pinjaman yang pada saatnya harus dikembalikan dalam keadaannya seperti semula.

Bahkan manusia yang baik justru akan mengembalikan titipan tersebut dalam keadaan yang lebih baik dari ketika dia menerimanya. Nabi mengatakan: Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik dalam mengembalikan utangnya. Mari kita kembalikan titipan alam kepada anak-cucu kita dalam kondisi yang lebih baik daripada saat ini.

Masjid Soedirman,  Colombo, yogyakarta,  7 Februari 2018 pukul 13.00 WIB

Rabu, 24 Januari 2018

MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Seminar nasional jejaring Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia di Jakarta (29-30/11) diwarnai dengan kejadian bencana alam. Setelah utusan region Bali-Nusa Tenggara terhambat karena erupsi Gunung Agung di Bali, utusan dari Yogyakarta juga terkendala karena siklon tropis Cempaka. 2 hari dihantam siklon Cempaka (28 -29/11) membawa kerugian yang tidak sedikit.
Hampir seluruh wilayah propinsi DIY terdampak bencana hidrometereologi ini. Pemda DIY merespon kejadian bencana alam tersebut dengan mengeluarkan status siaga darurat bencana.. Status siaga darurat dapat dinaikkan menjadi tanggap darurat bencana jika jumlah kejadian bencana alam bertambah.
Analisis Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 2 Desember 2017

Bencana Hidrometereologi
Banjir, tanah longsor, badai, kekeringan, kebakaran hutan, El Nino, La Nina, angin topan/puting beliung, angin fohn (angin bohorok, gending, brubu, kumbang) adalah beberapa jenis bencana hidrometereologi. Bencana tersebut disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor metereologi (perubahan iklim), seperti curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin.
Sejatinya perubahan iklim hanya pemicu bencana hidrometereologi saja. Penyebab utama terjadinya bencana alam yang menimbulkan kerugian adalah kerusakan alam/lingkungan yang masif sehingga daya dukung dan tampung lingkungan menurun. Frekuensi curah hujan yang tinggi tidak serta-merta menimbulkan banjir dan tanah longsor jika daya dukung lingkungan cukup.
Akan tetapi kerusakan ekologi pada bagian hulu dengan berkurangnya area hutan sebagai water catchment area (daerah tangkapan air) serta infrastruktur sungai dan drainase yang buruk menjadikan rawan bencana banjir. Satu hari saja wilayah DIY diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi sudah menimbulkan banjir.
Adaptasi dan Mitigasi
Peristiwa bencana alam akibat cuaca di Indonesia menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan lagi sebuah isu. Perubahan iklim adalah fakta yang harus dihadapi oleh kita semua, karena terjadinya juga berkaitan erat dengan kondisi iklim sekaligus perilaku manusia itu sendiri.
Kerentanan-kerentanan yang terjadi telah mengancam kelangsungan hajat hidup bersama. Dikhawatirkan jika tidak segera diantisipasi akan mengganggu keberlangsungan kehidupan masyarakat sekaligus pencapaian pembangunan. Adaptasi serta mitigasi terhadap perubahan iklim adalah tindakan bijaksana agar dapat menyesuaikan diri dan memperkuat ketahanan dalam kehidupan.
Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan upaya dalam menghadapi perubahan iklim, yakni dengan mitigasi dan adaptasi. Bahkan keduanya sudah masuk menjadi bagian dari Direktorat Jendral Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia. Mitigasi sendiri adalah sebuah usaha penanggulangan untuk mencegah terjadinya perubahan iklim melalui kegiatan pernurusan emisi atau penyerapan gas rumah kaca (GRK).
Lebih singkatnya mitigasi adalah usaha untuk mengurangi penyebab perubahan iklim. Sedangkan adaptasi adalah proses memperkuat dan membangun strategi antisipasi dampak perubahan iklim serta melaksanakannya, sehingga mampu mengurangi dampak negatif perubahan iklim. Pemerintah menyusun aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat dikembangkan dan dilaksanakan di tingkat lokal atau langsung oleh masyarakat.
Aksi lokal tersebut adalah (1) pengendalian banjir, longsor atau kekeringan; (2) peningkatan ketahanan pangan; (3) penanganan kenaikan muka air laut; (4) pengendalian penyakit terkait iklim; (5) pengelolaan dan pemanfaatan sampah/limbah; (6) pengggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi; (7) budidaya pertanian rendah emisi GRK; (8) peningkatan tutupan vegetasi (penghijauan); dan (9) pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Hampir aksi lokal tersebut sudah dilaksanakan oleh Pemda DIY, seperti inisiasi Kampung Hijau di kota Yogyakarta; manajemen infrastruktur sungai M3K (Madhep, Mundur, Munggah Kali); bank sampah pada tingkat RT, RW hingga Desa; pembuatan biogas sebagai energi ramah lingkungan; penghijauan pada kawasan hulu/daerah tangkapan air; dan lainnya. Hanya saja aksi lokal tersebut masih kurang dijalankan dengan serius.
Kejadian bencana alam siklon tropis Cempaka kali ini semoga menyadarkan kita semua bahwa bencana alam hanya dapat diatasi secara bersama. Slogan SEGORO AMARTO (Semangat Gotong Royong Agawe Majune Ngayogyakarta atau semangat gotong royong menuju kemajuan Yogyakarta) adalah modal awal untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai kota ramah lingkungan. Dan warga Yogyakarta sudah ada pengalaman bangkit kembali setelah bencana alam gempa bumi tahun 2006 dan erupsi Merapi 2010. Pasti BISA!!

#LatePost

Sabtu, 20 Januari 2018

PENGENDALIAN PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim akhir-akhir ini nyata terjadi di berbagai belahan dunia. Kota Sydney, Australia pecan lalu dilanda suhu terpanas dalam hampir 80 tahun terakhir, yakni mencapai 47,3 derajat celcius. Sementara di Amerika dan Kanada mengalami suhu dingin ekstrim hingga mencapai minus 50 derajat celcius. Bahkan sejumlah turis di pegunungan Alpen, Swiss harus dievakuasi dari badai salju (KR, 9/1).

Opini koran Kedaulatan Rakyat tanggal 20 Januari 2018

Kasus-kasus perubahan iklim tersebut juga dialami Indonesia, terutama wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada Desember lalu dengan adanya badai tropis Cempaka dan Dahlia. Dampak perubahan iklim atau kejadian ekstrim dari perubahan iklim itu nyata dimana anomali-anomali tersebut terjadi. Untuk mengatasi dampak tersebut, 197 negara bergabung dalam pengendalian perubahan iklim melalui konvensi UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).

Konvensi UNFCC menghasilkan Paris Agreement pada pertemuan COP-21 di Paris, Perancis pada akhir tahun 2015. Dalam perjanjian ini, isu perubahan iklim yang terkait dengan mitigasi,  adaptasi dan pelaksanaannya (dalam bentuk pendanaan iklim,  alih teknologi dan peningkatan kapasitas) dijangkau secara seimbang Indonesia telah menindaklanjuti hasil Perjanjian Paris dengan  meratifikasi perjanjian ini dengan UU No 16 Tahun 2016. 

Dalam waktu yang hampir bersamaan Indonesia juga telah menyampaian komitment nasional dalam Indonesia NDC (Nationally Determined Contribution) untuk mengurangi emisi sebesar 29% dari BAU (Business As Usual) dengan upaya sendiri dan  sampai 41% dengan bantuan internasional.  Lima Kementerian sector terkait dengan mitigasi perubahan iklim, yaitu Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian telah berproses menuju pencapaian target NDC.

Demikian juga untuk aspek adaptasi perubahan iklim Kementerian/Lembaga terkait juga sudah menyiapkan dirinya masing-masing mencapai target NDC yang ditetapkan. Kementerian LHK (melalui Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim/PPI) sebagai National Focal Point (NFP) sudah menyusun 9 Strategi Implementasi NDC dan menyiapkan berbagai perangkatnya.
Untuk membumikan Perjanjian Paris diperlukan modalitas, prosedur dan pedoman pelaksanaannya yang sedang dipersiapkan oleh Negara.  Oleh karena itu Ditjen PPI Kementerian LHK menyelenggarakan Festival Iklim 2018 tanggal 16-17 Januari 2018 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Festival Iklim ini mengangkat tema Tiga Tahun Capaian Pengendalian Perubahan Iklim.

Festival ini bertujuan penyampaian informasi progres implementasi Perjanjian Paris dan NDC ke masyarakat umum. Selain itu juga sebagai sarana untuk bertukar pikiran tentang rencana, agenda dan aksi pengendalian perubahan iklim oleh dan untuk berbagai stakeholders. Progres ini perlu diketahui oleh publik dan memerlukan pelaksanaan/tindak lanjut oleh Kementerian/Lembaga sesuai mandat masing-masing secara sinergis dengan K/L terkait, serta upaya peningkatan pelibatan Peran Non-Party stakeholders (Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota, swasta, dan civil societies serta masyarakat).

Perubahan iklim merupakan ancaman global namun, kunci keberhasilan aksi pengendaliannya harus dilakukan di tingkat lokal. Emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar berasal dari aktivitas perkotaan sehingga kepala daerah harus berdiri di depan memimpin aksi pengendalian perubahan iklim. Data Bank Dunia bahwa kota-kota di seluruh dunia hanya terdiri atas tiga persen daratan di bumi, tetapi mengonsumsi 60 sampai dengan 80 persen energi dan memproduksi 75 persen GRK (Witoelar, 2017).

Diperkirakan pada tahun 20020 akan tumbuh 20 metropolitan, 50 kota sedang dan lebih dari 100 kota kecil yang baru. Kota-kota baru ini berpotensi menyerap karbon, namun akan mengemisikan karbon yang sangat tinggi mengingat teknologi dan sumber daya yang terbatas dan perencanaan yang kurang terintegrasi. Sangat penting sekali untuk melibatkan walikota dan bupati dalam perjuangan melawan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan karena kebanyakan aktivitas ekonomi, aset negara, infrastruktur, dan fasilitas pemerintahan ada di kabupaten dan kota (Witoelar, 2017).

Aksi lokal dalam pengendalian perubahan iklim dicontohkan oleh warga Dukuh, Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Yogyakarta dalam mengelola kampung ramah lingkungan. Warga sejak November 2017 merintis budidaya perikanan di saluran irigasi yang melewati kampungnya di pinggir Sungai Winongo. Sebelumnya warga membersihkan saluran irigasi dan pinggir sungai serta menanami dengan pohon.

Kampung Dukuh ini aman dari badai tropis Cempaka, bebas dari banjir saat hujan intensitas tinggi. Warga benar-benar menjaga sungai dan kampungnya dengan asri dan nyaman. Tiap sore anak-anak bercengkerama di pinggir saluran irigasi yang teduh sambil memberi makan ikan.
Benar yang dikatakan Skakespeare dalam salah satu bukunya mengemukakan What is a city but its people? Apakah artinya kota tanpa kiprah yang dinamis dari warga atau penduduknya.

Kaliurang,  16 Januari 2018, pukul 09.30 WIB

Jumat, 19 Januari 2018

MENCINTAI SATWA CIPTAAN ALLAH

Suatu hari, saat penduduk kota Madinah lebih memilih tinggal di dalam rumah karena siang hari yang panas, seorang lelaki mendatangi seorang anak laki-laki yang asyik bermain. “Nak, apa yang berada di tanganmu itu?” Anak kecil itu menjawab. “Paman, ini adalah seekor burung.” Pandangan lelaki ini meredup, ia jatuh iba melihat burung itu mencericit parau. Di dalam hatinya mengalun sebuah kesedihan, “Burung ini tentu sangat ingin terbang dan anak ini tidak mengerti jika makhluk kecil ini teraniaya.”

Rubrik Cahaya Jumat koran TRIBUN JOGJA tanggal 19 Januari 2018 halaman 4

“Bolehkah aku membelinya, nak? Aku sangat ingin memilikinya,” suaranya penuh harap. Si kecil memandang lelaki yang tak dikenalnya dengan seksama. Ada gurat kesungguhan dalam paras beningnya. Lelaki itu masih saja menatapnya lekat. Akhirnya dengan agak ragu ia berkata, “Baiklah paman,” maka anak kecil pun segera bangkit menyerahkan burung kepada lelaki yang baru pertama kali dijumpainya.

Tanpa menunggu, lelaki ini merogoh saku jubah sederhananya. Beberapa keping uang itu kini berpindah. Dalam genggamannya burung kecil itu dibawanya menjauh. Dengan hati-hati kini ia membuka genggamannya seraya bergumam senang, “Dengan menyebut asma Allah yang Maha Penyayang, engkau burung kecil, terbanglah.”

Ia menengadah hening memandang burung yang terbang jauh ke angkasa. Sungguh, langit Madinah menjadi saksi, ketika senyuman senang tersungging di bibirnya yang seringkali bertasbih. Sayup-sayup didengarnya sebuah suara lelaki dewasa yang membuatnya pergi dengan langkah tergesa. “Nak, tahukah engkau siapa yang membeli burungmu dan kemudian membebaskan ke angkasa? Dialah Khalifah Umar.”

Kisah tersebut menjelaskan bahwa pada hakikatnya Islam mengajarkan pada umatnya untuk menyayangi binatang dan melestarikan kehidupannya. Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Jatsiyah ayat 13, Allah SWT menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang mencakup segala sesuatu di dunia ini. Sayangnya anugerah ini belum dikelola dengan baik, hakikat konservasi alam yang diajarkan Islam belum menjiwai ummat Islam.

Akibatnya masih terjadi perburuan dan jual beli satwa liar yang dilindungi. Oleh karena itu, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI) bekerja sama dengan Pengkajian Islam Universitas Nasional dan WWF Indonesia meluncurkan buku berjudul “Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem’ dan “Khutbah Jumat Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem” di kantor MUI, Jakarta.
Buku yang sudah bisa didonlot ini berisi penjelasan rinci tentang Fatwa MUI No. 04 Tahun 2014 yang telah dikeluarkan MUI tentang pelestarian satwa langka untuk keseimbangan ekosistem. Sains dan teknologi memang diperlukan dalam aksi konservasi alam, tapi pendekatan berbasis agama juga turut dilibatkan. Menjaga kelestarian satwa liar adalah wujud kepatuhan terhadap syariat yang akan dinilai suatu catatan kebaikan atau pahala di sisi Allah SWT.  
Sebaliknya barang siapa yang mengabaikan kaidah atau nilai konservasi alam sehingga menyebabkan kerusakan dan bencana  di muka bumi dan menelan banyak korban, maka akan mendapat dosa dan siksa karena telah melakukan suatu kedzaliman terhadap lingkungan sekitar.  "Segala yang dimuka bumi ini diciptakan untuk kita, maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk : menjaga segala sesuatu dari kerusakan; memanfaatkannya dengan tetap menjaga martabatnya sebagai ciptaan-Nya; melestarikannya sebisa mungkin, yang dengan demikian, mensyukuri nikmat-Nya dalam bentuk perbuatan nyata."(M. Fazlur Rahman, 1973).
Patangpuluhan, 18 Januari 2019 pukul 20.47 WIB

Sabtu, 09 Desember 2017

TAHUN BARU HIJRIYAH DAN JIHAD BIL-ILMI

Ummat Islam kembali memperingati pergantian tahun baru Hijriyah, yakni 1438 H berganti 1439 H. Seorang ulama besar Imam Hasan al-Basri mengingatkan, "Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, berlalu pulalah sebagian hidupmu."

dimuat di koran TRIBUN Jogja 22 Sept 2017

Dengan demikian harusnya seorang muslim menyiapkan dirinya menghadapi jatah waktunya yang semakin berkurang.
Masih ada PR besar bagi ummat Islam, yakni mengejar ketertinggalan dalam segalam bidang, terutama peradaban ilmu.

Era kemunduran Dinasti Turki Ustmani akhir abad 18, banyak bangsa muslim terjajah, dan mengalami keterpurukan. Kondisi saat ini mengingatkan pada tahun 1099-1187 M, dimana kondisi ummat Islam terpuruk dan kiblat pertama muslim yakni Masjidil Aqsha jatuh ke pasukan Salib.

Saat ini Masjidil Aqsha yang masuk Negara Palestina dijajah oleh Israel.
Kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah baik pada abad 10-11 maupun saat ini menyebabkan seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Paska jatuhnya Masjidil Aqsha di Yerussalem pada tahun 1099, ulama besar Al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar.

Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Hasilnya pada tahun 1187 Yerussalem dapat dibebaskan oleh Shalahuddin Al Ayubi.

Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu/Kitabul Ilmi (Husaini, 2017).

Strategi ini dicontoh oleh KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912 dan KH. Hasyim Asyari dengan mendirikan Nadhatul Ulama tahun 1926.
Lulusan dari Muhammadiyah maupun NU menjadi pejuang-pejuang kemerdekaan NKRI, baik di bidang politik maupun terjun langsung di medan jihad/peperangan.

Langkah ulama Al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius. Ketika ummat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, Al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar.

Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah hati/aqal. Agama adalah penerang hati, sedangkan ilmu pengetahuan peradaban adalah penerang akal, begitu kata salah satu mujaddid abad 20 yakni Badiuzzaman Said Nursi dari Turki.


Selasa, 07 November 2017

7 TAHUN ERUPSI GUNUNG MERAPI

7 tahun sudah erupsi Merapi telah berlangsung, yakni 26 Oktober sampai 6 November 2010. Perubahan paling nyata adalah mulai tumbuhnya vegetasi tutupan lahan yang terdampak langsung erupsi dan munculnya spot wisata alam merapi. Selain itu perubahan yang menarik adalah perubahan masyarakat dari subsisten menuju masyarakat konsumsi.
Menurut catatan Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) kerusakan ekosistem di kawasan TNGM akibat erupsi tahun 2010, yakni rusak berat seluas ± 1242,16 hektar (20,21%);  rusak sedang seluas ± 1207,91 hektar  (19,66%); dan rusak ringan seluas ± 2543,94 hektar (41,40%). Tentu besarnya kerusakan ini membawa konsekuensi untuk melakukan kegiatan pemulihan ekosistem. Balai TNGM bersama mitra (pemda, masyarakat, Perguruan Tinggi, swasta, dan lain-lain) telah melakukan penanaman (restorasi) seluas 604.85 hektar, dari sesudah erupsi hingga saat ini (Statistik TNGM tahun 2016).
Opini KR tanggal 7 November 2017
Kegiatan restorasi selain untuk pemulihan ekosistem akibat erupsi tahun 2010, juga merupakan sub agenda pertama RPJMN Pemerintahan Presiden Jokowi. Agenda ini masuk dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2015 – 2019, seluas 100.000 hektar lahan degradasi seluruh kawasan konservasi di Indonesia.
Balai TNGM pada tahun 2017 ini telah menyusun Rencana Pemulihan Ekosistem (RPE), yakni kegiatan mengembalikan ekosistem, baik sumberdaya alam hayati maupun kondisi fisik lingkungannya sehingga secara bertahap terwujud keseimbangan dinamis dan kembalinya fungsi-fungsi ekosistem. Ada tipologi kawasan yang akan menjadi sasaran RPE dengan jumlah total luasan 3.488,85 ha.
Tujuan dari RPE adalah mengembalikan sepenuhnya integritas ekosistem, kembali kepada kondisi aslinya atau kepada kondisi masa depan tertentu sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan. Balai TNGM juga menyiapkan habitat references untuk mendukung pemulihan ekosistem, yakni lokasi-lokasi sebagai ekosistem referensi dengan asumsi jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati didalamnya belum berubah sejak 100 tahun yang lalu berdasarkan data sejarah erupsi. Habitat references adalah ekosistem tak terganggu yang berada di sekitar areal yang akan dipulihkan atau deskripsi ekologis berupa laporan survei, jurnal, foto udara atau citra satelit, suatu ekosistem yang memiliki kemiripan ekologis dengan ekosistem yang akan dipulihkan dan merupakan referensi sementara untuk mencapai tujuan pemulihan, dimana unsur-unsur ekosistem referensi dapat menjadi contoh (template) bagi kegiatan pemulihan (P.48/Menhut-II/2014, BAB I, pasal 1, nomor 20).
Vegetasi yang dipilih dari habitat references adalah jenis asli Merapi yang terbukti mampu bertahan terhadap erupsi Merapi, sumber pakan satwa liar, dan mendukung fungsi penyimpan air. Jenis vegetasi tersebut adalah Puspa (Schima walichii), Pasang (Lithocarpus sundaicus), Manisrejo (Vaccinium Varingiaufolium), Sarangan (Castanopsis argentea), Klewer (Engelhardtia spicata Lechen ex Blume). Wilodo Banyu (Ficus lepicarpa Blume.), Wilodo Jowo (Ficus fulva Elmer.), Dadap (Erythrina variegata), Krembi daun lebar (Homalanthus giganteus Zoll. & Moritzi), Krembi daun sempit (Homalanthus populneus Geiseler Pax.), Anggrung (Trema orientalis), Anggring (Trema cannabina Lour), Tesek (Dodonaea viscosa Jaeq).
            Perubahan lainnya adalah sesudah 7 tahun erupsi adalah jumlah lokasi wisata alam -di dalam maupun luar kawasan TNGM- semakin meningkat seiring dengan naiknya tren wisata alam secara global. Apalagi ditunjang dengan fenomena foto selfie dan dukungan media sosial menjadi media promosi ampuh untuk menarik wisatawan berkunjung ke Merapi. Ada 15 Desa penyangga kawasan TNGM (dari total 30 Desa) yang mempunyai lokasi wisata alam. Tercatat ada 860.543 pengunjung yang berwisata di dalam kawasan TNGM selama kurun waktu tahun 2012 sampai 2016 (Statistik TNGM tahun 2016).
           Tentu angka tersebut adalah potensi yang perlu digarap serius dengan melibatkan warga merapi melaui pemberdayaan masyarakat. Secara umum, pola kehidupan sosial pada daerah penyangga TNGM masih didominasi oleh ciri-ciri masyarakat tradisional. Ciri yang masih cukup kuat adalah pola proses produksi subsisten dimana sebagian besar produk yang dihasilkan dipergunakan untuk keperluan keluarga atau pasar skala kecil (TNGM, 2017). Meskipun demikian, ciri ini terus bergerak ke arah masyarakat madya dan modern.
            Masyarakat Merapi masih memiliki ketergantungan mata pencaharian pada sektor pertanian dan peternakan. Di bidang pertanian, pola budidaya yang dikembangkan pada dusun-dusun penyangga TNGM adalah pertanian lahan kering dengan dominasi kebun dan sayur. Survei yang dilaksanakan Balai TNGM (2017) mencatat ada 3.631 peternak sapi (8.416 ekor sapi), 956 peternak kambing (6.535 ekor kambing), 54 peternak kelinci (540 ekor kelinci), dan 1.247 pemilik unggas.
Agar kelestarian kawasan Merapi tetap terjaga dan masyarakat sejahtera, Balai TNGM pada tahun 2017 menyusun master plan pemberdayaan masyarakat daerah penyangga selama periode 10 tahun. Ditargetkan, kegiatan pemberdayaan masyarakat daerah penyangga TNGM dapat meningkatkan pendapatan keluarga sasaran sebesar 20% dalam 10 tahun ke depan. Tentu untuk mewujudkan visi “Merapi lestari, Masyarakat sejahtera’ TNGM menggandeng mitra kerja (pemda, PT, LSM dll), guyub rukun mbangun Merapi.
Yogyakarta, 6 November 2017

Selasa, 17 Oktober 2017

POTENSI HUTAN TANAMAN PANGAN

Di era perubahan iklim ini, peran pertanian terlebih sektor pangan sangat strategis. Sektor pertanian sebagai penyedia pangan dan bahan baku pengolahan ini perlu mendapatkan perhatian. Walaupun sektor pertanian sebagai penyangga pangan dunia, namun hampir semua usaha tani ini rentan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, perubahan iklim merupakan salah satu ancaman serius terhadap ketahanan pangan yang harus disikapi secara bijak.
Capaian kedaulatan pangan sendiri masuk dalam program Nawa Cita Presiden Jokowi, yakni mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Capaian ini dituangkan dalam kebijakan program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)  untuk mendukung kedaulatan pangan 2015-2019, yakni penyediaan lahan 1 juta hektar untuk mendukung pembangunan sawah baru melalui pelepasan kawasan hutan dan pinjam pakai; pemanfaatan areal hutan di bawah tegakan hutan seluas 250.000 hektar; kemitraan dunia usaha dengan dana CSR produktif seluas 1,6 juta hektar; dan terbangunnya urban farming melalui pemanfaatan kompos di 100 kota (KLHK, 2014).
Opini koran KR/Kedaulatan Rakyat tanggal 17 Oktober 2017
Kebijakan pengelolaan hutan sebagai penyedia pangan tertuang dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan dan PP 6/2007 jo PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Anonim, 2009). Kontribusi kehutanan dalam mendukung penyediaan pangan dapat bersifat tidak langsung maupun yang mendukung sistem pertanian pangan.
Kontribusi ini terkait dengan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengatur iklim mikro, penyerap karbon dan sebagai sumber plasma nutfah. Peran hutan sebagai penyedia pangan telah berlangsung sejak awal peradaban dan terus berlanjut hingga saat ini (Puspitojati, 2014)).
Hutan alam menyediakan aneka jenis pangan nabati, yang berupa buah-buahan, biji-bijian, umbi-umbian, pati-patian dan sayuran sebagai sumber karbohidrat, protein dan vitamin nabati, serta menyediakan beragam jenis pangan hewani yang berupa satwa liar. Saat ini, sebagian masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, masih menggantungkan sebagian kebutuhan pangannya dari hutan.
Selain hutan alam, hutan tanaman juga telah dirancang-bangun agar memiliki potensi dalam menyediakan pangan, baik secara periodis maupun secara berkelanjutan. Pada awal pembangunan hutan tanaman jati di Jawa tahun 1850 sampai awal tahun 1990-an, tanaman pangan hanya dibudidayakan pada saat permudaan hutan, yang dilaksanakan dengan sistem tumpangsari (Simon, 2006).
            Kontribusi hutan sebagai penyangga pangan masyarakat desa sekitar hutan dalam kaitannya dengan ketersediaan pangan nasional juga terlihat dalam tingkat produksi pangan yang dihasilkan dari kawasan hutan. Berdasarkan data tahun 2008, luas kawasan hutan yang telah memeberikan kontribusi pada pangan nasional mencapai lebih dari 312.000 hektar dengan tingkat produksi lebih dari 932.000 ton setara pangan dari jenis-jenis padi, jagung, kedelai, dan lain-lain (Kemenhut, 2010). Namun, karena kendala sistem pencatatan dan pelaporan, kontribusi pangan dari kehutanan selama ini belum tercatat dengan baik dalam statistik nasional.
Hutan sebagai penyangga pangan bagi masyarakat desa sekitarnya memiliki setidaknya 77 jenis tanaman sumber pangan penghasil karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 75 jenis tanaman penghasil minyak dan lemak, 389 jenis biji-bijian dan buah-buahan, 228 jenis sayuran, 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan, 40 jenis penghasil bahan minuman, serta tumbuhan obat sebanyak 1.260 jenis (Kemenhut, 2010). Program tumpang sari yang dikerjakan Perum Perhutani bersama masyarakat desa sekitar hutan melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) selama tahun 2001-2009 produksi bahan pangan mencapai 13,5 juta ton (padi, jagung, kacang-kacangan, dan jenis pangan lainnya), atau setara Rp 9,1 triliun.
Sistem agroforestry yakni pengelolaan tanaman pertanian bersinergi dengan kawasan hutan menghasilkan kekayaan jenis tumbuhan yang sangat tinggi. Di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dan hutan desa sekitarnya memiliki potensi tanaman pangan sebanyak 40 jenis dan tanaman obat sebanyak 47 jenis. Selain itu ada potensi lain seperti tumbuhan hias (11 jenis), aromatik (7 jenis), pakan ternak (7 jenis), pestisida nabati (4 jenis), pewarna dan tanin (2 jenis), kayu bakar (10 jenis), upacara adat (20 jenis), bahan bangunan (13 jenis) dan bahan tali, anyaman dan kerajinan (6 jenis) (Anggana, 2011).
Petani di sekitar TNGM memiliki tingkat interaksi dengan gunung merapi yang cukup erat. Prinsip mereka adalah ‘Ora Ubet Ora Ngliwet’, yakni rezeki walaupun sudah diatur oleh Gusti Allah tetap harus dijemput dengan bekerja keras.


Yogyakarta, 14 Oktober 2017